Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
“Ratna, kamu sudah siap berangkat besok?”
Seorang gadis yang ditegur mendongak mencari sumber suara yang sudah membuat dirinya mengalihkan perhatian dari layar komputernya. Senyum di bibir tipis gadis itu melebar, melihat lelaki paruh baya yang merupakan atasan di kantor sudah berdiri di depan pintu kubikelnya sambil membawa segelas kopi.
“Siap, Pak Bayu. Saya sudah berkemas buat besok pagi.” Ratna menjawab mantap. Sejurus kemudian dia bersandar pada kursi kerjanya yang nyaman, merenggangkan otot-ototnya yang pegal karena seharian duduk.
Pak Bayu menaikan alisnya. “Kalau begitu kenapa belum pulang? Sana istirahat yang cukup buat perjalanan panjang.”
Pak Bayu menatap sosok gadis mungil di depannya dengan khawatir. Ratna tersenyum menenangkan, sebagai seorang yang sudah senior di perusahaan ini Pak Bayu sudah dianggap Ratna sebagai seorang ayah. Jabatan Pak Bayu adalah Direktur keuangan, lalu Ratna sendiri adalah asisten yang harus siap di tempatkan dimana saja sebagai perwakilan atasannya itu di lapangan meski dia seorang perempuan sekalipun.
Kali ini menurut perintah tugas, Ratna ditempatkan di daerah lumayan terpencil di sudut propinsi Sumatera Selatan untuk beberapa minggu saja. Desa Beringin namanya. Sedangkan Ratna sendiri tidak tahu seperti apa tempat itu, kabarnya menuju ke desa tersebut harus melalui sungai dengan perahu kecil dari kayu.
“Sebentar lagi, Pak. Belum balance belum pulang.” Ratna memiringkan kepalanya santai.
Pak Bayu menarik napas panjang. “Seandainya saya sehat saat ini, rasanya tidak tega menugaskan kamu di sana, Ratna. Lagipula kamu perempuan, di tengah hutan dan kampung terpencil.” Pak Bayu berkata dengan penuh penyesalan.
“Pak Bayu, jangan khawatir lebih baik bapak cepat memulihkan diri setelah operasi ginjal anda, Pak. Lagipula urusan ke lapangan adalah bagian anak muda sekarang.” Ratna terkekeh mencoba menghibur Pak Bayu. “dan… bapak harus berhenti minum kopi.” sambung Ratna mengingatkan.
“Kamu ini daripada mengkhawatirkan saya lebih baik kamu segera menikah, berhenti kerja dan jadi ibu rumah tangga umurmu sudah cukup. Bagaimana mau bertemu calon suami kalau kamu selalu terbang kesana kemari mendatangi tiap plant. Mau saya kenalkan dengan keponakan saya? Lumayan dia lelaki yang cukup mapan, kamu tidak bakalan kelaparan menikah dengannya.” Pak Bayu kembali dengan mulai dengan tawaran jodoh untuk Ratna.
Ratna menyipitkan matanya, dalam hati dia merasa geli dengan tawaran itu. “Tidak , terima kasih tawarannya, Pak.” Ratna mengelak.
Pak Bayu membelalakan matanya.“Lho kenapa? Atau kamu sudah punya kekasih yang kamu sembunyikan dari kami semua, heh?”
“Tidak ada. Sudah ah, Pak. Aku pulang saja.” Ratna meraih tas ransel miliknya memasukan segala pernak perniknya dari charger, laptop, tablet dan dokumen yang di perlukannya nanti di lokasi proyek.
“Selamat sore, Pak Bayu.” Ratna melambaikan tangan kepada lelaki itu dan segera berlalu. Pak Bayu hanya menggelengkan kepalanya menyerah mengkonfrontasi gadis itu tentang mencari pasangan.
Ponsel di tas pinggang Ratna berbunyi nyaring ketika dia akan memasuki mobilnya. Ratna memasang headset di telinga lalu menjawab panggilan itu.
