1
[Mata Cakrawala di puncak Mahameru]Gue melihat lurus kedepan, dimana jalanan terjal terus menanjak semakin tidak bisa terdeteksi.
Gelap malam bergelut dengan sang fajar, malam yg gigih dalam mempertahankan gelapnya, meski ia tahu fajar tetap akan mendesaknya untuk berkompromi dengan matahari.
Angin nggak mau kalah dengan membuktikan eksistensinya, membawa debu vulkanik menerpa wajah gue yg menggunakan masker hitam, dengan sabar gue menghembuskan nafas hangat yg segera bersingungan dengan udara dingin gunung Semeru.
Pemandangan disekitar gue begitu rapat, tapi bisa gue pastikan keindahan yg akan gue dapat begitu gue udah berada di puncak nanti, bayaran yg cukup buat semua jerih payah ini.
Kaki gue menapak jalan yg salah, jalan berbatu itu membuat gue terpeleset dan hampir jatuh, berpegangan kepada ranting tubuh gue mendadak didorong dari belakang, gue menoleh dan menemukan secarik mata cakrawala memandang gue dengan hangat.
“hati-hati mas.” Serunya lirih. Gue yg sudah berhasil menjejak tanah dengan normal giliran mengulurkan tangan untuk membantu dia melewati tanjakan terjal.
“makasih” gue berujar berbarengan dengan dia, membuat gue terlihat seperti sedang main FTV. Gue nggak bisa berbincang walau ingin, dinginnya malam yg menuju pagi ini mendesak siapapun yg benar-benar ingin mencapai puncak untuk terus berjalan.
.
Puncak semeru memberikan buah manis perjuangan, gue tersenyum, buat kesekian kalinya gue persembahkan puncak semeru kepada satu nama, Tuhan gue, setelah berujar syukur, seperti kebanyakan pendaki gue mengambil gambar.
Semeru ini, dari awal mendengar nama gunung itu gue sudah kagum, seperti layaknya mahadewa, dia begitu agung dan gue mengagumi semeru sebagai karya indah tuhan di bumi Indonesia ini.
Menancapkan bendera merah putih , gue mendengar sorak sorai para pendaki yg berhasil merayakan kemerdekaan di puncak tertinggi Jawa, gue tersenyum buat yang kesekian kalinya, datang ke Semeru ini bukanlah hal mudah, meninggalkan pekerjaan dan banyak hal, keinginan yg datang tanpa terencana, sampai sumpah serapah beberapa teman gue yg gue ajak muncak mendadak , tapi bagi gue itu nggak papa, semuanya sebanding dan terbayar impas ketika gue sudah menghirup nafas di puncak semeru, di tujuh belas Agustus, tujuh belas Agustus untuk yg kesekian kalinya tuhan membiarkan gue bertemu lagi dengan tanggal ini.
Tujuan gue sudah terpenuhi, dan sisanya hanyalah romantisme gue kepada Mahameru, berpaling dari gumpalan awan yg menjelajahi langit jawa, gue menemukan mata cakrawala itu bersingungan dengan gue. Wanita itu udah melepaskan tudung kepalanya sehingga membuat rambutnya tersisir angin, tampak cantik, gue terpesona barang sekian menit, dia tersenyum tampak mengenali gue. Gue membalas senyumannya dengan cangung.
Bayu menepuk pungung gue, sekejap, gue menoleh dan Mata cakrawala itu sudah nggak ada lagi di sekitar. Gue menoleh kembali kepada bayu yg mulai rese karena gue cuekin.
“Ger, Theo kakinya bengkak, Istri gue juga sudah pasti geger karena baterai hp gue lowbat, jadi setengah jam lagi kita turun” Gue mengiyakan dengan anggukan malas.
“lo tumben jadi jomblo pengertian ?” ejekan bayu menyusul dengan tawa keras Theo yg duduk di pasir nggak jauh dari tempat berdiri gue dan bayu.
“untung Indonesia lagi merdeka bay” gue berdesis
“lah apa hubungannya?” Theo yg kakinya bengkak itu bersuara.
“emangnya kalau hari ini hari kartini, lo mau apain gue Ger?” kali ini bayu menjawab.
“gue telanjangin, gue gantiin lu pake kebaya” Theo masih tertawa terbahak-bahak, dan gue nggak mengerti kenapa kejombloan gue menjadi ejekan publik, oke, bener sih, diantara dua ingus gajah ini Cuma gue yg belum berpasangan, Aji Bayu menikah empat tahun lalu dan sudah dikaruniai dua orang anak, karena dia memang sangat produktif dan kreatif, Theo Bramantyo sudah OTW , bulan lalu dia baru tukar cincin.
…
Namanya Arita.
Gue memperoleh secarik nama itu bersama dengan segelas kopi mengepul di Ranu kumbolo, rombongan memutuskan untuk ngopi dulu sebelum turun gunung.
Ternyata gue masih belum melupakan mata cakrawala itu, gue sih nggak banyak bertanya, serombongan ini banyak anak muda, anak kampus, nggak hanya dari Lingkar Malang, tapi memang kota tempat gue menempuh pendidikan S 1 lima tahun lalu itu memang mendominasi.
Gue berdehem ketika anak-anak banyak bersorak ketika Arita lewat dekat rombongan gue.
“inget umur Ger, masak iya lo doyan Mahasiswi ?.” kaimat halus nan menghina itu sekali lagi gue dapat dari mulut tidak berfaedah Aji Bayu, kalimat yg gue sendiri berusaha menyangkalnya.
“kena pesona Arita juga ini anak !” serentak gue menoleh ke arah suara riuh di tenda sebelah, begitu pula Bayu.
“Anjay, saingan lu mahasiwa bray !” Bayu berseru lagi sambil tertawa. Ini bapak-bapak hobi banget merendahkan gue, gue nggak berkomentar dan kembali fockus ke kopi gue.
Di depan gue terbentang danau Ranukumbolo, gue tersenyum ketika menyecap kembali kenangan disini. Gue masih Maba ketika hampir delapan tahun lalu gue pertama kali menjejaki Semeru. Keindahannya masih teramat sangat, dan nggak bisa dibilang gini-gini aja, karena kelestarian adalah nafas Alam, banyak perubahan memang, seperti pengunjungnya yg semakin banyak, gue hanya berharap mereka bisa menjaga semeru, seperti Semeru yg menerima mereka apa adanya, sebelum gue benar-benar meninggalkan tempat ini gue memejamkan mata dan menghirup udara sejuk Semeru.
“Karena Tuhan adalah pengampun, dan gue adalah seseorang hina yg berdoa kepadanNya, gue nggak masalah kalau harus menanggung rasa bersalah ini selamanya, gue hanya ingin apapun yg bersisa bisa bahagia.”
.
[AN]
Dan akhirnya gue menulis juga.
..
Once again, Selamat ulang tahun INDONESIA, negaraku,
mau hadiah apa ?