Vitamins Blog

Heliosentris – Part 2

Bookmark
Please login to bookmark Close

25 votes, average: 1.00 out of 1 (25 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 



Loading…

Part 2 – Malaikat Penyelamat

 

“Hahaha… Gadis dungu.. Rasain akibatnya. Sok pinter sih lo!”

Suara itu, tak pernah beranjak dari ingatanku, membuatku tersiksa.

“Nggak, aku takut gelap. Jangan tinggalin aku.”

Gelap. Aku takut gelap. Perlahan, nafasku mulai tersengal hebat. Seluruh oksigen yang ada diruangan itu seolah enggan menghampiri indera penciumanku.

“Mama.. Tolong Adis..” Mataku terasa semakin berat. Kemudian, semuanya terasa berputar disertai dengan telinga yang berdengung hebat. Yang kuingat terakhir kali hanyalah bayangan keremangan ruangan sempit nan pengap.

_._._

“Hoi Van. Mau sampe kapan sih kita nungguin orang tidur?”

Pe’a, dia pingsan dodol bukan tidur. Gimana sih, kan lo yang anak regu inti Palang Merah. Gitu aja nggak ngerti.”

“Ah elah, sama aja keless..”

“Sama dari Hongkong. Ketauan anggota gadungan kan lo!”

“Enak aja! Gue mena-“

“Nghh…”

Aku menggeliat pelan. Kepalaku terasa amat berat bahkan untuk sekedar membuka mata termasuk pekerjaan yang sangat sulit untuk dilakukan sekarang.

Mataku mengerjap perlahan mencoba menyesuaikan banyaknya cahaya yang masuk ke pupil mataku.

Mulanya terlihat samar, sebelum semuanya terlihat jelas. Benar-benar terlihat jelas.

“Heh, lo lama amat pingsannya. Ah udah sadar kan, Van balik yuk.” Aku memicingkan kedua mataku, menatap sesosok oh bukan. Lebih tepatnya dua sosok laki-laki yang mengenakan blazer identitas sekolah sama sepertiku.

Tunggu!

Apa yang terjadi?

“Tega bener lo, Rel. Ini udah sore, anterin dulu kek. Main pulang aja.” sahut lelaki lain yang masih duduk di samping ranjang tempatku berbaring.

Eh, berbaring?

“AKU KENAPA?” pekikku kaget saat menyadari kondisiku sepenuhnya. Dengan tergesa, aku memaksakan tubuhku untuk duduk. Hell! Apa yang terjadi? Kayaknya tadi aku masih baik-baik aja deh.

Lelaki yang masih berada di ambang pintu itu mendesis sinis. Wajahnya benar-benar terlihat tak bersahabat. Sayang sekali, wajah tampan itu tak dipergunakan dengan baik untuk menebar pesona. Eh?

“Lo pingsan tadi. Kita nemuin lo di kelas A. Dan karena kebetulan gue sama Varelino ini termasuk anggota Palang Merah, ya udah sih lo kita bawa ke sini.” Terang lelaki yang duduk di hadapanku. Tangannya menunjuk sesosok lelaki yang masih mengamati kami dalam diam dengan pandangan sinis.

Aku menghela nafas. Tentu saja aku pingsan. Bagaimana tidak, kalau si Zara dan antek-anteknya itu mengunciku di kelas setelah mengerjaiku habis-habisan. Belum lagi dengan keadaan kelas yang gelap tanpa cahaya. Sesuatu yang paling kubenci setengah mati dan membuatku hampir mati kehabisan nafas karena terlalu sesak.

“Oh, makasih udah nolongin.” ucapku yang di akhiri dengan seulas senyum.

“Ah kelamaan lo. Balik ayok, Van. Bisa geger sekampung Mommy nggak nemuin gue di rumah. Cepetan ah.”

Lelaki yang entah tak kutau namanya itu melengos begitu saja. Ia mengambil tas sekolahnya yang berada di atas meja lantas berjalan keluar ruangan.

“Hoi, Rel. Tunggu napa sih? Dasar anak Mommy! Eh, lo… Pulang naik apa?” teriaknya ke arah lelaki yang memiliki nama ‘Rel’.

