Vitamins Blog

A Snow in Tokyo

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

33 votes, average: 1.00 out of 1 (33 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Aku melirik kalender meja di sebelah kanan laptopku, 17 Desember 2016. Lebih cepat dari deadline seharusnya. Kemudian aku menutup laptop kerjaku dengan hati lega. Setelah selesainya pekerjaanku ini, artinya aku bisa menikmati libur natalku lebih cepat dibandingkan karyawan lainnya, walaupun hari libur resmi baru akan dimulai tanggal 20 nanti, bagi karyawan yang sudah menyelesaikan tugasnya sebelum deadline boleh meliburkan diri dulu di kantorku ini. Itu mengapa aku selalu bekerja secepat mungkin, agar aku bisa libur lebih lama.

When you hold me in the street, and you kiss me on the dance floor….

“Hallo, ma?” Sapaku menjawab panggilan masuk.

“Liburan ini kamu pulang ke Indonesia kapan?”

“Aku pulang habis natal ma, sekitar tanggal 27..”

“Loh kenapa?”          

“Aku nggak sempat pesan pesawat kemarin-kemarin. Barusan aku cek ternyata semua sudah sold sampai tanggal 26, mungkin aku pulang tanggal 27.”

“Oh gitu… Kamu libur sampai tanggal berapa?”

“Sampai 5 Januari ma, tapi aku masih punya banyak jatah cuti kok.”

“Ya sudah. Nanti kalau mau pulang kabarin ya…”

“Iya ma… salam kangen buat Rendy.”

“Oke…”

Aku menekan tombol end call dan memasukan ponselku ke dalam tas kerjaku. Aku memijit kepalaku yang sedikit pening sambil menoleh kearah jendela, salju pertama di Tokyo bulan ini baru saja turun, sedikit telat dari tahun-tahun sebelumnya yang biasanya dari awal Desember sudah mulai ada rintik-rintik salju. Tapi pada tahun ini, baru hari ini aku melihat salju dibulan ini.

Sebenarnya aku masih tidak pernah menyangka akan bekerja disini. Di Jepang maksudku. Jepang itu… Negara impiannya… Dulu aku berpikir, jika suatu saat nanti aku pergi ke Jepang sudah pasti aku sedang bersamanya, bukan untuk bekerja seperti ini. Tapi takdir berkata lain, ketika aku sedang bekerja di suatu perusahaan swasta di Jakarta sana, tiba-tiba bagian HRD menawarkan mutasi karyawan dua tahun lalu, aku memilih Jepang daripada China maupun Korea Selatan, karena aku sangat merindukannya… Walaupun aku tahu, dia mungkin sudah tidak ada disini… Tapi aku akan mencintai Jepang seperti dia mencintai negara ini. Tapi disaat aku sendiri seperti ini, aku masih sangat merindukannya, bahkan aku masih ingat obrolan kami delapan tahun yang lalu saat kami masih di Sekolah Menengah Atas.

“Kenapa sih kamu ambil Sastra Jepang?” Tanyaku siang itu saat kami sedang mengisi perminatan jurusan saat kuliah nanti.

            “Aku suka Jepang. Semuanya…” Jawabnya diiringi senyum.

            “Tapi kamu ambil sastra, kamu mau jadi apa? Kenapa kamu nggak ambil jurusan lainnya?”

            “Maksudmu kayak kamu? Anak IPA yang kuliahnya ambil Akuntansi?” Ejeknya

            “Nggak gitu juga, Van. Kamu bisa ambil Arsitektur atau Sipil kalo kamu nggak pengin jadi dokter.”

            “Aku Cuma pengin kuliah apa yang aku mau Zee, lagian Papi Mami aku setuju-setuju aja kok!” Jawabnya sambil mengacak-acak rambut panjangku.

            “Kalau gitu… Ajak aku ke Jepang nanti kalau udah sukses! Kamu harus janji.” Tantangku sambil membalikan badan kearahnya dan menyodorkan jari kelingkingku.

            “Siap, kapten!” Jawabnya sambil menautkan kelingking kami.

Tapi dia mengingkari pinky promise itu…. Bahkan aku tidak tahu dia dimana sekarang. Kami terakhir bertemu pada malam prom night SMA kami, dia berkata dia akan benar-benar mengambil Sastra Jepang yang malam itu baru aku tahu dia benar-benar mengambil studinya ke Jepang. Dan setelah di Jepang aku merasa dia seolah menghilang ditelan bumi. Bahkan Instagramnya tidak aktif lagi… Jika ponselnya hilang atau apa, dia bisa kan menghubungiku lagi? Tapi ini tidak. Aku jadi berpikir kalau dia memang sengaja menjauhiku… Aku dekat dengannya, namun kami hanya beberapa kali pergi berdua, selebihnya dengan teman-teman kami yang lainnya. Terkadang dia memanggilku sayang, babe dan lain-lain… Tapi itu semua kurasa hanya candaan semata, yang aku rasa, baginya, sedekat apapun aku dengannya dulu kami hanyalah teman sekelas… Tapi aku menyayanginya, semua perilakunya padaku begitu manis, membuatku merasa terspesialkan walaupun aku tak pernah tahu bagaimana perasaannya padaku. Sampai hari-hari yang telah berlalu menjadi hitungan tahun, aku masih belum bisa melupakannya.

