Hiden Love || Chapter 2

17 April 2022 in Vitamins Blog

8b7c02bcc455f71fe80e677df6b1c099

6 votes, average: 1.00 out of 1 (6 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Holla,

Author abal-abal balik lagi. Yah, setelah mendapat hidayah. akhirnya jadi chapter 2. Makasih yang udah mau baca

Ok, Happy Reading—

 

 

“Kalian sudah saling kenal?”

Pertanyaan Mark Sundeson menyadarkan Louis akan keberadaannya di pesta makan malam. Ia menoleh pada pria tua tersebut kemudian pada Bianca yang menatapnya keheranan. Dan ia baru sadar baru saja jadi pusat perhatian di meja tersebut.

Oh tidak. Louis tidak suka menjadi pusat perhatian.

“Ya,” Mery menjawab mewakili Louis. “Kami … pernah bersekolah di SMA yang sama.”

“Benarkah?” timpal Bianca ikut penasaran.

Louis berdeham sekali kemudian menjawab dengan ragu. “Y, ya.”

“Sungguh kejutan bukan! Eliz pasti senang mendengarnya! Oh, apakah Eliz juga mengenalnya? Dia juga satu sekolah denganmu dulu,” kata sir Sunderson dengan semangat. Sementara Louis masih berdiri mematung sebelum akhirnya ditarik duduk oleh Bianca.

Sekilas pria tersebut melirik ke arah Mery yang sekarang sudah duduk di samping Mark Sunderson.

“Oh tidak, paman. Eliz tidak mengenal Louis. Aku yakin itu.”

“Tidak?”

“Ya, waktu itu Eliz pindah ke London di tahun ke duanya. Kau ingat?”

“Ah, kau benar. Eliz pindah ke London. Aku ingat dia menangis seharian karena tidak ingin pindah. Sementara Ben dan Lizza menyuruhnya untuk pindah ke London, karena urusan pekerjaan….”

Sementara Mark Sunderaon bercerita tentang masa lalu cucunya pada beberapa orang di sana. Bianca mencondongkan dirinya untuk berbisik pada Louis.

“Kau mengenal keponakan Mark Sunderson?”

Louis tidak langsung menyahut, ia kembali menoleh pada Mery yang sedang tertawa dan bercerita sesuatu pada pamannya. Kemudian ia menjawab singkat masih dengan keraguan, “Kurasa, iya.”

Bianca menatapnya dengan alis terangkat. “Kau tidak pernah cerita padaku.”

“Kupikir itu tidak terlalu penting,” Louis kembali menoleh pada Mery sambil menerawang ke suatu masa, kemudian ia meneruskan, “Lagipula … aku bahkan sudah lupa kapan kali pertama kami bertemu.”

Louis bohong.

Louis ingat betul bagaimana pertama kali mereka bertemu. Atau ia hanya membayangkan pertemuan pertama mereka yang tidak terlalu berkesan sama sekali. Masih segar dalam ingatannya. Gadis bertubuh langsing yang sedang tertawa di hadapannya itu memang sudah banyak berubah. Tubuhnya tidak sekurus dulu, wajahnya yang dulu polos kini berhias riasan tipis—hm, Louis yakin ia juga pernah melihat gadis itu berrias make up sebelum ini—dan Mery Anneliese terlihat lebih dewasa seperti wanita terhormat lainnya.

Tetapi Louis masih menyimpan segudang memori tentang metentang denting piano, ketukan tiga per empat, juga seorang gadis manis bernama Mari Anneliese.

 

***

 

“Hey, Loui. Aku bertanya mewakili Matilda. Ia bertanya, apakah kau bersedia datang ke Star Candy setelah ini?”

Louis mengangkat wajah dari buku catatannya setelah mendengar pertanyaan dari Evans. Kelas mereka masih huru-hara setelah pelajaran terakhir berakhir.

Mr George—guru fisika mereka—bahkan masih nampak asik berbincang dengan ketua kelas mereka. Ah, Louis lupa siapa nama anak lelaki berpotongan klimis itu.

“Hm?”

Evans mendesah lelah karena harus mengulangi kalimat panjang tersebut pada Louis. Jadi ia menunggu kelas lumayan sepi untuk kembali mengatakan,

“Matilda menginginkanku bertanya padamu, ‘apakah kau bisa datang ke Star Candy setelah ini?'”

“Siapa?”

“Matilda Jane. Tinggi, pirang, cantik, pintar, klub catur. Walau sebenernya aku agak heran kenapa dia tertarik pada manusia batu ini?” Evans mengerutu dibagian akhir kalimatnya.

“Untuk apa?”

“Entahlah, munggin dia hanya ingin mengobrol denganmu.”

Evans hampir saja mengatakan, gadis itu naksir setengah mati pada manusia batu sepertimu! Demi Tuhan! Kau bahkan tidak tahu itu!

Tapi Evans menyimpan semua kalimatnya kembali ke dalam mulutnya. “Bagaimana kau akan menemuinya?”

“Entahlah, tapi aku tidak pergi dengan orang asing.” Kata Louis tidak terduga.

“Kau serius tidak mengingatnya? Bukankah kalian satu kelas di tahun pertama dulu? Seingatku, kalian sering menghabiskan waktu bersama.”

Itu hanya pendapat Evans, walau sebenarnya sudah terlihat jelas bahwa Louis tampak enggan untuk menemani gadis itu kesana kemari atau dengan alasan yang konyol seperti latihan catur. Hmm…

“Aku tidak yakin….”

“Demi Tuhan, Louis Andreas Collins. Apa kau sungguh tidak punya teman selama ini?”

Louis mengedik sebelah bahu sambil berkata polos. “Aku punya satu di sini,” katanya sambil menunjuk hidung Evans.

Anak lelaki tersebut menangkisnya. “Aku sungguh tersanjung karena aku adalah teman satu-satunya untukmu. Tapi aku juga curiga dengan orientasi sexualmu. Kau tidak bermaksud menikahiku suatu saat nanti bukan?”

Bisikan kalimat terakhir Evans membuat Louis menganggak alisnya tinggi, kamudian ia menanggapi dengan wajah datar. “Ya, jika kau memaksa, aku harus apa?”

“Apa?!”

Tapi akhirnya seulas senyum samar terbit di bibir pria tersebut.

“Lagipula,” katanya kemudian. “Kenapa harus jauh-jauh ke Star Candy? Bukankah dia bisa menemuiku di sekolah?”

Evans memijit pangkal hidungnya yang mulai berdenyut. Lihat?! Betapa primitifnya manusia ini. “Dengar …. mungkin Matilda malu jika harus berbicara di depan semua orang termasuk teman-teman satu sekolahnya.” Walau sebenernya Evans yakin Matilda tidak akan kesulitan berbicara di depan umum. Namun, jika kita ingin berbicara pada seseorang yang kita suka, tentu saja mereka akan memilih tempat yang jauh dari semua orang termasuk teman-teman mereka. Matilda juga ingin menjaga mukanya, tentu saja!

“Terutama jika ia tidak mendapat respon yang ingin ia dengar, aku yakin dia ingin mengubur diri saat itu juga.” Itu dalah gumaman Evans untuk dirinya sendiri.

“Apa itu penting?” Louis menggumamkam sesuatu sementara ia menunduk untuk menyimpan buku catatannya ke dalam tas.

“Apa?”

“Apa itu penting. Maksudku hal yang ingin dikatakam Matilda itu.”

“SANGAT penting!” tegas Evans.

“Hmm….”

Evans menunggu kalimat selanjutnya tapi tidak, Louis bangkit dari kursinya sambil membawa tasnya.

“Tunggu, kau benar-benar akan memuinya?”

“Ya, kenapa?”

Evans menggeleng. “Tidak, itu bagus. Kuberitahu ya. Jika kau tidak tertarik. Tolong katakan dengan halus. Jangan terlalu blak-blakan. Jika kau salah langkah, maka kau yang akan mendapat kesulitan.”

Louis tidak mengerti maksud Evans hanya mengerut kenungnya. “Kesulutan apa? Apa mrs Falery akan memukulku jika aku salah nada?”

Evans mengerut kening. “Hey, apa yang kau bicarakan?”

“Dan apa yang sedang kita bicatakan?”

“Matilda Jane, tentu saja,” kata Evans dengan nada tersinggung.

“Oh tidak Evans, kau salah sangka. Aku sedang membicarakam mrs. Falery.”

“DEMI JENGGOT MARLIN!! Tunggu. Apa? Kenapa kita harus membicarakan mrs Falery? Ada apa dengan mrs Falery? Dan apa urusanmu dengan wanita tua itu?”

Tanpa menjawab Louis mengacungkan buku tebal di tangannya tepat di depan wajah Evans sebelum berkata, “Aku diminta menjadi pendampingnya di kelas balet setiap seusai sekolah. Tiga kali dalam seminggu.”

“Apa?! Pendamping? Kau akan menari dengan nenek tua ituu … aduh!”

Louis berhasil memukul kepala Evans dengan gulungan buku musik di tangannya. Itu karena Evans sudah bicara sembatangan.

“Dasad bodoh! Tentu saja bukan. Aku hanya diminta menjadi pendamping musik untuk sesi latihan kelas balet. Mereka kehilangan pemain piano mereka seminggu yang lalu.”

Evans mengangguk-angguk mengerti. “Baiklah. Bagaimana dengan Matilda?”

Ini tidak akan selesai. Pikir Louis.

“Dia akan baik-baik saja aku yakin.”

“Astaga, Loui … kau….”

“Aku tidak akan menemuinya,” tukas Louis. “Jika itu yang kau tunggu. Kau bisa sampaikan padanya aku sedang ada urusan atau sebagainya. Aku tidak ingin menemuinya di manapun selain sekolah. Itu membuatku tidak nyaman.”

Evans mendesah menyerah. Ia tidak bisa memaksa Louis jika ia bilang tidak merasa nyaman atau aman jika ditinggal berdua dengan orang asing.

“Baiklah, akan aku pastikan Matilda mendengar apa yang aku katakan.”

“Terima kasih. Apa kau ingin ikut denganku ke ruang tari?”

“Dan membiarkanku tiba-tiba diseret oleh nenek tua itu untuk menjadi pendampingnya dalam pas de deux?” Evans menggeleng dramatis. “Tidak Loui. Aku masih muda. Pamorku akan sangat jatuh begitu seseorang dari gadis-gadis itu mulai menyebarkan gosip tidak penting.”

Louis mengdeik bahu, “Terserah….” kemudian berjalan menelusuri koridor yang mulai sepi menuju gedung persiapan tari.

Gedunya berada di sebelah selatan dari gedung utama. Sepanjang jalan banyak anak-anak yang mengikuti club berseliweran di sepanjang lorong atau tampah sedang berbaris di pinggir lapangan. Hari itu sore musim semi, matahari sore terasa lebih hangat ketimbang beberapa bulan lalu. Louis mendengar suara samar musik dari pertunjukan Swan Lake, semakin ia mendekat Louis semakin yakin, suaranya jelas dari salah satu ruangan. Dimana lagi yang memutar musik klasik selain club balet?

Pintunya tidak tertutup rapat, Louis pikir ia terlambat dan mrs Falery memutuskan menggunakan tip record sebagai pengganti pengiringnya, begitu Louis membuka pintu, ia langsung dibanjuru sinar matahari sore yang silau dan seorang gadis muda yang sedang menari. Gadis itu bahkan tidak menyadari kehadiran Louis karena saking fokusnya menari.

Louis tidak berani masuk, ia masih menunggu di ambang pintu sampai si gadis mengijinkannya masuk. Ya, itu sopan santun menurutnya. Selama itu, Louis hanya melihat gadis itu menari solo, melompat, bejinjit, berputar …. Mata Louis tidak lepas dari pertunjukan singkat tersebut sebelum akhirnya gadis itu menyelesaikan putaran terakhirnya dan barulah ia melihat Louis.

Manik mata biru milik Louis bersitatap dengan manik mata emerald gadis itu. Mata Louis tidak lepas dari gadis itu sejak pertama ia datang, jadi ia melihat dengan jelas perubahan wajah gadia itu. Ia terkejut dengan alis terangkat tinggi, kemudian seolah mengingat sesuatu sebuah senyum terukir di bibirnya.

Louis merasa sesuatu menggelitik perutnya sejak tadi, sampai-sampai ia ingin menggaruknya.

“Apa kau Louis Collins?”

Mendadak ditanya seperti itu, Louis tidak langsung menjawab. Ia sempat gelagapan sampai akhirnya memutuskan untuk berdeham sekali—hanya untuk mengembalikan suaranya—kemudian menjawab, “Y, ya.”

Oh sial, suaranya masih tetap terdengar aneh. Jelas Louis tidak ingin dicap sebagai tukang intip oleh gadis ini.

“Oh, syukurlah.” Sekonyong-konyong gadis itu menyodorkan tangannya. “Mary. Mary Anneliese.”

Louis menatap tangan gadis itu kemudian menatal wajah gadis itu bergantian, ragu. Tapi kemudian ia menjabat uluran tangan Mary Anneliese.

“Louis Collines.”

Itu adalah tahun ke tiga Louis ketika pertama kali bertemu dengan Mary Anneliese. Sungguh tidak berkesan bukan?

 

***

 

Suara rintik air di permukaan kaca ruang kerja Louis menyadarkan pria tersebut dari lamunannya, ia menoleh menatap langit yang sudah gelap di luar sana dan gerimis mulai turun perlahan, kemudian semakin banyak, dan hujan turun dengan derasnya menimbulkan hawa dingin ke seluruh ruangan.

Ia baru saja berpikir akan menyalakan perapuan ketika tiba-tiba Evans menyerbu masuk–seperti biasa tanpa perlu mengetuk pintu–dengan rambut yang setengah basah.

“Astaga, aku benci hujan di cuaca dingin seperti ini,” katanya mulai mengeluh. “Aku tidak naik taksi karena kupikir cuacanya sangat indah pagi ini. Ramalan cuaca sialan, mereka harus mebayar mahal karena memberikan ramalan palsu.”

Louis yakin pria itu hanya membaca cuaca di jam-jam yang ia inginkan bukan di jam-jam selanjutnya. Tapi Louis tidak ingin memperpanjang masalah.

“Kau membawa manuskripnya?”

“Tentu saja,” sahut Evans dengan nada tersinggung. “Kau bahkan tidak menanyakan kabarku hari ini?”

Louis mengedik sambil menerima amplop dari Evans. “Kau sudah mengatakannya tadi.”

Evans mendengus kemudian mengempaskan diri ke kursi berlengan Louis.

“Kudengar dari Bianca kau baru bertemu dengan kawan lamamu. Apa itu benar?”

Louis yang mulai membuka amplopnya hanya menggumam untuk menanggapi.

“Siapa? Aku dengar juga dia adalah keponakan sir Sunderson. Dan ia satu sekolah dengan kita. Apa aku juga mengenalnya?”

Louis menggumam lagi kali ini dengan suara jelas. “Aku tidak yakin, tapi mungkin kau pernah mendengarnya beberapa kali.”

“Coba katakan namanya. Aku mengenal semua angkatan kita dengan baik.”

“Oh, tidak Evans. Dia tidak satu angkatan dengan kita, jadi mungkin kau tidak mengenalnya.”

Evans memutar bola matanya. “Kau cukup menyebut namanya, kalau namanya sering kudengar beberapa kali mungkin saja aku ingat orangnya.”

Louis mendesah menyerah, kemudian ia menatap Evans dengan ragu. Lalu ia menjawab, “Mary Anneliese. Kau sudah pasti tidak tahu. Aku pun tidak terlalu ingat….”

“Tunggu! Mary Anneliese? Kau bercanda?! Dia kekasihmu saat SMA bukan?”

Oh, ingatan Evans yang menyebalkan!

“Dia bukan kekasihku,” Louis mengoreksi.

“Astaga, demi Tuhan! Kalian bertemu lagi setelah hampir sepuluh tahun? Reuni yang tidak terduga.” Evans mulai heboh, “Jadi apa kabar dia sekarang? Apa dia sudah menikah? Atau dia menyesal telah meninggalkanmu?”

“Sekali lagi. Dia bukan kekasihku atau mantan kekasihku. Kami tidak berhubungan seperti itu.”

Evans mengangkat tangan ke depan dada. “Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Kau tidak ingin membahas masa lalu,” katanya kemudian. “Jadi … dimana dia sekarang?”

Louis mendesah menyerah, ia menutup manuscipnya kemudian menangkup wajahnya dengan lelah. “Kupikir selama ini ia di London. Tapi kemarin ia bilang ia di Glasgow….”

Evans tidak menanggapi, itu berarti ia menunggu kelanjutan cerita Louis. Jadi pria itu itu melanjutkan,

“Ia bekerja sebagai skretaris seorang pengacara,” kata Louis cepat.

