Vitamins Blog

Heliosentris – Part 8

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

19 votes, average: 1.00 out of 1 (19 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Part 8 – Definisi Egois

 

Aku menghela nafas pelan saat menatap pantulan diriku di cermin.

Mengerikan sekali. Seperti bukan Gladys yang biasanya. Kantung mataku hitam dan mataku terlihat bengkak. Belum lagi dengan wajahku yang nampak pucat. Pasti Eyang akan menanyaiku macam-macam kalau melihatku keluar kamar.

Nduk, sampun napa dereng?”

Note :
°Nduk, sampun napa dereng?
=> Nak, sudah atau belum?

Sampun, Eyang.”

Note :

°Sampun, Eyang.
=> Sudah, Eyang.

Dengan lesu, aku melangkah keluar kamar. Menunduk adalah satu-satunya cara paling efektif untuk saat ini. Aku tak mau eyang melihatku yang baru saja menangis semalaman.

Ayuh~”

Note :

°Ayuh.
=> Ayo.

Syukurlah. Eyang ternyata tidak menelitiku kali ini sehingga aku bisa menyembunyikan keadaanku.

Gladys yang malang…

_._._._

Tuk tuk tuk

Bunyi sepatu yang bersentuhan dengan lantai terdengar menggema di sepanjang koridor yang kulewati. Suasana masih amat sepi seperti biasanya.
Aku mengucek sebelah mataku yang terasa berat pagi ini. Andai saja aku tau jika efek akibat menangis semalaman adalah seperti ini, maka aku akan lebih memilih menangis beberapa jam saja sehingga efeknya mungkin tidak akan semengerikan ini.

Gladys… Gladys…

Penyesalan kan memang selalu datang terlambat. Jadi buat apa kamu menyesal dan mengeluh setelah semuanya terjadi.

Aku menghela nafas.

Ya sudahlah. Menangis semalaman juga tidak ada buruknya. Setidaknya aku bisa sedikit mengurangi rasa rindu pada orang itu.

“Gladysssss…. Oh my God! Ternyata bener, kalo lo emang murid kerajinan!”

He? Kerajinan?

Aku mendongak mencari tau siapa yang barangkali tengah mengajakku bercakap.

Dia… Lagi!

Ya Allah, bisa tidak hilangkan lelaki itu sebentar dari sekolah ini.

Aku mendesah pelan.

Kenapa harus sekarang?

“Ya.” Sahutku acuh. Kembali kulanjutkan langkahku yang sempat tertunda. Terserahlah apa yang mau lelaki itu katakan. Aku benar-benar tak ingin mendengarkannya sekarang.

“Eh tungguin. Ih lo kok sekarang suka kabur-kaburan. Gue kan ngga maksud jahat.” Tanpa kuduga, ia mensejajarkan langkahnya denganku.

Yah, terserahlah. Memangnya apa pedulinya?

Wait!” Ia mencekal pundakku erat, memaksaku untuk berhadapan langsung dengan sosoknya. Ia menunduk.

“Lo… Habis nangis?”

Eh?

Aku tertegun sejenak lantas melepaskan cekalan tangannya. Membalik tubuhku paksa dan sedikit berlari meninggalkannya.

Awalnya, kupikir ia tak akan mengejarku. Namun semua dugaan itu hilang saat suara langkah kaki yang tergesa terdengar semakin dekat denganku.

“Tunggu!”

Sreeett

“APA SIH?” bentakku kasar begitu ia menarik lenganku paksa untuk berhenti berlari. Ia tampak terengah-engah, terlihat dari nafasnya yang berhembus satu dua.

Aku menatapnya datar tanpa emosi.

“Sebaiknya Anda tau batasan Anda dimana. Saya tidak suka seseorang mengomentari ataupun mencoba mencari tau bagaimana hidup saya.”

Ia membelalak mendengarkan perkataanku. Terlihat terkejut.

Bukankah aku sudah memberikan batas keras sejak awal bertemu dengannya? Seharusnya ia memahami itu.

Mungkin setelah ini, ia akan berhenti mengusikku. Itu yang aku inginkan sebenarnya.

