Sekali kau ucapkan, mantra tersebut akan membawamu ke tempat yang tak pernah kau pikirkan sebelumnya.
.
Gadis itu perlahan membuka kelopak matanya, menampilkan iris kelam miliknya. Ia terdiam sesaat. Meneliti apa yang tengah dilihatnya saat itu. Sejurus kemudian terkaget setelah sadar bahwa dia sedang tak berada di tempat seharusnya dia berada.
“Aku … di mana?”
.
Mantra
Genre: Supranatural, friendship, romance
.
Bunyi khas yang dihasilkan kamera saat menangkap gambar terdengar ketika gadis berambut panjang itu berhasil membidik objek yang diincarnya. Seulas senyum merekah di wajahnya. Tanda bahwa ia puas dengan hasil jepretannya. Kini iris jelaganya menelusuri tempat itu, mencari objek lain yang sekiranya pantas tuk diabadikan melalui kamera DSLR-nya.
“Yola udah selesai belum hunting fotonya?” Suara baritone itu membuatnya menoleh ke arah pemuda yang bertanya padanya.
Gadis belia itu menggeleng, “belum nih Shan, kayanya masih lama. Aku harus cari inspirasi buat pameran minggu depan.”
Irshan membeo kemudian terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali bertanya, “memangnya tentang apa tema pamerannya?”
“Tentang budaya sih, ada sub temanya juga. Budayanya sih sudah kepikiran cuma sub temanya susah.”
“Apa sub temanya memang?”
Yola berpikir sejenak, “tentang tempat bersejarah gitu sih tapi tempat bersejarah di sini kayaknya semua udah di sabotase sama fotografer lain deh.” Ujarnya sembari terkekeh.
Irshan mengangguk, “aku saranin kamu mending pergi ke perpustakaan di alun-alun deh. Siapa tau dapet literatur tentang budaya dan tempat-tempat bersejarah gitu.”
“Ide bagus. Boleh juga, mungkin nanti aku bakal ke perpustakaan. Tutup jam berapa sih?”
“Sekitaran 4 jam lagi tutupnya. Selagi masih sempat mending kamu sekarang ke sana aja.” Saran Irshan sembari melirik arloji di pergelangan tangan kanannya.
“Okay, kalo gitu aku ke sana sekarang.” Gadis itu segera membereskan perlengkapan memotretnya, bersiap untuk pergi ke perpustakaan.
***
Yola menelusuri tiap-tiap rak di perpustakaan. Mencari sesuatu yang sekiranya dapat memberi inspirasi. Ia beberapa kali menghela napas, karena belum juga menemukan literatur yang dirasanya pas.
“Mungkin aku tanya aja ke penjaga perpustakaannya.” Ia mengangguk kemudian beranjak menemui penjaga perpustakaan.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya gadis imut berseragam khusus penjaga perpustakaan yang tengah berdiri di depan sebuah rak dengan beberapa buku di tangannya.
“Umh, mbak Manda?” Tanya Yola sembari melirik nametag si gadis yang dipikirnya jauh lebih muda darinya itu.
Gadis bernama Manda itu mengangguk.
“Saya mau cari buku tentang budaya. Ada rekomendasi?”
Manda tampak berpikir sejenak, “budaya yang bagaimana ya, mbak?”
“Tentang tempat bersejarah gitu. Ada rekomendasi nggak?”
“Oh, sini mbak, ikut saya.” Ajak Manda menuju ke rak buku bagian budaya dan sejarah yang terletak di bagian ujung perpustakaan.
“Ini buku-buku tentang budaya mbak, mungkin yang mbak cari ada di sini. Yang tentang tempat-tempat bersejarah ada di sebelah sana.” Manda menunjuk rak yang berisikan buku-buku mengenai tempat-tempat bersejarah.
Yola mengangguk.
“Saya tinggal dulu ya mbak. Mau beresin buku-buku ini.”
“Kalau ada perlu, panggil saya lagi. Permisi ya mbak.” Lanjut Manda sembari meninggalkan Yola.
“Oh iya, terimakasih ya!” Sahut Yola.
Setelah ditinggalkan sang gadis penjaga perpustakaan, ia kembali mencari buku yang dia perlukan. Kali ini ia merasa senang karena mendapat banyak referensi menarik. Hingga ia memutuskan untuk meminjam beberapa buku di sana dan kemudian bergegas pulang ke rumahnya.
