Bidadari Hujan
.
.
Dunia saat malam hari, nuansanya jauh lebih indah dua kali lipat dari pada siang hari. Gemercik air dingin yang turun dari langit, membasahi setiap titik tanah, bersama dengan seluruh kehidupan yang ada di sana. Di sanalah, aku bertemu sang bidadari hujan. Dia begitu cantik, saat seluruh tubuhnya terbalutkan air seakan menjadi pengganti baju hitam polosnya yang basah dan menyelimutinya. Rambut hitam polos yang turun karena setiap percikan air yang turun, rasanya begitu indah.
Aku mengamatinya—dari kejauhan, sedikit heran mengapa wanita cantik itu tidak peduli dengan keadaan dirinya yang basah kunyup dan malah menikmati setiap tetes hujan yang mengotori dirinya. Pancaran bulan purnama seakan berubah menjadi sorot lampu untuk menerangi pesona wanita itu, begitu indah, begitu takjub, begitu ajaib.
Semuanya rasanya seperti sebuah layar yang memaparkan keindahan seorang dewi. Begitu mendebarkan sekaligus menyesatkan yang tanpa sadar membuatku terus memperhatikannya. Kedua mata ini rasanya tidak mau melihat ke arah yang lain—hanya melihat gadis itu termenung di tengah-tengah kerumunan orang-orang dan hujan.
Dulu, aku benci hujan, karena setiap genangan airnya mengingatkanku akan kejadian yang tidak ingin kuingat. Namun, sejak aku bertemu dengan bidadari hujan itu, entah kenapa secara mengagumkan penilaianku terhadap hujan berubah. Sekarang aku menikmati setiap air yang menetes membasahi tanganku, hatiku nyaman saat suara gemuruh terdengar begitu merdu di kedua telingaku, suaranya terdengar bagai alunan merdu yang bisa menentramkan hati. Kini, aku percaya, sejak aku bertemu dengan bidadari itu, hari-hariku bagai terasa dipenuhi oleh keajaiban. Semua hariku terasa begitu santai dan menyenangkan, tidak ada kehidupan membosankan yang biasa selalu aku lalui dengan keluhan.
Aku ingin berkenalan dengannya, aku tidak ingin hanya memandangnya dari kejauhan, aku ingin dia mengenalku seperti aku mengenalnya. Aku ingin menjadi sahabatnya, mempelajarinya mengapa ia mempunyai pesona alami begitu indah, aku ingin mendengar suaranya saat memanggil namaku, mungkin itu akan jauh lebih indah daripada hanya sekedar gemuruh air hujan.
Isi kepalaku melayang, membayangkan hal-hal tersebut terjadi, mungkin rasanya akan menyenangkan. Aku tertawa dalam hati, tanpa menyadari bidadari itu sadar kuperhatikan dan balas menatapku.
Dan, saat itu, rasanya dunia berhenti berputar.
Ia tersenyum, senyuman begitu manis, begitu memikat. Senyuman tulus yang terpancar langsung di celah bibir mungilnya. Ya ampun, ternyata senyuman aslinya jauh lebih manis dari yang kubayangkan. Sadar karena diperhatikan dan terlalu malu untuk mengakui semua perbuatan yang kulakukan, kupalingkan arah pandanganku secara acak, berusaha mencari-cari alasan agar gadis itu tidak menertawai perbuatanku. Sedikit curi pandang ke arahnya, kulihat dia tersenyum geli melihat tingkahku, dan lagi-lagi, waktu terasa berhenti, dunia berhenti berputar, dan keadaanku seakan-akan beku hanya dengan seulas senyumannya yang mempesona.
Hujan turun semakin deras, aku berusaha membalas senyumannya dengan senyuman canggungku, ia menerimanya. Kami kembali berpandangan—tidak ada satu pun dari kami yang mulai berjalan mendekat—hanya diam, tanpa mengeluarkan suara—hanya berupa senyuman canggung. Kuperhatikan sekeliling kami, orang-orang masih sibuk berlalu-lalang, melewati kami berdua, tidak peduli pada keadaan sekitar mereka, berusaha mencari tempat berlindung dari genangan hujan, melanjutkan kegiataan mereka walau dengan setengah hati.
Tanpa sadar kulangkahkan kedua kakiku, kudekati dirinya tanpa peduli dengan keadaan hujan yang nantinya akan membasahi diriku. Bola mata hitam yang menatapku rasanya seperti sebuah magnet yang menarikku untuk mendekat, semakin dekat, semakin mempersempit jarak di antara kami. Dan akhirnya, aku berdiri tepat di hadapannya. Senyumannya terlihat semakin dekat, semakin nyata. Ini bukan mimpi di malam hari, inilah kenyataan yang begitu mengagumkan, sampai membuat debar jantungku berdetak begitu cepat.
“Wajahmu merona,” suaranya menggema begitu indah di gendang telingaku. Ia menertawai tingkahku, membuatku semakin malu karena kelakuanku.
