Vitamins Blog

Heliosentris – Part 15

Bookmark
Please login to bookmark Close
21 votes, average: 1.00 out of 1 (21 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Part 15 – Apa Itu ‘Dekati’?

 

Hari kedua setelah eyang pergi.

Aku mencoba bangkit dari tempat tidurku dengan susah payah. Walaupun rasanya enggan untuk membuka mata dan melanjutkan hidup, namun tetap saja harus kupaksakan agar hidupku tidak benar-benar berakhir seperti keinginanku. Keinginan gila, lebih tepatnya. Rasanya setelah eyang pergi, sebagian kewarasanku hilang entah kemana mengikuti semangatku yang juga tersapu angin.

Dengan tertatih, kakiku melangkah menuju kamar mandi. Melakoni ritual pagiku seperti hari sebelum kemarin. Setidaknya, kuharap air dingin bisa mengembalikan kesadaranku dari keinginan menyesatkan. Aku tidak ingin mati dan berkubang di neraka karena terlalu larut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

_._._._

Sekolah masih dalam keadaan sepi seperti biasa. Udara masih terlampau dingin hingga membuat hidungku serasa membeku. Memang selain waktu yang masih terlalu pagi, sekolahku terletak di daerah yang cukup asri di tengah kota metropolitan ini.

Bukan arti yang sebenarnya. Asri yang kumaksud adalah banyak tanaman-tanaman menjulang tinggi dan berumur sekitar puluhan tahun yang tersebar di dalam area sekolah sehingga mampu menghasilkan oksigen yang jauh dari polusi. Begitupun dengan udara panas yang biasanya dijumpai di ibukota, sekolah ini memiliki hawa yang berbeda dari ibukota. Tidak panas, tidak berpolusi.

Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya sangat sejuk. Setidaknya, udara sejuk ini kuharap bisa membantu meringankan pikiranku sejenak. Itulah alasanku datang di pagi buta seperti ini. Ingin menenangkan diri dengan keadaan sekolah yang masih sepi. Mataku melirik sekilas ke arah pos satpam yang berada tak jauh dari posisiku. Seperti biasa, Pak Rahmat mungkin masih di rumahnya dan hanya datang kemari untuk membukakan pintu gerbang karena tahu dengan kebiasaanku yang selalu datang ke sekolah saat pagi buta.

Jarak rumahnya memang tak jauh dari sekolah. Bahkan bisa dikatakan, rumahnya berada tepat di belakang sekolah sehingga memudahkan beliau dalam menjalankan tugasnya.

Puas memandang, kakiku melangkah perlahan menuju kelas yang menjadi tujuanku. Apalagi kalau bukan kelasku. Kemarin aku tidak masuk, sehingga mungkin di daftar absensi tertulis keterangan alpa karena tidak ada yang tahu apa yang terjadi di hidupku kemarin-kemarin. Aku tersenyum tipis. Maklum saja, karena pada kenyataannya sejak berada di sekolah ini aku begitu tertutup. Tidak terlalu mempedulikan orang-orang yang menjadi teman seperjuanganku di sekolah. Mengapa?

Bisa dikatakan, aku terlalu berburuk sangka. Entahlah, tapi kurasa tak ada yang mau berteman denganku karena pribadiku yang amat tertutup atau mungkin mendekati idiot?

Ya mungkin saja, mengingat betapa seringnya Zara dan kawan-kawannya mem-bully-ku hanya karena wajahku yang dinilai terlalu bodoh dan memuakkan bagi mereka.

Aku menerimanya, meskipun dengan hati yang berdarah-darah. Siapapun tak akan mau hidup tanpa teman, tanpa ada orang yang mau mempedulikan, tanpa ada kasih sayang dari… Orang tua. Yah, siapa yang mau menjadi sepertiku? Aku pun tidak. Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai seorang Gladys Anindya. Aku tak pernah meminta siapa yang harus menjadi ibuku, siapa yang harus menjadi ayahku atau bagaimana takdirku. Aku sama sekali tak pernah meminta.

“Eh, lo udah masuk Dis?”

Aku menoleh terkejut ketika mendengar suara itu terdengar menggema di ruangan yang kujajaki.

Aku sedikit memiringkan kepalaku, merasa heran.

Di pagi buta seperti ini, sudah ada sudah ada siswa rajin yang berangkat?

Oh.

Aku mengerjap. Harusnya, aku tahu siapa yang melakoni kegilaan yang sama sepertiku. Karena seperti sebelumnya, aku juga pernah memergokinya berada di sekolah di waktu yang sama seperti waktu biasa aku berada disini.

“Udah, Kak.”

Aku mengangguk pelan ke arahnya seraya mencoba menarik kedua sudut bibirku untuk membentuk seulas senyum. Namun pada dasarnya aku tidak bisa berpura-pura, hal seperti itu tidak bisa kulakukan dengan mudah. Gagal. Semuanya hanya sia-sia. Aku sama sekali tidak memiliki bakat dalam seni peran.