“Ah, ya!” Latahku kaget saat tiba-tiba ada yang mencolek pundakku dari belakang.

“Dara! Jangan suka bikin kaget, deh.” Ucapku setelah menoleh kebelakang. Dia Dara, temanku dari Indonesia yang bekerja dibagian marketing. Kami dulu di Jakarta tidak begitu dekat karena berbeda bagian, namun kini karena hanya aku dan Dara karyawan Indonesia yang berjenis kelamin wanita maka aku menjadi dekat dan kami juga berbagi apartement.

“Yuk, balik. Kamu pasti udah selesai kan?” Tanyanya riang seperti biasa.

“Iya. Tapi, besok aku masih harus ke kantor satu kali lagi, ini kan belum di presentasiin.” Jawabku sambil keluar dari kubikel kerjaku dan berjalan kearah pintu keluar devisi keuangan.

“Aku juga belum selesai ngerjain tugasku Zee. Santailah!” Balasnya cepat sambil menjejeri langkahku.

“Tapi aku gugup Ra, kamu kan tahu, bos besar kita harus segala sesuatunya sempurna. Nggak sadar diri banget udah tua begitu… Nggak kasian apa sama karyawannya yang merantau ini.” Dengusku sambil membayangkan Mr. John yang berkepala botak itu. Walaupun aku berada di Jepang, namun rata-rata orang di kantorku ini bukan orang Jepang. Hanya beberapa saja, lebih banyak orang Eropa atau Amerikanya malahan.

“Heh, omonganmu itu lho Zee!” Tegur Dara saat kami sudah melewati gerbang utama kantor.

“Nggak ada yang tau apa yang kita omongin Ra. Calm. Hahahaha.” Aku jadi heran dengan Dara. Dia anak yang paling patuh pada aturan.

“Ish, kebiasaan ngata-ngatain yang udah tua nggak sopan tahu. Coba kalau nanti kamu sudah tua, terus–“

“Eh, busnya udah dateng Ra, yuk masuk.” Potongku sambil tersenyum tanpa dosa karena memotong ceramah Dara dan menariknya memasuki bus.

Huhhh.

Aku menghembuskan nafas lega saat keluar dari ruangan rapat. Yeah. Akhirnya tugasku benar-benar telah selesai setelah presentasi tadi. Mr. John mungkin sedang baik hati karena ia tak menanyakan macam-macam tentang hasil kerjaku. Dan itu membuatku senang hingga berjalan sedikit cepat karena aku ingin pulang dan hibernasi hingga besok.

Bruk!

Shit. Berkas-berkas yang aku bawah jatuh berceceran dilantai karena menabrak seseorang. Dan herannya orang ini benar-benar tak berperikemanusiaan sama sekali. Dia mungkin orang kaya, dilihat dari merk sepatunya didepan mataku karena aku masih berjongkok untuk mengambil berkas-berkasku.

I’m sorry” Ucapku saat aku sudah berdiri tanpa mau repot-repot mendongakan kepalaku untuk melihat siapa yang menabrakku dan berjalan lurus.

“Zee?” Aku berhenti ditempat. Aku seperti mendengar namaku disebut dengan nada yang sangat aku kenal.

Kemudian aku menoleh ke belakang. Aku melihatnya… berdiri disana dengan rambut hitam kemerahan yang terkena lampu koridor.

24 Decemember 2016

Aku menyisir rambut tembagaku yang aku warnai bulan lalu. Senyumku mengembang dicermin. Minggu lalu ternyata aku benar-benar bertemu dengannya lagi. Seperti sebuah mimpi yang terwujudkan. Hubungan kami sekarang sudah membaik, aku kira saat di koridor itu dia akan bersikap cangung. Nyatanya tidak. Dia mengajakku makan dan dia menceritakan kehidupannya selama delapan tahun terakhir. Dia tidak jadi mengambil Sastra Jepang, namun ia mengambil Bisnis di New York sana. Namun kemarin, ia sedang menjemput Mr John, yang ternyata adalah kakak sepupu ayahnya. Sungguh dunia memang sangat mengejutkan. Dan hari ini, tepat di malam natal, ia mengajakku untuk makan malam di suatu restoran Jepang yang baru ketahui miliknya. Aku sedikit terkejut saat kemarin dia berkata bahwa ia akan menetap di Jepang dalam waktu yang lama. Namun itu bukan hal yang mustahil karena aku tahu seberapa besar ia mencintai Jepang.

