Claudia membuka pintu kamarnya dengan keras hingga Barbara yang berada di belakangnya terkejut dengannya. Claudia berjalan tergesa-gesa. Wajahnya di tekuk, matanya memerah, begitu juga dengan wajahnya. Ia duduk di pinggir ranjangnya, lalu menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangannya.
Barbara yang bingung segera menghampiri Claudia dan duduk disampingnya. Claudia tengah menangis, ia bisa mendengarnya dari balik bahu Claudia. Tangan yang menyembunyikan wajahnya yang manisnya mulai berair dan basah. Telah menjadi tugasnya untuk selalu berada di samping majikannya bagaimana pun situasinya. Barbara menyentuh bahu Claudia dan mulai menenangkannya.
“Tuan Putri…” Barbara memanggil dengan lembut. “Tenanglah, apa yang terjadi?”
Claudia tidak menjawab. Ia tetap menyembunyikan wajahnya di balik tangannya.
“Tenanglah. Ceritakan kepadaku, mungkin saja aku bisa membantu.”
Perkataan Barbara membuat Claudia menaikkan wajahnya. Wajahnya yang merah dan berair menatap Barbara dengan tatapan sendu.
“A-Aaron… A-Aaron…” Untuk awal hanya itu yang ia katakan.
“Hm? Pangeran Aaron? Ada apa dengannya?”
Mendengarnya membuat Claudia kembali menumpahkan air matanya. Wajahnya semakin memerah dan ia segugukan. Claudia mulai mengatur nafasnya untuk menjelaskan semuanya kepada Barbara.
“Aaron… Dia…” Mengingatnya membuat Claudia kembali merasakan sakit dihatinya. “Aaron memeluk wanita itu… wanita penghibur itu, Ilana.”
Barbara membelalakkan matanya. “Benarkah?”
Claudia masih mengangguk. “Iya… Aku melihatnya di taman,” Claudia menghapus bekas airmatanya. “Mereka saling berpelukan. Aku tahu… Aku tahu Aaron masih mencintainya. Karena itu ia tidak mencintaiku. Karena itu ia tidak menyentuhku…”
Claudia kembali menangis. Barbara memahami semua yang diceritakan oleh Claudia kepadanya. Lalu, memegang bahu Claudia, menyuruh Claudia untuk menatap kepadanya.
“Tuan Putri, aku punya cara untuk mengatasinya,” Ucap Barbara dengan nada yang misterius.
Claudia mengangkat sebelah alisnya. “Cara apa?”
Barbara membisikkannya kepada Claudia. Awalnya Claudia mendengarkannya, tetapi akhirnya ia memahami “cara” yang dimaksud oleh Barbara.
“Apa itu cara yang terbaik?” Tanya Claudia, ia masih merasa ragu.
“Aku yakin, Tuan Putri. Semua putri dan wanita biasanya menggunakan cara ini kepada suami mereka.”
Senyuman muncul di wajah Claudia yang memerah. “Baiklah. Aku akan melakukannya.”
–{—
“Sudah waktunya…”
“Waktunya untuk apa?”
“Kita tidak bisa menyembunyikannya terlalu lama. Kita harus memberitahukannya kepada yang lain. Bangkai akan tercium baunya apabila disembunyikan terlalu lama.”
“Baiklah.”
–{—
Suara lonceng berbunyi ke seluruh penjuru Prancis. Semuanya memasang bendera hitam dan juga pelayan istana menyiapkan upacara pemakaman sekarang juga. Lukisan Raja Louis XVIII di tutup dengan kain tipis berwarna hitam. Semuanya menggunakan pakaian serba hitam lengkap dengan bannet mereka.
Pesan datang dari Tiongkok dan mengatakan bila Raja Louis XVIII telah meninggal dunia di tengah perjuangan melawan penyakit. Saat itu tengah malam dan Ratu Theresa mendapatkan pesan itu di kamarnya. Beliau meminta untuk menyebarkan berita itu keseluruh penjuru negeri dan bersiap-siap untuk upacara pemakaman. Paginya, jenazah Raja Louis XVIII tiba. Lalu, mereka memutuskan untuk mengadakan pemakaman untuk membumikan jenazah Yang Mulia.
“Kau dengar, sayang? Lonceng kematian berbunyi diseluruh tanah Prancis bertanda Sang Raja telah tiada.”
