Part 1 – Luka Yang Tak Akan Pernah Mengering
Cilacap, 21 September 2010
15.00 WIB
Aku masih diam di tempatku saat kedua orang itu masih saling berteriak di hadapanku tanpa menghiraukan keadaan di sekitar mereka. Tak sepenuhnya mengerti dengan apa yang tengah mereka ributkan kali ini.
Ya, lagi. Ini bukanlah pertama kalinya kedua orang itu saling berteriak di hadapanku. Dan ini juga bukan kedua kalinya aku duduk diam di posisiku layaknya penonton, menyaksikan drama perdebatan berujung menyedihkan seperti ini.
“Gara-gara kamu aku hidup seperti ini! Dasar pembawa sial!”
Aku mengernyit. Bahkan aku tak paham apa itu pembawa sial. Pembawa sial? Apa itu?
“Diam! Kamu pikir kamu siapa mengataiku seperti itu hah? Kamu penyebab semua ini. Kamuuuu!”
Plaakkk
Aku terlonjak kaget saat tangan lelaki paruh baya yang begitu kukenal mendarat tepat di tangan wanita yang kusayangi.
“Papa!” seruku nyaring seraya mulai melangkah mendekat. Mereka masih diam dengan mata yang saling menatap tajam satu sama lain. Aku menolehkan pandanganku pada salah satu dari kedua aktor di hadapanku.
“Mama nggak papa?” tanyaku pelan. Kedua tangan mungilku menggoyang-goyang pelan tubuh wanita yang selalu kupanggil dengan sebutan mama.
Aku khawatir dengan pipinya yang tampak berwarna merah mengerikan.
“Kita cerai.”
Kali ini, papa bersuara.
Ng? Cerai? Apa itu sejenis makanan?
“Fine. Kita cerai.” sahut mama, lagi-lagi menirukan ucapan papa sebelumnya. Lagi-lagi cerai. Apa itu?
Tanpa aba-aba Papa berbalik melangkah pergi, meninggalkan mama yang mulai menitikkan air mata. Tubuhnya merosot hingga sejajar dengan posisiku yang tengah berdiri.
Aku mengerjapkan mataku.
“Mama…” panggilku sembari memegang bahunya pelan. Namun tanpa kuduga, ia menepis lenganku yang semula berada di bahunya. Ia menatapku tajam.
“SEMUA GARA-GARA KAMU! GARA-GARA KAMU AKU SEPERTI INI. KALAU SAJA KAMU TIDAK LAHIR, KALAU SAJA KAMU NGGAK PERNAH ADA, AKU UDAH BAHAGIA. SEMUA INI GARA-GARA KAMU!”
Ia berteriak keras. Aku tetap diam di posisiku.
Jadi, semuanya karena aku?
“DIAM! DASAR PEMBAWA SIAL!”
Lagi, kata-kata itu yang menyambangi indera pendengaranku. Apa itu pembawa sial?
“Mama…” seruku tak mengerti. Aku semakin menautkan jari-jemariku ketakutan. Apa yang bisa ku mengerti sekarang? Pembawa sial, cerai, lalu? Bagaimanapun juga aku hanyalah gadis kecil berusia empat tahun yang hanya mengerti susu dan boneka teddy bear.
“KAMU! MULAI SEKARANG ENYAHLAH DARI HADAPANKU! AKU MEMBENCIMU. AKU MEMBENCIMUUUU….”
Satu hal yang kupahami. Saat seseorang mengatakan benci, maka orang itu tak menyukai orang yang dibencinya, seperti yang kulihat di film.
Mama… Membenciku?
Belum sempat aku merengek, ia berjalan tergesa ke arah pintu dan membantingnya hingga tertutup rapat. Meninggalkanku sendirian yang mulai terisak pelan dan menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.
“Mama… Jangan benci Adis. Jangan tinggalin Adis…”
_._._
Bandung, 4 Juli 2024
“Rasain lo hahahaha…”
Aku memeluk kedua lututku erat. Tubuhku bergetar karena tangis lirih yang coba ku tahan semenjak satu jam yang lalu. Kugigit bibirku kencang ketika suara-suara itu kembali bergema.
“Hahaha… Gadis dungu.. Rasain akibatnya. Sok pinter sih lo!”
Suara itu, tak pernah beranjak dari ingatanku, membuatku tersiksa.
“Nggak, aku takut gelap. Jangan tinggalin aku.”
Gelap. Aku takut gelap. Perlahan, nafasku mulai tersengal hebat. Seluruh oksigen yang ada diruangan itu seolah enggan menghampiri indera penciumanku.
“Mama.. Tolong Adis..” Mataku terasa semakin berat. Kemudian, semuanya terasa berputar disertai dengan telinga yang berdengung hebat. Yang kuingat terakhir kali hanyalah bayangan keremangan ruangan sempit nan pengap.
_._._
To Be Continue~