***
Setumpuk buku tergeletak di atas meja belajar di samping single bed ungu kesayangan Yola. Setelah mandi, ia kembali menilik tumpukan buku yang telah dipinjamnya tadi. Ia meneliti tiap-tiap judul buku yang akan dibacanya terlebih dahulu. Ia terdiam sesaat ketika membaca judul sebuah buku yang menurutnya begitu asing.
“Rogo sukmo? Perasaan tadi aku nggak ambil buku ini deh.” Gumamnya sembari membuka halaman pertama buku tersebut.
Belum sempat dibacanya, ponselnya berbunyi. Pandangannya langsung tertuju pada nama yang tertera pada layar ponsel. Ia segera meletakan kembali buku tersebut dan menjawab panggilan masuk.
“Halo, kak Hajma? Ada apa?” Sapanya pada seseorang di seberang sana.
Selama Yola berbicara dengan seseorang di telepon genggamnya, seorang gadis berkebaya putih dan berselendang batik berdiri tepat di belakangnya, tengah memerhatikannya.
“Oh, kak Hajma mau nginep ya di rumah? Boleh-boleh dateng aja! Di rumah ga ada orang soalnya. Aku tunggu ya! Bye!” Yola mengakhiri perbincangannya di telepon.
Gadis beriris kelam itu menoleh ke belakangnya karena merasa diperhatikan ketika berbincang di telepon tadi.
Tidak ada orang. Jelas saja, ia hanya sendiri di rumah dan tidak ada orang di sana selain dirinya. Mana mungkin ada orang yang memerhatikannya, bukan?
Ia merasa bulu kuduknya meremang.
“Aduh aku mikirin apa coba? Ini pasti gara-gara aku lagi laper. Aku masak dulu deh sebelum kak Hajma dateng.” Yola kemudian bergegas meninggalkan ruang pribadinya.
Tanpa ia sadari, ia sudah melewati gadis yang sedari tadi memerhatikannya.
Gadis itu kemudian menunduk.
Kedua bibirnya melantunkan sebuah tembang.
“Sup sup sinurup manjing waruga
Waruga jati jadi sempurna
Badanku siji tembus ing jati
Jati rogo sukmo sejati.”
***
Selesai dengan urusan perutnya, Yola kembali ke kamarnya. Menghela napas sesaat sebelum kembali menyentuh buku yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
“Rogo Sukmo,” gumamnya. “Heran deh kenapa buku ini bisa kubawa. Peraasaan aku sama sekali nggak minjem buku ini.”
Di tengah kebingungannya, sesosok perempuan muncul di belakangnya. Perempuan itu tersenyum, kemudian melantunkan tembang dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh sembarang orang. Yola merasa bulu kuduknya meremang. Ia sontak melihat ke belakangnya karena merasa sedang diperhatikan.
“Nggak ada orang.” Ia meneguk ludahnya sendiri. Sejurus kemudian, tatapannya kembali pada buku yang dipegangnya.
Perempuan itu terus melantunkan tembangnya. Kedua tangannya meraih tangan Yola. Menuntun Yola untuk membuka buku itu. Halaman pertama buku berisi tulisan-tulisan dengan aksara yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tanpa sadar, Yola membuka halaman demi halaman buku itu hingga berhenti di sebuah halaman dengan aksara yang sama namun anehnya, ia dapat membacanya meskipun hanya sebait.
“Bacalah…”
Sebuah bisikan terdengar oleh Yola, seakan memintanya untuk membaca sebait aksara yang tertulis di halaman itu.
Seakan terpengaruh oleh bisikan, Yola membaca bait tersebut.
“Sup sup sinurup manjing waruga
Waruga jati jadi sempurna
Badanku siji tembus ing jati
Jati rogo sukmo sejati.”
Yola mendadak merasakan sesuatu pada dirinya, kepalanya terasa berat.
“Tolong …”
Gadis itu berusaha mencari tahu siapa yang berbisik meminta tolong padanya. Namun ia tak menemukan apapun.
“Tolong …”
Bisikan itu terdengar lagi.
