Evando’s Habit
“Nananana….”
Evan bersenandung pelan sepanjang perjalanannya ke cafe tempat ia membuat janji dengan teman-temannya. Sesekali ia tersenyum-senyum sambil menatap jalanan Kota Bandung yang tampak cukup padat di malam minggu ini.
Ciiitt
Ia memarkirkan sepeda motor kesayangannya di salah satu sudut tempat parkir yang tersedia. Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam cafe. Sepasang onyx miliknya mulai menjelajah ke segala penjuru ruangan.
“Van. Siniiiiii….”
Salah seorang temannya berteriak memberi kode keberadaan mereka.
Dengan senyum khas andalannya, ia mulai melangkah mendekati sebuah meja panjang yang penuh dengan makanan ataupun camilan di atasnya.
“Ah lo telat, Van.”
Sang pemilik nama hanya tersenyum singkat. Ia memilih duduk di kursi yang terletak paling ujung.
“Sorry. Gue abis nemenin sepupu beli kado.” Sebelah tangannya mulai melepas jaket kulit berwarna cokelat yang membungkus tubuh tegapnya lantas meletakkannya pada sandaran kursi.
Diam-diam matanya mulai menelisik satu per satu teman-temannya yang datang hari ini. Sebuah perkumpulan rutin yang selalu Evan cs adakan setiap dua bulan sekali. Evan merupakan pemrakarsa berdirinya perkumpulan itu. Mulanya, hanya terdapat Varel, Fian, Chandra, Rouffiq, dan dirinya saja. Namun dikarenakan sifat Evan yang terlalu ramah, semakin banyak teman-temannya yang ikut dalam perkumpulan itu seiring berjalannya waktu. Evan tak mau menyebutnya sebagai geng atau klik karena tujuan mereka berkumpul atau nongkrong hanya sekedar untuk melepas penat, berbagi kabar, ataupun bermain untuk menghilangkan kebosanan.
“Cie elah… Bilang aja lo habis buntutin korban baru lo hari ini jadi telat.” celetuk salah satu kawannya. Evan mendelik. Siapa lagi kali ini yang-
Oh tentu saja. Siapa lagi kalau bukan si kutu kupret Varelino Dhafian Arnellius. Manusia paling menyebalkan sepanjang masa ia hidup di dunia.
Sontak, orang-orang yang ada di tempat itu riuh seketika. Mereka sukses menjadikan Evando sebagai bahan bully-an kali ini.
“Cieee cieeee yang dapat mangsa baru ni yee… Bang, bagi-bagi dong ama kita-kita. Jangan ditelan bulat-bulat sendirian. Keselek ntar!”
“Asiiiikkk… PJ buat gue mana? Oi Van, lo laris amat. Gue aja yang ganteng-ganteng begini, masih belum taken.“
“Huuuuu itu sih lo yang kurang laku dodol. Ganteng dari Arab!!!”
“Hahaha antara gak laku ama jomblo berkualitas emang keliatan timpang banget.”
“Iya bener..”
Evan menyumpal telinganya dengan headset, sepenuhnya tak mau peduli dengan segala olokan mereka. Ia mencomot kerupuk udang yang tersedia di atas meja di hadapannya.
Krauk krauk
Memang kerupuk udang selalu menjadi camilan favoritnya.
“Van… Kapan-kapan kenalin ke kita-kita dong. Lo kan gak pernah bawa cewe. Nggak kata sebelah gue nih, genit.”
“Heh, maksud lo siapa Nyi Endit?”
“Iya bener tuh. Gonta-ganti cewe keseringan ntar lo kena karma loh Di!”
“Bodo.”
“Dasar centil.”
“Centil buat cewek bego!”
“Lo kan-“
“Udahlah. Cepetan makan. Ntar diserobot si Zaki tuh.” Ujar Evan mencoba menginterupsi percakapan ngalor-ngidul mereka. Sontak semuanya kompak menoleh pada sang tersangka.
“ZAKIIIIIIIIIIIIII ITU JATAH GUE!” seru mereka bersamaan.
Yeah, semua baru tersadar rupanya kalau lelaki bertubuh gempal di seberang meja mulai menghabiskan jatah makanan mereka.
Evan memutar bola matanya jengah. Selalu, seperti ini. Lalu, apa kabar dengan keadaan sebelum ia datang ke tempat ini? Bagaimana kalau Evan datang terlambat? Habislah sudah makanan yang ada di meja besar ini oleh lelaki satu itu.