“G-gue nggak ada niatan apapun. Gue cuma peng-“

“Terserah. Jangan ganggu saya.”

Dengan itu, aku menampis cekalan tangannya. Melangkah kembali menuju kelas dan merenungkan kembali apa yang telah terjadi.

Maaf. Maaf. Aku hanya ingin semua orang berada di batasnya masing-masing.

Batas yang sudah kutetapkan dan tak mungkin bisa ditembus oleh siapapun, mungkin.

_._._._

“Gladys…”

Aku menatap datar lelaki yang tengah berdiri di hadapanku.

Dia…

Apa perlakuanku tadi masih kurang jelas? Aku ingin semua orang yang tak penting dalam hidupku menjauhiku. Itu saja. Tidak ada yang lain.

“Apa?”

Evan duduk tepat di sebelahku. Ia melipat kedua kaki panjangnya dan berbaring menatap langit berawan. Suasana pagi yang hening ini sedikit banyak membuatku tak nyaman.

Bukan.

Bukan tentang kedamaian, tapi ini tentang lelaki yang ada di sebelahku. Aku mulai tak nyaman dengannya.

“Kenapa lo nyuruh gue menjauh?”

Kan? Sudah kutebak sebelumnya. Aku benar-benar tak ingin menjawabnya sekarang.

Pikiranku masih buntu dan hanya terpaku pada kenyataan Mama telah bahagia di luar sana, melupakanku.

Lalu, dimana Papa?

Itu pertanyaan yang selalu aku ajukan pada Eyang. Namun, yang kutahu mereka membuangku. Memang dalih awal adalah menitipkanku pada Eyang. Tapi, setelah itu….

Kemana mereka?

Apa yang mereka lakukan saat aku menangis diejek oleh bocah-bocah itu?

Kemana mereka saat aku mengeluh dengan biaya hidup yang luar biasa mahal?

Kemana mereka saat aku bahkan kebingungan untuk menjawab siapa orang tuaku? Aku-

“Dis…”

“Uh, ya.” Aku mengerjap. Ternyata aku melamun.

“Kenapa lo ngejauhin gue?”

Aku menghela nafas perlahan. Memang apa salahnya?

“Aku hanya bersikap biasa. Kita baru berkenal ah bukan. Kita bahkan belum berkenalan secara resmi. Kamu bukan siapa-siapaku. Aku hanya tidak ingin orang asing ikut campur dalam urusanku.”
Aku menjawab jujur. Pikiranku menerawang jauh.

Sebelum ini, tak ada yang benar-benar mempedulikanku. Bahkan hingga aku duduk di bangku kelas sebelaspun, sama sekali tak ada teman yang singgah menjadi sahabatku. Mungkin mereka terlalu jijik denganku atau dengan sifatku yang selalu acuh. Namun aku merasa nyaman dengan itu semua.
Jadi, kupikir semuanya akan tetap sama hingga akhirnya.

Tak ada teman yang akan mempedulikanku, tak ada orang yang akan mengerti dengan kehidupanku, dan semua orang tetap berada di batasnya. Itu keinginanku.

Pikiranku buyar seketika saat sebuah tangan terjulur tepat di hadapanku. Aku menoleh, beralih menatap sepasang onyx yang ada di hadapanku bingung.

“Kita emang belum kenalan resmi kan? Oke kalo gitu kenalin, gue Evando Kalvian Collins. Si bungsu keluarga Collins. Jago matematika, pecinta olahraga. Gue mau jadi temen lo.”

Deg

Teman?

Aku terperangah menatap uluran tangannya.

Ini….

“Ih, jangan dianggurin dong Dis! Jabat tangan gue.”

Eh? Memangnya harus balas menjabat tangannya? Tidak ada kewajiban tentang hal itu bukan? Lagipula, siapa juga yang mau berkawan dengan anak dekil sepertiku.

Dia belum melihat segalanya tentangku. Tentang sifat burukku atau tentang perangaiku yang jauh dari kata manis. Pastinya semua ini hanya semu belaka.

Dia… Belum mengerti aku yang sebenarnya.