Aku mengernyit.

Dan.. Apa dia sedang bertanya padaku?

“Kamu nanya sama aku?” tanyaku bodoh.

Dasar Gladys bodoh! Ya iya lah. Emang siapa lagi kalo bukan kamu? Lantai?

“Ish! Emang siapa lagi makhluk disini kalo bukan lo. Ah udahlah, gue anter. Ayok.”

Ia menyeretku turun dari ranjang dan segera melangkah keluar dengan tergesa-gesa. Aku meronta-ronta tak terima. Jelas saja tak terima! Memang dia siapa bisa menyeretku seenaknya. Dasar tidak berperi-keperempuanan!

“Ih lepas. Aku bisa jalan sendiri. Lepas. Lepaaaaassss…”

Kesal, karena diabaikan kugigit lengannya kencang dan berlari menjauh. Meninggalkan sosok lelaki kurang ajar yang tengah menjerit kesakitan di belakangku.

Masa bodoh! Dia memang sudah menolongku, tapi tak harus memperlakukanku seenaknya bukan? Rasakan! Siapa suruh menyeretku seperti kambing?

Dan… Astaga! Jam berapa sekarang?

_._._

Matahari telah benar-benar kembali ke peraduannya saat aku membuka pintu rumah. Hari ini benar-benar melelahkan. Seluruh tubuhku kotor akibat kejadian yang menimpaku beberapa jam yang lalu. Di siram dengan menggunakan seember penuh tanah lalu dikunci di dalam kelas. Hebat sekali! Namun, ini bukanlah yang pertama atau kedua kali. Bahkan hari ini terasa lebih ringan dibanding hari-hariku sebelumnya. Beruntung kali ini aku tak ditenggelamkan ke kolam seperti beberapa waktu yang lalu.

“Eyang…”

Hanya satu nama itu yang bisa kujumpai seusai pulang sekolah. Sosok yang telah merawatku sejak…

Entahlah aku pun tak bisa mengingat dengan benar, kapan tepatnya aku bersama dengannya.

“Sini…” sahut sebuah suara dari kejauhan. Sepertinya dari arah dapur. Dengan sedikit berlari, aku menghampiri sosoknya. Rupanya, eyang sedang memasak. Syukurlah, lagipula perutku benar-benar sudah terasa lapar semenjak siang tadi.

Nduk, sampun wangsul?” tanyanya lembut. Ia berbalik. Mengamati seluruh tubuhku yang mungkin terlihat sangat kotor. Kedua matanya sedikit melotot saat mendapati kondisiku.

Note :
°Nduk, sampun wangsul?
=> Sudah pulang?

“Masya Allah.. Piye toh niki. Kowe tes napa teng sekolah?

Ia berjalan memutari tubuhku. Aku tersenyum lebar, mencoba menegaskan jika aku tak apa-apa.

Note :
°Piye toh niki. Kowe tes napa teng sekolah?
=> Bagaimana ini? Kamu habis ngapain di sekolah?

“Niki Mbah. Eum… niku wonten tugas teng taman sekolah. Nggih Adis dipunutus supados mundut siti ingkang kathah. Namung kirang ati-ati dados dhawah.”

Ya Tuhan, maafkan aku. Kumohon, biarkan kali ini saja aku berbohong. Aku benar-benar tak ingin eyang khawatir.

Note :
°Niki Yang. Eum niku… wonten tugas teng taman sekolah. Nggih Adis dipunutus supados mundhut siti ingkang kathah. Namung kirang ati-ati dados dhawah.
=> Ini Eyang. Eum itu… Ada tugas di taman sekolah. Ya Adis disuruh supaya mengambil tanah yang banyak. Tapi kurang hati-hati jadi jatuh

Ia hanya mengangguk pelan lalu kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.

Aku mendesah lega. Syukurlah eyang percaya.

Dengan lesu, aku melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus mencuci pakaianku yang sudah tak layak dipandang.

Hari yang berat. Entah sampai kapan aku bisa menghadapi hari-hari semacam ini. Ya Tuhan, aku hanya memiliki Engkau sebagai kekuatanku.

_._._

To Be Continue~