“Tunggu. Apa?” Evans tidak berpura-pura terkejut. Tapi ya begitulah kira-kira wajah terkejut Louis saat itu.

“Kau terkejut?” Louis tersenyum masam. “Kupikir West End adalah tempatnya. Tapi aku baru tahu. Tempat itu bukan lagi tujuannya sejak tujuh tahun lalu.”

“Ya, kita tidak bisa mengetahui masa depan. Orang-orang bisa berubah dengan waktu singkat. Kau tidak perlu menyalahkan dirimu atas hal itu.”

Louis mengerut alis tidak mengerti. “Aku tidak sedang menyalahkan diriku sendiri atas pilihan seseorang.”

Sebagai jawaban Evans mengedik sebelah bahunya. “Siapa yang tahu. Jadi, dia datang hanya untuk menghadiri acara sepupunya?”

“Oh, tidak. Dia akan tinggal beberapa saat sampai si pengacara pulang dari acara liburannya ke Swiss.”

“Syukurlah, dia tidak berencana ikut berlibur dengan si pengacara sehingga kalian bisa bertemu dan menghabiskan beberapa waktu untuk mengenang masa lalu.”

“Omong kosong.”

“Ya, kau akan menyesali kalimatmu sebentat lagi.”

 

***

 

Harusnya Louis mendengarkan apa kata Evans. Atau setidaknya ia harus mengingatkan diri sendiri agar tidak berspekulasi terlalu dini. Ia menyesali kalimatnya tidak lama setelah itu.

“Kuperkenalkan padamu, Mary Annelise.”

“Saya akan menjadi juru tulis Anda selama dua minggu kedepan. Anda tidak perlu khawatir, jam terbang saya sebagai sekretaris cukup bagus….”

Louis tidak khawatir. Ia percaya. Yang membuat Louis khawatir saat ini hanyalah satu…

 

Apakah ia akan sanggup menahan jantungnya agar tidak berdetak terlalu keras?

 

 

TBC

Hiden Love || Chapter 1

10 April 2022 in Vitamins Blog

8b7c02bcc455f71fe80e677df6b1c099

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Hola,

Author bangkit dari mati suri. Yah, setelah penuh drama write blok akhirnya jadi satu chapter Jadi mohon maaf kalo ceritany masih agak maksa, maklum masih belum sembuh.

BTW, yang tanya Oh, My Bo(ss)yfriend lanjut apa enggak? Aku rasa enggak dilanjut ya. Aku kehilangan Arivah, jadi aku stop sampe chapter kemarin. Terima kasih banyak-banyak buat yang udah mau baca, kasih semangat dan mau nunggu updatean cerita abal-abal aku

Buat yang ini, masih dalam proses. Tapi aku berusaha buat nerusin ceritanya. Semoga bisa sampe ending.

So, Happy Reading—

 

 

“Apa kau akan datang ke acara makam malam hari ini, Loui?”

Louis Collins mengalihkan perhatiannya dari mesin ketik kepada Evans Murphy yang baru saja menerobos ruang kerjanya tanpa perlu bersopan santun dengan mengetuk pintu terlebih dahulu.

“Makan malam apa?” kata Louis sambil kembali memusatkan perhatiannya pada mesin ketik di hadapannya. Hampir saja ia lupa akan paragraf yang akan ia tulis gara-gara kehadiran Evans.

Louis tahu pria itu memutar bola matanya tapi ia  mengacuhannya.

“Makan malam di rumah sir Mark Sunderson tentu saja,” kata Evans dengan dramatis seperti biasa. “Tunggu, kau tidak bermaksud lupa dengan sir Sunderson bukan? Kalah kau melupakan orang tua itu, kau sungguh keterluan.”

Sejujurnya, Louis sudah lupa tentang acara makan malam apalah itu. Ia bahkan lupa kapan ia mendapat undangan makan malam dari Mark Sunderson.

“Emm,” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Louis sementara isi kepala dan tubuhnya masih berkonsentrasi pada naskah di depannya.

“Jawaban macam apa itu? Kau….”

“Bisa kau diam sebentar, Evans?” sela Louis, “Aku sedang mengetik naskahku. Apa kau akan mengoceh di sana sepanjang hari? Oh tidak, Evans. Kau harus menahannya dulu. Aku sedang berkonsentrasi di sini, kau tidak ingin seluruh ocehanmu tidak sengaja kuketik dalam novelku bukan?”

Evans melotot tidak terima, tapi selanjutnya ia tidak membantah.

“Baiklah, hanya sampai kau menyelesaikan naskahmu, aku akan diam sambil menikmati teh buatan Penny. Kau tidak keberatan kan Penny?”

Tepat pada saat itu seorang wanita berumur setengah abad masuk sembari membawa nampan berisi sepoci teh harum dan dua cangkir.

“Ya, aku membawakannya untuk kalian. Apa kau juga membutuhkan camilan, sir Evans?”

Nein, danke, Penny*1. Aku tidak ingin merepotkan pinggangmu.”

Wanita tua itu tertawa sambil mengibas tangan. “Sama sekali tidak. Aku ingat baru saja membuat pie apel di dapur. Aku akan membawakannya jika kau mau.”

“Terdengar lezat. Ok ma Chéri*2. Hanya karena kau memaksaku, kurasa kau benar. Aku membutuhkan pie pie itu.”

Sepeninggal Penny—yang tertawa sambil bersemu merah—Evans menoleh pada Louis yang sekarang tengah menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

“Apa? Dia memaksaku? Apa yang bisa aku lakukan?”

Louis tidak menjawab, sebagai gantinya ia hanya memutar bola matanya karena ia tau, kalau ia membuka suara permasalahan ini akan sangat panjang. Terutama jika ia berdebat dengan Evans.

Penny datang enam menit kemudian dengan seloyang pie apel yang dijanjikan, dengan senang hati Evans melahapnya tanpa memedulikan apakah Louis mendapatkan bagiannya atau tidak. Sungguh kawan yang baik.

 

***

 

“Nah, jadi, sampai di mana kita tadi?” kata Louis setah ia memastikan bahwa tidak ada kalimat dari ocehan Evans yang terbawa dalam naskahnya.

Evans yang duduk—lebih tepatnya berbaring—di sofa berlengan Louis hanya mengibas tangan sambil memegangi perutnya yang buncit karena kekenyangan.

“Oh, aku sudah lupa apa yang akan aku katakan padamu. Yah, pokoknya kau harus menghadiri acara makan malamnya.”

Louis menyimpan naskanya ke dalam amplop coklat untuk kemudian ia serahkan ke pada mr. James—kepala editornya. Ia bertanya sambillalu, “Kenapa aku perlu menghadiri acara makam malam itu? Aku hanya penulis, bukan orang yang terlalu penting.”

Evans menoleh dengan memberengut. “Kata ‘tidak terlalu penting’ itu membuatku merasa kalau aku yang paling sok penting di sini.” Pria itu bangkit dari tidur malasnya. “Dengar. Sebenarnya aku benci mengatakan hal ini. Kau harus datang karena kau masih memiliki garis keturunan bangsawan, kau ingat?”

“Hanya kakeku, jika kau lupa,” koreksi Louis. “Ayahku bahkan tidak mewarisi apapun darinya dan aku juga tidak.”

Evans memutar bola matanya, lelah. “Ayahmu sudah menjadi anggota senat. Maafkan aku harus mengatakan itu, sobat. Dia pasti sibuk berkeliaran di forum, karena itu kau datang untuk mewakilinya.”

Louis berdecak pelan.

“Jika kau tetap berencana untuk tidak datang. Aku yakin Bianca akan dengan senang hati datang untuk menyeretmu keluar dari gua. Gadis itu tidak suka dengan penolakan.”

“Kenapa kau membawa-bawa Bianca….”

Ah, sekarang Louis ingat. Tiga hari lalu dirinya dan Bianca Estelle menghadiri acara pameran seni di Holyrood. Gadis itu bilang Louis akan senang datang ke sana karena akan ada banyak sekali kurator seni dan beberapa orang penting yang harus Louis kenal.

Louis sendiri tidak yakin apakah ia harus mengenal semua tamu undangan yang hadir saat itu. Bianca memperkenalkan pada Louis orang-orang yang ia kenal. Ia sendiri tidak terlalu menghapal nama-nama mereka, ia bahkan tidak ingat. Hal yang ia ingat hanya pengalamannya yang diseret Bianca kesana dan kemari, padahal kakinya sudah sangat lelah dan ia sudah ingin sekali pulang.

Ya, mungkin saat itu juga mereka bertemu dengan Mark Sunderson. Louis tidak begitu ingat. Tetapi ya, rasanya Bianca pernah mengatakan—atau membuat kesepakatan—untuk makan malam bersama di rumah sir Sunderson.

Jika ia diberikan pilihan untuk pergi ke acara semacam itu atau terjun payung dari dari menara Effel, ia akan memilih terjun. Louis yakin itu. Ia tidak begitu menyukai keramaian. Keramaian memaksanya mengeluarkan banyak energi untuk berbicara hanya untuk basa-basi. Sementara Louis tidak pernah tahu caranya mencari topik pembicaraan dengan orang lain.

“Bisakah kau saja yang menggantikanku, Evans?” keluh Louis sambil menggerang frustrasi.

“Berdoa saja akan ada hal baik jika kau datang ke sana.”

“Aku hanya merasa ini bukanlah ide yang bagus jika aku terus berkeliaran di pesta-pesta tersebut.”

Evans memutar bola matanya untuk yang terakhir kalinya sebelum ia bangkit dan meraih amplop coklat yang disodorkan Louis.

“Kau hanya terlalu cepat berspekulasi.”

Louis menggerang sekali lagi.

 

***

 

Malamnya, Louis berhasil diseret jeluar oleh Bianca Estelle. Wanita itu mendatangi kediamannya seperti biasa dan menyuruh—atau lebih tepat memaksa—Louis untuk bersiap-siap. Ia bahkan menyiapkan sendiri baju yang harus dikenakan Louis tanpa perlu disuruh oleh siapapun.

Setengah jam kemudian Louis sudah siap dengan setelan jas resminya yang dasinya sering kali ia tarik, semata-mata untuk melegakan lehernya yang terasa tercekik, dan Bianca akan senang hati menepis tangannya agar berhenti membenarkan dasinya gang sudah rapih.

“Bisakah kita pulang sebelum hidatang penutupnya disajikan?”

Pertanyaan tersebut keluar begitu taksi mereka tiba di tempat acara. Bianca yang mendengar hal tersebut hanya tertawa menanggapi pertanyaan konyol Louis.

“Kau pasti akan menyukainya,” katanya tanpa benar-benar memperhatiakn ekspresi Louis yang sudah memberengut.

Louis hanya pasrah begitu seorang oelayan yang bertugas di depan rumah membukakan pintu baginya dan Bianca.

Begitu mereka memasuki rumah barulah terlihat bahwa ini bukan sekadar acara makan malam biasa, ini lebih mirip pesta makan malam. Melihat begitu banyak tamu yang hadir dalam ruangan tersebut.

“Tidak terlihat seperti acara makan malam,” komentar Louis jujur.

“Ya, kau benar.” Bianca membenarkan, “Ada banyak orang yang hadir. Oh, lihat? Itu tuan Kovensky. Dia adalah produser teater yang sedang melejit saat ini. Aku akan mengenalkannya padamu nanti.” Bianca menunjuk kesalah satu arah—lebih tepat pada seseorang—yang diacuhkan oleh Louis.

Louis tidak tertarik, sungguh. Kalau boleh jujur ia ingin tetap di rumah, di dalam ruang kerjanya sambil menyelesaikan naskannya. Tapi Bianca selalu memintanya untuk menemani wanita itu pergi ke acara-acara seperti ini karena ia tidak ingin datang sendirian. Ya, selama wanita itu hanya memintanya menemaninya sesekali itu masih tidak apa-apa. Tetapi Bianca malah mengajaknya untuk menemaninya hapir setiap kali wanita itu diundang ke segala acara.

“Oh, itu sir Sunderson.”

Akhirnya mereka menenukan si empunya acara di salah satu meja di tengah ruangan acara. Ia duduk bersama beberapa orang dan nampak tengah berdiskusi serius. Seolah menyadari kehadiran mereka, pria tua tersebut menoleh ke arah mereka kemudian berdiri untuk menyambut Louis dan Bianca.

“Oh, Louis Collins dan gadis cantiknya Bianca Estelle! Senang melihat kalian di sini.”

“Selamat malam, sir. Terimakasih telah mengundang kami ke acaramu.” Louis menjabat tangan pria tua tersebut dengan mantap.

“Tidak masalah. Justru aku berterimakasih. Sebenarnya ini acara pertunangan cucuku, maaf aku tidak mengatakannya dari awal.”

Bianca di samping Louis terkesiap dengan alami. “Oh, astaga. Kalau begitu kita perlu memberi selamat pada mereka. Benar begitu Loui?”

“Ya, kita akan bertemu dengan mereka … secepatnya.” Louis menekan kelimat terakhirnya dengan samar.

Pria tua tersebut terkekeh cukup keras. “Jangan buru-buru. Aku yakin mereka sudah banyak mendapat ucapan selamat. Nah, apa kalian sudah mencicipi hidangannya? Jika belum kalian perlu mencicipinnya terlebuh dahulu.”

“Baiklah, sebaiknya kami mencari tempat duduk….”

“Kenapa harus mencari, kita bisa duduk bersama di sini. Ayo duduklah, sebentar lagi makan malamnya dihidangkan.”

Sir Sunderson menggiring mereka duduk. Louis menggerutu dalam hati bahwa ini bukan ide yang baik. Louis merasa, ia sudah pasti tidak diijinkan untuk pergi dari sini.

“Bagaimana kabar kakekmu?” tanya sir Sunderson begitu semuanya duduk.

“Ia baik. Ia tidak sabar untuk kembali ke Schottland begitu diberitahu bahwa aku bertemu dengan Anda.”

Sir Sunderson tertawa kencang sampai-sampai Louis bisa melihat beberapa gigi graham pria tua tersebut telah hilang. Mark Sunderson adalah pria tujuh puluh tahunan yang sebenarnya masih tampak segar bugar. Tatapannya masih tajam, tangannya cukup kuat, terlihat ketika ia menjabar tangan Louis. Sampai Louis yakin bahwa Mark Sunderson masih bisa memegang senapan atau bahkan berlari kencang di medan perang. Meski begitu kerutan dan giginya yang sebagian hilang adalah bukti bahwa manusia tidak selamanya muda.

“Syukurlah, aku sungguh berharap bisa bertemu dengannya dan mengenang beberapa peristiwa di masa lalu.”

“Aku yakin kakek akan senang hati jika mendengarnya.”

“Bagaimana dengan pertunjukanmu, Mademoiselle*3?”

“Sangat baik. West End selalu ramai pengunjung,” Bianca menjelaskan dengan penuh semangat seperti biasa. Suaranya yang nyaring dan merdu seperti sudah diatur agar bisa terdengar oleh beberapa orang di seberang meja. “Kuharap semua berjalan lancar hingga pertunjukan malam penutupan nanti.”

Mata pria tua tersebut berbinar-binar senang. “Sangat bagus. Aku harap bisa datang sebelum malam penutupan, tapi kadang pinggangku tidak pernah mau diajak bekerja sama dengan kursi-kursi di teater,” katanya sambil menepuk pinggangnya sendiri.

“Jangan terlalu keras memukul pinggang malangmu, paman,” sahut sebuah suara dari belakang punggung Louis yang terdengar familiat. “Kau tidak ingin pinggangmu sakit lagi seperti kemarin bukan?”

Mata pria tua tersebut berbinar-binar, senyumnya cerah dan menyebut sebuah nama yang membuat Louis terlempar pada satu masa.

Mon chéri*4, Mery! Akhirnya kau datang. Kemarilah.”

Kemuduan seorang gadis muda dengan gaun berpotongan sederhana menghampiri Mark Sunderson dan memeluknya dengan erat. Louis dan Bianca yang menyaksikan reoni tersebut hanya diam.

“Kupikir kau tidak akan pernah datang,” katanya.

“Aku yakin Eliz tidak akan senang dengan gagasan itu. Jadi aku datang hari ini.”

Seolah-olah tersadar tentang keberadaan Louis dan Bianca di sana, ia berbisik sesuatu pada wanita muda tersebut sebelum berkata,

“Ah, kuperkenalkan pada kalian keponakanku….”

Tepat saat itu wanita itu berbalik dan mata Louis langsung bertemu dengan mata emerald yang tidak pernah ia lupakan hingga hari ini. Manik mata seorang gadis di masa silamnya.

“Mery Anneliese.”

Tampa sadar Louis berdiri terlalu cepat sampai-sampai membentur tepian meja dan menimbulkan bunyi cukup keras dari guncangan porselen di atasnya. Bianca dan beberapa orang lainnya menoleh terkejut, tapi Louis bahkan tidak menyadarinya.