Kutundukkan wajahku, berusaha menyembunyikan wajahku yang semakin memerah. Ia semakin tertawa, entah apa yang membuatnya geli, tapi tindakannya malah membuatku semakin terlena menatapnya. Terus menatapnya.
Tuhan, apa yang Kau pikirkan saat menciptakan wanita ini, mungkin ia adalah satu dari puluhan manusia ciptaanMu yang paling sempurna. Dia terlalu sempurna di mataku. Dia. Seorang wanita yang selalu kutemui bersama serpihan hujan, bersatu di dalamnya. Sang bidadari hujan.
Ia masih tertawa, kemudian kembali berkata, “Kau ini yang selalu memperhatikanku dari sana,” katanya sambil menunjuk sebuah kedai kecil di belakangku, tempat yang paling tepat untuk memperhatikan. Dan seperti yang kuperkirakan sebelumnya, ia sadar dengan keberadaanku, tindakanku, tatapanku saat menatapnya. Ia tahu dan ia tertawa, tidak marah atau risih, tapi malah terasa nyaman?
“Kau tidak keberatan?” tanyaku ragu, sedikit penasaran.
Ia menggeleng, “Tidak.”
“Apa kau senang hujan-hujanan?” kuberanikan diri untuk bertanya, pertanyaan yang dari dulu selalu berkelana di dalam kepalaku setiap kali melihatnya, “Kau senang berada di bawah hujan?”
Gadis itu menjawab dengan senyuman, tidak ada jawaban yang dapat menyaingi senyuman bidadarinya itu, rasanya itu sanggup membungkam mulutku untuk tetap bertanya. Semenit kemudian, bibirnya terbuka untuk mengeluarkan kata, “Aku selalu merasa diriku adalah bagian dari hujan, mungkin itu sebabnya…”
Wajahnya tersipu malu saat mengatakan itu, tangannya mengacak pelan rambut hitamnya yang basah, tindakan yang terlihat begitu manis. Jawabannya terdengar seperti gurauan, tapi entah kenapa aku percaya itu adalah kata-kata tulus yang ia ucapkan. Aku percaya mendengarnya, kedua mataku yang terus memperhatikannya juga mempercayainya. Gadis ini adalah bagian dari hujan. Tidak! Gadis ini-lah yang membuat hujan begitu bercahaya, di bawah sinar bulan yang terang, berpadu dalam symphony merdu di malam hari.
“Apakah jawabanku aneh?” tanya gadis itu.
Aku menggeleng pelan, “Tidak,” menurutku sama sekali tidak aneh, “aku juga berpikir seperti itu saat melihatmu.”
“Kau senang dengan hujan?” tanya gadis itu ramah, matanya lurus menatap raut ekspresiku yang gugup. Hitam pekat seakan menyatu dengan nuansa malam, mengagumkan.
“Akhir-akhir ini,” jawabku seadanya, “dulu aku tidak terlalu suka dengan hujan.”
“Kenapa bisa suka?”
Karena dirimu… aku tidak bisa menjawab dengan pernyataan itu, terlalu malu untuk jujur kepadanya. Kulayangkan senyuman tipisku dan kemudian menjawab, “Aku merasa tenang setiap kali mendengar suaranya.”
“Aku juga!” seru gadis itu setuju. “Saat pertama kali aku melihat dan mendengarkan air hujan menari, aku merasakan ketenangan, seluruh pikiranku kosong, benar-benar rasanya seperti di bawa ke dunia lain. Mungkin sejak saat itu, aku merasa aku adalah bagian dari hujan.”
Dia—sang bidadari hujan—menutup matanya, wajahnya mendongak ke atas, menerima setiap terpaan air hujan yang turun, dengan tersenyum. Aku perhatikan, lebih dekat, semakin terlihat bercahaya. Tanpa sadar aku mengikuti tindakannya, kulakukan seperti yang dia lakukan, penasaran apa enaknya melakukan hal itu. Kedua mataku menutup sambil terangkat ke atas, menghadapi langit hitam dengan peluru air hujan. Kurasakan wajahku dingin diterpa air, rasanya semua beban yang ada di dalam kepalaku kosong seketika, aku merasa seolah-olah mengambang di antara gravitasi bumi, seakan berada di dunia lain.
Oh, jadi ini rasanya berdiri di bawah air hujan—seperti yang selalu dia lakukan.
“Menyenangkan, bukan?” sebuah suara tertangkap oleh telingaku, gadis itu sedang bertanya kepadaku bagaimana rasanya.
Sangat… tenang dan nyaman…
Saat kubuka kedua mataku, kembali menoleh ke arahnya, dia sudah tersenyum kepadaku, kemudian kembali bertanya. “Siapa namamu?”
“Taku.”
“Nama yang unik.”
Benarkah? Aku memang merasa nama ini berbeda dari nama orang lain. Tapi aku tak menyangka dia akan bereaksi sebaliknya.
“Siapa namamu?” kuberanikan diri untuk bertanya, dengan ini aku sudah melangkah lebih maju untuk dekat dengan gadis ini.
“Sharoin,” matanya begitu jernih menatapku, “Salam kenal,” ia mengulurkan tangannya ramah.