“Zee! Revan udah jemput tuh!” Seperti biasa, suara Dara yang menggema ditambah ketokan pintu kamar yang keras menyadarkanku dari lamunanku. Aku jadi sadar jika akhir-khir ini aku sering melamun.

“Nggak perlu sekeras itu aku juga udah denger Ra.” Ucapku sambil membuka pintu kamar.

“Sori, kebiasaan. Hehehe.”

“Yaudah aku pergi dulu ya, pokoknya nanti malem jangan sampai ada bekas-bekas kegiatanmu sama Jason di ruang tamu!” Pesanku padanya diselingi cengiran.

“Iya-iya ndoro. Have fun kalian!”

Lagu-lagu khas malam natal terdengar mengalun lembut ditelingaku. Kami sibuk makan dan aku terus berkutat dengan pikiranku sendiri.

“Aku kira kamu bakalan bikin resto Jepang, ternyata malah western kayak gini.” Celetukku akhirnya ditengah menyuapkan steak ke sekian kalinya ke mulutku.

“Ada juga yang makanan jepang tapi kayaknya nggak cocok kalau kita malem ini makan disana… Aku masih inget juga kok kalau kamu nggak begitu suka makanan Jepang.” Jawab Revan.

You still know me well…” Ucapku sambil tertawa.

“Iyalah. Aku nggak pernah ngelupain kamu Zee, bahkan selama aku di New York.”

Aku terdiam. Tak menanggapi ucapannya. Dia masih sangat seperti dulu. Manis. Tapi dia mengucapkan hal itu seolah tanpa beban. Dia bahkan mengucapkannya sambil memotong steak.

            “Aku serius kalau kamu mau tahu. Sejak awal aku di New York bukannya aku mau menghilang… Tapi aku Cuma pengin ketemu kamu nanti, disaat kita sudah sama-sama sukses. Dan sekarang aku sudah merasa cukup sukses. Dan kamu tahu kan Zee, ternyata takdir membawa kita buat ketemu lagi.”

Hah? Ini pendengaranku yang salah?

“Kamu selalu bercanda dari dulu Van. Gimana aku bisa percaya kalau yang kamu ngomong itu serius.” Ucapku akhirnya.

Dia berhenti makan sejenak, menghapus sisa saus di bibirnya menggunakan tissue kemudian berkata padaku, “Lihat nanti. Aku mau nunjukin sesuatu.”

“Dan kamu masih sama, terlalu banyak kejutan. Aku udah selesai.” Jawabku.

“Oke. Ayo kita keatas.” Dia berdiri dan menarik tanganku.

“Mau kemana?” Tanyaku namun tetap mengikuti langkah besar Revan.

“Aku sekarang tinggal diatas sini Zee, untuk sementara.”

Aku hanya mengangguk-angguk sambil menaiki tangga menuju lantai dua.

“Kenapa cuma sementara? Rumah ini layak pakai banget kok walaupun buat sementara.” Celetukku sambil menyusuri rumah Revan.

“Iya ini cocok kalau buat aku tinggal sendiri atau berdua. Tapi nanti, ketika anak-anakku kelak sudah besar, aku akan tetap membutuhkan ruangan-ruangan yang lebih besar untuk space bermain mereka.” Ucapnya sambil tersenyum.

Aku melirik getir ke arah Revan yang tengah menyalakan laptopnya. Dia berencana untuk segera menikah?

“Kamu ada rencana buat menikah dalam waktu dekat ini?” Tanyaku perlahan.

“Iya. Nih, coba kamu liat dari antara tiga rancangan bangunan ini. Mana yang kira-kira paling kamu suka?” Tanya Revan sambil menyodorkan laptopnya kearahku.

Aku menggerakan mouse kearah kanan kiri, namun pikiranku tidak menentu. Bukan karena bingung memilih yang mana… Tapi oleh pernyataan Revan. Dia akan menikah dengan waktu dekat dan akan membuatkan calon keluarga kecilnya rumah. Dan dengan tanpa perasaan ia menanyakan padaku untuk rancangan rumahnya? Kenapa ia tidak menanyakan pada istrinya? Ini hanya akan menyakiti hatiku lagi. Kemudian tanpa sadar aku melihat foto-foto lainnya. Foto seorang wanita. Inikah calon istri Revan? Ia begitu muda dan cantik. Aku sungguh merasa upik abu.

“Siapa namanya?” Tanyaku tanpa sadar.