“Halo?”
“…”
“Ya, Ma, Besok Ratna berangkat pagi sekali. Mungkin bulan depan aku bisa main rumah Mama.” Ratna melukis senyum, sebenarnya dia begitu merindukan ibunya. Satu-satunya keluarga yang dia miliki. Ratna hampir tidak mengenal ayahnya karena ibunya tidak pernah bercerita perihal sang ayah kepadanya. Namun Ibunya pernah mengatakan bahwa Ayahnya adalah orang yang baik, itu saja. Ratna mengagumi sosok ibunya, yang dengan gigih bekerja untuk membesarkannya hingga bisa mandiri seperti sekarang.
“…..”
“Kalung? Ya, Ma, masih aku pakai jangan khawatir. Sudah ya, besok sebelum berangkat aku telepon lagi. Masih di jalan, Ma, nanti nabrak.” Ratna memerhatikan jalan raya yang sudah ramai kendaraan lalu lalang menjelang pulang kantor begini.
“….”
“Aku akan hati-hati. Mama cepat jangan capek ya, nanti sakitnya kambuh lagi. Aku sayang Mama. Bye.” Ratna mematikan panggilan itu dan kembali konsentrasi menyetir mobilnya.
Ratna sudah sangat lelah ketika dia tiba di apartement miliknya. Dia mandi dan makan malam seadanya, karena lupa belanja untuk mengisi lemari esnya. Rasa kantuk mulai menyerang matanya ketika sedang merapikan bawaannya untuk besok, akhirnya Ratna memilih tidur dan kembali bermimpi tentang seseorang lelaki asing yang kerap datang kepadanya.
****
Ratna akhirnya tiba juga di bandara SMB II Palembang, hari sudah siang sekali. Pesawat yang ditumpanginya dari Jakarta kembali delay seperti biasa hingga membuat jadwalnya molor jauh, padahal pagi buta dia sudah datang ke bandara. Ratna mengutuk marah dalam hati tentang pelayanan maskapai penerbangan yang payah dan tidak menghargai waktu penumpang yang terbuang percuma. Ratna memperbaiki ikat rambut kudanya yang sudah melorot turun, berpikir kapan-kapan dia akan memotong rambut ikalnya saja karena sudah terlalu panjang.
“BuRatna?” suara ragu-ragu seseorang menegur Ratna dari arah belakangnya.
Ratna menoleh, senyumnya terkembang lebar. “Pak Amran apa kabar?” Ratna menyalami lelaki yang berusia akhir 40-an yang sudah dikenal lama olehnya, karena sering bertemu di lapangan. Namun karena kesibukan masing-masing beberapa bulan ini sudah membuat mereka jarang bertemu dan bertukar kabar. Pak Amran sendiri adalah seorang driver sekaligus supporting logistik lapangan.
Pak Amran menyambut uluran tangan Ratna. “Saya baik. Bu Ratna. Ibu juga syukurlah sehat juga. Mari, Ibu Ratna, kita langsung saja berangkat sekarang, kalau tidak sekarang mungkin malam hari kita akan sampai di Desa Beringin. Perjalanan melalui sungai berbahaya kalau malam hari.”
Ternyata benar. Perjalanan lokasi memakan waktu lima jam dari ibukota. Belum lagi macet akibat ada truk yang mengangkut batubara terbalik di tengah jalan yang mereka lewati. Bukan tidak mungkin malam hari baru akan tiba di lokasi. Sungguh melelahkan, Ratna merasa saat badannya super lengket karena keringat, kaus lengan panjang yang dia pakai sudah digulung sebatas siku. Begitu juga dengan jaket denim yang di pakainya sudah masuk ke dalam ransel.
Akhirnya sampai. Ratna melompat turun dari mobil double cabin yang menjemputnya, meraih ransel dan tas kerja menuju ke perahu yang sudah menunggu di tepinya, sedangkan satu koper miliknya sudah di turunkan Pak Amran dari mobil.
