Vitamins Blog

Analisis keberatan Tere Liye terhadap royalti penulis

Bookmark
Please login to bookmark Close

Selamat malam,

Tergelitik untuk menuliskan sedikit analisis mengenai persoalan keberatan pajak royalti penulis yang sedang ramai karena diangkat oleh penulis kenamaan Tere Liye.

Ada yang janggal saat saya baca kembali ilustrasi di laman facebook beliau yang terlihat menggunakan perhitungan Pph progresif menggunakan layer, sehingga dengan penghasilan bersih royalti sebesar 1 M maka tanpa bisa menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), penghasilan penulis dihitung progresif menggunakan layer yaitu 5% untuk Rp 50 juta pertama, 15% untuk Rp 50-250 juta berikutnya, lalu 25% untuk Rp 250-500 juta berikutnya, dan 30% untuk Rp 500-1 miliar berikutnya, jadi total pph yang dibayarkan Rp 245 juta.

Sedangkan menurut Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi, pph untuk royalti penulis itu pph pasal 23 dimana tarifnya adalah 15% (jika punya NPWP dan jika tidak punya jadi 30%) dan itu final dihitung dari royalti bruto yang diterima penulis, jadi bukan perhitungan progresif dan itupun biasanya langsung dipotong oleh penerbit serta pajak ini bisa dikreditkan.

Tambahan lagi dalam keterangan tertulisnya, Ditjen Pajak menjelaskan, wajib pajak yang berprofesi sebagai penulis dengan penghasilan bruto kurang dari Rp 4,8 miliar dalam setahun dapat memilih untuk menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan NPPN. Dengan begitu, besarnya penghasilan neto menjadi 50% dari royalti yang diterima dari penerbit.

Jadi kalau menurut keterangan-keterangan di atas maka perhitungan saya adalah sebagai berikut.

Penghasilan netto royalti yang diterima penulis dalam setahun 1 M, itu artinya penghasilan bruto nya adalah 1.176.470.588 sehingga pajak royalti pph pasal 23 yang sudah dibayarkan dalam tahun pajak tersebut adalah sebesar 176,47 sekian juta.

Sekarang kita hitung kewajiban PPh tahunan penulis tersebut. Karena menurut keterangan ditjen pajak di atas penulis bisa menggunakan NPNN (Norma Penghitungan Penghasilan Neto) maka dari 1 M hanya dihitung setengahnya yaitu 500 juta yang kena pajak. Kemudian dikurangi PTKP 2017 (Penghasilan Tidak Kena Pajak) sebesar 54 juta, sehingga sisa 446 juta.

Kemudian kita breakdown pajak yang harus dibayar dari 446 juta tsb

50 juta pertama x 5% = 2.500.000

250 juta kedua x 15% = 37.500.000

146 juta ketiga x 25% = 36.500.000

Total PPh tahunan  terutang atas penghasilan royalti 1 M adalah sebesar 76.500.000

Jadi apakah harus bayar 76,5 juta di akhir tahun? Eits nanti dulu, masih ingat kan kita ada bukti potong Pph pasal 23 yang sudah dibayar dan dikreditkan sebesar 176,47 juta.

Jadi perhitungannya menjadi pph tahunan 76,5 juta – kredit pph 23 sebesar 176,47 juta, itu artinya ada lebih bayar hampir 100 juta dan ini bisa diajukan restitusi/pengembalian pajak. Walaupun ada kabar bahwa restitusi membutuhkan kesabaran ekstra untuk memprosesnya.

Jadi intinya apa dari review perhitungan ini?

Kita bisa menilai bahwa pajak royalti 15% jelas menunjukkan di akhir tahun jumlahnya jauh lebih besar dari kewajiban pajak si penulis itu sendiri sehingga harus direstitusi, kan ini aneh, harusnya ya jika mau fair maka pajak royalti disesuaikan besarannya dengan kewajiban Pph tahunan si penulis.

Kalau mau fair jika dibandingkan dengan kewajiban pph tahunan harusnya pajak royalti itu adalah dikisaran angka 7,5%.

Memang membayar pajak itu adalah perbuatan mulia karena digunakan untuk kepentingan umum yang luas, tetapi jika pada akhirnya perhitungannya kurang adil bahkan mengakibatkan effort ekstra dengan adanya restitusi kok rasa-rasanya menjadi kurang efisien.

