A Priori ch. 12 Asal Kebencian
Bacalah dengan posisi yang nyaman dan jangan membaca terlalu dekat, ingat 30 cm adalah jarak yang paling minimal untuk aman mata.
Sebelumnya
Mobil aston martin hitam yang dikendarai Azka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah dengan tingkat dua berwarna putih yang terlihat cukup megah, ditatapnya ke arah samping dimana Zia yang tengah tertidur. Beberapa saat Azka sempat melamun sambil terus menatap wajah Zia yang tampak sangat cantik ketika tertidur menurutnya, tapi dengan cepat digelengkannya kepalanya untuk menghilangkan pikirannya.
“Zia. Bangun kita sudah sampai.” Bisik Azka tepat di telinga kanan Zia.
*****
Zia hanya bereaksi sedikit mengeliatkan tubuhnya tanpa sedikitpun ada niat membuka matanya. Azka yang meilhat itu hanya membuat seringai diwajahnya hingga sangat terlihat bahwa akan ada aksi jahilnya untuk sosok yang sedang tertidur pulas.
Azka semakin mendekatkan tubuhnya hingga wajah mereka berjarak 15 cm, dari jarak itu Azka meniup-niup mata Zia tanpa niat bersuara sedikitpun. Mungkin lebih tepatnya Azka menemukan kesenangan baru ketika melihat Zia bereaksi mengerucutkan bibir tipisnya setiap kali matanya ditiup.
“hnggg hentikan.” Zia perlahan membuka matanya dan betapa terkejutnya ia menemukan wajah Azka yang begitu dekat dengannya ditambah lagi posisi mereka yang tampak sangat ambigu. “Kyaaa!!” Dengan refek Zia mendorong Azka hingga dia terduyun kebelakang dan kepalanya terbertur kaca depan mobil.
“Aww!!” sentak Azka ketika merasakan kepalanya yang berdenyut sakit.
“A-apa yang sedang kau lakukan! Hah!” ucap Zia meninggikan suaranya.
“Hais aku seperti sedang membangunkan kucing yang sedang pms.” Azka kembali keposisi awalnya lalu turun dari mobil meninggalkan Zia yang masih mengomel dan berteriak tidak jelas.
“Hei! Jangan tinggalkan aku!” Zia ikut turun dari mobilnya dengan terburu-buru ketika melihat Azka yang tampak mulai menerobos masuk rumahnya. “Tunggu dari mana kau tau pasword pintu rumah ku!”.
“Kau mengatakannya sendiri tadi.” Bohong Azka, tentu semua tentang Zia sudah ia ketahui bahkan sebenarnya letak rumah Zia ia sudah tau sejak awal tapi untuk mengurangi rasa curiga Azka tetap menanyakannya sebagai hal yang normal.
Zia mengutuk kebiasaannya berbicara sambil tidur, dihentakannya kaki sambil berusaha melampiaskan marahnya. “Jangan asal masuk rumah orang, hei!” Zia berlari berusaha untuk mencegah Azka memasuki rumahnya.
Pip Pip Pip. Selamat datang. Senyum Azka terukir ketika berhasil membuka pintu yang berwarna biru tua dan menampilkan tampilan rumah minimalis modren dengan nuansa biru muda dan putih, sungguh warna yang tidak cocok menggambarkan sosok Zia yang mudah marah seharusnya merah menyala merupakan warna yang paling cocok pikir Azka.
Zia akhirnya bisa memasuki rumahnya “Jangan masuk semau mu!” Zia merentangkan tangannya menghalangi penglihatan Azka walaupun sebenarnya itu sia-sia karena tinggi mereka yang cukup berbeda jauh.
Azka hanya bisa tenahan tawanya lalu mencubit pipi Zia sambil menunduk hingga wajah mereka sejajar, “Apa menurut mu itu akan berhasil menghalangi ku?”.
Zia segera memukul tangan Azka hingga cubitan itu terlepas, “iss, sana-sana aku tidak mau menerima tamu.” Zia mendorong Azka lalu menutup pintu rumahnya dengan keras.
Azka hanya bisa menatap pintu yang baru saja tertutup itu dengan senyum miringnya, sekarang matanya menatap lurus kearah atas bagian pintu lalu menarik kamera kecil yang menempel di ujung celah pintu.
“Sepertinya aku harus berkeliling dulu untuk bersih-bersih.” Azka sedikit berlari lalu menaiki dinding samping rumah Zia, memanjat dengan lincah kesisi-sisi rumah tanpa terdengar.