“Namamu juga unik,” baru kali ini aku mendengar sebuah nama yang aneh sekaligus menarik. Dan saat kulihat reaksinya, dia sama sekali tidak tersinggung. Tanganku menyambut tangannya, kulitnya terasa begitu lembut di telapak tanganku yang besar dan kasar, meskipun basah.
“Aku tahu, dan aku bangga dengan nama itu,” ucapnya penuh percaya diri.
Dia—sang bidadari hujan—yang kini kuketahui bernama Sharoin, adalah seorang gadis manis yang begitu ramah dan ceria. Pesonanya begitu alami, tidak dibuat-buat, dan itu membuat hatiku selalu nyaman berada terus di sisinya. Walau kami hanya baru sekali bertemu dan berbicara tidak lama, Sharoin memperlakukanku seperti teman lama yang baru di temuinya setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Perlakuannya membuatku nyaman, dan hatiku semakin bergetar tidak karuan. Suaranya saat berbicara, senyuman yang tersungging dari bibir sensualnya, benar-benar membuatku terpana kepadanya.
Mungkin setelah kami saling mengenal lebih jauh di bawah hujan ini, Sharoin mulai tertarik dan menganggapku sebagai temannya?
“Sebentar lagi hujan mulai reda,” suaranya membuyarkan lamunanku, membuatku mengamati keadaan atas dan melihat serpihan hujan mulai menurun, mungkinkah akan ada pelangi di malam hari? Semoga keajaiban tetap terjadi seperti sekarang.
“Apa kau suka kopi hangat?” aku tidak ingin ini berakhir. “Aku tahu kedai kopi yang enak.”
Sharoin tersenyum, begitu lembut, “Aku sangat suka minum kopi.”
Kami berjalan beriringan, tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang melihat keadaan kami, aku sudah memutuskan untuk mengenalnya lebih dekat. Seorang bidadari yang selalu muncul saat hujan di malam hari. Dia adalah Sharoin, seorang wanita berambut hitam pekat yang begitu serasi dengan rembulan, seseorang yang mempunyai senyuman terindah yang pernah kutemui seumur hidupku, rasanya aku benar-benar bersyukur karena hujan. Kebencianku pun sirna seutuhnya, terima kasih untuk Sharoin, seorang malaikat entah dari mana yang bisa menyinari hari-hariku yang kelam.
Mungkin suatu hari ini, aku akan menyesal karena pernah mengenalnya, atau mungkin suatu hari nanti, aku akan menangisi kepergiannya, tapi hanya untuk hari ini saja, biarkan senyumanku mengambang indah, menemani setiap langkah kami berdua yang berjalan menuju tempat yang hangat, saling berbagi kisah, tentang kami berdua…
– The End –
Sedikit note :
Salam kenal buat di teman-teman diweb ini ^^ saya coba publish cerpen yang udah saya buat bertahun2 yg lalu. Mohon dimaklumi jika ada kesalahan penulisan dan kekurangan lainnya.
P.S : Kalau kalian pernah merasa baca cerita ini, berarti anda adalah salah satu teman saya di FB :D #pede
Kritik dan Saran sangat diterima… Happy reading :D
baguss ceperpennya. Baca ini karena judulnya bagus isinya jg?
Makasih sudah mampir baca ??
Thanks ya sudah post cerpennya di sini
Sama2 kk.. ?
Makasih jg udah mampir baca ya ??
Ngerasa so sweet bngt penjabaran per kata ny, ikut senyum2 sndri, malu2 sndri dll Haha
Ditunggu karya2 lainnya
Semangat trs ya ka
Makasih yah sudah mampir baca cerita ini :MAWARR
Sma2 hehe
Berbicara tentang cinta
Baca cerita kmu bikin senyum2,malu sendiri
Di tunggu karya2 selanjutnya
Makasih yah karena sudah mampir baca cerita ini :MAWARR
Berasa akulah gadis itu… Hehe. Good job
Makasih yah sudah mampir baca cerita ini :MAWARR
Vote aaaahhh~
Makasih yah :MAWARR
Duh judulnya persis kek judul lagu wkwk :HUAHAHAHAHA
Ahahaha… Ada yah? Aku ga pernah tahu :HUAHAHAHAHA
makasih yah :MAWARR
Keren.. keren..
Makasih yah :MAWARR
aku juga suka hujan,,, :):):)
tapi gak bisa hujan-hujanan,, :(:(:(
Makasih yah :MAWARR
hujan2an nanti sakit kalo kelamaan :PATAHHATI
Sweet banget :NGEBETT
Kata2nya meski simpel tapi bikin adem.. jd malu2 sendiri pas bacanya :IMUT
Bagus cerpen nya dn bikin nyegir jg
Anjirrr so sweeettttt iihh ??
:LOONCAT
menghanyutkan banget uhhhh :NYAMAN :sangatterpesona
Baca ini jadi senyam senyum sendiri, hihi
whoaaa bagus cerpennyaaa
Bagus nih heheheh