Vitamins Blog

Pangeran Tanpa Mahkota – Halaman 5

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

78 votes, average: 1.00 out of 1 (78 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Entah sudah berapa lama Camy masih bersimpuh di lantai. Kakinya mulai kram dan mati rasa. Pandangannya yang tajam tetap terarah kepada Pangeran yang tetap bergeming di tempatnya. Hati kecil Camy mulai memaki laki-laki di depannya terutama kepada kekeraskepalaannya.

Camy mengamati dengan seksama sosok di depannya yang belum sempat dilakukannya saat mereka pertamakali bertemu. Mungkin, Pangeran masih seumuran dengan dirinya. Badannya sudah tegap meski tingginya tidak setinggi Gize yang sudah dewasa.  Bahunya tegap, mungkin efek dari kemeja putih panjang yang dikenakannya serta vest di luarnya, atau mungkin memang dari awal bahunya tegap. Entalah, namun jika situasinya tidak seperti ini, Camy yakin jika Pangeran akan dipuja oleh banyak orang terutama para kalangan wanita. Termasuk dirinya.

Ketukan pintu membuat Pangeran berbalik untuk mengetahui siapa yang baru saja memasuki ruangan, tetap mengacuhkan eksistensi Camy yang duduk bersimpuh di depannya. “Semuanya sudah siap. Kita bisa berangkat kapan saja.” Pangeran mengangguk sedangkan Gize—yang Camy ketahui dari suaranya, sudah kembali menutup pintu.

“Kau akan tetap disini?” Camy dengan sigaonya mengangguk yakin.

“Aku akan tetap seperti ini sampai Pangeran memenuhi permintaan tolong saya.” Pangeran mengangguk. Laki-laki itu meraih jubah hitamnya dan mengenakannya. Dia kemudian mengambil tongkat di pojok ruangan—yang dibaluk kain hitam dengan gantungan yang masih diingat Camy dan meletakkanya di punggungnya. Pangeran menatapnya sekilas sebelum akhirnya melewati Camy begitu saja.

“Kalau begitu selamat tinggal.” Suara pintu tertutup  menandakan bahwa Pangeran telah meninggalkan Camy yang masih bersimpuh di lantai.

Batin Camy berkecamuk, hanya begitukah hasil yang didapatkan Camy setelah yang di dapatkannya. Camy mulai jatuh terduduk, kakinya yang sedari tadi terlipat akhirnya bisa diluruskannya meski masih mati rasa. Air matanya mulai membanjiri pipinya yang kemerahan karena rasa panas yang merambati di wajahnya. Camy ingin rasanya meraung marah bercampur sedih namun dirinya tau bahwa itu adalah hal yang sia-sia.

Suara ringikan kudan menyadarkan Camy. Entah setan apa yang membuat Camy langsung bangkit dari duduknya, mengabaikan kakinya yang masih mati rasa. Kakinya segera berlari keluar dari rumah, berlari menghadap tiga kuda besar yang siap berlari menjauh dari rumah. Satu kuda yang memimpin sempat berdiri dengan kedua kaki belakangnya, kaget akibat kemunculan Camy yang tiba-tiba. Pangeran, penunggang dari kuda paling depan langsung menarik tali kekang kudanya agar kudanya kembali tenang.

Pangeran menatap tajam Camy yang merentangkan kedua tangannya, mencoba menghalangi jalan. “Apa yang kau inginkan?” Camy bergeming di tempatnya. Kepalanya menggeleng samar sebagai jawaban atas tatapan Pangeran yang memerintahkannya untuk tidak menghalangi jalannya.

“Aku tidak akan membiarkan kalian lewat sebelum kalian membantuku dan warga kota untuk mengusir prajurit kerajaan!” kekeuh Camy balas menatap sang Pangeran tajam.

Pangeran bergeming di tempatnya. Dia menatap Camy yang masih tegap berdiri di hadapannya meski dirinya tau bahwa yang dilakukannya sia-sia. Ren yang melihat ketegangan di antara keduanya akhirnya memberanikan mendekati Pangeran yang tidak menunjukkan akan mengabulkan permintaan Camy. “Maafkan aku jika aku ikut campur, tapi bisakah kau mempertimbangkan permintaan Camy?”

Pangeran menatap heran ke arah Ren. “Atas pertimbangan apa?”

“Selama ini Camy sudah baik kepada aku maupun Gize. Dia pun belum melaporkan keberadaan kita padahal dia tau kita adalah pemberontak. Selain itu, dia mengambil keputusan besar karena meminta pertolongan pada kita yang sebenarnya adalah pemberontak dan tidak peduli jika nanti dia akan diukum berat karena telah berhubungan dengan pemberontak. Jadi tolong dipertimbangkan lagi.”