“Udah baikan? Eh, kemarin lo sakit ‘kan? Gue kemarin ke kelas lo, tapi kata Yudha ketua kelas lo, lo nggak masuk. Tanpa keterangan lagi. Ya, nggak mungkin ‘kan kalo lo sengaja nggak masuk. Jadi gue asumsiin aja lo sakit. Terus gue bilang itu ke temen-temen lo kalo lo sakit dan suratnya nyusul.”
Seperti biasa, Kak Evan menyahut panjang lebar. Mengeluarkan segala hal yang ada di pikirannya dalam satu tarikan napas. Setidaknya, hal itu cukup menghiburku.

Aku terkekeh pelan, merasa lucu dengan ekspresinya yang berganti-ganti saat menuturkan kalimat tadi.

Kak Evan memang selalu jujur dengan ekspresinya.

“Iya, makasih.” ucapku sembari mengulas senyum hangat. Merasa berterima kasih dengan jasanya yang membuat daftar absensiku tidak ternoda oleh status alpa.

“Oh iya. Lo masih bimbingan sama Varel ‘kan? Ah kemarin Pak Ahmad nitip pesen, katanya dia mau ngetes lo hari Jumat. Ngukur kemampuan lo katanya sekaligus ngecek. Buat sementara waktu, beliau juga bakal gantiin Varel. Varel ‘kan udah nggak masuk dua hari ini. Nggak tau kenapa tuh bocah, gue juga nggak tau persis.”

Kali ini, perkataan Kak Evan cukup membuatku terdiam. Dari seluruh kalimatnya, hanya satu yang tersangkut di kepalaku.

Kak Varel nggak masuk? Dua hari? Berarti semenjak aku nggak masuk dia juga nggak masuk? Tumben sekali. Tapi, hal lain yang patut kusyukuri adalah itu artinya aku bebas dari kekejamannya untuk sementara waktu.

“Hoi, lo seneng banget ya kayaknya waktu tau Varel nggak masuk?”

Aku mendongak menatapnya dengan senyum yang tak mampu kututupi.

“Seenggaknya, aku bisa lepas dari hukuman Kak Varel sementara. Bukan berarti aku seneng sama keabsenan dia. Cuma… Yah kakak tau sendiri gimana tingkahnya waktu pura-pura jadi guru. Err… Serem.” jawabku mencoba memberi alasan kali ini.

“Hahahahaha… Serem? Hahahahaha… Baru kali ini ada yang berani ngatain dia serem.”

Di luar dugaan, justru respon yang kuterima darinya adalah tawa renyah.

Aku mengernyit bingung. Bukannya Kak Varel itu sahabat dekat Kak Evan ya? Kok dia tertawa saat aku mengatai Kak Varel? Wah, apa jangan-jangan Kak Evan hanya sahabat abal-abal ya?

“Oke. Stop. Perut gue bisa kram kalo kebanyakan ketawa. Lo lucu banget sih, Dis.”

Oh. Tapi, sayangnya aku tidak merasa.

“Ehem sebenernya Varel itu nggak senyebelin yang lo lihat. Itu cuma cover-nya aja. Gue sahabat dia semenjak masih ileran, gue tau gimana dia. Dia itu nggak kayak apa yang lo lihat.”

Aku mengerutkan keningku semakin dalam. Merasa tak percaya dengan apa yang kudengar baru saja.

Tidak seperti apa yang kulihat? Benarkah? Aku sangsi.

Kak Evan menghela napas.

“Jujur, gue juga nggak tau gimana keadaan keluarganya. Dia cukup open kalo temenan sama gue tapi nggak kalo soal urusan keluarga yang udah bentuk dia jadi kayak gini. But, aslinya sikapnya itu humble, jahil, konyol, bahkan tengil kalo sama gue kok. Beda jauh sama cover dia yang kelihatan kejam, judes, galak, dan ehem serem.” tuturnya lagi dengan memberikan penekanan di akhir kalimatnya.

Aku mengangguk pelan. Cuma cover ternyata? Tidak kusangka.

“Deketin aja dia. Pasti kalo Varel udah ngerasa nyaman sama lo, dia bakal ngelepas semua cover busuknya dan lo…” Ia menujuk tepat wajahku dengan jarinya.

“Bakal nganggep kalo Varel nggak seburuk yang lo pikirin.”

Hah? Apa harus begitu ya?
Aku mengerjap, berpikir dalam mencerna semua ucapan Kak Evan beberapa detik yang lalu.

Dekati? Dalam artian seperti apa? Bukankah definisi dekati itu banyak? Lalu, dekati seperti apa yang Kak Evan maksud?

“Eh, tapi jangan terlalu deket sih Dis. Gue masih belum siap harus saingan sama sahabat gue sendiri hahahahaha…” ujarnya lagi disertai dengan tawa renyah di akhirnya.

Saingan? Kenapa harus saingan?

_._._._._

To Be Continue~

1 Komentar

  1. Tks ya kak udh update.