Wanita tersebut juga sempat terkejut sampai sebuah senyum cerah merekah di bibirnya. Ah, ini berbahaya, semua kenangan dalam kepala Louis berkelebatan saat itu juga.

Wanita tersebut membuka mulut dan menyapa dengan nada yang tidak pernah Louis lupakan hingga hari ini.

“Louis Collins, senang melihatmu kembali.”

 

 

 

TBC

*1. Tidak, terimakasih, Penny.

*2. Baiklah, sayangku.

*3. Nona.

*4. Sayangku.

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Ha? Haaa?! HAAAAA???!!!

6 Februari 2021 in Vitamins Blog

37 votes, average: 1.00 out of 1 (37 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Happy reading 🤧🤧🤧

 

Untung aja status pacar gak masuk dalam peraturan pemerintah. Lah, coba status pacaran di atur sama kecamanan atau kelurahan. Misalnya pas lo masih pacaran mesti bawa KTP (Kartu Tanda Pacaran), kalo lo putus mesti pake SPHK (Surat Pemutusan Hubungan Kita), atau lo lagi singel mesti lapor ke BPJS (Badan Penanggulangan Jomblo dan Sejenisnya). Kan makin ribet idup gue.”  @A_Inay

Jejelani : “Cieeilee yang lagi liburan, update muluk kek kang foto 🤣”
Kayla     : “Ciee kang foto lagi liburan 🤭”
Rayhan  : “Cieee kang cilok lagi buka lapak di kebon bunga 😎”
Hanin     : “Cieee kang kebon lagi macul dipojokan 🤔”
Jejelani : “Paan sih lo Han? Gak jelas beet anjir 🤣”
Me        : “Tau tuh sih Hanin 😒”
Hanin     : “Eh gue juga gak tau anjir 🤣”
Hanin     : “Lagian lo lagi di mana sih, Vah?”
Kayla     : “Iiih dasar kepo!”
Kayla     : “Eh tapi pas lo foto di bunga tulip tuh bagus, Vah. Lo di mana sih?”
Hanin     : “@ Kayla Iiih dasar kepo!”
Jejelani : “Mamam tuh @ Kayla 🤣”
Kayla     : “Paiiiit @Jejelani @Hanin”
Me         : “Lebih pait mana Ka, temulawak apa temu lawak?”
Hanin     : “Lah, apa bedanya, Vah?”
Jejelani : “Temu lawak is … temu doang, deket doang, mabar doang, nobar doang, jadian mah KAGAK!! 🤣”
Hampir-hampir aku menyemburkan air yang baru aku cicip di bibirku. Masih pagi ya Tuhan, tapi ada saja kelakuan absurd manusia-manusia ini.
Me        : “Bangkek 🤣🤣 Bukan gue yang ngomong @ Kayla”
Hanin    : “Bengek bangkek 😭😭😭”
Rayhan : “🤔🤔🤔🤔”
Kayla    : “Waaaah, ternyata anjing-anjing gue udah pinter ngomong ya, tapi sayang otaknya tetep enggak pinter-pinter 😇😇😇”
Me        : “Guuk guuk 🐶🐶🐶”
Hanin    : “Moooo 🐮🐮🐮”
Jejelani : “Oooiik oooiiik”
Rayhan : “Kuuukkuuuruyuuuuk 🐓🐓”
Me        : “Apaan tuh, Je ‘oiik oiik?'”
Jejelani : “Babi 🐷🐷🐷”
Kayla     : “Kek anjing lu pada 😡”
Jejelani : “Btw, Vah, lo tau kgk boss besar lagi ada di mane?”
Aku mengerut kenging, membaca sekali lagi pesan terakhir Jeje sebelum membalas…
Me         : “Kagak tuh, kenapa gitu?”
Jejelani : “Gue pikir lo ketemu sama doi, soalnya dia lagi pulkam keknya.”
Jejelani : “Udah gitu doi kayak lagi ngadain acara gitu. Masa lo kagak tau, Vah?”
Hanin    : “Tau dari mana lo?”
Jejelani : “Duuuh kepo deh, dari IGnya lah.”
Me        : “Masa sih? Gue kagak tau tuh.”
Sesegera mungkin aku keluar dari obrolan, takut kalau-kalau jiwa lambeh Jeje keluar tanpa tau tempat situasi dan kondisi. Kubuang hpku ke samping, sambil menatap langit-langit kamarku yang memang tidak menarik sama sekali. Tapi itu yang aku suka.
Berbaring sejenak, menrilekskan otot-ototmu yang tegang, merasakan napas yang masuk dari hidungmu dan keluar dengan perlahan, lalu membiarkan pikiranmu berkelana sesukanya. Seperti yang aku lakukan sekarang.
Ingatanku kembali memutar rangkaian kejadian kemarin, yang mana Dimas yang secara ‘tidak langsung’ melam … menawarkan, btw, sebuah infestasi masa depan yang cukup menjanjikan.  Aku tidak bisa berhenti tertawa hingga kami meninggalkan lokasi resepsi. Kala itu Dimas tidak memaksaku untuk berhenti tapi aku berhenti tertawa ketika pipiki terasa sakit.
“Ngaku deh, lo tau gue di sini nanya sama amih kan?”
“Sok tau kamu,” kata Dimas sok-sokan bego.
“Halah, udah ketauan masih aja ngeles.”
“Saya sih ke sini karena punya feeling kuat sama kamu.”
Aku mengerut kening. “Feeling apaan?”
“Kamu itu enggak bisa ditinggal barang semenit, kalo ditinggal ya kayak tadi tuh hasilnya.”
“Apaan tuh, bikin alesan tuh ya yang bagus dikit napa.”
“Ya, namanya juga alasan spontan, kalo mikir dan butuh riset itu nananya essay. Oooopsss, ketauan kan.”
“Idiiih, kok ngeselin ya.”
“Tapi saya ngangenin kan? Buktinya kamu enggak bisa jauh-jauh dari saya.”
Aku melotot tidak setuju. Baru saja aku akan protes Dimas lebih dulu mencegahku dengan meraih sebelah tanganku dan mengaitkan jemari kami. Aku semakin melotot tidak percaya.
“Bohong deng, saya gang enggak bisa jauh-jauh dari kamu, Nay.”
Mulutku mengap-mengap dan aku mendadak jadi orang bisu sedunia. It’s uncool, gue jadi gagu gini cuman karena rayuan receh Dimas, tolol banget gue  😭
Setelah makan siang di kang nasi bakar, tujuan kami jatuh ke Taman Begonia. Disana mau tidak mau Dimas harus menjadi kang fotoku selama setengah hari penuh. Sesuai dugaanku, Dimas adalah yang terbaik dalam foto memfoto. Jangan tanyakan hasilnya, Dimas sudah seperti pro, meskipun hanya dengan menggunakan foto hp. Tanpa sadar aku menikmati kebersamaanku bersama Dimas, sudah lama rasanya. Hingga akhirnya….
Dimas.”
Aku menatap jam dinding di atas meja belajarku, pukul delapan lebih sepuluh. Aku meraih hpku, membuka kunci dan langsung membuka web kesayangan, dan di sana sudah bertengger acara yang aku tunggu.
“Yukk, enggak usah mikirin yang enggak penging macam Dimsun neraka, mending nonton Sailormoon aja. Usagiiii-chaaaaan.”
Aku segera memainkan video tanpa perlu repot mendowloadnya lebih dahulu, itu akan banyak memakan memori. Lagipula notebook dan hardiskku sudah penuh.
Aku baru mendengar setengah lagu openingnya ketika Renjani berteriak memanggil di balik pintu, udah pasti disuruh amih. Aku menggerutu tidak jelas sebelum menyahut.
“Duluan aja, teteh masih kenyang!!”
“Ditungguiiin….”
“Hah?! Iya nanti … bentar lagi! Nanggung!!!”
Setelahnya aku dengar suara geraman Renjani dan hentakan kaki, udah pasti itu anak kesel. Bodo amat deh, gue belum laper. Ini aja baru mulai.
Kebiasaanku kalau sedang menonton anime adalah berisik dan tidak mau diam. Pernah aku sedang menonton di angkot saat aku berangkat ke sekolah, entah anime apa yang aku tonton sampai-sampai aku tertawa terpingkal-pingkal dan menarik banyak orang. Sudah begitu aku meracau dan memaki tanpa henti, sampai-sampai ditanyai oleh pak kernetnya, takut-takut kalau aku orang gila. Sialan emang, labih sialan lagi karena aku ditonton pula oleh kakak kelas yang kutaksir, entah bagaimana ceritanya alhasil seisi sekolah tahu kalau aku maniak anime 🤧🤧 Sisi positifnya, aku menjadi banyak yang iseng-iseng tanya tapi akhirnya kecanduan, ada juga yang banyak dari kelas lain yang ngajak barteran, dan begitulah akhirnya para spesies ini mendapatkan teman 🤣🤣
Well, punya temen satu frekuensi emang paling seru.
Aku sampai pada bagian klimaks, ketika karakter utama sedang akan mengeluarkan jurus andalannya. Refleks aku terduduk, merentangkan tanganku, kemudian….
“Dengan kekuatan bulan aku akan menghukummu….”
Kuarahkan tanganku ke arah pintu, bersamaan dengan itu pintu terbukan dan menampakkan Renjani dan….
DIMAAAAASSSS!!! TUUUUHAAAAAAAN!!! KUBUR HAMBA SEKARAAAAAANG 🤧🤧🤧
“Demi apa!! Berapa sih umur lo masih nonton begitu….”
Akkhh, aku akan mati!!” Dimas meremas dadanya seolah-olah baru saja tertembak sesuatu, ia mundur hingga membentur tembok. “Tidak, padahal aku belum sempat menikahi tunanganku. To, tolong, sampaikan pesanku pada tunanganku….” dan Dimas tewas di tempat.
Renjani melongo sambil menggeleng tidak percaya, ia menoleh padaku yang sama syoknya dan Dimas yang terkapar, bergantian, sebelum memutar bola mata jengah.
“Demi dewa Neptunus, kalian ngapain sih? 😒”

***

Kemarin Banget!!

“Dimas?”
Seorang wanita tinggi nancantik menghampiri Dimas dengan setengah berlari. Rambutnya berpotongan bob namun sangat cocok dengan wajahnya yang oval, mengenakan stelan santai namun tetap elegan. Tapi entah kebapa aku merasakan sesuatu yang TIDAK menyenangkan di sini.
“Elo Dimas kan?”
Dimas tidak segera menanggapi namun kemudian meluncur sebuah nama, “Cecil? Elo Cecillia kan?” “Iyaaa, elo apakabar??”
Tanpa permisi Cecil segera memeluk dan … mencium pipi Dimas kilat. Of course, kenapa tidak? Semua wanita akan melakukan itu kalau-kalau bertemu Dimas.
Ekhm, jealous!
I’m NOT!
“Baik, lo?”
“Baik, eh, gue denger lo sekarang kerja di Jakarta. Kok sekarang ada di sini? Lagi libur? Eh, kapan-kapan main bareng yuk, gue kemarin ketemu Rio….”
Dan begitulah Dimas dengan pasrah digelayuti oleh Cecil. Enggak keliatan tuh doi ngerasa risih-risih gitu, kayaknya keenakan juga dia.
Ekhm, cemburu!
Sekali lagi, ENGGAK!
Dimas dengan halus melepas apitan lengan Cecil kemudian menjejalkan tangannya ke dalam saku dan mundur selangkah dari Cecil. “Gue lagi off aja makanya pulang, padahal tadinya mau ke Semarang tapi enggak jadi. Soalnya ada urusan mendadak jadi gue pulang.”
Cecil mengangguk-angguk seperti burung pelatuk, namun seolah tidak menyerah, ia kembali melancarkan aksingaya.
Pepet teruuus sampai dapet!!
Ekhm
Awas lo kalo lo bilang gue cemburu lagi!!
“Eh, abis ini lo mau kemana? Kalo gak kemana-mana ikut gue aja yuk.”
Kalo dulu aku dengan penuh keikhlasan hati pada siapapun untuk membawa Dimas enyah dari muka bumi sekarang rasanya aku ingin mengenyahkan si kacang sisil ini dari muka bumi.
Aku berada di belakang si cewek ini ngomong-ngomong, tapi kayaknya hawa keberadaanku tiba-tiba menghilang dalam sekejap. Well, peduli amat. Bukan urusan gue ini. Aku membalik tubuh kemudian menjauh dari mereka berdua.
“Emm, sebenernya gue enggak sendiri….”
“Sama temen lo? Enggak apa-apa ajak aja biar rame….”
“Bukan temen….”
“Oh, sodara lo. Enggak masalah….”
“Bukan juga….”
“Terus….” Cecil berkerut kening tidak paham.
Aku merasakan sepasang mata menatapku, aku tidak menggubris namun sepasang mata yang lebih tajam ikut menatap ke arahku.
Bau-baunya kok kayak ada masalah apa gitu.
“Cewek itu?” jenis pertanyaan yang mengandung sindiran, nyinyiran, cibiran dan sebagainya. “Pacar kamu?” sekarang naik tingkat dengan kandungan racun, jampi-jampi, santet dan segala mantra kutukan di dalamnya.
Aku tidak ingin mendengar tapi telinga sialanku malah tetap mendengarnya. “Mantan gebetan gue….”
“Oh mantan … mantan apa? Gebetan….”
“Yang mau gue nikahin bulan depan.”
“WHAT?!”
“APA?!”
Tanpa sadar aku menyuarakan isi kepalaku bersamaan dengan Cecil. Sialnya begitu aku menoleh, Dimas sudah ikut berjongkok di belakangku dengan senyum jenaka yang tidak ditutup-tutupi. Sialan! Ngerjain gue lagi ini manusia!
“Jangan ngeliatinnya gitu dong, Yang. Nanti aku khilaf lagi.”
Aku melotot syok. Fix!! Dimas bener-bener abis kesambet di jalan!
“Maksudnya gimana, Dim?” Cecil bertanya setengah menuntut.
“Oh, ini Naya, tunangan gue.”
Dimas membantuku berdiri, kemudian dengan lihai menyelipkan sebelah tangannya di pinggangku. Sedangkan sebelah tangannya lagi meraih tanganku kemudian menunjukan cincin di jari manisku dan jari manisnya. Wait a minut!
Aku melihat cincin di jari Dimas dengan seksama, itu memang mirip dengan cincin yang kupakai, hanya saja dengan desain sederhana untuk pria.
Jadi selama ini dia punya pasangannya?!
Ekspresi Cecil tidak bisa digambarkan, ia terkejut. Tentu sajaaa! Setengah tidak rela, sempat melayangkan lirikan dendam kesumat padaku, dan sisanya ia coba bersikap biasa saja.
“Oh, lo mau nikah? Selamat. Bagus lah, biar lo jangan sering main sama cewek, kalo udah nikah kan enak lo enggak usah keluguran nyari mangsa, lo tinggal pulang aja ketemu sama istri lo.”
Maksudnya gimana?
Tetapi Dimas sama sekali tidak tersinggung dengan sindiran Cecil, ia malah tertawa jenaka. “Tar dateng ya, salam buat Rio dan yang lain.”
“‘Kay, nanti gue salamin. Sori ya mba, saya enggak tau kalo udah punya orang. Embanya sih ngumpet aja, jadi saya enggak liat.”
Maksud lo?! “Ya, mba enggak apa-apa, saya dari dulu udah biasa ngeliat dia begitu sama cewek lain.” Liat Dimas sama lo ‘adu mulut’ juga gue dah pernah liat.
Enggak penting juga gue ngomong begitu.
“Kita duluan, enggak apa-apa kan?” kata Dimas sambil menggandeng tanganku.
“Oh, iya enggak apa-apa, gue juga mau balik. Sekali lagi selamat ya, Dim.”
Dim doang? Ke gue kagak diselametin nih?
Dimas hanya membalas senyum.
“Bye, Dim.”
“Bye.”
“Iya bye juga buat gue,” cibirku begitu Cecil sudah menjauh dari kami sampai-sampai Dimas menoleh dengan alis terangkat.
Dimas terkekeh di sampingku.
“Puas banget ya abis diglayutin yang bening-bening. Enggak sekalian tadi lo ikutan pergi sama dia?”
Dimas menaikan sebelah alis heran. “Kok gitu? Saya kasihan sama diri saya, soalnya nanti ada yang ngambek, nanti pulangnya sendirian, terus ngadu sama amih, abis itu marah-marah enggak jelas sampe kantor, terus badmood buat kerja, enggak ikut rapat pagi dengan alesan mules padahal lagi males ketemu muka, terus ngomongnya nyinyir, terus nyuekin tiap hari, terus….”
“Iiiih, apaan sih! Gue enggak gitu ya. Lo aja yang lebay.”
Aku baru akan melepas genggaman Dimas namun pria tersebut menahannya. “Jealous?”
What? I’m-jealuse-with you? Never!”
“Yakin?”
“Iyalah! Udahlah pulang.”
“Tuh kan ngambek.”
I’m NOT!”
Begitu mobil melaju meninggalkan wisata bunga tersebut aku baru teringat dengan cincin yang dikenakan Dimas.
“Btw, kok lo punya cincin pasangannya sih? Bukannya lo bilang ini cincing punya nenek elo?”
Dimas mengacuhkan cincin yang ada dijarinya padaku. “Ya terus kenapa? Itu memang sepasang.”
Aku mengerucut bibir sebal. “Terus ini maksudnya apa? Bisa-bisanya lo ngundang mereka buat dateng ke acara nikahan lo yang bohong itu. Kalo mereka beneran dateng gimana?”
“Siapa bilang saya bohong?”
Aku mengerut kening tidak paham sedangkan jantungku mulai tidak berfungsi normal. “Maksudnya?”
Dimas tidak langsung menjawab, ia hanya tersenyum misterius dan menyetir dengan tenang. Sepanjang perjalanan aku terus mengajukan berbagai pertanyaan, tapi Dimas tetap tidak menjawab. Hingga kami memasuki kompleks rumah dan Dimas masih diam, dah lah bodo amat. Dimas berhenti tepat di depan rumahku, trpat di belakang sebuah mobil sedan yamg tidak asing bagitu juga beberapa motor yang terparkir di depan rumah.
Aku mengerut kening. “Hemm? Kok ada mobil tatu Maya sih?”
Tapi pertanyaanku terlambat karena Dimas sudah lebih dulu turun, berjalan memutar dan membukakan pintu untukku.
“Ada nyokap lo tuh. Mau sekalian mampir?” kataku setelah turun dari mobil.
“Emang mesti ke sini,” katanya misterius.
“Oh.”
Begitu memasuki halaman rumah aku disambul oleh Ambar yang sudah berdiri di ambang pintu dengan stelan batik rapih, Dimas menyapa dengan biasa saja sedangkan aku adalah manusia yang tidak tahu apa-apa di sinu hanya bisa diam. Begitu memasuki rumah aku terkejut dengan kehadiran om Ridwan dan tatu Maya, Amih, wawa Bayu, tatu Niar, beserta orang-orang yang tidak begitu kuhapal namanya–tapi sepertinya warga setempat juga.
Sebelum aku mengajukan banyak pertanyaan, Amih datang dan langsung mengapitku begitu aku selesai bersalaman pada semua tamu.
“Aduuh, kalian lama banget, udah sana kamu buruan siap-siap. Renjani sama Rani udah nunggu di dalem.”
“Mih, sebenernya ini ada acara apaan sih? Renjani lamaran?”
“Huss, ngaco kamu. Ya ini acara kamu lah, Nay.”
“Hah!!”
“Udah jangan banykan tanya, nanti kelamaan, nanti aja ceritanya. Kasian tamunya udah nungguin.”
“Enggak … bentar dulu … Naya … sama siapa?”
“Ya sama a’ Dimas atuuh, kamu pikir sama siapa lagi? Sama si Ambar? Udah-udah kamu cepetan siap-siap.”
Ha?
Amih mendorongku masuk ke dalam kamar, di sana sudah ada Renjani dan Rani–sepupuku, yang sudah menunggu. Entah bagaimana ceritanya, aku melakukan segala yang mereka suruh dengan isi kepala yang masih berisik dengan segala macam pertanyaan, lepas asyar aku sudah siap dan segera digiring ke depan. Aku didudukan di samping wawa Bayu dan Amih, di depan kami ada Dimas yang diapit kedua orang tuanya, juga ketua RT setempat, juga beberapa saksi di sana. Orang-orang mulai membuka acara, om Ridwan mulai berbicara menyampaikan sepatah dua patah kata yang ujung-ujungnya memakan waktu panjang, kemudian ditimpali oleh wawa Bayu sebagai perwakilan ayah. Hingga mulai tiba sang calon menyampaikan maksud dan tujuannya.
Bismillaahirrahmaanirohiim, kepada adinda Arivah Inayati. Saya tau kamu masih bingung, saya minta maaf sebelumnya tidak memberitahumu lebih dulu.”
Emang elo salah begooo!!
Aku tidak begitu mendengar kalimat Dimas berikutnya karena isi kepalaku yang mulai tidak waras dan hampir meledak, yang jelas kemudian semua mic diserahkan padaku dan entah apa yang aku katakan setelahnya semua orang berucap syukur dan memanjatkan doa-doa.
Setelah itu Renjani datang dengan membawa nampan   berisi kotak dua kotak cincin yang isinya cincin yang beberapa waktu lalu aku lepas. Kami duduk di tengah-tengah dengan saling berhadapan, Dimas lebih dulu memasangkan cincin di jariku kemudian disusul denganku memasang cincin … di jari Dimas.
Sepanjang acara aku hanya diam, tidak begitu banyak bicara, dan hanya berteriak dalam hati.
Haaah?!!
HAAAAAAAAAH?????!!!!!!

