Vitamins Blog

Tir Na Nog ~Act 1

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

25 votes, average: 1.00 out of 1 (25 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Sesak. Seolah seluruh udara tersedot keluar dari paru-paru. Ada rasa dingin yang teramat perih menusuk kulit, lalu gelombang air yang seakan meremukkan tulang. Ketidakberdayaan yang teramat menyiksa. Tiada apa pun selain kegelapan dan air asin. Lalu, kehampaan yang menyiksa bagai sulur neraka; panas, memedihkan, dan terasa bagai dosa. Membuka mata, Lou mencoba melawan daya gravitasi yang menariknya ke dasar kegelapan. Ia mencoba berteriak, meminta tolong, namun tak ada satu juru selamat yang muncul. Tak peduli seberapa kuat usaha Lou melawan kuasa yang mengikatnya, tak satu pun juang berhasil membebaskan Lou.

Kau telah menodai aturan suci kaum api….

Lou berontak. Ia mencoba menggerakkan kaki, berharap muncul ke permukaan dan menghirup udara.

Semakin dalam … Lou tenggelam dalam kegelapan.

Tangan tak kasatmata meminta Lou untuk menyerah sebab melawan bukanlah hal yang harus Lou lakukan.

Benar, menyerah….

Ketika ia mulai berpasrah pada kematian, Lou melihat sepasang mata semerah rubi yang menatap murka. “Bangun!,” desis mahluk tersebut. “Kau api, aku adalah dirimu. Bangun!”

Tak ada suara yang berhasil lolos dari bibir Lou. Pemuda itu terombang-ambing di antara kesadaran yang semakin menipis.

“Bangun! Kau adalah api. Api yang membakar setiap kehidupan!”

Membelalak, Lou bangun bersimbah keringat.

Kedua netra Lou yang berwarna hijau menyisir sekitar. Ia bisa melihat kamarnya yang hanya berisi satu lemari, satu meja, tiga kursi, dan sebuah ranjang. Perapian di kamar Lou terlihat suram tanpa adanya sumber api di dalam sana.

Tidak ada lautan sedingin es. Tak ada rasa sakit. Tak ada api.

Hanya dirinya.

Seorang diri.

Lou menyisir rambut hitamnya—rambut pendek Lou kusut masai. Akhir-akhir ini ia terlalu sering bermimpi mengenai mahluk berapi yang membumihanguskan kehidupan.  Lelah…. Lou hanya ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan kehidupan yang lebih nyaman.

Seolah kenyamanan mudah didapatkan. Tentu, seorang pandir pun tahu bila kehangatan bukanlah barang yang bisa didapat dengan mudah.

Di saat para manusia mengkhawatirkan serangan Ratu Amber, penguasa baru yang ingin menginvasi seluruh kerajaan utara, Lou masih terjebak di dunianya sendiri. Naga, api, dan abu. Lou tak pernah bertemu langsung dengan para naga tersebut. Ia hanya mendengar hal tersebut dari kisah-kisah yang dituturkan orang tua di desanya. Namun kini, mimpi-mimpi tersebut semakin gencar menyerang Lou, seolah ia merupakan bagian dari potongan teka-teki.

Teka-teki yang tak akan pernah terpecahkan.

Bangkit, Lou mulai mengenakan celana kulit dan baju cokelatnya. Ia harus segera pergi berburu. Setidaknya kegiatan tersebut manjur mengenyahkan mimpi buruk Lou.

Lou keluar rumah membawa satu tabung berisi anak panah yang ia sampirkan di punggung dan sebuah busur yang terbuat dari kayu pohon oak. Tak lupa Lou membawa belati yang ia selipkan di sabuk. Hidup Lou tak terlalu luar biasa untuk diceritakan. Lou hanyalah pemuda biasa yang menghabiskan hari dengan berburu dan menjual hasil buruan ke tengkulak terdekat. Tentu, ia hanya mendapatkan bayaran kecil atas tangkapannya.

