Part 5 – Pelindung
Aku tak pernah tau jika pulang sekolah usai Maghrib adalah ide yang benar-benar buruk.
Pandangan mencemooh dari orang-orang yang kulewati juga membuatku tak nyaman. Belum lagi dengan beberapa halaman gelap tanpa penerangan yang membuatku sedikit bergidik kalau-kalau ada makhluk abstrak yang memilih menyapaku di jalanan yang agak sepi ini.
Salahku juga sebenarnya karena di antara puluhan jalan yang sekiranya ramai, aku justru memilih jalan pintas yang agak sepi dan menyeramkan. Lelah, aku berhenti mengayuh sepeda dan berganti menuntun sepedaku. Kusempatkan untuk melirik pergelangan tangan kiriku.
Baru pukul 18.23.
Ini sih nekat namanya jika aku meneruskan perjalananku. Eyang pernah mengatakan bila adzan adalah waktunya manusia untuk berhenti sejenak dari segala aktivitasnya, terlebih adzan maghrib. Belum lagi sehabis maghrib, bagi orang-orang yang bisa melihat ‘sesuatu’ seperti eyang akan terlihat lebih banyak makhluk-makhluk yang berkeliaran ketika malam. Itu membuatku selalu was-was bila ingin keluar rumah saat malam.
Aku menghentikan langkahku ketika sampai di depan sebuah mushola. Memarkirkan sepedaku di tempat yang telah tersedia, lalu melepas sepatu dan beranjak untuk mengambil wudhu. Lebih baik beristirahat sebentar untuk menunaikan kewajibanku daripada nanti terlambat. Lagipula, Eyang juga pasti akan marah kalau tau cucunya ini mangkir dari kewajibannya.
_._._
“Ya Allah, Nduk. Pulang malam lagi?”
Eyang menghadangku begitu aku membuka pagar rumah. Aku menyandarkan sepedaku di salah satu batang pohon, lalu berlari kecil untuk menyalami eyang. Ia terlihat marah saat mendapati kondisiku yang lagi-lagi pulang dengan baju yang kotor. Aku meringis. Pasti untuk beberapa jam ke depan, aku benar-benar akan berakhir dengan berdiri kaku mendengarkan ceramah live-nya. Habis sudah waktu tenangku.
“Pokoknya, Eyang ndak mau tau. Kamu jelasin sejelas-jelasnya atau kamu Eyang hukum.”
Kan? Eyang pasti akan mengeluarkan ancamannya. Apalagi ia su-
Tunggu!
Aku menegang.
H-hu-hukuman?
Aku bergidik. Ini lebih mengerikan daripada melihat hantu sekalipun karena hukuman yang akan diberikan eyang benar-benar hukuman dan aku sama sekali tak bisa tahan dengan segala hal bertajuk hukuman dari eyang. Ini buruk! Benar-benar buruk.
“I-iya Eyang..” balasku lalu memilih menundukkan kepalaku. Tamatlah riwayatku.
_._._
Braakk
“BU IRA! KELUAR! BU IRAAA!”
Aku terlonjak kaget dari kegiatanku mengupas kacang tanah yang banyaknya bukan main, bangkit dari posisiku lalu sedikit berlari keluar mencoba mencari tau siapa tamu tak diundang yang dengan seenaknya berbuat keributan di rumah eyang.
Kulihat eyang baru saja keluar dari kamar dan menghadap tamu tak diundang itu.
Ya Tuhan…
Apa-apaan ini?
Aku menatap nanar beberapa -ah tidak lebih tepatnya banyak kue-kue yang dibuang dengan sengaja di hadapanku dan… Eyang!
Astaga, eyang pasti sedih melihat banyaknya makanan yang dihambur-hamburkan seperti ini. Apalagi kue-kue itu adalah buatan eyang.
“INI YANG NAMANYA KUE HAH? INI YANG NAMANYA KUE! ANAK SAYA MAKAN KUE YANG DIBELI DARI BU IRA DAN BERAKHIR KERACUNAN DI RUMAH SAKIT! POKOKNYA SAYA NGGAK MAU TAU. IBU HARUS BERTANGGUNG JAWAB ATAU KALAU TIDAK, SAYA AKAN SERET IBU KE POLISI!” teriak wanita paruh baya yang ada di hadapanku dan eyang.
Apa? Keracunan?
Sinting! Main tuduh seenaknya. Menyalahkan eyang lagi, benar-benar cari mati.
