Tidak banyak yang tahu masa kecil Panglima Ankara, mereka orang-orang awam hanya mengira dia semenjak lahir dibesarkan di dalam pusat Kerajaan Persia untuk dipersiapkan menjadi Panglima Tertinggi kelak. Mereka tidak pernah tahu Ankara dilahirakan di pinggiran kota dari pasangan seorang pandai besi dan pengerajin tikar. Sesudah Ankara remaja ia bekerja sebagai gembala domba. Beranjak dari masa remaja ke masa pemuda, sosok tubuh Ankara tampak berkembang dan menonjol dari anak-anak sebayanya, lebih tinggi dan lebih besar. Ketika temannya melihat orang banyak berdiri dengan tubuh sama tinggi, hanya ada satu orang yang tubuhnya jauh lebih tinggi. Dialah Ankara.
Wajahnya bersih, putih kemerahan. Sangat ahli dalam kegiatan olahraga, berenang dan menunggang kuda. Menunggang kuda inilah yang menjadi kegemaran Ankara. Pernah suatu waktu ia mengeluarkan kudanya dari kandang dan memacunya dengan semangat di tengah-tengah kota sehingga menjadi pusat perhatian masyarakat dan tentu saja kaum perempuan.
Selain itu, Ankara juga gemar meminum minuman keras. Disaat orang-orang mabuk karena terlalu banyak minum, Ankara adalah yang terakhir tumbang.
“Cukup, kau boleh beristirahat.” Sesi latihan memanah Akasia akhirnya selesai, langsung dibawah pengawasan Ankara. Sekitar mereka sepi, hanya beberapa orang saja yang dipersilahkan menggunakan area memanah. Itu ditunjukan untuk Akasia agar lebih berkonsentrasi.
“Panglima,” Akasia terengah mengatur napas. Proses latihan kali ini bisa dibilang keras. Meskipun Akasia sudah terbiasa setahun belakangan, namun dia wanita, kekuatan wanita tidak akan pernah sama dengan laki-laki. Untuk menyeimbangkannya, maka Ankara memberi jadwal bebas untuk Akasia berkreasi diluar latihan. Apapun, asalkan diizinkan dan tidak melanggar batas aturan.
“Boleh ya aku menemui Bibi Shafiyah?” sambung Akasia sambil sesekali menyeka keringat. Bibi Shafiyah adalah temannya, bahkan seperti Ibu untuknya. Ia selalu menyempatkan waktu berkunjung ke rumah Bibi Shafiyah untuk belajar merajut berbagai macam pakaian. Merajut adalah kesukaannya.
Ankara mengernyit, “Aku melihatmu mengunjunginya kemarin, dan sekarang kau hendak menemuinya lagi?”
Aku tidak akan diizinkan. Akasia menduga. “Tapi kemarin itu bukan untuk merajut, aku kesana karena…”
“Ingin menemui bocah tengkik itu. Benar bukan Akasia?” Tepat sekali. Wajah Akasia langsung tegang.
Ankara tidak peduli, ia hanya melirik gadis itu. Duduk tak jauh darinya. Menampakkan ketidaknyamanan karena ketahuan telah berbohong. Ankara tidak marah, tetapi ia diliputi kekecewaan luar biasa. Akasianya yang sedang tumbuh remaja sedang jatuh cinta. Bukan maksud Ankara untuk melarang gadis itu mempunyai banyak teman dan bersosialisasi. Malahan Ankara senang melihat Akasia dapat membuka diri. Dan akibat dari semua itu adalah perangai Akasia yang mudah untuk disukai siapapun. Tak terkecuali dirimu sendiri! Benaknya.
“Maaf,” Akasia takut-takut mencuri pandang ke arah Ankara. Ekspresi pria itu sulit ditebak entah sedang marah, benci atau kecewa. Pantaslah Ankara kecewa terhadanya karena ia telah berbohong. Ia mengaku mengunjungi Bibi Shafiyah kemarin dengan alasan melihat Bibi Shafiyah yang sedang sakit, padahal Bibi Shafiyah tidak sakit. Itu hanya alasan supaya Ankara mengizinkannya keluar area asrama. Setelah dibekali izin, Akasia pergi dengan was-was ke Pasar Akaz, ia begitu bersemangat sampai ia menemui Hiran, pemuda seusianya yang setiap hari bekerja sebagai pengangkut barang di pasar itu. Hiran pandai membuat syair, diwaktu senggang ia gemar melantunkan syairnya dihadapan orang-orang yang berlalu-lalang. Politik, agama, budaya, sosial, percintaan dan semuanya tidak luput dari syairnya. Dan Akasia begitu mengagumi Hiran. Diketahui sudah tiga kali Akasia datang menyaksikan pertunjukan puisi Hiran. Bagaimana bisa? Ya, sebelumnya Akasia memelas kepada Ibu penjaga asrama untuk menugaskannya berbelanja bahan masakan yang sebetulnya bukan tugasnya.