Tidak masalah, Lou tak terlalu membutuhkan uang.

Semenjak Ratu Amber memutuskan untuk memperluas daerah jajahannya, banyak kerajaan yang jatuh ke tangan sang ratu dan berakhir menjadi sandera; kerajaan harus membayarkan sejumlah pajak dan budak kepada Ratu Amber. Desas-desus mengabarkan bahwa Ratu Amber berkomplot dengan iblis untuk mendapatkan kesaktian. Wanita itu berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan besar, beberapa kali ia menyuruh prajuritnya menyula kepala raja dan ratu yang berhasil ditaklukkannya. Tak ada satu orang pun yang tahu asal-muasal wanita yang digelari sebagai Ratu Merah tersebut. Sebagian dari mereka percaya bahwa Ratu Amber merupakan penyihir yang teramat sakti. Separuh kerajaan utara berhasil dikuasai sang ratu, tinggal menunggu hitungan hari sampai serdadu sang ratu menyerang desa Lou.

Menyusuri jalanan becek, Lou memperhatikan wanita tua yang menjemur rumput obat, tampak bandana hitam melingkari kepala sang wanita. Tak jauh dari si wanita, Lou melihat anak-anak yang bermain gundu. Bahkan di Desa Pirazhgm desa kediaman Lou, para manusianya terlihat tak berpengharapan. Hidup untuk hari ini. Lou pernah mendengar salah seorang pemabuk yang menyerukan kesia-siaan hidup. Jenis manusia yang membuat Lou merasa jengah; pemabuk, penjudi, dan pencuri. Atau mungkin, Lou memang membenci semua manusia.

Melewati keramaian, tak satu pun warga menyapa Lou. Mereka mengabaikan keberadaan Lou, seolah pemuda itu hanyalah bagian dari sesuatu yang tidak nyata—tak perlu diakui keberadaannya.

Tidak masalah, Lou sudah terbiasa dengan kesendirian. Ia kuat … sangat kuat.

Lou bergegas ke hutan. Ia hanya ingin menghidupi kebutuhannya. Beberapa ekor burung hutan berkicau riang, terbang dari satu dahan ke dahan yang lain. Lou sebenarnya bisa saja memburu burung hutan tersebut, burung tersebut memiliki bulu berwarna emas yang kemungkinan cukup bagus harganya bila dijual ke orang yang tepat. Namun tidak, Lou ingin menangkap sesuatu yang lebih besar. Rusa, menjangan, atau mungkin kijang. Ya, mereka lebih mahal dan Lou bisa mendapatkan beberapa koin emas untuk biaya hidupnya.

Hutan tak seramai biasanya. Lou tak melihat penampakan satu rusa pun yang bisa diburu. Hanya ada suara tonggerek yang berpadu dengan kicauan burung. Luma, sang dewa, mungkin tengah merencanakan sesuatu dengan para mahluk penghuni hutan hingga Lou tak menemukan satu buruan pun untuk dibawa pulang.

Matahari semakin meninggi, Lou harus berpuas diri—pulang tanpa membawa buruan.

“Lain kali,” kata Lou. Itu pun bila masih ada lain waktu.

Sepanjang perjalanan pulang, Lou kembali memikirkan bayangan sang naga api. Jauh di dalam dirinya, Lou merasakan keterikatan dengan sang naga. Dalam cara yang tak bisa dijelaskan, Lou mendapati dirinya terhubung dengan petaka yang diciptakan Isyura. Napas yang menghancurkan dataran hijau, sepasang sayap yang mampu membelah jagat, dan sifat jumawa—segalanya tampak seperti milik Lou.

Pemandangan desa mulai terlihat; rumah-rumah dengan atap kayu, jerami yang ditumpuk di sisi desa, dan kerumunan manusia yang bagaikan kelompok semut.

“Tenang, Lou,” katanya. “Mereka hanya akan mengabaikanmu. Tidak masalah.”