Pangeran terdiam. Pandangannya kembali menatap Camy yang masih bergeming di tempatnya. “Tidak.”

Tidak adalagi yang berani bersuara. Camy pun tetap bergeming di tempat, tidak terpengaruh oleh penolakan yang lagi-lagi dilontarkan oleh sang Pangeran.

Suara dentuman keras terdengar dari arah timur. Ke empat orang tersebut langsung menolahkan kepalanya dan melihat sebuah kepulan asap yang muncul dari balik pepohonan yang terletak jauh. Camy pun membeku saat menyadari dari mana asal suara ledakan serta asap mengepul hitam yang mengerikan itu.  “Kau akan tetap disini atau kau akan menyingkir dari jalanku.” Camy memandang nanar ke arah Pangeran yang nampaknya tak terpengaruh oleh suara ledakan itu. Camy menyadari bahwa mungkin Pangeran tau apa yang tengah terjadi namun tetap tidak mengambil tindakan.

“Aku akan tetap disini. Aku akan pergi jika Pangeran juga ikut pergi denganku!” Camy kembali menatap tajam sang Pangeran, menegaskan niatnya kembali meski hati kecilnya berteriak meminta Camy kembali ke kota dan melihat keadaan ibunya.

“Kau yakin? Bagaimana dengan keluargamu? Kau tidak mencemaskan mereka?” Camy tanpa sadar mulai gemetar. Bayangan ibunya yang dipukuli saat terakhir kali dia terlambat ke rumahnya membuanya ketakutan. Tanpa disadarinya, tubuh Camy mulai gemetar. Tangannya terasa dingin akibat rasa cemas yang tiba-tiba menghantuinya, apalagi ditambah memori ibunya yang dipukul terus berputar di kepalanya.

Lagi-lagi terdengar suara berdentum dari arah Timur. Asap yang mengudara semakin pekat, suara teriakan yang memilukan pun turut serta menambah suasana yang sudah mencekam. Tubuh Camy terpaku saat telinganya mendengar suara teriakan wanita yang meminta pertolongan. Itu memang bukan suara ibunya namun suara tersebut mampu membangkitkan mimpi buruk yang menghantui pikirannya selama satu minggu ini. mimpi tentang ibunya yan terbujur kaku dengan dara yang menjadi selimut di tubuhnya.

“Kau tidak akan pergi?” Camy kembali menatap sang Pangeran. Tatapan Pangeran itu tetap sama, tetap tak tersentuh layaknya tidak terjadi apa-apa barusan.

“Pangeran tidak berubah pikiran untuk membantu kami?” Pangeran tetap diam tak menanggapi. “Pangeran tetap tidak mau membantu meskipun apa yang sudah terjadi.”

“Tidak. Kau akan tetap disini?” Kini giliran Camy yang meragu. Haruskah dia tetap disini untuk memohon bantuan kepada orang yang belum tentu mau membantunya atau apakah dia harus ke kota sekarang meski tidak ada yang bisa dilakukannya disana. lalu bagaimana ibunya.

Kegundahan hati Camy hancur seketika saat suara debuman kembali terdengar. Tidak diperlukan waktu dua kali untuk Camy berlari menuju suara debuman itu. dirinya tak peduli lagi dengan bantuan sang Pangeran yang nyatanya tidak juga ingin membantunya. Saat ini tujuannya hanya satu, dia ingin membantu ibunya.

Langkah Camy berlari menyusuri jalanan hutan yang mulai dikenali Camy. Camy tidak mempedulikan bagaimana bisa dia sampai secepat itu ke pinggiran kota, pikirannya kini tertuju pada restaurant serta ibunya. Kepulan asap serta api merupakan pemandangan pertama yang dilihat Camy saat memasuki kota, disusul dengan suara teriakan kesakitan serta teriakan yang tentunya berasa dari sekitarnya. Banya prajurit istana disana, dengan pedang yang mengacungkan darah mengerikan sedangkan beberapa warga kota telah tergeletak mengenaskan.

Kaki mungil Camy mulai melangkah menerobos pekatnya asap hitam yang menyelimuti kotanya. Untuk saat ini telinganya dia tulikan untuk mendengar jeritan mengerikan yang bersahut-sahutan di sekitarnya. Beberapa kali dia menyeka air mata yang mulai turun di matanya. Tujuannya saat ini hanya satu, ibunya.

Mata Camy membelak saat dia sudah berada di depan restaurantnya. Tepat di depan sana, beberapa meter di depannya, ibunya telah tersungkur dengan seorang prajurit yang menginjak dada ibunya.