“Bu, mari ikut saya, perahu sudah menunggu tepi sungai.” Pak Amran membimbing Ratna untuk mengikutinya. Ratna melihat terdapat sebuah perahu kayu cukup besar sudah menanti di sungai yang ber-arus cukup tenang dan bersih sekali. Ratna tidak melihat penumpang lain selain dirinya dan Pak Amran, serta seorang lelaki tua berambut abu-abu, berpakaian sederhana dengan kain sarung yang di ikatkan di pinggang. Tampaknya orang tua ini yang pengemudi perahu kayunya pikir Ratna. Sepatu boot safety yang Ratna pakai cukup membantunya untuk menapaki batu sungai yang licin. Dalam sekali lompat dia sudah di atas perahu, mengambil posisi di bagian tengah, mata bulatnya menelaah sekitar tepian sungai yang banyak terdapat rumah penduduk yang terbuat dari kayu berbentuk rumah panggung. Sebuah pemandangan yang menarik hati Ratna karena tidak pernah melihat rumah panggung sebelumnya secara dekat.
Beberapa pasang mata perempuan penduduk setempat yang sedang melintas melihat Ratna dengan pandangan menyelidik, seakan dia baru tiba dari planet lain, padahal penampilan maupun pakaiannya saat ini biasa saja tidak ada yang aneh. Sudahlah, Ratna malas memikirkannya. Mesin diesel perahu kayu itu mulai menyala dan mulailah perjalanan mereka. Ratna tersenyum senang, merasa adrenalin kegembiraan karena ini pertama kalinya dia menaiki perahu kayu.
Pemandangan tepian sungai yang tadi ramai oleh rumah-rumah penduduk setempat, lama kelamaan mulai berkurang digantikan pemandangam hutan lebat dan teduh. Terdengar saat ini hanya suara burung, tonggeret serta gemericik air. Dalam suasana seperti ini Ratna juga merasa salut pembangunan proyek listrik bisa mencapai tempat ini di lihat medan yang cukup sulit di lewati. Ratna menarik napas panjang sembari tangannya terulur untuk menyetuh air sungai yang hangat.
Sementara itu di suatu tempat…
Rajendra menjeblakan dua daun pintu besar yang terbuat dari kayu terbaik dengan kedua tangan kokohnya. Begitu keras, akibatnya daun pintu itu membentur dinding hingga menimbulkan getaran hebat. Tubuhnya yang tegap dan tinggi berdiri di ambang pintu masuk kamarnya, tangannya mengepal kuat, napasnya terengah. Saat ini Rajendra hanya memakai celana panjang dan bertelanjang dada, bulir-bulir keringat tercetak di sana. Lelaki itu baru saja terbangun dari tidur nyamannya ketika dia merasakan sesuatu yang besar datang ke menuju wilayahnya.
“Aku harus pergi.” geram Rajendra dengan perasaaan tak menentu. Baru saja dia akan melangkah keluar kamarnya, sepasang tangan kurus melingkar di pinggang Ranjendra, memeluknya dari belakang dengan posesif.
“Yang mulia, Rajendra, mau kemana? Kenapa hamba ditinggalkan? ” suara perempuan yang terdengar begitu lembut dan menggoda agar lelaki itu mengurungkan niat meninggalkannya.
Rajendra memutar tubuhnya untuk melihat seorang perempuan yang sangat cantik berambut gelap dengan bibir penuh, tersenyum manja dan malu-malu kepadanya.