Samuel berada di samping Ophelia yang tengah menatap keluar jendela. Dari kamarnya ia bisa melihat lonceng gereja yang tengah berdenting.
“Ayah telah tiada,” Ophelia mengucapkannya dengan nada sendu. “Tujuanku kesini hanyalah untuk melihat ayah. Tapi… tapi…”
Ophelia menghirupkan udara dengan bunyinya yang serak. Matanya berbeda, berubah menjadi warna merah dan berkaca-kaca. Samuel memberikan sapu tangan kepada Ophelia sambil menghela nafasnya.
“Ah… Terlalu melankolis dan dramatis,” Samuel melirik kearah Ophelia yang tengah mengelap hidungnya. “Sebaiknya kau tidak perlu menangisinya. Semua orang pasti akan mati.”
“Kau tidak tahu apa-apa, Samuel!” Ucap Ophelia dengan keras. Ia merasakan sakit hati saat Samuel tidak mempunyai perasaan simpati sedikit pun. “Kau… hanya iblis.”
Tidak ada raut dan rasa terhina. Samuel menatapnya dengan datar.
“Aku memang iblis. Iblis tidak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh manusia.”
Ophelia mengusapkan sapu tangan itu ke bekas air matanya. Samuel memilih untuk diam sejenak.
“Disaat kau menjadi seperti diriku, aku akan menjelaskan semuanya bila…” Samuel mendekatkan mulutnya ketelinga Ophelia. “Yang kau tangisi hanyalah bangkai.”
Lalu, ia menghilang menjadi kabut hitam dan pergi di terpa angin.
–{—
Semuanya berjalan lancar. Pemakaman itu dilakukan secara cepat dan teratur. Dan kali ini Ratu Theresa duduk di kursinya yang berada di ujung meja dengan para menteri di kiri dan kanannya. Disaat Raja Louis XVIII meninggal, tahta kerajaan menjadi kosong. Mereka harus berdiskusi terlebih dahulu untuk mengisi kekosongan itu untuk mencari pewaris tahta kerajaan.
“Charles adalah putra mahkota, tampaknya kita telah mendapatkan pewaris tahta kita selanjutnya,” Ucap salah satu mentri dengan carvat berwarna hijau tua.
“Tetapi Charles belum menikah. Ia harus menikah terlebih dahulu untuk naik ke tahta,” Menteri dengan rambut sebahu putih keperakannya berbicara.
“Oh— menurut tradisi, anak tertualah yang akan menjadi raja selanjutnya. Masalah pernikahan adalah masalah biasa.”
“Bagaimana menurutmu, Yang Mulia Ratu?”
Ratu Theresa mendongak. Ia memperbaiki posisi duduknya dan berdehem sejenak.
“Aku adalah seorang ratu dan juga seorang ibu. Aku yang sangat tahu mengenai anak-anakku. Sebenarnya kita tidak perlu mendiskusikan hal ini karena kita telah mempunyai Charles sebagai putra mahkota. Mengenai Aaron, dia…” Ratu Theresa berpikir sejenak untuk mencari kata-kata. “Aaron tidak tertarik akan tahta. Dia tidak tertarik akan hal itu.”
“Tapi, siapa yang tidak tertarik akan tahta? Tahta termasuk kesenangan dunia.”
Semua mentri mengangguk membenarkan.
“Tidak. Charles lah yang paling berpotensi untuk menjadi raja. Soal perkawinan kita akan mendapatkan seorang putri di kerajaan lain untuk menjadi seorang ratu. Charles telah diberi pengetahuan mengenai politik dan perang semenjak ia berusia tiga tahun. Dia dapat mengatur kepolitikan Kerajaan kita dan juga membuat Prancis lebih baik di kedepannya.”
–{—
Charles berjalan menuju tahta dengan pakaiannya yang mewah. Dengan sutra berwarna hijau tua dan jubah beludru berwarna merah. Charles tampak gagah dengan semua perhiasan dan pakaian yang ia kenakan. Ditambah dengan mahkota emasnya nanti yang akan bertengger di kepalanya.
Semua mentri dan pejabat-pejabat tinggi disana menunduk hormat kepadanya. Hingga, Charles berada di atas peraduannya. Seorang pendeta berada di sampingnya dengan mahkota kerajaan di tangannya. Charles berlutut agar Sang Pendeta memudahkannya untuk meletakkan mahkota tersebut di atas kepalanya.