“Maaf, Bu. Tapi apa benar ini membeli kue dari saya? Sejauh ini para pembeli kue saya tidak mengeluh apa-“
“MAU MANGKIR? IBU TIDAK LIHAT KUE-KUE YANG SAYA LEMPAR? INI BUKTINYA! INI BUKTINYA!”
Ia menendang-nendang makanan yang tercecer di lantai itu kasar. Aku menutup mulutku, terkejut.
Seumur hidupku, eyang tak pernah memperlihatkan perilaku membuang-buang makanan walau sebutir nasi sekalipun. Lalu ini! Astaga, tidak beretika sekali kelakuannya.
Eyang hanya terdiam. Ia menatap makanan yang ada di dekat kakinya.
“Bisa saja Ibu membelinya dari orang lain lalu melemparkan semua kesalahan pada Eyang saya? Apa buktinya kalau ibu membeli kue-kue ini dari Eyang saya?” ujarku mengambil alih pembicaraan. Walaupun geram setengah mati, namun aku akan tetap mengutamakan tata krama dengan berkata sopan dan lembut. Tidak seperti orang yang ada di hadapanku!
“Kamu menuduh saya berbohong? DASAR KELUARGA KURANG AJAR! MEM-“
“Kurang ajar heh?” potongku cepat begitu mendengar kalimat makiannya. Ini soal memaki, jelas tak akan berakhir baik jika aku tetap mempertahankan unggah-ungguhku. Masa bodoh jika eyang akan menambah hukumanku. Dia menghina keluargaku!
“KAM-“
“Siapa yang kurang ajar? Saya rasa terbalik. Ibu yang dat-“
“BER-“
“DIAM!”
Ya Tuhan, maafkan aku karena membentak hamba-Mu. Tapi dia memang sudah kelewatan.
Ia membelalak. Sudut mataku menangkap hal yang sama terjadi pada eyang. Mereka sama-sama terkejut mendengar bentakanku.
“Perlu saya definisikan apa arti kurang ajar? Kurang ajar itu perilaku seseorang yang menerobos masuk ke rumah seseorang tanpa izin lalu membuat keributan. Kurang ajar itu sikap seseorang yang membuang-buang makanan dan menendangnya kasar. Kurang ajar itu perilaku seseorang yang berteriak-teriak marah tanpa alasan yang jelas dan pasti. Bag-
“Saya tidak boh-“
“SAYA BILANG DIAM!” bentakku sekali lagi. Aku benar-benar marah sekarang!
“Saya memang melihat makanan yang dibuang di hadapan saya. Tapi, yang saya lihat hanya makanan ini. Hanya makanan! Bukan sebuah bukti!” tandasku di akhiri dengan senyuman sinis.
Wanita itu tertegun.
Aku memilih melanjutkan.
“Dan, nyonya yang terhormat. Saya bisa membalikkan tuduhan tanpa bukti Anda dan bagaimana jika saya yang membuat laporan atas pencemaran nama baik ah mengganggu ketenangan orang lain sebagai tambahannya. Maka saya jamin, Anda akan tidur di lantai dingin di balik jeruji besi lebih dari 1 bulan.”
Bagus! Aku sepertinya harus bertepuk tangan untuk keberanianku yang satu ini.
“Ini memang baru ancaman namun jika Anda masih bersikeras untuk melanjutkan perdebatan maka saya jamin, Anda akan benar-benar mengalami semua yang saya katakan. Jadi, tolong…”
Aku menunjuk pintu yang telah terbuka lebar.
“Pintu keluar ada di belakang Anda.”
Ia menatapku tak percaya. Aku balik menatapnya datar tanpa ekspresi. Sepenuhnya berharap ia akan pergi secepatnya dari hadapanku sebelum aku mengamuk lebih hebat lagi.
Tanpa aba-aba, ia berbalik. Menutup pintu dengan keras hingga menimbulkan getaran pada kaca yang berada di sebelahnya. Aku mengerjapkan mataku perlahan.
Aku benar-benar melakukannya. Yeah, aku benar-benar membentak orang! Akhirnya…. Aku tau bagaiman-
Eyang!
“Nduk…“
Eyang menatapku penuh peringatan. Matilah aku…
“Eyang ndak pernah ngajarin kamu begitu.” Ah, alamat tak baik jika eyang sudah berkata begitu.
Aku menunduk pasrah.
“Ngapunten, Eyang.”
Note :
°Ngapunten => Maaf
_._._
To Be Continue~