Vitamins Blog

Heliosentris – Part 3

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

25 votes, average: 1.00 out of 1 (25 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 



Loading…

 

Part 3 – Lelaki Kemarin

 

Menjadi sepertiku sangatlah tidak enak. Dibenci orang-orang yang ada di sekelilingku, dicaci, di bully, dikambinghitamkan, bahkan dipandang sebelah mata. Tak ada yang mau berteman denganku. Bahkan untuk sekedar menatapku, mereka tak akan sudi.

Aku hanyalah gadis desa miskin yang mencoba meninggalkan masa laluku dengan pergi ke kota bersama nenekku. Menempati sebuah rumah lama peninggalan keluarganya dulu.

Namun aku sadar jika dimanapun dan sampai kapanpun, title miskin tetaplah akan kusandang hingga ke ujung dunia sekalipun.

Aku sadar. Bahkan amat sadar akan kondisiku yang serba kekurangan. Dengan eyang yang mencoba mencari nafkah dengan cara berjualan kue di pasar dan aku yang hanya mengandalkan beasiswa dari sekolah untuk bisa memperoleh ilmu dan mengejar mimpiku.

Aku tak berharap macam-macam. Impianku hanyalah ingin membuat seulas senyum di wajah senja orang yang begitu kucintai. Seseorang yang tak kenal lelah demi diriku yang bahkan tak bisa memberikan apa-apa selain beban untuknya. Aku ingin membuatnya bangga karena kesuksesanku nanti.

Nduk, makan dulu.”
teriaknya dari arah dapur. Aku menutup buku catatan yang sempat kubaca lantas bergegas menuju sosoknya berada.

Aku tersenyum kecil menatap sepiring nasi yang sudah tersaji di hadapanku.

Beruntung, hari ini aku bisa makan enak. Meski bagi sebagian orang, tempe dan kerupuk merupakan lauk yang membosankan. Tapi tidak denganku. Bagiku, ini sudah terlalu mewah. Eyang pasti bekerja keras untuk dua piring nasi yang ada di hadapanku.

Piye sekolahmu?”

Kami mulai berbincang ringan di sela-sela kegiatan rutin yang kami lakukan.

Aku mengangguk. Tak mampu bersuara saat mulutku terisi penuh dengan makanan.

Sae, Yang.” ucapku setelah menelan semua makanan yang menyinggahi mulutku. Ia mengangguk.

Note :
°Sae => Baik

Sosoknya memang tak banyak bicara. Eyang lebih suka memberikan tindakan daripada sebuah kata-kata. Namun karakternya itulah yang membuatku nyaman bersamanya. Berasal dari sebuah desa terpencil di Jawa, membuatnya tetap memegang teguh nilai-nilai adat istiadat serta norma-norma ketat yang berlaku di desaku dulu. Kesopanan adalah hal yang utama. Tak peduli pada anak maupun keluarga, solah bawa benar-benar harus diperhatikan. Itulah mengapa aku lebih sering bercakap-cakap dengannya menggunakan bahasa daerah. Lewih ngajeni, kata orang Jawa.

“Wau Adis angsal 100 wekdal ulangan matematika. Teng Pak Guru Adis dipunutus supados mucal kanca-kanca.” Celotehku panjang lebar. Seperti biasa, eyang hanya mengangguk-angguk.

Note :
°Wau Adis angsal 100 wekdal ulangan matematika. Teng Pak Guru Adis dipunutus supados mucal kanca-kanca.
=> Tadi Adis dapat 100 waktu ulangan matematika. Oleh Pak Guru Adis diperintah supaya mengajari teman-teman.

Namun meski begitu, sorot matanya yang terlihat bangga benar-benar tak dapat disembunyikan. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Dadaku terasa penuh hanya karena sorot matanya itu.

“Pinter ya.”

Ia memujiku. Aku hanya tersenyum lebar menanggapi pujiannya. Terlalu senang.

Matur nuwun, Eyang.”