TBC 😅

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Seberapa Gregetnya Elo?!

1 Januari 2021 in Vitamins Blog

39 votes, average: 1.00 out of 1 (39 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

P.S

Yuhuuuuh, author abal-abal kembali, thanks yang dah setia nunggu ampe rela jamuran 🤧🤧 Sori ya, ini emang slow update, percayalah saya berusaha luangin waktu buat curahan hati si Arivah ini 😫 Mohon jangan hujat saya #Bletak *sok ngartis lo thor 👹👺

Okelah, enggak usah banyam bekicot. Happy reading 💃💃💃

 

Yakin sih gua kalo si bos ini sebenernya masih keturunan bos monsternya planet Namek. Percaya deh, Picolo bakalan sungkeman kalo ketemu sama doi.” @Ryyhaju

Mataku tidak berkedip, mulutku hanya cengap-cengap persis mulut ikan yang baru dikeluarkan dari air, tiba-tiba kepalaku pusing dan leherku terasa sakit.
Tuhan! Tolong bilang kalo orang yang sedang aku tatap ini cuman ilusi bodoh seperti tadi pagi.
“Lagi cousplay jadi ikan, ya?”
Aku menutup mulutku sambil menahan napas.
Ini bukan mimpi!
Ini nyata, orang yang sedang aku tatap ini adalah Dimas! WTH!!
“Elo kok … tapi … Semarang … terus di sini … gimana bisa?!” aku bertanya seperti orang baru belajar bicara dengan suara sumbang setengah berteriak.
Dimas mengulas senyum manisnya yang aku yakin mampu membuat gula darah para wanita ini mendadak naik. “Kenapa? Kaget aku bisa sampe sini?”
Aku menggigit bibirku, kesal.
Aku melirik tante Nanda yang juga sama melongonya, entah melongo karena terkejut atau ngerasa terpanah dengan ketampanan makhluk dari gua batu ini?
Giliran cowok ganteng aja matanya sampe enggak kedip ya, Tan 😒
Aku menarik Dimas sedikit menjauh dari tante Nadia, aku berbisik setengah menggeram. “Elo. Ngapain. Di sini?!”
Dimas menarik sebelah alisnya seolah-olah bahwa pertanyaanku adalah hal yang paling aneh yang pernah ia dengar.
Emang percuma sih lo kalo nanya sama aspal komplek, bawaannya pengen banget gue garuk.
“Terus gimana sama gatheringnya?”
Dimas tidak langsung menjawab, ia menatapku dengan mata teduhnya, tangannya meraih sebelah tanganku, meremasnya pelan, ditengah hiruk pikuk tamu, di pandu dengan suara Christina Perry, Dimas berkata amat lembut tanpa melepas tatapannya dari mataku.
“Semarang ternyata terlalu jauh, Nay.” Aku menatapnya tidak paham, “Semarang terlalu jauh dan  di sana tidak ada kamu, Naya. Saya tidak mau pergi ketempat manapun, kecuali sama kamu.”
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Aku melongo saking tidak percayanya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Dimas.
HUEEEK!!!
Dari mana sih ini manusia batu belajar jadi alay gini?
Aku tersenyum kaku seraya berbisik. “Elo abis kesambet di mana?”
Dimas menunduk seraya berbisik, “Kalo saya kesambet, saya udah kesambet dari kemarin-kemarin, dan kamu pasti enggak ada di sini sekarang. Kalo saya kesambet kamu udah pasti lagi duduk di depan penghulu sama saya karena perbuatan khilaf saya kemarin.”
Aku menahan napas sekaligus syok. Aku mendadak ingat dengan mimpiku pagi ini, juga tindak-tanduk Dimas yang kadang absurt, kalimat-kalimat Dimas yang membuatku harus bermain teka-teki.
Tapi semenjak kejaian ‘khilaf’ di kamar Ganih kemarin, aku menjadi banyak berpikir ulang. Lalu muncul pertanyaan yang sama berulang kali, ‘Apa benar Dimas menginginkanku sampai seperti itu?’, ‘Sejak kapan tenpatnya dia menahan segala hasrat buasnya itu?’, dan ‘Apa aku juga menginginkan Dimas?’.
Aku kembali menatap sepasang mata taduh milik Dimas, aku baru sadar hari ini ia mengenakan kaca mata lagi, aku mengintip dari balik lensa terlihat kelopak mata yang sedikit membengkak.
Ukh, itu pasti karena tidak tidur semalaman.
Meski begitu, Dimas masih mau menyusulku hingga ke Lembang. Tapi di tengah itu semua, merutku mulai bermasalah. Ada sesuatu yang bergejolak di sana.
Saya mau kamu….’
Sesuatu mulai merayap naik di dalam perutku. Satu….
Saya maunya kamu yang pakai cincin ini….’
Dua….
Saya tidak sinting atau gila, saya sadar dan serius….’
Tiga….
Karena kamu tidak pernah bertanya … Untuk itu saya bawa kamu ke sini, untuk sedikit mengenal saya tidak apa kan…’
Empat….
Saya jadi enggak bisa pura-pura galak di depan kamu….’
Lima….
Naya….’
Diperutku seketika bergejolak, seperti ada kupu-kupu berterbangan tidak terhingga jumlahnya.
“…naya, Inayah….”
“Inayah!”
Aku menoleh cepar ke arah tante Nanda yang baru saja menegurku, ternyata beliau dari tadi menyimak tanpa di suruh. Aku pernah bodoh di masa lalu, lalu apa di masa sekarang aku akan mengulangi kebodohan yang sama? Aku kembali menatap Dimas, yang sekarang menyungging senyum paling manis yang pernah aku lihat, dan aku merasakan kelegaan yang amat sangat.
Belum pernah, belum pernah sebelumnya aku merasa se…lega ini ketika bertemu dengan Dimas. Belum pernah. Sudut bibirku terangkat menyungging senyum tanpa diminta.
“Inayah, ini temen kamu?”
Aku menoleh ke arah tante Nanda. Dengan bangga aku tersenyum sambil mengait lengan Dimas seraya menyahut.
“Ini pacar Naya.”

***

Tante Nanda tercengang, wajahnya berkerut-kerus seperti acar timun yang kekurangan air di dalam toples. Mulutnya mengap-mengap persia ikan lele yang salah lompat ke daratan. Aku memperhatikan dengan geli, ini baru hiburan.
“Pa … car?” katanya setengah mengigau. Tiba-tiba tante Nanda menarikku mendekat seraya berbisik, “Kamu bilang belum punya pacar?”
Aku mengerut kening, sekilas aku melirik Dimas yang sama bingungnya. “Masa sih? Perasaan Naya mau bilang tapi tante ngomong terus, Naya mana bisa bilang.”
Tante Nanda melotot tapi aku memasang wajah polos. Tante Nanda masih sempat-sempatnya mencuri pandang ke arah Dimas. Ia kembali berbisik kali ini dengan nada centil yang membuatku makin keheranan.
“Kamu kok bisa dapetin cowok cakep gitu, pasti temen-temennya juga cakep-cakep,” komentar tante Nanda sambil terus mencuri pandang pada Dimas.
Hmmn, dasar kucing tua, ada ikan segar matanya langsung ijo, gak sadar umur lagi.
“Kenapa emang, Tan?”
“Yaa, bisa lah, satu kenalin sama tante.”
“Hah?!” aku mencerit cukup keras karena syok.
Demi dedemit penghuni pohon toge dan alam undur-undur, kesurupan kuntilanak kali ya ini tante-tante?!
“Ssst, canda-canda….”
“Kenapa, yang?”
Uluuuh, kok rasanya kek kena serangan jantung gitu ya pas Dimas manggil gue ‘sayang’ iya ‘sayang’ 🤭
“Ha? Eh, enggak. Oh iya, kenalin ini tante Nanda. Masih sodara gu … Aku, ini Dimas … pacar Naya.” Tidak lupa aku tambahkan senyum ala Pepsodent.
Ekhhmmm ‘pacar’.
“Halo tan, apa kabar?” Dimas mengulur tangan pada tante Nanda mengajak bersalaman.
Dengan cepat tante Nanda menyambar tangan Dimas  bahkan menggenggam tangan Dimas dengan dua tangan. “Baik, baik, baik. Eh, jangan manggilnya ‘tante’ ketuaan. Panggil ‘teteh’ aja, kan kita enggak beda jauh.”
Permisi, bagaimana? Gue enggak salah denger? Hell, empat puluh lima ke dua puluh sembilan itu jauh, darimana lo mau dipanggil teteh?
Aku memperhatikan Dimas yang tampak tidak terganggu sama sekali. Hanya mengulas senyum tanpa menanggapi.
Eh buset! Itu tangan masih nyantel aja kek gantungan kunci 😒
“Duuuh, kalo aja saya punya anak cewek, udah saya jodohin sama kamu. Sayang aja saya punyanya Wawan bukan Wiwin. Eh, kalo gak sama teteh aja.” Aku melotot syok.
Kalo ada anaknya udah suruh tidur sama Lian nih pasti.
Ekhmm!!” Aku berdeham cukup keras bermaksud mengintrupsi kelajuan pecicilan tante Nanda. Namun si tante-tante satu ini masih bebal.
Alhasil aku berinisiapif sendiri, “Taaan, kayaknya Naya haus, Dimas juga baru dateng kan pasti laper. Jadi….”
“Oh, ya udah sana kamu ambil makan, gih. Biar si Aa, disini nemenin tante. Eh, sekalian ya tante juga haus. Tapi maunya yang manis, itu di sebelah sana yang manis-manisnya. Kalo kamu enggak repot, sekalian buahnya juga ya.”
Seketika aku menjadi arca Kendedes sambil mengumpat dalam hati.
What the f****!!!
Pfffttt!!”
Aku melotot pada Dimas yang terang-terangan menahan tawanya. HAH! LO PIKIR LUCU?!
“Eh, nunggu apa lagi, Inayah? Cepetan, kasian tuh aa Dimasnya haus. Ya kan a’?”
Dengan dongkol aku menyahut, “Baik, Nyah! Ijah ambil makanan dulu.”
Aku berbalik sambil sengaja menghentak kaki, aku pun tidak perlu repot-repot menanggapi ocehan tante Nanda dan Dimas yang sudah lepas tertawa. Awas lo nanti, gue bales!