“Sekecil apapun kebohonganmu. Kelak kebohongan itu akan membuatmu menjadi seorang pengkhianat.” Ankara menatap Akasia dalam-dalam. “Tiada hukuman yang pantas selain kematian untuk pengkhiat. Kau ingat kan pelajaran itu?”
Akasia memberi anggukan lemah, kepalanya tertunduk dalam. Ankara mendekat, berlutut dihadapan Akasia menarik dagu gadis itu lalu menghujamkan matanya. “Dengarkan aku gadis nakal, ketika suatu saat kau melakukannya lagi. Aku sendiri yang akan memenggal kepala mungilmu itu dihadapan banyak orang agar mereka mengerti betapa aku sangat membenci sebuah kebohongan. Apalagi berbohong untuk sesuatu yang tidak penting.”
Akasia belum mengerti, sesungguhnya Ankara setengah mati khawatir jika memang benar Akasia telah jatuh cinta kepada Penyair itu. Sudah sejak awal Akasia dia beri kemudahan, ia didik sebagaimana wanita terpelajar yang tangguh. Dan sudah sepantasnya saat beranjak dewasa Akasia mengabdi untuknya.
“Sebagai ganjaran, Akasia. Kau harus berada di Benteng Haz malam ini.”
“Tapi, Panglima.. aku…”
“Aku akan menunggumu. Jika kau tidak datang, lihat apa yang akan terjadi selanjutnya.” Ankara berdiri, berlalu meninggalkan Akasia yang tergugu. Benteng Haz adalah benteng terluar membatasi wilayah kekuasaan Persia dan Romawi. Jaraknya sangat jauh dan gelap, sangat sulit ditempuh hanya berjalan kaki. Seharusnya Akasia tidak melakukan kebohongan itu kalau imbasnya adalah hukuman seperti ini. Tidak ada pilihan lain, Akasia menurut. Semoga dia beruntung dalam perjalanan nanti.
***
Akhirnya Akasia pulang dan mendapatkan orang-orang masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Matahari begitu cerah, terpaksa Akasia mengorbankan waktu istirahat untuk bersiap-siap menuju Benteng Haz, ia harus tiba malam ini. Jika ia beranjak semenjak matahari terik, kemungkinan besar ia akan tiba sebelum tengah malam. Setelah dirasa siap, ia berangkat berjalan kaki. Akasia harus menemukan kereta kuda, tetapi sangat jarang atau hampir tidak pernah kereta dengan tujuan Benteng Haz. Prajurit yang berjaga biasanya menggunakan kuda bebas untuk mencapai tempat itu, namun sesudah dua jam berjalan tidak juga Akasia bertemu kendaraan. Akasia kelelahan, dari kejauhan terdengar sekumpulan derap langkah kuda bersautan. Kuda milik para bangsawan, mereka mamacu kudanya begitu cepat. Ada apa gerangan? atau mereka sedang berlombah adu kecepatan? benaknya heran.
“Butuh tumpangan, Nona muda?” Naufal, pengawal setia Panglima Ankara. Laki-laki itu turun dari kudanya. Menghampiri Akasia yang terduduk bersandar pada pohon. Akasia senang bukan main. Gigi-giginya terlihat.
Akasia bangkit, “Aku bersyukur kau lewat sini, ”
Naufal menjawab dengan senyuman, “kau hendak kemana Akasia? Matahari sebentar lagi akan terbenam. ”
“Benteng Haz,”
“Naiklah,” Akasia naik keatas kuda, kemudian Naufal dibelakangnya sambil memegang tali kekang. Kuda Naufal melesat menembus hutan, mereka menghabiskan waktu seperempat malam. Sudah hampir tengah malam namun Benteng Haz belum juga nampak.
“Maafkan aku, aku terpaksa menurunkanmu di sini.” Naufal bicara dengan sangat menyesal. Kudanya berhenti,
“Tapi kita belum sampai.”
“Tugasku lebih penting dari apapun, Akasia. Mohon mengertilah. Aku sudah menempuh waktu yang lama untuk sejauh ini sedangkan tugasku menunggu meminta pertanggung jawaban. Semoga kau sampai dengan selamat. Sampai jumpa.” Maka Naufal berlalu sambil sebelah tangannya terdapat lentera, begitupun Akasia mengingat malam hari kali ini sangat gelap. Untung saja penerangannya masih bertahan.
Ragu-ragu Akasia terus berjaan, persediaan makanan sudah habis. Dan sekarang ia lapar. langkah Akasia sedikit tertatih, tubuhnya lemas. Yang ada dipikirannya hanya bertemu dengan Panglima Ankara, mencari tumpangan kembali ke asrama dan makan.
Entah sudah langkah keberapa ia terus berjalan, lenteranya hampir redup. Rasa lapar yang menyerangnya membuat Akasia enggan peduli dengan kelamnya malam.
ketika kesadarannya mulai goyah, bak fatamorgana ia menemukan tenda berukuran sedang dengan penerangan remang cukup untuk lima orang didalamnya. Oh, dia akan menyapa siapapun dibalik tenda itu dan meminta beberapa roti.