“Jangan sekarang…” Rajendra tidak dapat mengingat nama perempuan kaumnya yang bersamanya saat ini, dia menganggap mereka hanya sebatang tubuh belaka yang datang silih berganti menghangatkan peraduannya. Bahkan para perempuan kaumnya itu memohon-mohon agar bisa bersamanya walau hanya semalam. Suatu kebanggaan bagi perempuan kaumnya untuk bisa bersamanya, walau setelah itu mereka tidak akan pernah di sentuh lagi olehnya. Dengan senang hati dia akan menyerahkan perempuan bekasnya itu kepada para prajurit istana. Terkadang juga Rajendra beserta para lelaki kaumnya berburu perempuan manusia, menculik dan membawanya ke istananya hanya untuk di jadikan budak. Tentu saja dia tidak berminat meniduri perempuan manusia juga, baginya mereka mahluk rendahan berbeda dengan kaumnya yang berkasta tinggi. Cukup hanya anak buahnya saja yang bersenang-senang dengan mereka.
Rajendra sendiri belum berniat menikah atau memiliki ratu tetap sebagai pendamping. Menikah adalah hal tersulit yang dia wujudkan saat ini, karena begitu menikah berarti selamanya. Dia tidak akan bisa bermain-main lagi dengan perempuan kaumnya atau perempuan manusia. Rajendra tanpa sadar mengedikan bahunya jengah sekaligus ngeri. Kala seorang bunian menikah tidak peduli usia, wujud ketika dia menemukan perempuan yang ditakdirkan untuknya maka selamanya dia akan mengabdi pada perempuan itu, detak jantungnya hanya akan menderu untuk perempuan itu dan seluruh tubuhnya tidak akan mendamba yang lainnya. Rajendra berharap tidak bertemu perempuan takdirnya sampai kapan pun. Bukan kah itu keinginan semua lelaki untuk tidak pernah tunduk dengan perempuan?
Namun kini ada sesuatu yang berbeda! Rajendra melesat cepat meninggalkan kamar dan perempuan tadi, tidak punya waktu berlama-lama lagi.
Melihat Rajanya melintas beberapa prajurit memberi hormat kepada Rajendra, mereka kebingungan melihat raja mereka begitu panik.
Langkah lebar Rajendra yang tanpa alas kaki itu membawanya melalui selasar berlantai pualam berwarna hijau mengkilat, uniknya selasar ini hanya pada bagian tengah terdapat lantai sedangkan pada bagian kiri dan kanannya bukan lantai melainkan aliran air yang sangat bening mengikuti panjangnya selasar. Air itu mengalir di bawahnya melewati tiang-tiang penyangga atap selasar.
Entah mengapa saat ini bagi Rajendra jalan ini begitu panjang dan jauh, sehingga membuatnya menjadi tidak sabaran. Apakah sudah tiba saatnya perempuan yang ditakdirkan untuknya itu muncul? Rajendra mulai merasakan itu. Dia bisa merasakan gelombang dan aroma yang berbeda dari Dunia Permukaan.
Dunia Permukaan adalah sebutan dari kaum Dunia bawah untuk menyebut tempat dimana manusia fana tinggal. Sedangkan Dunia bawah adalah daerah kekuasaan Rajendra, sebagai seorang Raja penguasa sungai besar Lubai. Raja bunian air yang mengambil wujud seekor buaya yang melegenda. Kehidupan di dunia bawah hampir sama dengan dunia atas.Mereka makan, minum, bekerja dan berkeluarga. Hanya saja dari segi usia mereka bisa berusia ratusan tahun, bahkan ada yang ribuan tahun tanpa menjadi tua dan mati. Waktu pun berjalan lambat disana.
Rajendra berdiri angkuh di tepi kolam besar berair sangat jernih. Kolam ini terletak di sebuah gua besar dan agak tersembunyi letaknya. Kolam yang merupakan gerbang masuk dan keluar ke dunia permukaan. Gerbang Jagatra. Tentu saja setiap manusia yang tanpa sengaja menemukan jalan masuk kemari tidak akan bisa kembali lagi ke dunianya. Selamanya dia akan menghilang. Rajendra melangkahkan kakinya ke dalam kolam bening itu, tubuhnya mulai terendam separuh. Secara perlahan pula perubahan terjadi pada tubuh tegap Rajendra, dia mengubah wujudnya menjadi seekor buaya menyeramkan, berukuran besar dengan kuku tajam dan sisik berkilau. Ekornya yang besar sekaligus kokoh itu mengibas, memukul air hingga menciptakan gelombang besar. Saatnya menyapa. Rajendra pun berenang dengan anggun melewati gerbang Jagatra.