***

“Banyak banget mba, doyan apa kelaperan?” sindir si pramusaji.
Berisik lo!
“Pesenan saya mana? Lama banget, saya udah laper.” Dengan santai Dimas menyelipkan tangannya di pinggangku, aku terkesiap dan menjatubkan kembali perkedel kentangku ke asalnya. Aku mendelik kesal pada Dimas.
“Enggak lucu!”
Dimas tertawa renyah tetap merangkul pinggangku dengan nyaman. Udah kayak gulingnya bikin nyaman 😌
“Ck! Apaan sih, lepasin. Ribet nih!” Seberusaha mungkin aku melepas tangan Dimas dengan tidak menarik banyak perhatian orang lain.
“Kenapa?”
“Pake nanya lagi, entar disangka gue sakit pinggang kalo mesti dipapa gini.”
“Sok tau kamu, yang ada mereka pikir kamu pacar pecicilan, makanya mesti digiring biar enggak kemana-mana.”
Aku melotot namun Dimas malah tertawa.
“Makan yuk.”
Aku menyodorkan sepiring penuh makanan tepat ke wajah Dimas. “Terus, ini apa?”
Dimas mengambil piring di tanganku kemudian dengan  santai memberikannya pada seseorang di belakang kami dengan air wajah kebingungan. Tentu saja! Porsi yang gue ambil itu porsi orang kurang makan liam hari empat malam! Siapa juga yang sanggup ngabisin?
Dimas menggandeng tanganku tanpa perlu ijin kemudian membawaku keluar dari antrean.
“Saya mau makanan yang lebih khas,” katanya.
“Terus, gimana sama teteh Nanda? Lo apain tadi?”
Dimas mengedik bahu, “Saya enggak tau, saya tinggal ke belakang, tapi enggak jadi pas liat kamu lagi antre makanan.”
“Halah!”
Kami melewati meja Bagus dan kawan-kawannya, mereka sedang asik mengobrol namun mulai berbisik-bisik begitu melihatku. Bagus juga mendelik padaku dengan wajah masih malu-malu semakin membuatnya lucu.
“Duluan ya a Bagus.”
“Eh, iya, hati-hati,” sahutnya dengan kikuk.
“Siapa? Sodara kamu?” tanya Dimas setelah satu meter melewati meja Bagus.
Aku menarik sebelah alis, keheranan. “Kok lo kepo.”
“Saya enggak kepo, saya cuman tanya siapa?” elak Dimas mulus.
“Ya itu namanya kepo.”
“Ck!”
Dimas diam karena kesal dan aku merasa puas. Jarang-jarang lagi kan gue ngerjain ini anak, mumpung ada kesempatan, gas aja wkwkwk.
“Mau tau?” godaku.
“Enggak usah, enggak penting,” komentar Dimas.
“Serius?”
Yes!! I don’t care.”
“Ya udah, gue enggak rugi,” kataku acuh.
“Palingan sepupu jauh kamu lagi.”
Dudududuuuuu, kepo bilang boss!!!
Aku tertawa renyah. “Sok tau kamu! Tadi tuh a Bagus … calon imam gue sejam yang lalu….”
What?!
Tawaku meledak seketika, reaksi Dimas benar-benar hiburan baru. “Tapi elu keburu dateng, alhasil gue gak jadi deh dilamar sama doi.”
Tidak ada reaksi terkejut dari Dimas kali ini yang ada ekspresi sedatar jalan. “Enggak lucu.”
“Ya udah.”
Aku hendak meninggalkan Dimas namun tanganku segera diraih oleh pria tersebut, menariknya hingga aku kembali ke hadapan Dimas.
“Dia boleh jadi calon imam sejam kamu,” mulainya, aku mengerut dahi tidak paham, ia melanjutkan, “tapi saya mau jadi imam kamu berjam-jam, berhari-hari, bulan bahkan bertahun-tahun, gimana? Kamu tertarik sama tawaran saya?”
DUAAAR!!!
Seperti ada bom dalam perutku yang meledak seketika, memuntahkan segala bunga dan kupu-kupu di dalamnya. Aku memandang Dimas yang sekarang tengah tersenyum menyeringai, efek ledakkan itu sampai hingga pipiku.
Ah, gue yakin muka gue udah berubah jadi tomat, enggak merah lagi tapi dah jadi tomat busuk!
Sialan! Sialan!!
Dia yang senyum, gue yang jatuh cinta!
Kan goblok!!

TBC 💃

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Happp! I Catch You

21 Desember 2020 in Vitamins Blog

32 votes, average: 1.00 out of 1 (32 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

P.S

Holaaaa holaaaa, author gak jelas balik lagi 😂😂

Mumpung ada mood, akhirnya kelar 🤧🤧🤧 Gak mau banyak cincong. Happy reading 💃💃

Cowok cakep kalo dipandengin terus lama-lama cakepnya luntur. Tapi, kalo cowok jelek dipantengin terus … kok enggak berubah jadi cakep ya? Hmn…#misteryilahi #colectorcogan” @ Hannnni__P

Kamu tahu, Naya, berapa lama saya nunggu kamu?”

Dimas menahan kedua tanganku di samping, sementara tubuhnya membungkuk di atas tubuhku, kamar Ghani benar-benar sepi, atau rumah itu memang hanya ditinggali kami berdua.
Wajah Dimas yang benar-benar dekat menghantarkan napas panas pria tersebut di wajahku alhasil menimbulkan reaksi lain seperti tegang otot atau semacamnya, aku seperti berhadapan dengan singa liar.

Saya mau kamu buat saya, tubuh kamu… pikiranmu… dan hati kamu buat saya … Naya.”

Dimas mengatakannya dengan bisikan halus yang menggoda, jelas sekali bahwa ia sedang terbakar. Aku yakin ini adalah mimpi, ya aku hanya mimpi. Dimas dengan rambut setengah kering yang berantakan, tatapan yang sayu setengah sadar dan bergairah, bibir merah namun menyimpan api, juga suara serak yang mendamba. Dimas dalam mimpiku ini benar-benar menginginkanku.

Saya mau kamu, Naya.”

Dimas mengecup bibirku lagi, awalnya dengan kecupan-kecupan manis namun semakin lama semakin menuntut. Aku mengalungkan tanganku pada leher Dimas yang kokoh, merasakan rambut Dimas yang setengah kering di tanganku.
Ini mimpi kan? Gue berharap ini beneran mimpi, bisa mampus gue digantung Amih kalo ini beneran.
Tapi sialnya, kenapa semua sensasi ini terasa begitu nyata?! Dimas bangsat!! Bisa-bisanya dia buat gue kayak gini!
Dimas melepas pagutan kami, bibirnya merah merona, berdarah di sudut, rasanya tadi aku tidak sengaja mengigitnya karena gemas. Sialan! Gue kok kedengeran kayak sange banget sama ini orang! Anjing!! Bukannya marah, Dimas semakin membara, tatapannya semakin sayu. Pria tersebut menunduk lagi ke sisi wajahku berhenti tepat di telingaku, lalu ia berbisik….

“…bangun!!!”

“Teteh, banguuuuuun!!!”
Tiba-tiba selimut yang kupakai dilepas paksa dari tempatnya dan aku merasakan dingin menusuk kulit. Aku menggerang sambil menarik kembali selimutku dan menutup kepalaku dengan bantal.
“Duuuuuh, apa sih lo, Ren?! Berisik banget! Ganggu tau gak!”
“Biarin! Lo kalo pulang kerjaan molor mulu, bangun oi! Udah siang nih! Bilangnya mau ke Lembang, tapi bangun aja masih kesiangan!”
Aku berguling ke sisi ranjang tidak memedulikan ocehan Renjani berkutnya. Diam-diam dalam hati aku bersyukur.
Tuhaaaaaan, syukurlah cuman mimpi. Tapi kok mimpi gue bangsat bener sih? Gue sampe curiga sebenernya gue mimpi apa lagi main adegan bokep?
Anjing, bahasa lo, Vah!!
Berisik lo!
“Buruan bangun. Ditungguin ibu ratu noh buat sarapan!”
“Aduuuh, timbang makan duluan aja pake nunggu segala! Gue masih ngantuk nih, lo dari kemarin berisik mulu! Gue gak bisa istirahat dengan tenang!”
“Salah elo lah, mau istirahat dengan tenang di sini. Noh sono lo ke kuburan, lo bisa istirahat dengan ten … Ahahahaa!!” Kulempar salah satu bantal ke arah Renjani namun gagal mengenai gadis tengil itu.
“Si anjir! Malah doain gue mati, dasar monyet!”
“Lo kan katanya mau istirahat dengan tenang. Buruuu, ditungguin sama kanjeng mami tuh.”
Renjani buru-buru menutup pintu begitu aku siap melempar bantal lain ke arahnya. “Kampret!”
Aku kembali mengempaskan tubuh ke kasur, menatap langit-langit kamarku sambil berpikir; kapan sih terakhir gue pulang? Padahal waktu baru ke Jakarta, seminggu sekali aku masih bisa pulang, kemudian menjadi sebulan sekali, dua bulan, setahun, dan hampir tidak pernah pulang. Sekarang, setelah sekian abad di kota orang, aku pulang. Sehari sudah aku berada di rumah, kembali ke rumah setelah sekian lama itu rasanya … asing.
Lo bayangin aja, di jalan lo disapa sama orang tapi enggak elo kenal, sialnya itu orang tetangga depan rumah lo sendiri, mati kutu kagak lo? Lebih lagi waktu ketemu sama bocah yang dikira masih piyik ternyata udah pada masuk sekolah dan lulus, makin ngenes kagak lo? Dimohon harap dimaklum ya luuuur, sebegitu kudetnya manusia-manusia urban ini setelah pulang kampung. Ya Tuhaaaaan.
Aku meraih hapeku dan menyalakannya setelah dari semalam sengaja aku matikan, langsung saja hapeku berbunyi tanpa henti, segala notifikasi yang menumpuk berjubal masuk, tidak hanya dari WhatApps namun juga deretan panggilan masuk dan pesan dari orang-orang turut meramaikan hapeku. Aku tersenyum geli membayangkan bagaimana panik dan kesalnya orang-orang ini setelah tahu aku mangkir dari gathring.
Ya, aku kabur dari acara gathring ke Semarang daaan di sinilah aku. Pulang, tentu saja!
96 panggilan.
368 pesan. Aku jamin sebagian besar adalah dari grup kantor dan tetek bengeknya.
108 panggilan.
34 SMS.
Dan dari banyak pesan dan panggilan yang masuk itu berasal dari Dimas.
Aku meringis dalam hati, mengira-ngira seberapa marahnya si bos ini tahu bahwa ia telah ditipu. Yakin deh, tanduknya bukan lagi dua, tapi tiga. Beeeerrrr, bayanginnya aja bikin gue serem.
Sambil berjalan keluar, aku memilah dan memilih pesan mana yang harus aku buka lebih dahulu. Sederet nama yang mengirim aku pesan dan panggilan adalah teman-teman kantorku; mba Sri ada 18 pesan, aku yakin itu termasuk panggilan. Hanin mengirim 6 pesan yang pesan terakhirnya berisi ‘Bikin tanduk pak bos nambah satu 😴’. Kemudian disusul Siska, Kayla, Ghisya, Jeje, Rayhan, dan diurutan pertama adalah Dimas, ia meninggalkan sekitas 68 pesan dan pesan terakhirnya adalah panggilan tak terjawab pukul 5 Subuh tadi.
Aku meringis dalam hati. Tidak tahu lagi bagaimana aku membayangkan Dimas yang marah kemarin malam. Setidaknya aku sudah ijin ke panitia dan mba Sri mengizinkan, lalu apa aku salah? 🤔
Aku sudah duduk di meja makan begitu aku memutuskan membalas pesan grup Karbol. Tentu saja yang isinya aku, Jeje, Rayhan, Hanin dan Kayla. Hanya grup ini yang tidak terlalu banyak penghuni kantor dan bacot yang berseliweran.
Pertama-tama aku menyapa dengan penuh kesopanan.
“Assalamuallaikum, ukhtie dan akhi sekalian, Semarang cerah kah? 🤗”
Dalam hitungan beberapa detik grup sudah ramai.
Jejelani : “Bangsat!”
Jejelani : “Dari mana aja lo?!”
Rayhan : “Gilak gilak gilaaaak!”
Hanin     : “Gitu ya, di grup sebelah mah udah kayak orang mati, di sini malah idup lagi!! Kampret lo, Vah!”
Rayhan : “Gue salut sama elo sih, Vah. Gilak udah mirip buronan lo! Belum aja dipasangin poster 🤣”
Kayla     : “Eh, yang dicari nongol di mari.”
Kayla     : “Perlu gue sumon si bos ke sini gak yak??? 🤭🤭”
Gue       : “Bangkek lo, Laaa!!!!”
Jejelani : “Ka, mau gue slepet apa sleding nih?”
Rayhan : “Keluarin gue dari grup pliiiizzz!!!”
Hanin    : “Alay, anjing! F*K!!!”
Kayla    : “Canda doang astagfirullah.”
Kayla    : “Lagian, elo ngapa nongol sekarang sih, Vah?”
Kayla    : “Gak sekalian lo nongolnya nanti sama Dajjal?”
Hanin    : “Anjing, Dajjal disumon!!”
Hanin    : “Ampun gue masih bejat!! Kiamatnya bisa di pending dulu gak?!”
Jejelani : “Eh, anjing! Ditanya bener juga! Lo dari mana njing?!”
Rayhan : “Gas keun!!! ✊✊✊”
Jejelani : “Lo tau gak? Gue dateng ke sini buat L.I.B.U.R.A.N LIBURAN!! Bukan jadi hansip apalagi tukang jaga malem!!!”
Jejelani : “GUE MAU LI.BUR.AN!!”
Jejelani : “Bisa enggak sih doi gak gangguin waktu gue gitu!”
Jejelani : “Dari keberangkatan dan tau kalo ELO–si bangsat ini–kabur gitu aja kayak abis liat setan ternyata dia lebih setan.”
Jejelani : “Elo tahu? Gue yang jadi sasaran empuknya!”
Hanin     : “Nyimak sambil makan kuaci.”
Jejelani : “Suruh nelponin, wa-in, SMSin, semuanya gue yang ngerjain. Dan si bangkek ini malah nongol gitu aja kek jelangkung!!”
Rayhan : “Keluarkan segala unek-unek moe, honny 👏👏👏”
Hanin    : “Hmmn, pagi yang cerah sekali dengan ditemani  kultum dari umi Jejey 🌞🌞”
Kayla    : “Jeje pagi-pagi udah kesurupan mamak kucing.”
Jejelani : “BERISIK LO PADA! BELUM AJA GW SUMON BOS BESAR DIMARI!”
Kayla    : “Keluarin gue dari grup pliiiizzz!!! (2)”
Hanin    : “Keluarin gue dari grup pliiiizzz!!! (3)”
Rayhan : “Eh, nih anaknya kemane lagi?”
Hanin    : “Si Arivah dah kayak babi ngepet yang kalo ketahuan langsung ngilang 🤣”
Hanin    : “Apalagi doi ngepetnya di kantor. Cek brangkas, ntu diut nyisa kagak?”
Jejelani: “@ Hannnni__P LOL”
Kayla    : “Jangan-jangan itu ya alesan lo enggak ikut ke Semarang, @ A_Inay”
Rayhan : “Stengahan ama gw ya @ A_Inay 🙏🙏🙏”
Rayhan : “Kita kan BBF”
Kayla    : “Best Bangsat Friend @ Rayhajju? 😏”
Rayhan : “Gak usah diperjelas dong, La!”
Jejelani: “Aduuh, ini anaknya kemane sih?”
Hanin   : “Tau tuh.”
Gue     : “*sand pic
Gue     : “Gak ada sarapan enak selain makanan rumah 😘😘😋😋”
Grup semakin ramai, tapi aku segera keluar dari chat, sambil tersenyum geli.
“Kenapa kamu senyum-senyum gitu? Kesurupan guling?” tanya Amih keheranan.
“Biasa, Mih, kesurupan embe jadi gitu,” celetuk Renjani ranpa permisi.
“Husss! Sembarangan,” kata Amih.
Tapi aku tidak peduli karena aku tidak ingin mesurak moodku di … well, pagi menjelang siang ini, hmmn.
“Jadi kamu ikut ke Lembang, Nay?” tanga Amih lagi.
“Enggak tau,” sahutku acuh. “Lagian ngapain sih jauh-jauh ke Lembang buat nikahan, toh, di Dago juga ada banyak gedung nikahan, ini malah mempersulit diri sendiri.”
“Katanya sih di sana viewnya bagus, alesannya karena ini sekali seumur hidup makanya maunya di sana,”
“Uhuk!” aku tersedak air minumku sendiri mendengar alasan klasik tersebut. “Kayak tau aja itu jodoh dia sampe mati, mana tau kan tiba-tiba mereka cerai baru berapa bulan gitu. Kan jadi sia-sia,” lanjutku.
“Muluuut kalo ngomong kayak enggak pernah makan bangku sekolah!” Amih meraup wajahku dengan gemas.
“Emang enggak pernah, kan keras, lagian ngapain makan bangku sekolahan? Naya mah kalo laper ya ke kantin.”
Amih melotot namun aku hanya nyengir kuda.
“Lagian lo jadi manusia kok hobinya doain yang jelek-jelek, heran,” komentar Renjani.
“Ya kan bener. Kalo ternyata mereka gak jodoh, terus cerai dan nemu jodoh yang sebenernya, ya berarti itu bukan sekali seumur hidup mereka dong.”
“Ya kamu doanya jangan gitu! Gimana kalo kamu yang begitu?” ucap Amih.
Aku mengedik bahu cuek, “Ya tinggal nikah, barangkali bisa wedding partynya bisa lebih mewah dari yang pertama, teteh mah ikhlas lahir batin.”
“Ucapan adalah doa lo, amin,” seloroh Renjani.
“Eh bangkek!” Baru saja aku akan melempar sendok ditanganku ke arah Renjani sayang Amih lebih cepat menangkis tanganku.
“Sssh, eeh, malah ribut! Kamu lagi, Nay, kalo ngomong ati-ati. Kalo beneran gimana?”
“Mih, emang Amih mau jodohin Naya sama aki-aki kayak Datuk Maringgi dan Siti Nurbaya? Enggak kan?”
“Ya makanya, kamu cepetan bawa calon kamu biar Amih enggak nawarin kamu ke aki-aki!”
JLEEEBB!!
“Tunggu tanggal mainnya aja, Mih,” sahutku asal.
Sejujurnya, alasanku belum mengenalkan siapapun pada Amih adalah aku masih ingin bermain, mewujudkan segala egoisku, membantu menuntaskan kuliah Renjani, dan aku masih belum sanggup kalau-kalau harus berpisah dengan Amih.
Bukan berarti aku belum pernah pacaran atau berpikir ke jenjang lebih. Dulu pernah seorang lelaki mengajakku ke arah jenjang yang serius meski kami baru berpacaran tiga bulan, Abiandra Lesmana namanya atau Bian. Dia adalah kakak tingkatku semasa kuliah sekaligus seniorku selama aku magang di salah satu tempat kursus bahasa asing. Kala itu aku menjadi adminnya dan Bian adalah salah satu tutor di sana.
Bian adalah orang yang baik, dewasa, namun tidak kaku. Dia orang yang menyenangkan untuk diajak mengobrol hal penting hingga tidak penting sekalipun, teman yang asik diajak kemanapun, tidak akan bosan kalau Bian berada di antara yang lain, seseorang yang mambu membuat siapa saja nyaman, dari sanalah kemudian Bian mengajakku berpacaran.
Semuanga nampak lancar di awal kami berpacaran, Bian lebih dari yang terlihat, dia orang yang benar-benar bertanggung jawab, dan orang yang pekerja keras. Sosok yang sangat diidamkan semua wanita, harusnya aku beruntung memiliki Bian, namun  semuanya terasa tidak menyenangkan di bulan berikutnya.
Ketika Bian mulai mengenalkanku kepada orang tuanya, segala hal menyenangkan bersamanya mulai hilang. Aku menjadi orang yang harus menjaga sikap, menjadi orang lain, dan itu membuatku tidak nyaman. Bian merasakannya, ia mengatakan agar aku menjadi diriku sendiri.
Hampir sebulan aku sering bertemu dengan mama Bian, beliau orang yang penyayang, tidak membeda-bedakan, mungkin sikap itu diturunkan pada Bian sekarang. Hanya saja, di hatiku ada rasa mengambang yang tidak bisa dijelaskan, seolah aku tengah menipu diri sendiri. Masalah mulai kalut kala Bian mulai menanyakan Amih, ia ingin mengantarku pulang sekaligus meminta restu pada Amih.
Ditengah kebingungan itu aku malah memilih jalan yang salah, dengan menghindari Bian. Aku mengakhiri masa magangku lebih cepat dan bersyukur aku segera diterima kerja di salah satu perusahan propert. Hampir dua minggu aku menghindari Bian, tidak membalas pesan, tidak menjawab telpon, tidak pula aku menemuinya. Sungguh, kesalahanku saat itu yang bersikap kekanakan. Pada akhirnya Bian menhampiri kostanku kala aku libur.
Alih-alih marah, Bian malah memberikan senyum secerah matahari.
Bayangkan, dia tidak marah, meski aku tahu ia menahan segala amarahnya agar tidak terlihat dan lepas kendali, betapa bodohnya aku saat itu.
Pertama-tama ia menanyakan kabarku, kemudian ia mulai bercerita banyak hal, tentang kegundahannya, keluarganya, yang ternyata ayahnya selingkuh, tentang ibunya yang depresi, tentang masalah pekerjaannya … Semua terjadi sangat cepat, segala masalah itu, bagaimana aku bertingkah sejahat itu padanya saat itu?
Bodoh!
Itulah kata yang terus aku ulang dalam hatiku.
Kemudian Bian mulai bercerita tentang seorang perempuan bernama Fatiah yang baru bertemu baru-baru ini di sebuah acara pengajian yang diadakan keluarganya, ia adalah pengajar di salah satu sekolah menengah di Bekasi, Bian mulai bercerita seolah tidak pernah terjadi apapun pada kami, bercerita seolah-olah kami adalah kawan lama yang baru bertemu, dan aku mulai menyadari itu adalah waktunya aku melepas Bian pergi.
Pada akhirnya kami tidak pernah menjadi apapun, Bian meminang Fatiah beberapa bulan berikutnya, dan tinggal di Bekasi.
Dan Gue?
Gue masih di sini.
Tanpa sadar aku tersenyum getir, diatas meja makan ini aku malah berkelana kemana-mana, mengenang kebodohan masa lalu di meja makan memang paling nikmat, pahitnya hingga ketenggorokanku.
Ternyata gue pernah setolol itu.
Hapeku kembali berisik, pertanda anak-anak di grup mulai tidak waras. Aku tidak mengacuhkannya dan melanjutkan makan.