“Atas nama Kerajaan Prancis dan sekutu-sekutunya, saya menobatkan Charles dari Klan Valois, yang pertama dari namanya menjadi Raja Kerajaan Prancis,” Sang Pendeta meletakkan mahkota tersebut di atas kepalanya. “Abadi tahtanya!”
“Abadi tahtanya.”
Semua orang bersorak atas penobatan Charles. Charles tersenyum senang, menegakkan dagunya lebih tinggi lagi.
Makanan di keluarkan dari dapur dan disusun di meja panjang di samping aula. Rum dan wine di keluarkan dari ruang bawah tanah dan diisi di dalam piala-piala tamu. Semua orang bersuka cita atas penobatan baru Charles seolah-olah menghilangkan kabar mengenai kematian raja terdahulu.
Para mentri, pejabat, rakyat datang ke ruangan untuk memberikan selamat kepada Charles. Mereka menaiki undakan dan memberikan hormat kepada raja baru mereka. Tidak dengan Ophelia. Ia hanya berada di sudut ruangan istana dan melihat kemeriahan itu semua. Ia hanya tidak ingin mengganggu kesenangan ini dengan kedatangannya.
“Lihatlah, bangkai itu cepat dilupakan dan diganti dengan kesenangan baru. Semua orang tampak tidak mengingatnya lagi,” Ucap Samuel yang berada di samping Ophelia.
Ophelia hanya tidak ingin menjawab. Ia tidak ingin terlihat mencolok dengan berbicara disini, diruangan dengan penuh banyak orang.
“Lepaskan jubah hitam itu, Ophelia. Siapa yang tengah kau dukakan?”
Ophelia melirik kesal kepada Samuel. Ia menghela nafas dan sekecil mungkin mengeluarkan suara untuk membalas perkataan Samuel.
“Diamlah, Samuel. Aku tidak ingin berdebat denganmu.”
Samuel tersenyum miring. “Aku tidak akan diam hingga kau melepas jubah itu. Kau terlihat aneh disini.”
Ophelia hanya mendengus. Ia memilih untuk mengambil salah satu wine di meja. Ia tidak bisa disini lebih lama. Ia harus keluar dari ruangan ini dan mencari tempat yang sepi untuk membalas semua perkataan Samuel.
“Kau tahu? Kau sungguh membuang-buang waktu dengan hanya berdiri disini melihatnya. Kau tidak mengucapkan selamat kepadanya?”
Samuel terus mengoceh di setiap lorong. Hingga, Ophelia menghentikan langkahnya. Tempat ini cukup tersembunyi dan sepi.
“Oh, diamlah, Samuel! Kau terus saja mengoceh kepadaku!” Ophelia berkata dengan suara yang ditahan, menunjukkan kekesalannya.
Samuel berkacak pinggang. “Kau mulai berani memarahiku, Ophelia?”
“Ya! Aku berani,” Ophelia mendongakkan dagunya menantang. “Berhenti mengatakan ayahku adalah bangkai. Ayahku bukanlah bangkai!”
Samuel terkekeh. Dan semakin lama kekehannya itu menjadi tawa yang besar dan membuatnya terpingkal-pingkal.
“Aku mengatakan yang sebenarnya, Ophelia. Tapi…” Samuel mengangkat bahunya. “Bila kau marah aku minta maaf.”
Ophelia membulatkan matanya. Ia belum pernah mendengar perkataan maaf dari iblis yang satu ini. Ini seperti sungguh keajaiban. Samuel melihat reaksi Ophelia. Gadis itu membesarkan matanya seperti tercengang. Dengan gemas ia mencubit kedua pipi Ophelia.
“Kenapa? Kau kaget?” Kata Samuel sambil memainkan pipi Ophelia.
“A-aku…”
“Ilana!”
Ophelia langsung menoleh ke ujung lorong. Ia terperanjat saat Charles berada di sana dengan jubah kebanggannya menatap dirinya. Charles berjalan kearahnya dengan jubahnya yang terseret di sepanjang lorong. Hati Ophelia berdetak kencang, berharap bila Charles tidak menyadari bila Ophelia tengah bertingkah aneh dengan berbicara sendiri.
“Apa yang kau lakukan disini? Semua orang tengah merayakannya di ballroom,” Kata Charles.
Ophelia memilih untuk menunduk, memberi hormat terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Charles.
“Saya tengah ingin menyendiri, Yang Mulia. Saya merasa saya tidak pantas berada disana,” Jawabnya.