Ratna terkesiap ketika merasakan sesuatu yang tidak biasa. “Air sungai kenapa ya, Pak?” tanya Ratna pada pengemudi perahu, bingung karena air sungai yang tenang tadi menjadi bergelombang menimbulkan arus deras.
Pak tua yang sedang mengendalikan perahu tidak menjawab, malah sebaliknya terlihat raut wajah cemas di wajah penuh kerut tersebut. “Tidak apa-apa, Nak, tenang saja.” Lelaki tua itu berusaha menghilangkan kegugupannya. “Sepertinya Raja sungai Lubai ini sedang gelisah.” Lelaki itu seperti bicara sendiri.
Ratna yakin telinganya masih bagus untuk mendengar ucapan pak tukang perahu ini. Raja sungai Lubai?
“Maksud bapak? Selama saya di tempatkan di sini saya tidak pernah mendengar tentang Raja sungai Lubai.” Pak Amran mulai ikut dalam pembicaraan.
Pak tua itu kembali tidak menanggapi malah sebaliknya sebuah senandung terdengar dari bibirnya. Suaranya kecil hilang timbul beradu dengan bunyi mesin perahu.
Wahai sang Penguasa sungai Lubai
Tenangkan gelombangmu.
Demi gelombang sungaimu yang menuju laut
Demi cahaya yang menerangi istanamu
Wahai sang penguasa sungai biarkan kami melintas
Kami datang dengan damai.
“Lagu apa itu, Pak?!” Ratna berseru agar suaranya terdengar. Tanpa sadar Ratna menelan ludahnya gugup. Karena dia merasa tidak asing dengan lagu ini. Kapan dia pernah mendengarnya?
“Lagu penenang untuk penunggu sungai ini!”
“Memang ada?!”
Pak Tua itu menghela napas sambil tetap konsentrasi dengan perahunya. “Ada. Bahkan beberapa tahun yang lalu, Penguasa sungai Lubai ini meminta korban. Sebuah mobil terjun bebas ke sungai ini dari atas jembatan beringin, dan semua penumpangnya tewas tenggelam belum termasuk penumpang yang tidak pernah ditemukan. Hingga sekarang jembatan itu terbengkalai, jarang di lewati kendaraan lagi, mereka lebih memilih jalan memutar untuk sampai ke desa kami. Tapi jalan melalui sungai Lubai adalah tercepat walau sedikit berbahaya.” Jelas Pak Tua itu panjang lebar.
Mendengar cerita tersebut mendadak bulu tengkuk Ratna berdiri, dia mengedik ngeri tapi dia berusaha untuk tetap tenang. Tidak apa-apa, Ratna, hibur batinnya sendiri.
“Penguasa sungai Lubai seperti apa? Apa ada yang pernah melihatnya?” Pak Amran bertanya lagi.
“Buaya. Seekor buaya. Hanya orang tertentu yang mempunyai kemampuan lebih dari manusia biasa yang bisa melihatnya. Selebihnya bagi orang lain hanya mitos belaka.” Pak Tua itu menjelaskan panjang lebar.
Ratna tanpa sadar mencengkeram tepian perahu, entah darimana perasaan resahnya saat ini.
Menjelang senja, akhirnya perahu yang membawa Ratna sampai ketepian sungai dengan selamat. Ratna melompat turun ke dermaga kayu yang tampak dibangun seadanya, sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Suasana sudah gelap. Menurut informasi yang dia dapat, desa ini di tidak ada listrik, hanya ada generator yang menyalakan listrik dari pukul enam sore hingga sembilan malam. Ratna memicingkan mata untuk melihat jam tangannya. Sudah pukul enam sore, desah Ratna dalam hati.
“Kita berjumpa, Sang Permata.”