“Itu Natasha.” Aku seperti teringat sesuatu…

“Itu Natasha adikku, Zee. Masa kamu lupa sih?” Ucap Revan yang membuatku kaget.

Oh, god. Kenapa aku bisa lupa kalau Revan itu punya adik perempuan? Aku memang belum pernah bertemu… Tapi aku tahu namanya Natasha. Dan kenapa aku bisa sepikun ini. Lalu yang mana istrinya Revan?

“Hey, aku menyuruhmu untuk memilih rancangan rumahnya, bukan hanya membolak-baliknya Zee.”

“Kenapa kamu nggak tanya langsung sama calon istrimu sih?” Tanyaku akhirnya. Sudah cukup kesabaranku, masa bodo kalau hari ini dia akan tahu perasaanku. Aku bisa kok menghilang lagi.

Dia hanya diam.

“Revan?” Tanyaku lagi sambil menolehkan badan kearahnya.

“Karena…. Karena kamu calon istriku, Zee.”

“Revan, please… Ini nggak lucu sama sekali.” Ucapku datar yang berbanding terbalik dengan hatiku yang bertalu-talu.

“Zee, mau sampai kapan kamu nggak mau percaya? Bahkan dari dulu… sejak aku suka panggil kamu sayang, sekalipun aku panggil kamu Zee lagi, bukan berarti aku bercanda. Aku nggak pernah bercanda. Aku sayang sama kamu dari dulu dan itu serius.” Ucapnya panjang.

Aku tak kuasa membendung air mataku lagi. Aku menangis haru. Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal…

“Jangan pernah kamu ragu sama aku Zee. Aku sayang sama kamu.”

Revan menarikku kepelukannya. Ya Tuhan… sudah berapa lama aku tak merasakan pelukannya… Aku balas memeluknya dengan air mataku yang masih mengucur deras.

Kemudian setelah tangisku berhenti ia menguraikan pelukannya. Kemudian iya menyentuh daguku dan mendongakannya keatas untuk menatapnya. Aku sungguh malu dengan penampilanku yang kacau ini.

“Zee, kamu mau kan menikah sama aku? Mengandung dan melahirkan anak-anakku? Dan kemudian kita akan tinggal bersama selamanya. Kamu mau kan?” Ia mengucapkan kata-katanya dengan tegas, selintas seperti paksaan. Namun siapa peduli. Aku juga tidak mungkin menolaknya.

I do.” Jawabku sambil menganggukan kepala.

Detik berikutnya aku merasakan bibirnya memanggut mesra bibirku. And he will be my first and my last kiss….

END

.

Minta masukannya yaa guyss! happy holiday all~~

17 Komentar

  1. so sweet….stlah nunggu 8 tahun akhirx…

  2. Dalpahandayani menulis:

    Penantatian yg terbayar
    So sweet banget
    Akhir yg bahagia

  3. Pengin juga buat cerita cinta. Tetap saja tidak bisa, karena tak ada pengalaman cinta sama sekali.

    Happy untukmu, Zee ?

    1. Btw, imbuhan di- itu di spasi: di mana, di sana, di situ, dll. Beda dengan imbuhan di- yang padu: dilakukan, dirasakan, dll (sulit menuliskan.) Gomenne ?

      Tanda elipsisnya ada 3 bukan 2. Akhiran kalimat seperti ini: Dia menunggu Zee sejak lama….
      Ada tanda titik sebagai akhir dari kalimat.
      Juga elipsis seperti ini: Dia … menunggu Zee sejak lama. Dispasikan.

      Dan cerita menarik buat kegalauan diriku. ??

    2. Florencia Irene menulis:

      Makasuh bngt masukannya ya ?

  4. Bagus, tapi ngerasa ada yang kurang, hehe..
    aku suka cara si cowok ngelamar, suruh milih2 rumah,
    nah, bagian itu aku suka tapi kurang greget gimana gitu,,
    hehe,, maaf ya kalau banyakan komen..

  5. Bikin yang agak panjangan kak, jadi lebih detail dan lebih dapet feelnya. Semangat ya kak.. :catsuperhappy

    1. Hihi, aku setuju juga nih

  6. So sweet bngt sihh, pisah 8 thn tau2 pas ketemu dah dilamar ajahh hihi
    Ditunggu karya2ny ya ka
    Semangat trs ya

  7. uuuhh,, sweeeeeet,,,

  8. So sweet

  9. :cintakamumuach :cintakamumuach :cintakamumuach

  10. So sweett

  11. So sweetttt :NGEBETT

  12. Vote dulu yakk

  13. Wihh, si sweet ya
    Cuma berasa ada yg kurang tau2 langsung lamaran, hhe

    1. So sweet