Seperti dugaan Lou, tak ada satu pun yang peduli pada kehadiran Lou.

Tentu saja, Lou pun tak ambil pusing dengan perangai penduduk.

Satu yang perlu Lou lakukan: memasang topeng ketidakpedulian.

Melangkah pelan, Lou berpura-pura tak merasakan sakit hati saat tak satu pun penduduk menghiraukan keberadaan Lou. Beberapa wanita berbisik, membicarakan asal-usul Lou. Satu dua pria berjengit jijik saat bersitatap dengan Lou. Ya dewa, mereka benar-benar menguji kesabaran Lou. Para manusia ini jelas-jelas menganggap Lou sebagai sampah.

“Tidak,” kata Lou dalam hati, “tidak ada perasaan. Tidak ada perasaan.”

Berhenti, Lou menyadari salah satu simpul sepatunya terlepas.

Lou hendak membenarkan tali sepatu ketika suara seruan memecah kedamaian.

Puluhan prajurit berkuda mulai melepaskan panah api. Sebagian panah mengenai atap penduduk dan membakar hunian. Para wanita meraung pilu kala prajurit berzirah hitam menyeret dan memasukkan mereka ke dalam kurungan. Suara tembikar pecah dan seruan brutal memenuhi ruang dengar Lou.

Pasukan Ratu Amber menyerang. Hari kehancuran telah tiba. Sang ratu akan memeras darah dan mengucurkannya ke setiap patung dewa yang ia sembah.

Lou menghindari prajurit yang mengayunkan pedang ke arahnya. Tanpa ragu Lou menendang si penyerang hingga prajurit itu kehilangan keseimbangan. Semua orang berusaha menyelamatkan diri. Lou bisa melihat panji merah berlambang gagak yang terbentang tinggi. Lambang kebesaran Ratu Amber berkibar gagah diembus angin. Merah untuk kejayaan sang ratu dan gagak untuk kekuatan Ratu Amber.

“Ambil apa pun yang berharga!” seru salah seorang prajurit yang Lou tebak sebagi pemimpin.

Kembali, satu dua prajurit menyerang Lou. Dengan mudah Lou melumpuhkan para penyerangnya. Saat melirik sekitar, pemuda itu hanya memandang api yang mengepul—mengotori langit dengan asap hitam. Lou berlari meninggalkan kekacauan. Ia tak mungkin kembali ke rumah sebab pada akhirnya kediaman tersebut akan dimusnahkan pengikut Ratu Amber.

Mayat-mayat berjatuhan. Setiap mata yang terpaku di kepala mayat tersebut menyiratkan teror. Lou terbatuk, berusaha mengalihkan pandang dari anak kecil yang menangisi kematian orangtua mereka.

Tidak, ia tak memiliki cukup kekuatan untuk menyelamatkan anak-anak tersebut.

Tinggalkan, desis suara lain, kau yang terpenting. Tinggalkan mereka.

Lou berlari menjauh. Ia sengaja menyembunyikan diri di kedalaman hutan. Jerit dan tangis menggema. Lou tak bisa melakukan apa pun sebab ia pun tak mampu melawan para prajurit yang tak ada habisnya.

Lou berlari menapaki jalanan cadas. Semak berduri menggores pakaiannya. Pemuda itu berusaha menguatkan diri agar mampu membebaskan diri dari rasa bersalah.

Jalanan berliku dan di atas Lou terbentang cecabangan pohon yang menghalangi cahaya matahari menyentuh langsung dataran hijau. Lou mengerang dan memaki Ratu Amber yang memutuskan menyerang.

Ratu itu tak memiliki hati.

Kini yang bisa dilakukan Lou hanyalah bertahan hidup.

Melirik ke belakang, tiga orang prajurit mengejar Lou. Mati-matian Lou memaksakan diri menggerakkan tubuh. Lou mendengar suara desing panah. Busur  berdesis melewati Lou sebelum berakhir tertancap di batang pohon.