Ratna refleks menoleh kebelakang mencari suara tersebut, karena seakan terdengar begitu dekat di telinganya. Ratna mengarahkan pandangannya ke arah sungai. Dia sepertinya melihat seseorang berada di tengah-tengah air sungai, dekat perahu kayu yang ditumpangi tadi. Tubuh orang itu setengah terendam, hanya bagian atasnya saja yang terlihat, sedangkan dari pinggang kebawah tersembunyi dalam air. Sepertinya seseorang lelaki. Kenapa lelaki itu berada di air sungai pada saat menjelang malam begini? Ratna jelas sekali melihat seakan begitu dekat untuk diraih, lelaki yang memiliki wajah sangat tampan, dengan rahang kokoh persegi serta bulu-bulu halus yang menghiasinya. Juga terlihat mahkota emas berukir di puncak kepalanya. Tubuhnya begitu indah dan bercahaya, tempat dimana lelaki itu berada sangat terang benderang. Namun sesuatu yang paling mencolok dari semua itu adalah matanya, lelaki itu memiliki berwarna kuning keemasan. Ratna terpukau. Tapi kenapa tidak ada yang menyadari keanehan ini?
Mata Ratna tidak bisa lepas menatap keberadaan lelaki yang memberinya tatapan tajam menusuk. Mendadak, dia merasakan sesuatu yang terasa dingin menjalari lehernya, merasa sebongkah es menyentuh kulit. Tanpa sadar Ratna meraba kalung bandul batu biru pemberian ibunya dan kalung itulah yang mengeluarkan hawa dingin es hingga membuat dia berjengit terkejut. Spontan Ratna mengusap lehernya.
“Bu Ratna, …Bu…” suara Pak Amran mengejutkan Ratna.
Ratna mengerjapkan matanya tersadar, dengan pandangan bingung dia menoleh kepada Pak Amran. “Pak, orang itu siapa?” jari telunjuknya mengarah ke sungai dimana lelaki tadi berada.
Pak Amran mengerutkan dahinya tapi dia mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ratna. “Siapa? saya tidak melihat siapa-siapa, Bu?”
Tubuh Ratna mendadak seperti mati rasa. Lelaki tadi sudah tidak ada! Tempatnya berada tadi sudah kembali gelap gulita. Jantung Ratna berdentam kuat. Siapa dia? Kenapa Cuma aku yang melihat? Ratna terpaku.
****
“Dari dunia permukaan, Yang Mulia Raja?” seseorang menegur Rajendra yang baru kembali dari Gerbang Jagatra.
Rajendra melirik tajam pada Tarak, tanda dia tidak suka ditegur saat ini. “Bukan urusanmu, Tarak.” ucapnya dingin.
Lelaki bernama Tarak terkekeh. “Berburu perempuan manusia? Kenapa tidak mengajak hamba? Atau ada sesuatu yang penting hingga Yang mulia memutuskan keluar sendirian?”
Tarak adalah orang kepercayaan Rajendra sekaligus teman tarungnya dalam latihan bertempur. Tarak berperawakan hampir sama dengan Rajendra. Wajahnya juga begitu rupawan, tapi rambutnya lurus berwarna putih dan panjang, berbeda dengan Rajendra yang memiliki rambut sewarna tembaga gelap dan berpotongan pendek.
Rajendra tetap melangkah meninggalkan Tarak dengan pertanyaanya.
“Yang mulia, tunggu dulu.” Tarak mengikuti Rajendra.
Mendadak Rajendra memutar tubuhnya, menaikan alisnya sebelah senyum jahat terkembang di bibirnya. “Tarak, aku perlu pelampiasan sekarang. Mari berburu dan bermain-main dengan musuh kita.”