Kemudian mengenai pajak berlapis yang dikeluhkan penerbit soal pengenaan PPN mulai dari produksi penerbitan hingga penjualan di toko buku yang pada akhirnya meningkatkan harga buku, menurut saya di satu sisi membayar pajak itu hal yang mulia, apalagi mengingat pemerintahan sekarang dapat meningkatkan kepercayaan publik atas penggunaan pajak ke arah yang lebih produktif. Langkah pemerintah sudah benar dengan membebaskan PPN untuk buku pelajaran dan buku agama. Dan di sisi lain jikapun ada pertimbangan di kemudian hari pada pembebasan PPN untuk buku-buku novel yang notabene adalah sarana hiburan adalah semata-mata agar minat baca terutama di kalangan muda meningkat. Karena cukup banyak juga novel-novel yang memiliki unsur pendidikan, sejarah dan nilai-nilai budaya luhur bangsa, mungkin novel dengan kriteria tersebut memungkinkan untuk masuk ke dalam pembebasan PPN. Pada akhirnya generasi muda mendapatkan literasi bermutu, menghibur dengan harga lebih terjangkau.

Demikian hasil analisis sederhana saya, jika ada kesalahan mohon dikoreksi.

Terima kasih.

Warmest regard

Author5

12 Komentar

  1. KA AU WOW AKU GAK BISA NGOMONG APA2 INI PENJELASAN KEREN BGT (terlepas dr masalah Tere Liye) tentang perhitungan pajaknya dan penjelasan yang lainnya, parah2 aku sampe melongo bacanya hihi

  2. Kalau punya facebook mimin share ini…sayang ga punya huhu.
    Memang intinya sih tetap keinginan penulis PSA supaya harga buku terjangkau oleh pembaca. Mimin tau banget gimana author 3 pusing tujuh keliling menyeseuaikan cerita EC yg diterbitkan sampai banyak sekali perombakan untuk mencapai harga yang tetap bersahabat.
    Sampai-sampai author 3 akan memilih untuk tidak diterbitkan jika harganya belum di bawah 100rb.
    Perjuangan berat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh berlapisnya pajak pada industri penerbitan buku.
    Andai saja satu lapis pajak bisa dibebaskan dari penerbitan buku, tentunya harga yang dibayar pembaca akan lebih murah.
    Tapi berandai-andai itu ga baik toh…jadi mari kita lakukan yang kita bisa selagi mampu.
    PSA mungkin kurang sejalan dengan Tere Liye dengan menghentikan penerbitan buku, walaupun secara umum “protes” ini memang satu2nya cara yang terdengar oleh pemerintah.
    Dari sisi pajak royalti PSA sama sekali tidak berkeberatan, karena dari awal semangat kita berbagi cerita secara gratis, jadi berkebalikan dengan Tere Liye yang awalnya berangkat dari royalti kemudian mungkin akan berbagi cerita di fb nya.
    Selama cerita di PSA menghibur orang banyak itu sudah cukup, kalau ada penerbit yang tertarik menerbitkan ya silakan, tidak ada yang terbit juga bukan tujuan kami, tetapi begitu terbit kami pastikan ceritanya memuaskan pembeli. Karena tujuan utamanya menghibur baik Vitamins baca gratis di web maupun beli bukunya.

    1. Beneran deh, falling in love sama PSA . gak sabar rasanya nunggu bulan depan buat dapet EC dipelukan :NGEBETT

  3. Karena saya engga ngerti perihal hitungan pajak, jadi nanti pasrah saja perkara royalti dan pajak royalti hehehe.

    Yang penting saat ini, pajak untuk buku pelajaran ( pendidikan ) dan buku agama masuk ke dalam bebas pajak oleh pemerintah. Karena buku-buku pelajaran dan agama memang adalah buku yang dibutuhkan anak bangsa, sudah selayaknya bebas pajak.

    Mengenai pajak royalti, saya sendiri engga keberatan kok dipotongnya. Toh bisa sedikit berbangga karena bisa menyumbangkan pajak untuk pembangunan bangsa dan negara, meskipun jumlah sumbangan pajaknya masih sangat2 sedikit dan engga sebanyak penulis-penulis yg royaltinya sudah milyaran, minimal punya kontribusi buat negara ini dari hasil karya, sudah alhamdulillah buat saya