Jejelani: “Hoi, harusnya lo ikut gathring, Vah!”
Jejelani: “Enggak seburuk itu kok.”
Jejelani: “Toh si bos mendadak balik pas nyampe Pekalongan.”
Jejelani: “Katanya ada urusan keluarga mendesak.”
Jejelani: “Heran juga sih, padahal dia kan belum berkeluarga ya wkwkwk 🤣”
Kayla    : “Awas loh, Vah, tiba-tiba doi nyusulin elo 😂”
Hanin    : “Jangan-jangan mau ngelamar elu, uluuuh.”
Rayhan : “Woi jangan ngebacot di grup!”
Rayhan : “Orangnya lagi pada ngejejer di meja makan yang sama juga.”
Jejelani: “BERISIK LO! 🔪🔪🔪”

***

Acara pernikahannya diadakan di Burgundy salah satu venue sekaligus cafe yang tengah popular di Lembang. Acara akadnya baru dimulai pukul 9 pagi, kemudian langsung dilanjutkan dengan resepsi. Aku beserta tatu Niar–kakak Amih–datang pukul satu, sebagian tamu undangan yang datang kala itu adalah rekan kerja pengantin, sedangkan para keluarga sedikit saja yang terlihat.
Pastilah, yang lainnya pada nitip, Amih enggak dateng terus ngapain gue di sini?
Aku merapihkan lagi ujung rokku yang agak kusut, ukh, cuman ini yang bisa aku dapat dari baju-baju lamaku. Dress garis-garis dipadu kimono outer.
Mana sempat gue milih baju kondangan waktu lagi buru-buru kabir dari Dimas! Cuman ini doang yang ada di lemari gue, yang agak mendingan lah.
Setidaknya masih enak diliat kan?
“Tatu Niar kemana lagi? Itu orang langsung aja ngibrit pas nyampe dalem.”
Sejujurnya aku tidak terlalu suka acara keluarga seperti ini, kebanyakan dari mereka hanya akan membentuk kelompok keong hanya untuk mengadakan ajang pamer.
“Mana belum salaman lagi sama pengantennya, elah.”
Aku mencoba mencari radar tatu Niar yang tiba-tiba menghilang seperti ditelan bumi.
“Inayah?”
Aku hampir-hampir menjatuhkan hapeku begitu seseorang memanggulku sambil menarik bahuku cukup kencang.
Duuuh, kayak enggak pernah liat orang canrik aja sih sampe segitunya. Eeeh 🤣
“Eeh, i, iya,” sahutku ragu-ragu sambil mengorek-ngorek ingatanku mencari siapa si ibu ini.
Selain obrolan geng sosialita, gue juga khawatir mendadak jadi pasien amnesia karena tidak kenal dengan mereka!
“Waah, udah gede ya. Sama siapa? Sendiri? Eh, kapan nyusul? Vania aja udah masa kamu belum. Banyak milih sih, awas loh jangan kelamaan, nanti jadi perawan tua.”
Hmm, sekarang gue inget ini mamak lambeh siapa.
“Naya sih enggak ambil pusing sih, Tan. Em, Gimana kabar sama A’ Wawan? Udah nikah apa masih asik main sama Lian?” Lian ini burung beo, ngomong-ngomong.
Wajah tante Nanda berubah gelap.
Kenal lo!
Si tante ini masih kerabar jauhku, tapi biar jauh dia lebih suka nimbrung di keluarga kami dan selau ingin menjadi orang pertama yang tahu segala hal. Terlebih lagi cara bicaranya yang melebihi kecepatan mobil F1 ini menjadi ciri khasnya. Tentu saja dengan dibumbui sindiran-sindiran halus yang bikin orang tidak betah di dekatnya.
“Wawan mah beda, dia mah cowok mau nikah umur tiga puluh lebih juga enggak apa-apa. Nah, kamu kan cewek, kalo kamu nikahnya lama enggak baik buat kesehatan. Banyak loh artikel sama beritanya wanita umur diatas tiga puluh yang belum punya anak.”
“Itu sih karena banyak hal, coba deh baca isinya, Tan, pasti bukan karena umur mereka. Headline berita emang suka berlebih-lebihan buat narik pembaca, tapi kan isinya enggak begitu.”
“Ya biar bagaimana pun, kamu tuh jangan lama-lama, kasian mama kamu. Pasti udah pengen banget gendong cucu, jangan sibuk kerja terus, coba deh cari pacar gitu. Kamu kan di Jakarta, cowok Jakarta kan cakep-cakep, masa kamu enggam mau ngelirik?”
Aku menahan segala kalimat bejadku untuk melompat keluar dari mulutku. “Enggak semua orang Jakarta itu cakep-cakep, Tan. Tante jangan kebanyakan nonton sinetron yang isinya arti semua, beda dong, Tan sama masyarakatnya. Masalah Naya kerja terus kan buat masa depan juga….”
“Alah, enggak usah capek-capek kerja sampe gaji kamu tinggi, toh kalo udah nikah kerjaan kamu tuh cuman ngurusin dapur. Kodratnya emang gitu.”
Aku ingin tertawa saking kunonya pemikiran primitif si ibu ini. “Ya enggak gitu konsep….”
“Apa kamu enggak suka cowok?”
Aku melotot saking kagetnya. “What?!”
“Atau kamu masih belum ada yang suka? Mau tante kenalin?”
Aku menggeleng kuat, tapi seolah buta, tante Nanda menyeretku ke arah segerombol pria yang sedang mengobrol.
Hold on! What is she going to do to me?! Apa gue mau ditawarin kayak barang sama cowok-cowok ini? WTF!!
“Permisi, a’ Bagus lagis sibuk?”
Seseorang yang bernama Bagus mendelik, pria berkulit hitam manis itu mendelik dengan heran ke arah tante Nanda dan aku, tidak hanya Bagus, beberapa pria yang sedang mengobrol di sana pun sama bingungnya dengana
ku.
“Eh, iya saya bu Nanda, temennya bu Asih.”
Begitu disebut nama yang dikenal, barulah si Bagus ini berubah lebih sopan namun masih dengan kebingungan.
“Oh, iya. Apa kabar, bu?”
“Baik, baik. Eh, ini….” tante Nanda menyeretku ke depan dengan sekali hentakan. “Ini kemenakan saya, namanya Inayah.
Dikenalkan mendadak begitu aku hanya bisa menyengir kuda tanpa bisa melakukan apapun. Si Bagus pun nampak terkejut dengan sikap ajaib tante Nanda.
“Masih single loh dia, lagi nyari suami katanya.”
Aku melotot pada tante Nanda, mulutku mangap-mangap tapi tidak ada yang keluar saking syoknya dengan acara mak comblang tante Nanda.
“Tante….”
“Sssssh!! Kamu diem aja, katanya kamu mau nyari suami? Ini tante kasih solusi!”
Solusi endasmu!
“A’ Bagus ini masih single juga kan ya, bu Asih kadang cerita ke saya, dia lagi nyari mantu. Nah ini pas.”
Dengan malu-malu aku melirik Bagus yang sama terkejutnya. Dan bersemu merah karena malu.
Gilak gilak gilaaaaak!!
Tuhaaaaan!!! Kubur aku sekarang!!
“Eh, halo, saya Arivah, Arivah Inayati lengkapnya. Senang kenalan sama aa-aa sekalian, saya mohon maaf atas ketidak nyamanannya, silahkan dilanjutkan.”
Aku sesegera mungkin menyeret tante Nanda menjauh dari mereka. Terdengah nada protes dari beliau tapi aku tidak peduli!
Realy! I don’t care!

***

Hingga menjelang sore, aku masih mendapat wejangan dari tante Nanda, ngomong-ngomong. Beliau menempel bak karet, aku menemukan tatu Niar dipojokan dengan beberapa temannya, aku tidak mengambil makan sama sekali kecuali minum dan potongan buah, rasanya makan saja sudah tidak selera.
Udah kenyang duluan sama wejangan ini nenek lampir.
“Inayah, kamu tuh kalo nyari suami jangan yang neko-neko biar cepat laku….”
“Neko-nekonya itu buat kebaikan mah enggak apa-apa kan, Tan.”
“Aduh mau nyari gimana lagi sih? Udah jangan neko-neko, jangan jauh-jauh juga. Jangan ikutan Vania nyari suami sampe nyebrang pulau, kamu udah di sini aja.”
“Ya kalo jauh kan enak, Tan, bisa mudik.”
“Duuh, kamu aja yang single jarang pulang apalagi kalo udah punya keluarga, udah di sini aja, atau tante kenalin sama anak juragan Kambing? Umurnya enggak beda jauh kok, tiga puluh delapanan kalo enggak salah….”
Aku melotot.
You say what?! Hollllll!! Itu sih beda jauh sampe nyebrang samudra!!!
“Tan, Naya tuh enggak usah….”
“Udah, enang aja, masalah biaya nikah, nanti tante yang bilang, mereka mau kok nanggung biayanya, asal kamu mau. Inayah kamu tuh bla bla bla bla….”
Aku tidak mendengarkan kalimat apapun selanjutnya,   seperti ada mesin otomatis di kepalaku yang segera memblokade segala macam ocehan tante Nanda, dalam kepalaku pula aku menyenandungkan lagu “Cecak-Cecak di Dinding”
Cecak, cecak, di dinding,
Diam, diam merayap,
Datang seekor nyamuk,
Haaappp!!!
I catch you.”
Bisik seseorang ditelingaku dan diakhiri dengan sebuah kecupan lembut di pipiku.

TBC 💃💃

1 of 3 Antares: The Old Story of Aludra

24 November 2020 in Vitamins Blog

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Cuap-cuap:

Hola, kembali lagi dengan author bal abal di sini, datang dengan endapan imaji yang setelah banyak drama akhirnya kelar juga 😌😌😌 Sementara itu si Arivah masih belum ditemukan 🤣🤣 Oke, geih, semoga kalian sukak 😘😘😘

 

Pada suatu ketika, jauh sebelum peradaban dimulai, sebelum Aludria menjadi tanah-tanah dipijak, Aludra hanyalah sebuah hutan belantara penuh misteri. Setiap jengkalnya merupakan tampat bersemayam para makhluk mitos yang aneh, juga para peri-peri hutan, juga duyung, juga elf, juga para orge. Orang-orang menyebutnya dengan hutan terlarang Aludra.
Konon dikatakan, Deimos dan Phobos, sang penjaga tidak mengizinkan siapapun untuk menyentuh tanah-tanah Aludra.

Deimos sang penjaga hutan, ia adalah roh pohon, sang penanggungjawab kehidupan pohon-pohon Aludra, tubuhnya besar dan tinggi, terbentuk oleh kayu-kayu lapuk hingga terlihat serat-seratnya, seringkali berkeliaran dan menyadur dengan pepohonan di sekitarnya.

Sedangkan Phobos, ia adalah roh misterius, tidak ada yang tahu wujudnya, kadang ia dikabarkan seperti seekor rusa jantan dengan tanduk-tanduknya yang indah, kadang juga dikabarkan ia adalah burung surga dengan kecantikan bulu yang luar biasa, kadang juga ia digambarkan seperti anak kecil yang bermain-main di tepi sungai. Phobos dikatakan pula merupakan pelindung hewan liar di Aludra.
Desas-desus makhluk-makhluk hutan Aludra menjadi perbincangan banyak negara, ditambah lagi Aludra menjadi jalur bagi pengelana. Tentu saja mereka ingin cepat-cepat melewati hutan angker tersebut sebelum malam menjelang, karena bukan tidak mungkin mereka akan menjadi santapan bagi penghuni di sana. Meski demikian, cerita-cerita yang berkembang dari para pengelana dan para kaum tertentu membuat cerita yang tidak jarang diragukan kebenarannya karena terlalu banyak diubah-ubah. Seperti ada yang mengatakan mereka menemui makhluk besar di balik pepohonan, penampakan kuda putih bertanduk, atau penampakan ikan setengah manusia nan cantik, juga penampakan seorang gadis muda yang tersesat di hulu sungai, dan banyak cerita lainnya. Namun tidak ada satupun orang yang mempu membuktikan cerita tersebut, meski begitu, para pengelana terus menceritakan cerita-cerita tersebut puluhan tahun lamanya.
Singkat cerita, suatau ketika sebuah rombongan pengelana memutuskan untuk beristirahat di hilir sungai mulut hutan Aludra. Mereka adalah para warga dari kota Carus yang melarikan diri, mereka dipaksa pergi dari tanah kelahiran mereka akibat penyerangan sekutu kerajaan. Mereka hendak pergi ke kota terdekat, namun sayangnya kota yang mereka tuju tidak jauh buruknya dengan asal mereka, saat itu peperangan memang terjadi di mana-mana. Tidak kenal ampun, tidak kenal pria dan wanita, orang tua, dan anak-anak.
Warga Carus hendak pergi ke kota Zacfir, sebuah kota netral di sebelah Selatan Varen, sebelum mencapainya mereka harus melewati hutan Aludra yang angker. Sayangnya mereka datang tepat ketika matahari menjelang petang, alhasil atas keputusan para pemimpin rombongan mereka beristirahat di hilir sungai.