“Tidak,” kata Lou, “tak boleh berakhir di sini!”

Lou berlari; melewati cecabangan berduri, menghindari anak panah, dan ia berakhir di ujung jalan.

Bentangan sungai terlihat di bawah jurang.

Tak ada waktu untuk mempertimbangkan.

Hanya ada dua pilihan: hidup atau mati.

Dengan keyakinan penuh, Lou menjatuhkan diri dan bersiap menerima pelukan kegelapan.

 

***

 

Gagak berpesta melahap daging manusia yang tercecer. Prajurit Ratu Amber membentak para tahanan yang menangis pilu. Anak-anak dimasukkan ke dalam satu kurungan tersendiri sementara wanita muda dijejalkan dalam satu kurungan yang lain. Salah satu prajurit menatap mesum para gadis yang terus terisak. Di dalam kepala mereka, bayangan untuk menikmati tubuh-tubuh tersebut tampak sangat menggiurkan. Bisa saja sang ratu memberikan satu gadis untuk digilir para prajurit sebagai hadiah. Dan hal itu membuat para gadis semakin mengisak.

“Ratu akan senang,” tutur seorang prajurit.

“Hidup Ratu Amber!”

“Hidup sang ratu!”

Pujian untuk sang ratu merah.

Hujatan untuk sang ratu merah.

Apakah doa-doa yang dipanjatkan manusia itu terdengar?

Tak satu pun dari para tawanan yang sanggup menatap langsung tanah kelahiran mereka yang kini hancur.

 

***

 

Terengah, Lou jatuh bersimpuh di pinggir sungai.

Sudah berakhir, ia tak bisa kembali. Satu suara lain menggoda Lou. Tentu, para penduduk menganggap Lou sebagai sampah masyarakat. Anak lelaki yang tak memiliki ayah dan ibu—dibuang dan diacuhkan oleh sang pencipta. Ya, mengapa Lou harus pusing dengan serangan Ratu Amber? Ia sekarang bebas. Tak ada satu orang pun yang bisa merendahkan Lou.

Bangkit. Lou menatap ke langit biru. Anehnya matahari bersinar terang, kontras dengan kengerian yang ditebar Ratu Amber di bawah sana.

Pandangan Lou memburam. Langit biru berubah rupa menjadi senja. Tampak belasan mahluk bersisik dengan sayap semegah layar kapal terbang memenuhi angkasa. Mahluk-mahluk tersebut seolah menari dalam pola yang tak bisa dipahami. Air laut tampak bagaikan cermin perungu—menampilkan pantulan mahluk-mahluk agung yang kini mulai menggemakan nyanyian kemenangan.

Puluhan naga berseru.

Mereka memanggil sebuah nama.

Isyura….

Mengerjapkan mata, Lou menatap pias langit biru yang menyilaukan.

Tak ada mahluk dengan napas api.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

Dan tak ada satu jawab pun.

 

 

12 Komentar

  1. Kereeennnn

  2. Azmi Zeddani menulis:

    Lanjut beb :LARIDEMIHIDUP

    1. Beb? Wkwkwkwk???

  3. farahzamani5 menulis:

    Lou >>>> isyura
    Eaaa hihi
    Ditunggu kelanjutanny ka
    Semangat

  4. reinkarnasi ???? :ragunih

  5. aufklarung menulis:

    Bagus kak, vote thissss

    1. Vote vote hehehe

  6. aishelatsilla menulis:

    :wowkerensekali :tepuk2tangan

  7. fitriartemisia menulis:

    nahloh, apa hubungan Lou dengan Isyura?

    1. Hmm apa yak, mom??

  8. syj_maomao menulis:

    Lou = Isyura
    Isyura = Lou
    Okehlahhh mulai paham aku hihihi~ :YUHUIII

  9. Ditunggu kelanjutannyaaa