  4. Pantesan kebanyakan penulis lebih memilih untuk Self Publishing. Tidak kena pajak sih hahahhaha. Dalam konteks penerbit (tradisional) penulis hanya mendapat sekian persen dari hasil penjualan hak penerbitan (rights). Sebaliknya, dalam self-publishing, hasil penjualan atas hak penerbitan sepenuhnya menjadi milik penulis (self-publisher).
    Cuma ya, itu rempong banget kl SP belum pengurusan ISBN, bayar Editor, cover, layout, promos serba sendiri kerjakan sampai ke biaya cetak. Juga memerlukan fans yang banyak kalo mau laku bukunya terus menjangkau kemana-mana walo nggak mejeng di toko buku. :LARIDEMIHIDUP
    Indie juga sama sih potong pajak PPH juga oleh penerbit, walau pembagian 60 : 40 dan nggak mejeng di toko buku :PATAHHATI . Terima kasih pencerahannya Au5 :HULAHULA (maaf comment kagak jelas ini) :LARIDEMIHIDUP

    1. Saya juga lagi pikirkan untuk membuat suatu aplikasi yang bisa menjual karya tulis dalam bentuk digital. Jadi semua penulis bisa melakukan self publishing dengan mudah. Eh baru aja dipikirkan udah ada yang bikin, cekidot karyavirtual.com
      Tapi memang tetep harus urus ISBN, editing, layout dll sendiri juga. Tapi hak penerbitan tetap ditangan penulis lho. Super cool, ini bakalan jadi masa depan penjualan karya digital.

  5. Errr penjelasanmu kak au cukup memanaskan mesin otakku yang udah berdebu karena udah lama gak kuliah :LARIDEMIHIDUP
    Menurut aku tarif pajak terbilang seperti harga mati sih. :| Aku jadi inget ada kasus tarif pajak pph badan pp 46 sama ps 31E juga terbilang gak adil. Badan dengan Ph 4,8M.
    Kalau untuk ppn atas buku khususnya novel kalo boleh jujur kita gak bisa memandang sebelah mata juga ya. Aku kurang paham sih, saat penjualan buku kan yang dapat penghasilan si penerbit itu bukan?Kalo iya, mungkin karna novel terbilang barang dagangan bagi si penerbit jadi memang sepantasnya dikenakan pajak. Kalau untuk buku pelajaran mungkin karna untuk pendidikan jadi sudah sepantasnya dibebaskan.
    Yang aku denger tarif pajak di Indonesia terbilang cukup rendah dibanding negara lain.
    Makasih kak au penjelasannya~
    Sekarang jadi paham serpak terjang penulis menghadapi pajak.

    1. Kepotong aihh.
      *Badan dengan Ph 4,8 M

    2. Masih kepotong jugaa :PATAHHATI :LARIDEMIHIDUP

    3. Saya juga sependapat kalau PPN sudah seharusnya dikenakan pada penjuala buku yang konten nya bertujuan menghibur. Hanya saja mungkin dari hulu produksi seperti pembelian bahan baku kertasnya sebaiknya jangan dikenakan PPN, atau jika proses distribusi menggunakan pihak ketiga juga sebaiknya jangan dikenakan PPN lagi. Makanya PPN di industri penerbitan itu berlapis, mulai penyediaan bahan baku, distribusi, penjualan retail hingga PPh royalti penulis. Jika pemerintah serius ingin meningkatkan minat baca pada generasi mudah harusnya industri penerbitan buku mendapatkan keringanan minimal pada pajak bahan baku dan distribusi. Keduanya akan membantu menurunkan harga buku secara signifikan.

  6. dari kemarin2 ini masih berusaha memahami perhitungan pajak royalti yang menjadi dasar keberatan dari author Tere Liye, dan penjelasan dari author 5 jelas sangat membuka wawasan.

    Tetap semangat dalam berkarya para author, sebagai reader aku akan mendukung sebisanya dengan membeli hasil karya kalian walaupun saat ini masih banyak pajak berlapis dalam penerbitan buku.