Sementara para rombongan beristirahat, para pemimpin rombongan mencoba menelusuri mulut hutan, sekaligus berjaga kalau-kalau makhluk aneh dari hutan tidak menerima kehadiran mereka. Ketika berjaga itulah, Eridu–seorang pemimpin pemuda yang tangguh–menemukan sebuah danau air panas yang mengepul hangat. Tidak hanya itu, yang membuatnya lebih terkejut adalah sosok yang berada di tengah kolam itu sendiri. Sosok kadal besar bersayap, seekor naga.
Naga itu bernama Izar, salah satu naga tertua di Aludra. Eridu mencoba mengajak Izar berbicara, yang bertujuan untuk meminta izin menunggui secuil tanah Aludra untuk mereka. Meski kemungkinan itu kecil mereka mencoba berbicara pada Izar yang bermulut pedas. Meski begitu, Izar tetap menyetujui untuk berbicada dengan Eridu di malam bulan sabit di purnama kedua. Maka mereka menunggu hingga dua malam lagi dan selama itu mereka meminta Izar untuk melindungi rombongannya dari makhluk-makhluk Aludra yang misterius.
Dua malam yang ditunggu itu tiba, Eridu beserta dua pemimpin lain yang mengetahui keberadaan Izar kembali memasuki hutan Aludra. Mereka bertemu di sebuah lahan kosong tidak jauh dari lokasi mereka pertama kali menemukan Izar, ketika malam semakin larut mereka mulai menangkap cahaya-cahaya lentera juga segerombol orang berjubah aneh menghampiri mereka ada sekitar empat atau lima orang, dan salah satu dari rombongan tersebut memperkenalkan dirinya sebagai Izar.
Tanah-tanah Aludra memanglah misterius, Izar pun termasuk hal yang misterius bagi Eridu juga yang lainnya. Tidak banyak yang tahu bahwa Aludra memberikan berkah yang luar biasa pada makhluk yang tinggal di tanah Aludra, sehingga mereka mampu berubah wujud menjadi seperti apapun termasuk mengubah diri mereka menjadi manusia.
Dalam pertemuan tersebut telah dihadiri beberapa tetua di Aludra. Ini adalah pertama kalinya mereka kedatangan manusia setelah ratusan tahun lamanya setelah manusia terakhir yang mencoba masuk ke dalam hutan ditangkap oleh Demos sebelum akhirnya dilempar keluar dengan cara tidak bisa dibayangkan.
Meski banyak pertentangan, akhirnya Eridu berhasil meyakinkan para pemimpin untuk meminjamkan tanah Aludra, sebagai gantinya setiap anak yang lahir di malam bulan sabit purnama kedua akan menjadi pengantin Gienah, yang artinya ialah yang akan mengemban perantara antara dunia manusia juga makhluk Aludra. Mereka akan tahu begitu lahir, sang pengantin telah memiliki tandanya sendiri, yaitu tanda bulan sabit juga bulan purnama merah di malam sebelumnya, maka itulah kelahiran sang mengantin, dan berkah dari para tetua akan diberikan dihari kedewasaannya.

Eridu menyetujui persyaratan tersebut, mereka akhirnya dapat membangun tempat tinggal mereka sendiri, meski begitu Eridu dan rombingannya tidak bisa seenaknya mengambil milik Aludra, mereka masih tetap diawasi hingga beberapa waktu lamanya hingga sang pengantin pertama lahir.
Ia adalah Minerva, gadis cantik yang lahir dari keluarga petani sederhana. Sebelum lahir tanda-tanda yang diberikan oleh Izar terlah terbukti, purnama merah darah menggantung di langit Aludra. Suasana sunyi hutan membuatnya semakin mencekam, di beberapa malam berikutnya Minerva lahir. Tanda bulan sabit diberikan di lengan kirinya, Minerva adalah pengantin pertama.
Festival kedewasaan diselenggarakan ketika calon pengantin menginjak dewasa, pendeta tertualah yang memimpin upacara tersebut. Dimulai dengan persembahan di kuil setempat, kemudian dilanjutkan dengan iring-iringan perahu melalui hilir sungai hingga ke hulu tempat peresmbahan Aludra berada. Disanalah tempat upacara pernikahan itu diadakan.
Setelah upacara dilakukan, semua berkah melimpah membanjiri desa, tanah-tanah yang mereka tanam menjadi subur, ternak mereka sehat dan berkah-berkah yang lainnya. Sejak saat itu desa tersebut diberi nama Aludria, yang artinya berkah tanah Aludra….”
Gadis itu menutup buku ditangannya, ia mengela napas, mata sayunya beralih pada jendela buram yang menampilkan negeri asing di sana. Bukan lagi hamparan hijau pepohonan, melainkan hamparan kota berkabut selepas hujan.
Ia merindukan dusun ditepi hutan, bau air sungai, rumput kering di ladang, juga sesuatu yang tinggal di dalam hutan.
Sebuah ketukan halus di pintu mengingatkannya kembali bahwa ia masih terjebak di kota aisng tersebut. Ia yakin dibalik pintu tersebut adalah seorang kepala pelayan tua cerewet yang beberapa waktu ini mengurusnya.
“Putri, air mandimu sudah siap, silahkan anda membersihkan diri. Tuan Fenrir meminta Anda untuk makan malam bersama.”
Tidak ada jawaban dari sang putri.
“Saya akan menunggu anda di pemandian. Permisi.”
Hening.
Gadis itu tidak peduli apa yang akan dilakukan mereka padanya yang ia pedulikan sekarang adalah bagaimana keluar dari penjara asing ini dan pergi sejauh mungkin dari sana. Pergi untuk pulang ke tempat asalnya, di balik gunung itu, di satu tempat di dalam hutan, bersama orang-orang yang ia kenal.
Hujan mulai menghantam bumi, sebagian jatuh menimpa jendela menciptakan embun di permukaan kaca, awan bergulung-gulung diata langit menandakan badai akan kembali datang. Ia masih menatap sesuatu nun jauh di sana, meski telah tertutup kabut, namun hatinya yakin bahwa sesuatu yang ia inginkan ada di seberang sana, dalam keheningan, dalam redam suara hujan, dalam satu tarikan napas, ia menyebut satu nama yang sangat ia rindukan.
“Antares.”

 

 

TBC 🤔

Prolog (aja kali ya Σ(っ°Д °; )っ)

9 Oktober 2020 in Vitamins Blog

Bac*t author: Hola geih, tolong jangan ada mic mati di antara kita, karena saya mau speac-speac dulu sebelum dibantai oleh para pemiersah 😅 Yak, jadi sebagai ganti gak upnya si Arivah, saya mengeluarkan unek2 ini dengan sepenuh jiwa dan raga #halah! Semoga klean-klean terhibur ditengah suasana yang memanas ini. Happy reading #dibantai massa 〣( ºΔº )〣

 

 

Tidak apa-apa, ini hanya persta pernikahan, mereka tidak akan melihatku. Aku hanya sebagian kecil tamu, tidak apa-apa.
Semua orang akan sibuk ngobrol, sedangkan aku hanya diam mendengarkan.
Tidak apa-apa, anggap saja semuanya boneka dan aku sedang menghadiri pesta minum teh, seperti kata Oma.
Aku hanya perlu masuk, mengisi buku tamu, kemudian bertemu kedua mempelai….
“Akhirnya lo dateng juga. Gooosh! Gue pikir lo diculik Doraemon.”
“Lo dari mana sih?”
“Eh, em… g, gue….”
Aku mengedarkan pandanganku, berharap orang-orang asing ini masih sibuk dengan obrolan mereka masing-masing. Syukurlah, hanya beberapa saja yang menoleh kemudian mengabaikan kami. Kemudian pandanganku berseloroh pada sepasang mata.
Sepasang manik mata teduh yang menemaniku selama enam tahun ini, sepasang mata teduh yang ingin sekali kuhindari selama setahun terakhir, sepasang mata teduh …. Oh, tidak, dia melihatku dan akan segera bergerak ke sini!
“Ta, lo enggak apa-apa?”
“Jangan-jangan lo kesambet pohon toge!”
Tidak apa-apa, itu hanya Randy bukan siapa-siapa. Randy hanya akan menyapa, kemudian mengobrol sebentar, aku tidak harus menatapnya. Tidak apa, semua akan baik-baik saja.
“Em … ya ampun! Hp gue ketinggalan di mobil! Gue … ambil dulu ya!”
Secepat kilat aku keluar dari gedung, mengabaikan panggilan teman-temanku. Bagus, Vita Miesyah Natzriel, kamu benar-benar milih kabur. Sekarang  gimana caranya kamu jelasin ke Widya kalo tau sahabatnya ini tiba-tiba berubah jadi pengecut hanya karena dia?!
Aku kembali menolek pada gedung nan megah di belakang, lalu ke jalan raya yang hanya dua meter lagi. Lama berpikir seperti patung selamat datang, akhirnya aku mengela napas lalu berjalan gontai, kembali ke kedung resepsi.
Terkutuklah kau Widyantina!
Namun, belum sempat aku menyentuh kembali pintu masuk, aku berhenti. Sampai Zian–sepupu Widya–menoleh heran padaku.
Tidak, tidak, tidak, tidak. Ini tidak akan berhasil!
Sebut aku pengecut sesukamu. Tapi aku bersumpah aku hanya tidak ingin–maksudku, belum siap, belum akan siap–bertemu dengan Randy Giandra Putra.
Aku mundur perlahan, hendak kabur lagi. Kakiku sudah gemetar dari tadi, tapi aku memaksanya untuk tetap berdiri. Tetapi sayang, aku berputar terlalu cepat sampai kepalaku menabrak sesuatu yang keras, namun hangat.
“Wow, wow. Hati-hati.”
“S, so, sorry! Sa, saya lagi buru-buru.”
Apa yang kamu lakukan Vitaaaaa!! Sekarang semua orang akan menoleh ke arahmu. Semua pikiran itu kemudian semakin berklebat, memenuhi benakku, dan aku mulai berpikir ada seseorang–atau orang-orang itu–mulai berbisik tentangku, mereka berkomentar, ‘Kenapa aku masih hidup?‘ seketika tubuhku gemetar dan sekujur tubuhku membeku seperti es.
Hey, are you okay?”
Perlahan es yang menyelubungiku mencair, saat itu aku bisa mendongak sementara fokusku masih melayang.
Sebagai gantinya aku hanya mengangguk. Lalu kembali menunduk.
“Muka kamu pucet, kamu yakin enggak apa-apa? Apa kamu sakit? Saya bisa anter kamu ke klinik terdekat.”
“E, enggak usah. Sa, saya baik….”
“Vita.”
Bahuku kembali menegang, seketika tubuhku kaku. Namun, sebelum es kembali membekukanku, buru-buru aku mendorong amplop putih pada pria tersebut.
“Saya minta maaf sebelumnya tapi boleh saya minta tolong? Tolong kasihin amplopnya ke manten ceweknya kalo dia tanya bilang aja kalo saya ke laut jadi enggak bisa dicari saya minta tolong maaf sebelumnnya dan terimakasih, sekarang saya permisi.”
Tanpa menunggu jawaban pria tersebut aku segera melarikan diri. Sesegera mungkin menjauh dari keramaian ini, dari pasang mata ini, juga dari Randy.

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Dimsun Neraka

7 Agustus 2020 in Vitamins Blog

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Ada cowok cakep tuh di gebet, bukan cuma lo pantengin aja kek kucing garong liat ikan asin di meja warteg!!!” @A_Inay

Hola, hola geish. Saya balik lagi setelah menekam dalam gua nenek lampir, wkwkwk

Udah aha jan banyak bacot, wkwkw. Happy reading geish 😘😘😘

 