Rajendra merentangkan kedua tangan ke arah samping tubuhnya, seberkas sinar biru memancar dari telapak tangannya bersamaan dengan penampakan sepasang pedang panjangdi tangan kanan dan kiri Rajendra. Bentuk kedua pedang kembar tersebut sungguh menakjubkan, dimana tiap bilah pedang kembali terbelah dua di bagian tengahnya sampai ke gagangnya, hingga seperti memegang empat buah pedang sekaligus. Tipis dan tajam dengan ujung sangat runcing. Pada bagian atas gagang pedang kembar berbentuk lekuk ukiran api keemasan dengan lambang kerajaan mereka yaitu tiga garis susun bergelombang.
“Dengan senang hati, Yang mulia.” Tarak ikut tersenyum sama jahatnya.
Bersambung…(kl ada mood dan ide melambai-lambai ntah kapan wkwk)
Omg omg omg dilanjut
Ahhh senengggg
Mksh ka ros
Bcany nnt yak, msh diluar aq nya hehe
Aq doain mga ide2 sll mengalir deras di hati dan otakmu ka eaaaa hihi
Oia kurang
Yessss pertama ehhh hihi
Makasih, Palahhh hihi
Vote dulu ya kak ros :dragonmuach
kak ros ceritanya woww :MAWARR
Senangnya bisa baca karya ka Ros lagi??? semoga updetannya cepat yakkkkk????
Wah bagus yah kaya pengantin bunian ..
Bagus juga cerita awalnya…semoga ke depannya semakin bagus ya dan membuat pembaca penasaran..
Entah kenapa aku langsung inget suzana :LARIDEMIHIDUP buaya putih
Hmm jadi kalung itu semacam pelindung.. ato jangan2 ibu ratna ada kaitan nya dg bangsa buaya itu .. hmm patut ditunggu .. semangaatt thor
Wow wow wow eike suka….lanjut dong hehe
Makasih @rositaamalani buat ceritanya
Salam buat rajendra dan tarak.
Ga nyangka @carijodoh ratna bisa ditaksir raja sungai lubai hihi
wakakak kapan2 lanjut hihi @carijodoh Memang unik buaya pun naksir hahha :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP
jarang jarang nih nemu cerita yg mirip mirip ceriya rakyat.. kasih vote deh biar lanjuttttt
jarang jarang nih nemu cerita, kaya cerita rakyat gini.. kasih vote deh biar lanjut ekeke
Macem cerita cerita rakyat.. pikiran udah kemana2 ngebayanginnya. Malah kepikiran sama film2 tentang siluman buaya gitu :LARIDEMIHIDUP
akhirnya aku baca ceritanya ka Ros,,,, antimainstream nih,, tp rumit pasti dah,,, dilanjut dong kereen nih cerita om buaya
Woahhh ka ros ceritany manteb dah ini
Ini berdasar cerita di lingkungan sana kah, klo iyaa kok ngeri yak huhu
Cieeee Rajendra dah seneng bngt romannya dah nemuin belahan hatinya
Penasaran ini gmn cara dia deketin Ratna nanti hihi
Ditunggu kelanjutanny ka
Semangat
Ah suka banget ama ini cerita?
wah penasaran nich sama pasangan yang ini.. .gimana perjuangan mendapatkan cintanya Ratna ya.. semangat ka Ross :PELUKRINDU :pingsan!
Menarik ceritanya …penasaran kelanjutannya :YUHUIII
Bagus kak.. ceritanya seru.. mengambil dari cerita mitos daerah y kak??
Ini nantinya gmn?? Mgkin ada bunian series? Ini Rajendra Kn bunian Air,adakah bunian darat?? Bunian udara??
Wah.. excited bgt aku nungguin kelanjutannya,d tunggu next partnya y kak… :MAWARR
Aih,bagus ceritanya… seruuug :RAKUSS
bagus ceritanya kak aku suka..???
Kapan nih ada lanjutannya???
Penasaran banget sama cerita ini. Ide ceritanya bagusss
whoaaa, ini lanjutan oneshoot itu bukan sih Kak Ros? #eh
:inlovebabe
Aku suka ceritanya..
Ketagihan dengan cerita ini.. hihihi