Sesosok gadis cantik berkebaya putih dan berselendang batik muncul di hadapannya, dengan raut wajah sedih.
“Apa …?” Yola memegangi kepalanya yang terasa semakin berat—
“Tolong selamatkan aku sebelum terlambat…”
—dan setelahnya pandangan Yola menggelap dan ia tidak mengingat apapun lagi.
***
Ary melangkahkan kakinya lebih jauh lagi ke dalam tempat itu—tempat yang pernah diceritakan oleh sang kakak. Karena penasaran dengan cerita sang kakak, ia berinisiatif menelusuri tempat itu. hingga akhirnya menemukan seorang gadis yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Terkaget, ia segera menghampiri si gadis. Iris jelaganya, meneliti keadaan si gadis, kalau-kalau ia masih hidup. Dan setelahnya bersyukur karena sang gadis masih bernapas.
Ary pun mencoba membangunkan gadis itu.
“Hei, hei…” Ujarnya sembari menepuk pipi si gadis.
Gadis itu perlahan membuka kelopak matanya, menampilkan iris kelam miliknya. Ia terdiam sesaat. Meneliti apa yang tengah dilihatnya saat itu. Sejurus kemudian terkaget setelah sadar bahwa dia sedang tak berada di tempat seharusnya dia berada.
“Aku… di mana?” Tanya sang gadis.
“Ini bangunan keramat.” Jawab Ary.
“Bangunan keramat?” Ujar sang gadis, bingung.
“Kenapa ane ning kene?”
“H-hah? Aku nggak ngerti.”
Ary menghela napas, “kenapa kamu ada di sini?”
Gadis yang masih kebingungan itu berusaha mengingat apa yang terjadi dengannya, namun berakhir dengan gelengan kepala.
“Kamu kayaknya bukan orang sini,” ujar Ary. “Mending kamu ikut aku dulu ke rumah. Siapa tahu kamu bisa inget sesuatu. Oh ya aku lupa. Kenalin, aku Ary.”
Gadis itu menerima uluran tangan Ary, “Yola.”
Setelah itu, Yola mengikuti Ary ke rumahnya.
***
“Duduk aja dulu di sini, aku ambilin teh dulu.” Ujar Ary pada Yola sembari berlalu.
Yola duduk di ruang tamu di rumah itu. Ia disuguhi berbagai benda pusaka dan buku-buku kuno di setiap sudut rumah.
Tak lama, Ary kembali membawa dua gelas teh hangat untuk mereka.
“Ini Yol, minum dulu.”
Yola menyesap teh hangat yang disuguhi Ary. Ia langsung merasa lebih tenang. Kemudian sesosok pemuda yang terlihat lebih tua daripada Ary datang.
“Ry, siapa tuh? Temenmu?” Tanya pemuda itu ketika melihat Yola dan Ary duduk di ruang tamu.
“Oh bukan, Ga. Ini Yola. Aku nemuin dia di bangunan keramat itu.” Jawab Ary santai.
“Hah? Nemu?!”
“Iya nemu.” Jawab Ary. Pemuda itu langsung ikut duduk dengan mereka berdua dan tanpa basa-basi bertanya pada Yola.
“Kamu kenapa bisa ada di tempat itu? Kamu bukan orang sini, kan?” Cerocos si pemuda.
“Oi, nanya satu-satu napa? Kenalan dulu kek.” Sahut Ary.
“Oh iya!” Ia berdeham, “aku Angga. Kakaknya Ary. Lanjut ke topik tadi. Kenapa kamu bisa ada di tempat itu?”
Ary geleng-geleng kepala dengan kelakuan kakaknya itu.
Yola menatap Ary sekilas, “aku nggak ingat kenapa aku bisa ada di situ. Tapi sebelumnya aku sempat baca buku yang isinya aksara-aksara aneh. Tapi ada satu halaman di mana ada sebuah bait yang anehnya bisa aku baca meski ditulis dengan aksara aneh itu.”
Mendengar jawaban Yola, wajah Angga mendadak pias. Tanpa babibu, ia keluar ruangan dan segera mengaktifkan ponselnya. Menghubungi seseorang yang diyakininya dapat menyelesaikan masalah ini.
(Bersambung)
Msh bingung dgn ceritanya
Tenang baru chapter 1 kok