Salah satu pimpinan dari penerbit yang memfasilitasi karya tulis PSA menjadi karya cetak berupa novel fisik menyebut dirinya sebagai penggiat dan pejuang buku. Lama saya mencerna sebenarnya apa yang diperjuangkan dari industri penerbitan buku ini. Akhirnya setelah beberapa sesi diskusi dengan beliau saya berkesimpulan tentang 2 hal yang saling bertautan :
1. Minat baca terutama pada generasi muda yang belum berakar dan membudaya di Indonesia (ini jelas perlu digiatkan, dan merupakan salah satu tujuan PSA juga)
2. Harga buku yang berpotensi meningkatkan minat baca seperti novel relatif masih mahal (ini perjuangan jangka panjang sejak dahulu kala).
Dunia penerbitan buku memang sejak lama mempunyai beban moral untuk meningkatkan minat baca tetapi di sisi lain industri ini juga dibebani oleh biaya produksi dan pajak yang tak bisa dihindari.
Idealnya memang buku (apapun itu) entah buku pelajaran, non fiksi maupun fiksi bisa didapatkan oleh konsumen dengan harga terjangkau bahkan murah.
Pemerintah, jika mempunyai pemahaman dan tujuan yang sama mengenai keterkaitan harga buku dengan minat baca, maka sudah sewajarnya untuk memberikan insentif berupa penghapusan beberapa pajak yang dikenakan pada industri penerbitan.
Bayangkan jika PPN untuk pembelian bahan baku produksi buku seperti kertas atau lem boleh dibebaskan dan atau penggunaan jasa distribusi buku yang boleh bebas pajak, maka dua hal ini bisa berpengaruh secara signifikan terhadap turunnya harga buku di market.
Walaupun PPN untuk penjualan secara retail tidak mungkin untuk dihilangkan, kecuali untuk buku pelajaran dan buku agama. Saya pikir harusnya hal inilah yang diangkat dan jadi fokus Tere Liye dalam menyampaikan protesnya, tapi kok jadi lumrah kalau kasusnya jadi salah fokus hanya ke pajak penghasilannya sendiri. Well…tanya kenapa…
Anyway…kemudian…apakah kita akan terus berpangku tangan sambil ngedumel mengenai pemerintah yang belum bisa memenuhi ekspektasi dunia penerbitan?
Tidak tentu saja.
Jika demikian maka dunia penerbitan lah yang harus berubah. Mereka harus berjuang dan beralih dari konvensional dan “sejak dahulu kala way” dengan menjual buku secara fisik menjadi menjual karya tulis secara digital.
Saat ini penjualan ebook yang dapat didownload kurang efektif karena begitu satu ebook terdownload maka akan tersebar lah ebook tersebut secara ilegal.
Maka salah satu solusi yang paling efektif adalah mengembangkan aplikasi mobile yang dapat didownload secara gratis di google play dan app store, kemudian ebook yang sudah dibeli hanya dapat dibuka melalui app tersebut. Hal ini sudah dilakukan oleh google dengan playbook nya, hanya saja untuk listing di google playbook sekarang sedang ditutup pendaftarannya karena banyak yang menyalahgunakan. Kalaupun bisa harus melalui akun orang lain dan itu akan mengurangi keuntungan penerbit dan juga tidak terlihat meyakinkan, masa penerbit besar numpang di akun orang lain, gengsi dong hehe.
Cara berjualan seperti ini akan menekan harga buku menjadi sangat amat rendah, pembaca akan sangat diuntungkan…karena penerbit terbebas dari biaya produksi mulai dari biaya bahan baku, distribusi, listrik untuk mesin, pegawai, pajak dst….Crazy…mungkin ini bisa menekan biaya sampai 60-70%. Sehingga kemudian penerbit bisa mengalokasikan biayanya ke marketing online yang lebih massive, kemudian penerbit juga bisa memberikan royalti yang jauh lebih besar kepada penulis (amiin), penerbit pun bisa menggaji karyawannya dengan lebih baik dan pada akhirnya penerbit juga akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Tapi sepertinya belum ada penerbit yang menginvestasikan uangnya untuk aplikasi mobile seperti ini padahal ini masa depan mereka lho. Feeling saya penjualan buku fisik secara offline akan segera beralih semua kepada penjualan buku fisik secara online dalam waktu 5 tahun ke depan, karena toko buku semakin terlihat malas menjual buku (aneh juga ya). Dan tahap berikutnya adalah kemajuan penjualan buku secara digital karena harganya jauh lebih murah daripada buku fisik.
Dunia berubah begitu cepat, kalau kita tidak berubah dan berinovasi mengikutinya maka kita akan binasa.
Salam penggiat dan pejuang buku fisik maupun digital.