_._._._

Untuk kesekian kalinya, aku mencoba menaikkan tasku yang terasa amat berat pagi ini.

Tentu saja berat. Hari ini merupakan hari terpanjang dari yang panjang yang akan ku lalui dalam satu minggu ini. Sebentar lagi, sampai di sekolah. Kukayuh sepeda tuaku lebih kencang untuk mempersingkat waktu. Rasanya benar-benar tak tahan dengan beban di punggungku.

Ciiittt

Bunyi ban sepeda bergesekan dengan rem terdengar menggema di pelataran parkir. Aku mengatur nafasku sejenak sebelum turun dari sepedaku dan berlari menuju kelas.

Keadaan sekolah masih tampak sepi. Tidak. Lebih tepatnya, amat sepi. Hanya ada seorang penjaga sekolah yang tengah mengangkuti sampah yang berada di tempat sampah masing-masing kelas. Sebuah pemandangan yang biasa kujumpai setiap kali menginjakkan kaki di sekolah.

Aku terbiasa menjadi orang yang pertama kali datang ke sekolah. Tak jarang, gerbang sekolahpun masih tertutup saat aku sampai.

Terlalu rajin?

Tidak begitu sebenarnya. Eyang harus pergi ke pasar pagi-pagi sekali agar seluruh dagangannya terjual. Otomatis hanya aku sendiri yang berada di rumah.

Untuk menghindari hal-hal yang tak di inginkan, eyang menyuruhku untuk berangkat sekolah lebih pagi. Tepatnya, bersamaan dengan waktu beliau pergi.

“Hoi!”
Aku menghentikan langkahku saat seruan itu menyambangi pendengaranku.

Puk

Aku menoleh secara spontan saat bahuku di tepuk oleh sebuah tangan.

Seorang laki-laki, tinggi, dan ia… Tersenyum?

“Lo yang kemarin kan?” Tanyanya. Aku menyipitkan kedua mataku, mencoba mengenali siapa sosok lelaki yang ada di hadapanku.

Dan…

Astaga! Dia kan yang kemarin…

“Aduh, Kak. Maaf. Maaf. Kemarin aku nggak sengaja. Sumpah itu refleks. Aku nggak niat buat gigit Kakak beneran.” Aku menyatukan kedua telapak tanganku erat.

Benar-benar tak disangka jika sosok lelaki kemarin ini mendatangiku. Entah dimana aku harus membuang wajahku nanti. Memalukan. Apa kata eyang kalau sampai tau kelakuan cucunya ini?

Lelaki itu terkekeh. Ia menepuk-nepuk bahuku pelan. Bahkan perlakuannya, membuatku menelan ludah susah payah. Sedikit merasa curiga sekaligus malu luar biasa.

“Lo unik ya? Buas lagi.” ujarnya di sela-sela tawa.

Aku mengernyit.

Hee? Unik? Buas?

Kalau unik, aku bisa terima. Tapi buas? Enak saja! Memangnya aku kerabat beruang apa, sampai dijuluki buas?

“Memang kamu siapa ngatain aku buas? Sopan sekali Anda!” desisku setengah mengejek. Kemarin dia menarik tanganku seenaknya, sekarang mengataiku seenaknya lagi. Memang lelaki kota kurang ajar.

“Woah~ santai Dek. Sensitif amat. Just kidding okey?” balasnya santai. Ia menyelipkan sebelah tangannya ke saku celana. Bibirnya masih menyunggingkan senyum lebar.

Ah, apa peduliku? Mengurusi orang sepertinya hanya akan membuang waktu. Dengan acuh, aku berbalik melanjutkan langkahku menuju kelas. Sedikit berlari karena ingin segera meletakkan tasku di bangku kelas.

“Heiii… Tunggu!”

Masa bodoh. Memangnya apa urusanku dengannya?

_._._

To Be Continue~

Note :

– Solah bawa = etika
– Lewih ngajeni = lebih menghormati