Tanpa menunggu dua kali, Camy langsung menyerbu prajurit itu, menodorongnya agar tidak lagi menginjak ibunya yang telah batuk akibat sesak napas. “Apa yang kau lakukan!”

Prajurit yang tadi didorong oleh Camy sampai jatuh langsung berdiri. Membalikkan tubuhnya hingga bisa melihat sosokk Camy yang telah ditunggunya. “Wah, lihat siapa yang telah datang? Sedari tadi aku sudah menunggumu.” Seringai prajurit itu tampak menyeramkan namun tidak mengurungkan niat Camy.

Camy segera menolong ibunya. Mendudukkan ibunya dan menjadikan tubuhnya sebagai penahan tubuh ibunya yang tidak sanggup lagi untuk sekedar duduk. “Kau tidak apa-apa bu? Katakan dimana yang sakit.”

Ibu Cmay terbatuk beberapa kali. “Ibu tidak  apa-apa Camy. Seharusnya ibu yang bertanya kenapa kamu masih disini? Seharusnya kamu sudah kabur.” Camy menggelengkan kepalanya sebagai tanggapan ibunya.

“Camy tidak akan meninggalkan ibu. Camy akan tetap bersama ibu.” Camy memeluk ibunya yang memejamkan mata dengan kernyitan di dahinya yang menahan rasa sakit.

Camy kembali menatap prajurit di depannya. Prajurit itu sama dengan prajurit yang menyiksa ibunya beberapa hari lalu. “Sebenarnya apa maumu?” lagi-lagi seringai itu muncul di wajah prajurit itu.

“Kau. Aku ingin kau.”

“Aku tidak akan membiarkan kau membawa Camy!” Camy menoleh ke arah restaurantnya. Finner berdiri disana dengan tongkat yang menyangga tubuhnya. Tubuhnya terlihat tak berdaya namun tetap memaksakan diri untuk berdiri dan mengangkat pedangnya. “Aku tidak akan membiarkanmu membawa siapapun keluar dari kota ini!”

“Wah lihat ini, kau punya pengawal pribadi rupanya. Dan kau, kau sudah berani menentang orang dengan jabatan lebih tinggi darimu?”  nada menggeram itu tidak menyurutkan semangat Finner. Prajurit yang nampak rapuh itu tetap tegap berdiri seolah menantang prajurit besar di depannya.

“Aku tidak akan takut denganmu. Kau hanyalah prajurit boneka yang hanya bisa menurut apa yang dikatakan atasannya. Aku berdiri disini sebagai pelindung kotaku!” Semua orang terperangah dengan apa yang diucapkan oleh Finner, tak terkecuali Camy yang mulai berlinang air mata karena terharu.

“HAHAHAHAHA!” Prajurit itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar perkataan Finner. Bahkan sampai meneteskan air mata. “Aku tak menyangka kau bisa berubah begini banyaknya setelah aku meninggalkan kota ini dalam satu minggu. Sepertinya kau tidak belajar dengan baik dari pengalamanmu kemarin.” Prajurit itu menarik pedang dari balik punggungnya, mencipatakan suara desingan besi yang memekakakn telinga. “Atau mungkin kau memang sangat bodoh hingga tidak bisa menangkap peringatanku kemarin.”

“Aku tetap akan menentangmu meski nyawa sebagai taruhannya.” Finner  tetep kekeuh dengan apa yang diyakininya. Tak mempedulikan apa yang diucapkan oleh prajurit di depannya.

“Ck, sepertinya kau memang bodoh. Dan aku tau bagaimana menangani orang bodoh sepertimu. Dengan menghukumnya!” Setelah perkataan itu, prajurit itu langsung menerjang Finner. Finner yang belum siap sempat terhempas sedikit sebelum akhirnya bisa kembali berdiri tergak.

Kedua prajurit itu saling menyerang, saling membelah dengan pedanganya. Kondisi Finner yang kepayahan tidak menghalangi kemampuan berpedangnya. Bahkan terlihat sekali prajurit kerajaan itu mulai geram karena tidak bisa menjatuhkan Finner yang salah satu tangannya harus memegang tongkat sebagai topangannya untuk berdiri. Menyadari hal itu, prajurit itu segera membelah tongkat Finner menjadi dua bagian, menyebabkan Finner ambruk seketika.

“Finner!” Camy membelak ngeri saat Finner tersungkur dengan tangannya yang memegangi dadanya sedangkan prajurit itu menyeringai kejam.