****
“Kalian gagal!!” teriakan tegas menggema di ruangan yang bernuansa hitam dan abu-abu yang selaras dengan meja dengan ukiran kayu khas dengan jajaran orang berbaju hitam pekat berbaris rapi kiri dan kanan dengan seorang laki-laki paruh baya duduk di balik meja paling ujung. Tampak tegas dengan luka bekas sayatan yang berada di sisi pelipis mata kananna yang menambah kesan garang.
Lambang bunga mawar hitam bagai sebuah logo dasar penarik perhatian ruangan dengan penerangan agak remang itu hingga wajah sang lelaki yang tengan berteriak marah tidak begitu terlihat.
“Maaf kan kami. Tapi bisa kami pastikan dia tidak akan selamat karena sebuah pisau dengan kedalaman 25 cm telah menancap tepat di sisi kiri dada hingga pasti mengenai jantung.” Ucap salah satu orang yang tengan berdiri tepat di depan meja dengan posisi tegap dan tanagn yang dilipat dibelakang. Orang-orang suruhan ini melporkan kegegalan mereka untuk membunuh atau membawa kembali salah satu kawan mereka yang tadinya bertugas untuk menembak mati sasaran mereka.
“Bos besar tidak akan menyukai jika ada sebuah kecacatan kecil seperti ini.” Geram lelaki dengan luka di sisi kiri matanya, lalu mengankat telpon yang tengah di berikan padanya oleh salah satu anak buahnya yang berdiri di sisi kanannya.
“Baiklah tuan saya akan segera menyelesaikan sendiri masalah ini.” Ucap lelaki itu sebelum memutus pembicaraannya di telpon. Dengan senyum misterius dia berdiri dari duduknya dan mengambil jas hitam yang menggantung di kursi besarnya.
“Kalian ku maafkan kali ini jadi uruslah tugas lain, karena beberapa barang yang ku tunggu telah datang jadi rapikan itu ketempatnya.” Ucapnya sambil berjalan lurus keluar melewati 8 orang bawahannya yang tengah menunduk 90 derajat padanya. Dengan derap langkah yang menggema sosok itu pergi dengan kawalan beberapa orang. “Selamat jalan Tuan Wira.” Ucap orang-orang di dalam ruangan dengan serempak.
“Aku lah yang akan turun langsung membunuh sang dewi dan menjerat seluruh perisai dalam sebuah kematian.” Ucap Wira sambil memasuki mobilnya dan menghisap rokonya dengan angkuh.
*****
Bus semakin sepi karena setiap halte pemberhentian, sekarang tinggal Rina dan Raka yang masih tersisa yang tengah duduk di bangku paling belakang Raka di ujung kiri dan Rina di ujung kanan.
Rina sesekali melirik ke arah anak lelaki yang mungkin lebih muda darinya itu, “dari tadi ia sama sekali tidak berbicara.” pikir Rina sambil terus melihat. Keheningan sudah terjadi sejak awal mereka duduk tidak ada satupun suara yang memulai pembicaraan padahan Rina sangat ingin berterimakasih dan ingin tau alasan dia memukulkan kepalanya ditiang, mungkin sedikit aneh tapi sebagai sosok seorang kaka Rina tidak bisa melihat orang yang lebih muda darinya yang tampak depresi karena mengingatkannya pada Zia yang dulu.
Kenangan gelap yang dia simpan rapat dan menjadi sebuah pelampiasan dan kebiasaan untuk Rina menjadi konsultan untuk anak usia remaja karena ia juga merupakan lulusan sekolah psikologis tapi memutuskan menjadi manajer agar bisa selalu menjaga Zia.
“Apa kau mau permen?” Rika merogoh kantong jaket kanannya.
Raka terdiam sambil terus memperhatikan Rina yang tampak berusaha menarik perhatiannya, senyum miringnya pun muncul hingga sebuah ide tiba-tiba saja terbesit di pikirannya. Dengan perlahan Raka mendekat lalu mengambil permen yang ditawarkan Rina, matanya terus memandang lurus melihat reaksi senang dari sosok disampingnya.
“Jika kamu mau lagi, bilang saja di tas juga masih banyak.” Ucap Rina semangat karena akhirnya bisa menarik perhatian pemuda yang sejak tadi diam.
Dengan perlahan Raka mengambil hpnya lalu memperlihatkan layarnya kearah Rina yang betuliskan “Terimakasih.”
Rina terkejut terbesit perasaan bersalah dalam dirinya, “Sama-sama. Maaf apa kaka boleh tau nama mu?” Rina menunggu apakah pemikirannya benar dan matanya semakin melebar ketika lagi-lagi melihat apa yang dilakukan Raka, “Nama ku Raka” lalu “Maaf ka aku tidak bisa berbicara.”