  7. wow…baca sharing ini bolak balik bikin tergugah untuk memberikan komentar.
    agak menyesal juga waktu jaman sekolah ketika membahas perpajakan tidak terlaku faham, karena mentok di hitungan dan angka… xexexe.

    bagaimana pun cara hitung nya pajak adalah pajak, sebagai masyarakat mau tidak mau kita ya tetap harus patsun jika pemerintah sudah menetapkan kewajiban tersebut, tetapi itu juga bukan harga mati karena jika kita sebagai masyarakat mempunyai keberatan atau pun cara pandang dan cara hitung yang lebih baik, lebih logis serta lebih adil tentu nya dapat kita sampaikan dengan cara yang santun pula kepada pemerintah tentang pendapat kita tersebut.
    apa lagi sebagai penulis tentunya senjata yang dapat di gunakan adalah pena dan tulisan nya. mudah-mudahan apa yang di tulis dapat mempengaruhi banyak orang melalui tulisan nya tersebut.
    betul sekali banyak kebijakan pemerintah yang kontradiktif, salah satu nya di bidang pendidikan minat budaya baca di Indonesia yang terus menerus berusaha (kata nya) di tingkatkan, tetapi di sisi lain tanpa dukungan semua effort yang ada untuk meningkatkan budaya baca tersebut ya tentu nya mau sebagus apa pun usaha meningkatkan budaya baca tersebut ya bakalan sulit terlaksana bukan?
    salah satu effort yang harus juga di dukung adalah penulis, penerbit, distributor dan semua sektor dari hulu ke hilir istilah nya sampai sebuah karya tulis dapat di baca dan di nikmati oleh pembaca. bagaimana bentuk dukungan ini? ya tentu nya dengan usaha memberikan kemudahan dan keringanan agar sebuah tulisan dapat di nikmati dengan harga yang pas terjangkau untuk setiap segmentasi pasar nya.
    kenapa menurut saya segmentasi pasar?
    karena ini sangat berpengaruh pada budaya baca yang ingin di bangun. kebiasaan membaca seperti juga kebiasaan yang lain harus di mulai sejak usia dini….jika sejak kecil orangtua sudah membiasakan anak nya untuk lebih mendahulukan membelikan buku sebagai didikan awal, maka anak tersebut tentu nya sudah punya dasar yang cukup kuat untuk tumbuh dengan minat baca dan menghargai bacaan (apa pun bentuk nya untuk kondisi sekarang). tetapi coba kita lihat juga bagaimana harga buku bacaan anak saat ini? apakah harga nya di pasaran sudah cukup ‘pas’ bagi mayoritas masyarakat Indonesia?
    masih banyak orangtua yang berfikir daripada uang nya untuk beli buku anak, sepertinya masih lebih diperlukan untuk tambahan gizi pada makanan atau bahkan sekedar untuk lebih bergaya pada apa yang dipakai baik itu pakaian atau pun malahan mainan, lagi-lagi alasan nya adalah harga buku (anak) masih cukup mahal ya. kenapa bisa mahal? ya karena banyak faktor dari ongkos produksi hingga akhirnya urusan pajak berganda yang jadi topik awal di sini. nah jika sudah begini, bagaimana budaya baca bisa berkembang…kemudian lanjut ke segmentasi buku hiburan, kategori nya apakah masih merupakan kebutuhan sampingan atau sudah merupakan kebutuhan utama?
    lagi-lagi kondisi di Indonesia tentu nya belum dapat di persamakan dengan di negara lain jika melihat perkembangan dunia literasi nya di segment ini.

    pajak itu salah satu cara negara untuk dapat membiayai kebutuhan negara yang sangat besar ini apalagi jika negara ingin berusaha terbebas dari hutang ke pihak lain. tetapi tentu saja perhitungan pajak tersebut tetap harus adil, proporsional serta lebih banyak maslahat nya di bandingkan mudoratnya.

    memang tidak mudah mengurus negara itu, tetapi sepanjang kita masih punya keyakinan terhadap pemerintah kita akan melakukan yang terbaik untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat, maka kita harus dapat mendukung semua program pemerintah tersebut dan berhak untuk mengingatkan jika ternyata pemerintah melakukan kekeliruan dalam kebijakan nya, tentunya agar dapat tersampaikan dengan benar maka penyampaian tersebut harus sesuai dengan aturan yang berlaku.

    duh…panjang juga ya….
    gpp ya Au….inti nya saya mendukung dunia kepenulisan dan budaya baca yang harus terus menerus di berdayakan di semua sektor ya… sesuai juga dengan kapasitas saya.
    dan walaupun era digital mulai merambah dunia literasi, saya masih tetap konvensional cinta buku secara fisik, walopun jika diskusi dengan teman2 di LH yg cinta tumbuhan, mereka akan lebih mendukung digitallisasi buku untuk mengurangi produksi pohon yang di tebang untuk jadi lembaran kertas (eh ini diskusi yang lain lagi ?).

    selamat berjuang terus…
    Jaya lah dunia Literasi Indonesia…
    salam,
    pembaca setia PSa…???