“Permisi,” Akasia mengintip, “Apakah ada orang di dalam?”
Tidak ada, tenda itu kosong. sepanjang pengelihatan Akasia ada sekeranjang roti dan gandum kering. Setelah menunggu beberapa saat di mulut tenda, perlahan tapi pasti Akasia beranjak masuk. Cacing kelaparan diperut yang membuatnya begitu berani mengambil beberapa roti ukuran besar dan segenggam gandum. “Maafkan aku, aku hanya meminta sedikit karena aku lapar sekali.” gumamnya. Kemudian Akasia hendak keluar dan begitu terkejutnya ia mendapati Ankara tengah berdiri menjulang tepat dihadapannya.
“Panglima.. ” Akasia gugup, “Aku mohon maaf, aku tidak bermaksud…”
“Makanlah,” ucap Ankara tenang.
“Apa? tunggu, kau harusnya sudah berada di Benteng Haz menungguku. Tapi mengapa Panglima… ” Akasia teekejut, kepala mungil Akasia penuh tanda tanya.
“Tempat itu masih sejauh satu mil dari sini. Sekarang makan, besok pagi akan datang utusan membawa kuda untukku. kemudian kita pulang.”
“Jadi, aku tidur di sini?” tanya Akasia tidak percaya.
“Kalau kau mau tidur di luar tenda. Aku tidak akan melarangmu.”
“Tidak mau.” sanggahnya. “Tapi tadi aku hendak mencuri. Maafkan aku, Panglima.”
Mau tak mau Ankara tersenyum, “Tiada salah seorang yang kelaparan mencuri makanan, para penguasa itu yang tidak becus memimpin.” Ankara duduk, kemudian memandangi Akasia dengan roti-roti digenggamannya. “Setelah ini apakah kau ingin berbohong lagi, hm?”
“Tidak,” jawab Akasia mantap. Setelah melalui hal-hal penuh tantangan dan berakhir dengan rasa lelah dan juga kelaparan. Ia jera untuk berbohong barang sekecil apapun. Ankara benar-benar mendidik Akasia dengan sungguh-sungguh.
“Satu lagi,” Ankara menginterupsi. “Kau tidak diperbolehkan melihat pertunjukan puisi si bocah tengik itu.”
“Apa salahnya? Hiran pandai bersyair.” Akasia memprotes tak senang.
“Kelak Kau akan mengerti mengapa aku melarangmu.” katannya sambil lalu, Ankara menuju sebuah kasur ukuran sedang, kemudian merebahkan tubuhnya disana. Terdapat satu kasur lagi dengan jarak aman untuk Akasia beristirahat. Matanya awas ke arah Akasia, melahap makanannya. Pada saat itu pula ada suara gemerincing senjata. Ankara bertanya, “Siapa itu?”
“Naufal, Panglima.” Ankara bangkit kemudian mempersilahkan Naufal masuk.
“Apa yang mendorongmu datang lebih awal?” tanya Ankara.
“Informasi penting untuk panglima. Dari Raja Arda.” Naufal menyerahkan sepucuk surat yang berisi berita genting.
Seusai Naufal undur diri, Ankara membacanya seksama. Seketika ia meradang. Berita itu mengabarkan Jundi, utusan Raja Arda yang ditugaskan mengantar surat perundingan kepada pemimpin Romawi. Diberitakan utusan itu dihadang oleh Ghassan, seorang pemimpin wilayah Mathar yang termasuk dalam kekuasaan Romawi. Ghassan membawa Jundi ke hadapan Raja Romawi, lalu dia memenggal lehernya.
Padahal membunuh utusan adalah kejahatan yang keji, sama seperti dengan gamblang mengumumkan perang! Karenanya Ankara sangat murka mengetahui kejadian itu.
“Apa yang terjadi?” tanya Akasia.
“Perang terbesar.”
***
#inspirasi datang ketika membaca biagrafi salah satu pemimpin timur tengah.
Semoga suka ^^
Waw :KAGEET
Perang besaarrr???? :ngupildoeloe
Terima kasih sudah membaca ^^
Samasama hehe
Waahhh keren niih cerita . . Ditunggu next part yaa ? semangat .. btw kasih judul yg mewakili aja .. trs tiap part dikasih “judul” tersendiri biar gk lupa cerita .. makasih
Dear @alvinabb
Terima kasih sudah membaca ^^
Sebetulnya aku blm ingin membuat story yg terlalu serius. Hanya sekelebat ide ide yg mudah mudahan menghibur.
Wah, ini udah menghibut banget kok, kak??
Ceritanya baguuss.. :inlovebabe Ditunggu next part yaa.. :anakayambaa
Iya bagus yaaa
Ditunggu next nya
Wahhh cerita berlatar timur tengah
Keren ni keren
Ankara suka ya sma akasia hihi
Ditunggu kelanjutanny
Semangat
whoaaa, Ankara nya suka ya sama Akasia? hehe
Ditunggu kelanjutannyaa