“salam kenal rakia kenalkan nama ku Rina.” Suasana tiba-tiba hening Rina terdiam sambil menatap Raka yang kembali sibuk dengan hpnya. Tak terasa Bus berhenti di halte terakhir hingga mereka turun bersamaan,
“Apa rumahmu berada didekat sini Raka atau didalam perumahan sana?” tunjuk Rina pada letak dimana rumahnya dan Zia berada.
“Di dalam perumahan sana.” Raka membalas dengan menggunakan tulisan di hpnya karena sekarang ia berperan sebagai sosok Raka si bisu entah dari mana ia mendapatkan ide yang membuatnya tertarik adalah karena mungkin bisa mendapat kan info dari orang yang dekat dengan klien mereka.
****
Setelah 10 menit berjalan kaki dari halte akhirnya Rina sampai di rumahnya dan masih bersama Raka yang mengiringinya karena dia berkata bahwa mereka di blok yang sama. “Baiklah aku sudah sampai Raka, aku duluan ya.” Rina tersenyum lembut bagai seorang kaka. Dan mendapatkan balasan anggukan dari Raka, “baiklah kialau begitu, sampai nanti. Ah tapi apa bisa ku meminta no hp mu?” Rina menghentikan langkahnya lalu mendekat kearah Raka.
Raka dengan santai menampilkan nomernya, tapi matanya menatap kearah mobil hitam yang tampak berparkir dihalaman rumah Rina lalu menatap kearah pemuda yang tampak keluar dari mobil dan dengan cepat ia berpaling “sial itu Azka.” Pikir Raka sambil berusaha mengatur mimik wajahnya ketika ada suara di telinga kirinya yang terletak alat rahasia khusus.
“Heii heii, Nadia mengatakan jika kau terguncang tapi kelihatannya kau sedang asik berkencan.” Suara berat Azka sungguh membuat Raka hampir membanting hp yang tengan berada di tangannya.
“Raka ada apa?” Rina bingung dengan kelakuan Raka yang tiba-tiba saja berpaling.
“Aku baru ingat jika harus membeli makan malam” tulis Raka, “Permisi kaka” hampir saja ia ingin melangkah maju tapi tangannya ditari oleh Rina.
“Kami memiliki banyak makanan.” Rina memasuki rumah sambil menari Raka masuk dan terkejut karena melihat Azka yang seharusnya masih berada di rumah sakit.
Azka masih berdiri dengan degap didepan Rina dan Raka, tatapannya tertuju pada tangan Rina yang menarik Raka, lalu muncul seringai di wajahnya “Banyak hal yang terjadi disana, jadi aku memutuskan keluar RS dan mengantarkan si Zia tapi yah bisa kau lihat. Padahal jaketku tidak sengaja Zia bawa.” Bohong Azka.
“oh aku mengerti.” Rina membuka pintu sambil memencet beberapa nemer yang merupakan kode rumah mereka dan tidak lama pintu terbuka.
******
Zia yang tengah merada di rruang tengah sambil menonton tv dengan salad di tanganya berbalik terkejut mendengar pintu yang tiba-tiba terbuka, dengan langkah cepat ia berjalan melihat siapa yang datang dan dia berharap itu Rina karena sangat banyak hal yang ingin ia ceritakan. Tapi langkah Zia terhenti ketika yang pertama kali ia lihat adalah sosok Azka dengan senyum yang menurutnya sangat menjengkelkan lalu Rina dan sosok laki-laki yang tidak Zia kenal.
“Rina kenapa kau membiarkannya masuk dan bocah laki-laki itu siapa?” Zia berucap tidak terima bahkan sambil menghentakan kakinya dengan marah.
Rina hanya bisa menggeleng pasrah melihat sosok adiknya yang marah tanpa melihat kondisi, “Azka ingin mengambil jaketnya dan Raka akan makan malam di sini.” Ucap Rina tegas.
SEE YOU ~~~
BY : RP
Vote dulu ya kak tama :anakayambaa
Gunakan kode sbb untuk menampilkan semua cerita hanya dari tulisan kamu, bisa ditulis disetiap akhir cerita
[catlist author_posts="RPARATAMA" numberposts=-1 pagination=0]
Jadi pembaca bisa dengan mudah cari part2 sebelumnya. Untuk part ini mimin sdh tambahkan, part lainnya tambahin sendiri ya.
Wahhh enakny bgni, jdi ga ribet nyari nya
Boleh usul kah ka mimin, info ini di taro dimana gtu yg vitamin2 bsa liat coz jarang pda liat komen di cerita2 blog vitamin kayakny hehe
Masya Allah dah ada update an aja lagi ni cerita, aq ampe mana ya kmrn baca nya hihi
Lupa bacanya sampe mana wkwl
lanjut tamaaaaaaa
lanjutttt