“Apa maksudmu? Kau tentu pantas berada disana,” Charles meraih pinggang Ophelia dan membawanya kedekapannya. “Karena kau adalah wanitaku.
Ophelia membatasi dirinya dengan dada Charles dengan kedua tangannya.
“Ahh… Yang Mulia…”
Charles meraih kaki Ophelia dan tangan satunya mendekap bahu Ophelia. Ophelia terkejut saat Charles mengangkatnya, seolah melayang dan kakinya hilang dari pijakan.
Charles menggendongnya dan membawanya ke kamarnya. Disana, ia langsung mengunci pintu dan meletakkan Ophelia di ranjangnya. Ophelia terkejut saat punggungnya menyentuh bantalan empuk dan sedikit terhuyung. Charles membuka jubahnya dan baju luarnya. Lalu, ia merangkak menaiki ranjang dan menindih Ophelia.
“Yang Mulia…”
Ophelia sangat ketakutan. Ia mencoba membatasi diri mereka dengan kedua tangannya.
“Ini yang sangat aku tunggu-tunggu, Ophelia,” Charles mendekatkan dirinya ke wajah Ophelia. “Mencicipimu.”
Bibirnya tiba-tiba saja menyentuh bibir Ophelia. Ophelia membelalakkan matanya. Sensasi aneh ia rasakan di bibirnya. Berdesakan, kasar, dan sangat brutal, berbeda dengan Samuel yang melakukannya sangat halus.
“Yang Mulia… hentikan…”
Charles menjauhkan wajahnya dari Ophelia. “Kenapa? Kau tidak suka bila aku menyentuhmu? Seharusnya kau merasa terhormat bila kau disentuh oleh Sang Raja.”
“Bu-bukan… ta-tapi…”
“Baiklah.”
Charles membuka semua bajunya. Ia menyobek bagian atas baju Ophelia hingga menampakkan bagian payudara Ophelia. Ophelia memekik dan mencoba menutupnya dengan kedua tangannya. Charles menyibakkan rok Ophelia yang panjang hingga kepinggangnya.
“Jangan… kumohon, jangan…”
“Seharusnya kau jangan takut, Ophelia. Bukankah kau pernah melakukan ini dengan Aaron?”
Ophelia menggeleng. Ia mulai menangis. Ia belum pernah melakukan ini sebelumnya. Ia merasa takut. Charles bersiap-siap ingin memasukinya. Tapi, sebelum itu tubuh Charles tampak terhuyung dan jatuh menimpanya. Ophelia membuka matanya dan mendapati Samuel di samping ranjang.
“Samuel…”
Samuel menyingkirkan tubuh telanjang Charles kesamping. Ia membantu Ophelia untuk bangkit dari ranjang. Segera, Samuel memeluk Ophelia untuk menenangkannya.
“Seharusnya aku sudah membunuhnya dari dulu,” Ucap Samuel.
Ophelia mendongak, ia menggeleng. “Jangan!”
Samuel melirik kepadanya dengan mengerutkan dahinya. “Kenapa?”
“Aku tidak ingin orang lain mengatakan bila aku membunuh Yang Mulia. Aku tidak ingin ketahuan dan dihukum…. dihukum seperti Putri Marlene.”
Samuel memikirkannya sejenak. Lalu, ia menyetujui perkataan Ophelia.
“Baiklah.”
Samuel melepaskan pelukannya. Ia berjalan ke sisi ranjang yang lain. Samuel menatap Charles tajam, sangat jelas bila ia sangat tidak menyukai laki-laki itu. Lalu, ia menunduk dan meletakkan tangannya di dahi Charles. Cahaya hijau keluar dari tangannya dan dalam beberapa saat cahaya itu menghilang.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Ophelia.
“Aku membuat ingatan baru untuknya. Ia akan melupakan kejadian ini dan beranggapan bila ia telah menyetubuhimu. Aku membuatnya agar tidak terlihat mencurigakan.”
Samuel menghampiri Ophelia. Ia memegang tangannya dan mengatakan : “Sebaiknya kita keluar dari tempat ini.”
untung ada samuel….. klo ga :PATAHHATI :PATAHHATI
Samueeell.. :TERHARUBIRU
Aduhhh deg2an
Samuel bnr2 pahlawan bagi ophelia dah
Charles nakal yak *jitak2 Charles ehhh hihi
Cuzz ke part berikutnya