“Aku nggak mau punya teman.” ucapku datar. Ia membelalak, tampak terkejut dengan balasanku yang tak terduga. Uluran tangannya, kembali ia tarik ke posisi semula.

“Kenapa?”

Aku memalingkan wajah. Enggan menatap matanya yang mungkin akan tahu jika air mata mulai berkumpul di sudut mataku.

“Karena nggak ada yang benar-benar peduli padaku.”

Usai mengucapkan itu, aku bangkit dari posisiku. Berjalan meninggalkan sosoknya yang tengah terdiam menatapku.

“KARENA LO NGGAK PERNAH BERUSAHA PEDULI SAMA MEREKA!”
Aku menghentikan langkah seketika. Dia mengatakan apa? Peduli?

Aku tersenyum sinis.

Tahu apa dia tentang peduli?

“Ya. Aku tak pernah peduli pada mereka termasuk Anda. Apa Anda puas?”

Sreeett

“Dengerin gue Dis. Dengerin gue!”

Lagi-lagi, aku dibuat terkejut dengan tingkahnya yang membalik tubuhku paksa. Namun, yang lebih membuat kadar keterkejutanku meningkat adalah rahangnya yang telah mengetat seolah menahan emosi.

Ya, aku mengetahuinya dari buku psikologi yang sempat kubaca di perpustakaan. Tanda-tanda seseorang sedang menahan emosi tingkat tinggi salah satunya adalah rahang yang secara refleks mengetat.

Jadi, apa lelaki ini sekarang tengah emosi padaku? Tapi… Emosi apa?

Marahkah?

“Gue cuma mau jadi temen lo. Gue pengin ngelindungin lo. Gue pengin selalu jadi tameng terdepan dari luka lo. Gue… Pengin ngertiin lo! Apa itu salah?”

Aku terhenyak. Bukan. Bukan dia yang salah. Dalam hal ini, kesalahan semuanya terletak padaku. Ya, aku.

Aku yang tak mau berurusan dengan orang lain karena semuanya hanya palsu. Komitmen pertemanan bagiku mustahil. Tak ada teman yang benar-benar ‘teman’.

“Lo nggak pernah kasih mereka kesempatan, maka selamanya itu yang bakal mereka dapet. Lo nggak pernah biarin seseorang berteman dalam sebuah hubungan pertemanan yang murni maka lo nggak pernah bisa dapet kesempatan untuk mendapat teman. Lo tau nggak gimana pandangan gue tentang hal itu?”

Aku tetap diam, sama sekali tak berniat untuk membalas ucapannya.

“Hanya manusia egois yang mau hidup sendiri. Lo punya luka. Oke, gue tau semua orang punya luka termasuk lo. Tapi, Dis apa mereka ngejauhin orang-orang yang ada di sekeliling mereka sekalipun mereka punya luka? Jawabannya NGGAK!”

Aku mengerjap refleks mendengar bentakannya di akhir kalimat.

“Cuma lo! Cuma lo yang menjauh dan nggak ngebiarin orang masuk ke zona nyaman lo. Cuma lo manusia egois yang nggak mau orang tau gimana keadaan lo! Itu kenapa lo selalu di bully sama Zara dan antek-anteknya. Karena lo nggak mau keluar dari zona nyaman lo. Lo harusnya bisa belajar dari itu semua. Tapi…”

Ia menggeleng pelan.

“Lo tetep berkubang sama dunia lo. Lo nggak ber-“

“Lalu apa peduli kamu?” potongku setengah mati menahan geram. Dia mengataiku egois, tapi apa yang dia tahu tentang definisi egois?

“Dengarkan aku baik-baik! Aku hidup dalam duniaku dan aku nyaman dengan itu. Kamu hanya bisa berkata tapi apa kamu tahu bagaimana sulitnya merealisasikan apa yang kamu ucapkan? Jadi diam saja dan jangan berkomentar mengenai saya. Anda bukan siapa-siapa!”

Dengan langkah bergetar, aku berbalik. Kali ini, bukan hanya berjalan biasa namun berlari kencang. Menjauhi tempat dan sosok laki-laki yang dengan seenak jidat mengataiku macam-macam.

Tch! Tahu apa dia tentangku?

_._._._

To Be Continue~