“Bukankah sudah kubilang kalau aku tau cara mengatasi orang bodoh sepertimu.” Prajurit itu tanpa segan menusuk pundak Finner sehingga Finner menjerit kesakitan. Tak cukup sampai disitu, prajurit itu bahkan menggoyang-goyangkan pedanganya hingga mengoyak pundak Finner—menambah penderitaan Finner. “Jadi bagaimana? Apa kau sudah mengerti pelajaran hari ini?” teriakan kesakitan Finner seakan menjawab pertanyaan prajurit itu sehingga prajurit itu tersenyum senang.

Camy yang tak kuasa melihat keadaan Finner segela meletakkan ibunya ke tanah. Dipandnaginya ibunya yang menatap sayu pada Camy. “Ibu tunggu disini. Aku akan membantu Finner.” Ibu Camy mengangguk mengiyakan.

Camy segera berderap ke arah prajurit itu. tak lupa dirinya segera mengambil sebilah tongkat yang tergelatak tak jauh dari dirinya. Dipukulkannya tongkat itu ke kepala prajurit itu hingga prajurit itu mengerang kesakitan. Mengambil kesempatan, Camy segera mencabut pedang yang tertancap di pundak Finner. Finner mengucapkan terima kasih dengan nada lirih, “Terima kasih, Camy.” Camy mengangguk. Dirinya kembali berdiri untuk menghadapi prajurit itu namun sayangnya terlambat. Leher Camy sudah dicengkeram oleh tangan prajurit itu hingga tubuh Camy terangkat ke atas dengan mudahnya.

“Kau, kucing kecil nakal. Berani-beraninya kau memukul kepalaku!” tangan mungil Camy memukul tangan kekar prajurit itu begitu pun kedua kakinya yang bergerak tak menentu agar tubuhnya bisa terlepas. Namun usaha Camy sia-sia. Prajurit itu malah semakin mempererat cengkeramannya pada leher Camy. “Kau memang kucing kecil yang nakal. Aku jadi penasaran apakah kau akan bisa jinak di tanganku.” Perkataan prajurit itu semakin membuat Camy kalut, gerakannya untuk memberontak semakin membabi buta—membuat prajurit itu malah kegirangan.

“ARGHHH!” teriakan prajurit itu dibarengi dengan tubuh Camy yang terhempas begitu saja di atas tanah. Beberapa kali Camy terbatuk karena lehernya terasa sakit untuk bernapas. “Dasar kau wanita tidak berguna! Menyusahkan saja!” Camy melirik dari sudut matanya. Prajurit itu memakin pada sosok perempuan yang tadi menggigit kakinya. Saat pandangannya tidak lagi memburam, Camy baru menyadari bahwa itu adalah Ibunya. Ibunya telah menyelamatkan Camy.

Camy berusaha berdiri untuk menolong ibunya namun semua sudah terlambat. Prajurit itu sudah menghunuskan pedangnya pada dada ibunya tepat pada jantung ibunya. Membuat tubuh ringkih itu memuncratkan cairan kental berwarna merah sebelum menutup matanya.

“IBUUUU!!”

18 Komentar

  1. ???

  2. :AKUGAKTERIMA :PEDIHH :beruraiairmata

  3. miiiiyyyyaaaaa menulis:

    Ceritanya keren ….. kasian camy nya …pangerannya juga kenapa cuma diem aja …. rasanya gondok baget …..tapi MANTAP

  4. Aduh, lgi seru2nya malah bersambung :SEMANGATLEMBUR

  5. farahzamani5 menulis:

    Yahhhh ibu ny camy……. Huhuhuhu

  6. :PATAHHATI :PATAHHATI

  7. Keren ceritanya

  8. girllinepaath5 menulis:

    Tegaaaaa ?????

  9. Pangeran dimana dirimu sayang:’v Bantuinn dong Camynya :PEDIHH

  10. kangen sama cerita ini jugaaaaaa:(

  11. Pangeran ayookkk bantuin camy

  12. kapan lanjut kak. aku tiap Minggu ngecek akun nya kakak, nunggu update

    1. Diusahakan segera ya, mungkin besok. Lagi sibuk di dunia nyata soalnya. Maaf ya kalo udah nungguin lama, nggak nyangka kalo ada yang nungguin, wkwkwk :GERAAH

  13. fitriartemisia menulis:

    waduh, ibunya Camyyyyyyy!!!!!!!!!! :supershock

  14. syj_maomao menulis:

    Aihhh ibunya Camy ketusuk ituuuu :PATAHHATI
    Huwaaaaaaaa Camy yang sabarrrr yakk duhhh emang itu prajurit kerajaan sadissss pengen ku sembur rasanya /,\

  15. Penasaran nih huhuhu

  16. Ditunggu kelanjutannyaa

  17. Aulia Rahmi menulis:

    Kenapa pangerannya tidak mau menolong ya??? Kan kasihan…