Au5
Sebagai salah satu bookworms, aku lebih suka baca buku salam bentuk digital dobanding buku fisik.
Dan tentu saja aku juga lebih pilih beli ebook dibanding beli buku dalam bentik buku fisik…well its wayyyy cheaper :)
Makanya aku salah satu yang paling nunggu semua novel PSA bisa terbit dalam bentuk ebook…
Semoga gak lama lagi yaaaa..
Semangat dan salam cinta baca membaca…
Ya ampunnnnn..banyak typo nya komenku..sorry Kak…jari jari kegedean…jadi salah pencet deh hihihi…
Poin pertama emang ngena banget. Saya bersyukur menjadi sosok yg tumbuh dari kalangan keluarga yg giat membelikan buku untuk dibaca terutama ibu dan kakek (saat itu masih majalah bobo) dan bacaam ringan ensiklopedi disney dan buku2 dongeng. Sayangnya, ngga semua orang seperti saya. Minat baca di Indonesia itu…. dibilang rendah, ya , iya.
Jadi penggila atau kutu buku di longkungan sekitar pun masih dianggap aneh, nerd, geek–bukannya melihat membaca buku adalah sebagai bagian gaya hidup.
Aksi giat meningkatkan sadar buku bukan hanya pr penerbit untuk mengeluarkan buku yg terbaik, penulis untuk menciptakam karya yg nyaman untuk dibaca, pemerintah untuk menekan biaya produksi, bahkan para penyuka membaca pun haarusnya terlibat dalam meningkatkan sadar literasi.
Itu menjadi pr berkepanjangan ?
Poin 2.
Saya lebih seneng baca buku offline dibandingkan ebook. Ada kepuasan sendiri saat memegang buku untuk pertama kali, memilih2 judul di toko buku kemudian melapisinya dengan plastik supaya awet. Baca buku online cenderung saya tinggalkan, hahaha. Terlebih karena ga kuat natap layar tab lama2 dan merasa sudah cukup menatap komputer seharian di kantor, maka baca buku gaboleh liat LCD.
Semua tergantung selera masing2 sih yaa.
Ahh iyaaa memang tidak banyak orang-orang begitu punya niat membaca. Entah memang membaca bukanlah kegemarannya atau isi bacaan itu yang tidak terlalu menarik.
Kalau untuk ebook atau app macem playbook lumayan kreatif. Lumayan simple, relatif murah, dan juga praktis. Tapi kebanyakkan orang yang memiliki passion dalam membaca biasanya juga gemar mengoleksi buku-buku. Seperti kesenangan tersendiri memiliki banyak buku atau dikelilingi buku.
Kalau untuk ppn dalam perbukuan gitu jujur aku sendiri juga merasa terbebani kalo harganya bikin geleng kepala. :tidakks! :panikhati
Sebagai generasi pecinta baca, gw sendiri lebih suka baca buku offline.
Ada kepuasan tersendiri ketika bisa megang, baca dan ngerawat buku2 itu.
Masalah membangkitkan minat baca generasi muda, sebenarnya semua pihak harus bekerja sama. Mulai dr pengadaan perpustakaan yang mudah d jangkau, penanaman minat baca sedari dini dan kreatifitas dr penulis itu sndri yang bisa membuat orang2 tertarik buat membaca karyanya.
Kalo buku offline beralih ke ebook gw sendiri pasti sedih sih, secara seneng banget koleksi buku sedari dulu.
Menurut gw ebook kurang greget hahaha.
Tapi manusia pasti akan selalu mengikuti era yang berlaku, suka atau tidak suka.
Contoh di us sana ada radish mirip wattpad cuma setiap user klik itk baca setiap postingan dari writer maka dikenekan fee beberapa cent. Kalaupembaca nya sampai jutaan bayangkan brp royalti yg didpt penulis boleh ditiru app seperti ini
Saya lebih suka buku dalam bentuk fisik dari pada e-book. Alasannya sih nggak betah baca nya karena mata pegal wkwkwk. Dan saya lebih menyukai buku yang berjejer rapi di rak buku, dan buku yang berada di samping bantal sebagai teman tidur bahahhaa :LARIDEMIHIDUP. Segencar-gencarnya orang baca ebokk yang sampai saat ini saya hanya punya satu ebokk di ponsel. itupun novel sendiri eitsss dah wkwk.
Rasanya bahagia liat buku bertumpuk di kamar, walau suatu saat buku2 itu akan menguning. Suka bau kertas dari buku baru, wangi wkkwwk. Berharap toko buku tetap ada sampai kapan pun, menerbitkan dan menjual buku-buku keren :MAWARR :MAWARR :MAWARR
Hidup buku yang bukan e-book hihihi :tebarbunga :tebarbunga :tebarbunga