“Pssst, pssst, Vah!”
“Ape?!”
“Lo tau gak si bos kenapa?”
Aku melirik ke arah pintu neraka yang tertutup kemudian mendelik pada Jeje yang lagi sok sibuk sama komputernya, tapi hati dan jiwanya tercurahkan untuk melambeh.
“Kagak tau, kenapa emang?”
Jeje berdecak sebal. “Masa lo enggak tau?”
“Mana tau gue! Kenape sih?”
“Mukanya tuh gak kayak biasa gitu, kek abis menang mobil mainan dari ciki gopean tau gak.”
“Anjir lo.”
“Ya kali aja kan?! Atau baru nemuin huruf N misterius di permen karet Yosan. Pokoknya, mukanya tuh kek seneng banget gitu loh. Lo kagak nyadar?”
Nyadar banget, bangsat! Tapi gue gak mau ya ngurusin si bangsat satu itu! Yang ada emosi gue kambuh!
“Eh, elo udah siapin apa aja buat ke Semarang nanti?”
Aku mengerut wajah. “Emang berangkatnya kapan sih?”
“Dua hari lagi!! Lo enggak tau?!”
“Demi?! Gue kok dikasih tau?!”
“Lah kan, infonya dipasang di grup WhatsApp, kagak tau juga?”
“Kagak tau gue!”
“Halah! Palingan lo kagak pernah buka grup kantor, ya kan? Ngaku lo!”
“Iye, iye, mak lampir mah tau aja!”
“Kampret!”
“Je.”
Seketika kami bungkam dan pura-pura sibuk dengan komputer masing-masing begitu suara dalam si bos mengintrupsi obrolan kami. Jeje yang dipanggil mau tidak mau segera mendongak, sedangkan aku berusaha mengecilkan diri agar tidak terlihat oleh mata pecicilan si bos.
“Ya, Pak?”
“Tolong buat jadwal acara gathering nanti. Susunan acara saya kirim lewat WhatsApp, setelah itu kamu serahkan ke saya. Jangan lupa juga buat absen peserta gathring, agar tidak ada yang tertinggal.”
Bukannya menjawab ‘siap’, Jeje malah menunjukan kebegoannya dengan bertanya, “Sekarang, Pak?”
Aku menggigit bibir agar tetap diam, sementara Dimas nampak menarik napas penuh kesabaran.
“Kalo bisa pas matahari terbitnya dari Barat. Ya, sekarang!”
Mampus lo, Je!
Jeje yang diperintah oleh diktaktor segera kembali ke depan layar komputernya dengan wajah ditekuk. Aku masih memperhatikan layar komputerku berpura-pura acuh. Tetapi sepertinya tidak ada tanda-tanda si bos ini hengkang, ia malah masih stay nokrong di samping kubikel kami.
Duuh, nape lagi ini orang kagak pergi-pergi?
“Sudah siap apa saja, Vah, buat ke Semarang?”
Aku yang tiba-tiba ditodong demikian segera mendongak pada si penanya, Dimas nampak menunggu dengan wajah tidak berminat tanya sama sekali.
“Ha? Oh, ya gitu lah, Pak. Emang siapin apa lagi? Palingan baju, obat, gitu gitu lah.” jawabku asal.
Aku tahu Jeje diam-diam mencuri dengar obrolan kami, begitu mata kamu berseloroh, aku memelototinya penuh peringatan. Tetapi dasarnya kampret, ia malah tersenyum jahil.
“Jangan lupa bawa makanan ringan yang banyak, kamu kan sering kelaperan di jalan.”
Pffffttt….”
Doooooong!!!!
Bangkek! Maksudnya apa tuh?!
Aku menoleh pada Jeje yang mengigit bibir menahan senyum.
Kampret emang ini bocah!
“Oh, tenang. Nanti saya bawa seminimarket-minimarketnya, mau Alfamaret atau Indomaret, saya bawa semua,” kataku penuh sindiran.
“Tidak sekalian kamu bawa mall Kelapa Gading ke bus, Vah?”
Aku melotot. “Nanggung amat. Nanti saya bawa semua mall di Jakarta, Pak!”
“Baguslah, saya cuman tidak mau busnya melipir dulu ke publik area buat beli camilan kamu.”
Aku menggigit bibir menahan umpatan yang hampir-hampir keluar dari mulutku. Jeje yang dari tadi mendengarkan perselisihan kami.
Ini orang ngajak ribut amat ya, heran gue!
Pada saat itu, notif di hapeku berbunyi dan nama Yudha muncul di layar.
Prayuhda
Lunch?
Buru-buru aku mengambil hapeku yang ternyata juga tengah dilirik oleh Dimas. Ape lu liat-liat? Belum pernah dicolok pake tusuk cilok?
“Dilarang main hape di jam kerja. Kamu tahu SOPnya kan?” sindir Dimas tajam.
Aku menoleh pada jam tangan di lengan yang menunjukan pukul dua belas lebih lima belas menit. Aku menyeringai penuh kemenangan.
“Ini kan jam makan siang, Pak. Jadi boleh kan? Kan peraturannya kalo jam produktif saja.” Kemudian dengan cuek aku membalas pesan Yudha.
Me
Sure!
Balasannya datang beberapa detik berikutnya.
Prayudha
Loby, dua puluh menit lagi. Don’t miss me, ‘kay.
Tanpa sadar aku menahan senyum membaca pesan Yudha.
Me
Hati-hati, can’t with 🤩
Aku merasakan tengkukku merinding, seseorang nampaknya tengah memperhatikanku. Begitu aku menoleh segera aku dapati wajah Dimas yang begitu dekat di sampingku dan hampir-hampir membuatku terjungkal saking kagetnya.
“Astag!”
“Hmmn, keliatannya kalian deket banget. Udah sering jalan kayaknya. Dari kapan?”
“Ha?!”
Dimas menunjuk layar hapeku, aku yang sadar buru-buru menyembunyikan hapeku ke bawah meja. “Apaan sih? Bapak kepo deh,” celetukku asal.
“Hmm….”
Aku menunggu sampai Dimas menjauh, begitu terdengar pintu di tutup aku baru sadar bahwa aku menahan napas dari tadi, aku mendesah lega sampa Jeje mengintrupsi.
“Lo ngapain si bos, Vah?”
Aku mengerut wajah tidak paham. “Enggak diapa-apain, kenapa emang?”
“Mukanya enggak enak gitu, lo enggak ngeliat?”
“Idih! Bodo amat! Apa urusannya sama gue?!”
“Hmmm, eh, kalo lo mau beli makan, nitip ya. Gue belum kelar nih.”
Aku mencibir dari balik komputerku. “Idih, ogah banget! Sori ya, gue udah punya janji. Kalo lo mau makan tinggal deliv aja, kalo gak minta mang Ohim lah.”
“Eh, lo mau ketemuan sama siapa?” Jeje menyipit mata penuh curiga. “Bau-baunya kek mau ketemu sama gebetan gitu.”
Aku tersenyum sambil mengedip sebelah mata. “Ada deh! Kepo amat kayak Dora.”
“Setan! Ditanya bener juga!” Jeje langsung mencemberut wajah.
“Udah ah, bentar lagi jemputan dateng. Bye, bye, Jeje.”
Jeje membalas dengan jari tengah di bawah dagunya, aku tertawa puas. Aku menuju tangga di luar ruangan, karena lif pasti penuh di jam makan siang. Itung-itung bakar kalori sebelum ngisi kalori yang baru.
Begitu sampai lobi, aku melihat meja taller close dan beberapa nasabah yang menunggu di kursi tunggu. Aku menunggu di luar gedung agar bisa langsung cus begitu Yudha datang, jadi tidak banyak mengundang perhatian orang-orang kantor deh.
Gilak aja kalo salah satu anak BO tau yang jamput itu mantan bos sini, bisa jadi bahan gosipan empuk sejagat kantor.
“Belum dateng ya?”
Jantungku hampir-hampir lepas dari tempatnya begitu disapa demikian. Aku mendelik dan mendapati Dimas yang sudah berdiri di sampingku, aku mengerut kening keheranan.
“Ngapain, Pak?”
Dimas menyahut acuh. “Nunggu jemputan.”
“Ha? Jemputan? Mau kemana emang?”
Dimas melirikku dengan tatapan aneh, seolah-olah aku adalah makhluk asing yang baru turun ke bumi. Damn!
“Mau makan siang lah! Memangnya kamu saja yang butuh makan?”
Aku mencibir penuh penyesalan. Buat apa juga gue ladenin spesiem manusia ini.
“Ya barangkali bapak lebih suka makan kertas ketimbang nasi.”
Dimas tidak nampak ingin menanggapi, sebagai gantinya dia memainkan hapenya.
Gue dikacangin nih?
“Sepuluh menit lagi,” ucapnya tiba-tiba.
Tiba-tiba suasana menjadi hening, aku mengecek hapeku, kali-kali ada pesan dari Yudha. Namun nihil, akhirnya aku diam saja.
“Makan siang sama siapa, Pak? Kayaknya penting banget sampe minta dijemput segala. Biasanya bawa mobil sendiri,” celetukku iseng.
Dimas tidak langsung menjawab. Ia masih fokus dengan layar hapenya. Aku mencebik bibir begitu tidak di gubris sama sekali oleh Dimas. Baru saja aku membuka hape siap memainkan game barulah Dimas menyahut yang membuatku langsung menyesal bertanya demikian pada si setan ini.
“Ke-po.”
Aku menganga.
Si bangkek yang satu ini. Boleh gak sih gue slepet mulutnya pake sepatu gue? Boleh dong! Plis!!
Aku baru akan membalas ucapan Dimas begitu sedan hitam berhenti di samping kami. Aku menoleh dan langsung mendapati wajah Yudha yang penuh senyum.
“Sori lama, tadi macet.”
It’s okay, saya juga baru nyampe sini….”
“Bohong itu dosa loh,” celetuk Dimas dari belakang.
Aku mendelik tajam pada Dimas yang ditanggapi dengan wajah sedatar papan penggilesan oleh pria tersebut.
“Ya udah yuk.”
Baru saja kupegang handel pintu depan tiba-tiba seseorang menarik kerah belakang bajuku kemudian ditariknya hingga aku menjauh dari pintu depan, tahu-tahu tubuh besar seseorang sudah menyelusup melewati pintu dan menutupnya tepat di depan wajahku.
Aku terpaku tahu-tahu Dimas sudah duduk manis di bangku samping supir. Wajahnya datar seolah-olah dia tidak baru saja melakukan dosa besar pada seseorang. Aku sempat melirik Yudha yang juga sama-sama melongo.
Seolah sadar bahwa ada orang di sampingnya Dimas lantas membuka suara.
“Eh, kenapa kamu masih di luar? Tidak mau ikut?”
“Yang bapak maksud jemputan itu … ini?”
Diams menoleh dengan tatapan tidak bersalah. “Iya, kan kamu yang ngajak.”
Aku tercenung. What?! Kapan gue ngajakin elu makan, Saripiiiiiin?!
Aku baru membuka mulut begitu Yudha angkat bicara. “Kamu yang ngajak, Vah?”
Aku akan menggeleng, namun kalah cepat oleh Dimas. “Iya. Kenapa? Elo keberatan kalo ditumpangin satu orang lagi?”
Yudha mengedik bahu acuh. “Gue sih enggak masalah.”
“Tuh kan.”
Dimas mendelik dengan seulas senyum kemenangan. Aku mengigit bibir kuat-kuat untuk menahan sumpah serapah yang siap menuncur di wajah Dimas. Dengan amat dongkol akhirnya aku mengalah duduk di belakang, aku membanting pintu keras-keras sampai kedua orang di depan terkejut.
“Ini mobil orang lo, Vah. Jangan seperti orang baru pertama naik mobil dong,” celetuk Dimas dari balik bangku depan.
Aku melotot sangar sambil menahan tanganku agar tidak langsung menjitak belakang kepalanya.
Tuhaaaan!! Dosa apa saya hari ini?!
“Oh, maaf ya, Pak. Saya mah seringnya naik metromini, paling banter transjakarta. Jadi enggak pernah tuh saya pulang pergi naik jemputan mobil pribadi.”
“Jadi kamu mau dijemput sama dianter tiap hari? Oke, nanti saya yang jemput sama anter kamu pulang. Asal kamu jangan suka bangun siang aja.”
What the fu*k!!!
“Masih sering telat, Vah?” celetuk Yudha yang ikut menimpali.
Aduh, ini apaan sih gue kayak lagi diintrogasi sama intel aja.
“Saya telatnya enggak sampe siang bolong kali, Pak. Paling tiga menit paling banter lima menit doang.”
“Ngeles saja kamu,” cibir Dimas.
“Mau makan di mana, Vah?” Yudha segera mengganti suasana.
Mobil Yudha berbelok ke jalan utama Sudirman ketika ia bertanya demikian.
“Terserah bapak aja, kan bapak yang ngajak.”
“Makanan cina doyan enggak?”
“Asal enggak ada kembarannya si Rayhan saya mah doyan aja.”
Dari balik cermin tengah Yudha mendelik. “Emang siapa kembarannya Ray?”
“Babi,” sahutku terlalu cepat.
Langsung saja Yudha terkekeh. “Bisa aja kamu. Halal kok, dijamin enggak ada kembaran siapapun di sini.”
“Ya udah boleh lah.” Aku tersenyum puas. Begitu aku melirik cermin tengah dan kudapati tatapan tajam Dimas yang juga memperhatikan kami. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku dan menanggapi obrolan Yudha. Sesekali Dimas menimpati namun tetap saja, tatapannya dari cermin tengah membuatku … resah. Semacam diawasi malaikat maut.
***
Restoran Mandala adalah tujuan kami, restoran khas Tiongkok tersebut berdiri di jajaran ruko-ruko di Jakarta Selatan. Meski tempatnya kecil namun pengunjung yang datang tidaklah sedikit, terutama makan siang. Nuansa etnis sudah terlihat begitu kami sampai di depan restoran, bahkan mereka masih mempertahankan bangunan aslinya, membuat pengunjung seolah terlempar ke zaman dahulu.
Begitu masuk ke dalam restoran, makan semakin tampak keotentikannya. Karena tempatnya sempit makan tempat duduknya hampir berdempetan, meski begitu masih tampak nyaman, bahkan di tengah ruangan sengaja dipasang meja panjang untuk pengunjung yang datang dengan banyak orang.
Selain tempatnya yang familiable, makanannya pun tidak kalah enak dengan restoran cina terkenal di Jakarta Pusat.
Ya, kalo enggak gitu, enggak mungkin dong sampe serame ini? Mereka kan mau nyari makan bukan mau makan foto makanan. Hmmn….
“Gimana, Vah? Enak?”
“Enak kok, Yud. Nasi goreng sea foodnya apalagi.”
Anyway, aku sudah berani memanggil Yudha tanpa embel-embel ‘pak’ sejak sebulan yang lalu. Karena Yudha memaksaku untuk menghilangkan embel-embel pak kalau-kalau kami bertemu di luar kantor. Awalnya canggung. Tentu saja! Tapi lama-lama keterusan.
“Suka?”
“Suka!”
Yudha menyengir lebar. “Saya juga suka….”
“Makanannya kan, Yud?” sahut Dimas cepat.
Aku mendelik pada si batu gamping ini dengan ketidak sukaan yang tidak perlu ditutup-tutupi.
“Iya, saya juga suka makan di sini,” jelas Yudha.
Dimas mendelik padaku penuh peringatan. Tapi aku tidak mau menggubrisnya sama sekali.
“Kok bisa kamu nemu tempat kayak gini?”
Yudha dengan senyum penuh kejumawahan menjawab. “Kebetulan lewat aja pasnya sama temen, terus direkomendasiin sama dia, besoknya kita mampir terus hampir setiap hari ke sini. Dulu sih itu juga.”
“Sama temen apa demen?” godaku dengan memainkan alisku naik turun dan Yudha hanya menanggapi dengan tawa.
“Udah jangan keganjenan, nanti kena azab baru tau rasa kamu. Enggak mau kan nanti ada judul sinetron ‘Azab wanita yang pecicilan sama suami orang’.”
Bangsat! Ngajak ribut bener ini orang.
“Inget juga loh, Pak, azab buat orang yang iri dan dengki lebih banyak,” celetukku.
Dimas melotot penuh peringatan tapi aku tidak peduli.
“Besok lusa, kalian berangkat ke Semarang ya?” Yudha bertanya berbarengan dengan datangnya capcai pesanan kami.
Aku mengangguk tanpa berkomentar.
“Udah siapin apa aja buat di Semarang?”
“Emang pergi ke Semarang dua hari aja harus kayak orang mau pindah rumah? Bawa dua koper, bawa lemarin, bawa kulkas, tv, kasur, gitu?”
Yudha tertawa ringan. “Ya enggak gitu, Vah.”
“Saya mah simpel, Yud. Enggak mesti bawa koper, bawa ransel aja jadi kok. Ya kali, saya mesti bawa-bawa penghulu? Saya curiga jodoh saya belum tentu ada di sana, Yud.”
“Waduh, kamu enggak usah jauh-jauh ke Semarang, Vah. Kamu cukup pulang ke rumah aja nanti saya yang anter.”
“Lah ngapain nganter saya?”
“Sekalian minta ijin sama amih buat minang kamu.”
Aku tertawa keras-keras saking lucunya gombalan Yudha. Aku tidak lagi terkejut dengan gombalan bin receh Yudha, tidak seperti awal-awal kami mulai dekat. Sekarang bagiku gombalan Yudha adalah hiburan terbaik selepas kepenatan kantor, dulu aku membentengi diri dengan segala rayuan Yudha yang terang-terangan, hanya karena profesionalitas pekerjaan. Sekarang, aku tidak peduli lagi akan dibawa kemana perasaanku pada pria yang satu ini.
“Aduh, saya dilamarnya di restoran cina gini, dengan segala keruedannya. Enggak romantis banget, sih. Mana cincinnya?”
Aku segera menyodorkan jari-jariku kehadapan Yudha. Pria tersebut mengambil selembar tisu, dilintingnya tisu tersebut hingga menjadi gulungan tipis dan panjang. Kemudian dengan lihainya ia membuat lingkaran dari gulungan tisu tersebut dan fuaaaaalaaa, sebuah cincin sudah jadi.
“Untuk sementara cincinnya ini dulu, kalo kamu mau yang emas atau perak nanti nyusul.”
Meja makan tersebut mendadak menjadi meja akad nikah, Yudha meraih tanganku dan memasang cincin tisu tersebut di jari manisku disusul dengan sendok makan memukul kedua tangan kami bergantian.
Serentak kami menoleh pada satu-satunya saksi di sana yang hampir tidak diketahui hawa keberadaannya karena sudah sebelas dua belas dengan tembok restoran. Datar beber
“Apaan sih?” sungutku.
“Kalian mau makan apa lagi ngedrama? Kalo saya sih laper, kalo kalian masih mau nerusin mending di depan aja jangan di sini. Saya lagi buru-buru makan.” sindirnya penuh kedengkian.
Gak suka benget liat orang seneng sedikit apa ya?!
“Ya udah makan dulu, Vah, saya mau kebelakang dulu.”
“Cincin kamu mana?” sambar Dimas sepeninggalnya Yudha.
Aku mendelik pada jari manisku yang kusong, ah iya aku baru ingat dengan cincin terkutuk milik Dimas.
“Oh, itu,” aku mengeluarkannya dari dompet dan menyerahkannya pada Dimas. “Nih, gue balikin. Akhirnya lepas juga, gue bela-belain pake minyak sere buat lepasin itu cincin. Noh ambil, lo kasihin gih ke pemiliknya.”
Dimas menatap cincin dan aku bergantian. Nah nah, kenape lagi ini orang? Kesurupan vampir cina apa ya? “Lo enggak mau? Ya udah yang penting gue udah balikin cincin elo….”
“Coba liat tangan kamu,” potong Dimas.
“Apa?”
“Cincin tisu di tangan kamu, coba, saya mau liat.”
Aku memandang jemari manis yang terpasang cincin tisu pemberian Yudha di sana, tanpa curiga aku menyodorkan tanganku pada pria tersebut.
“Apa menariknya sih lo liatin cincin tisu?”
“Cuman mau liat aja.”
Aku tidak lagi memedulikan Dimas yang sibuk–entah ngapain–sebelah tanganku yang lain sibuk menyuapi mulutku dengan makanan. Bodo amat gue laper.
“Selesai.”
Hah?
“Begini lebih baik.”
“Apanya….” Seketika aku melotot tahu-tahu cincin terkutuk Dimas kembali nangkring di jemari manisku. “NGa….” aku membekap mulut, sadar bahwa suaraku terlalu kencang sampe pengunjung di sekitar kami menoleh. “Ngapain lo pasang lagi ini cincin?!” tanyaku setengah menggeram di sela-sela gigiku.
Berlagak seperti orang tolol Dimas menghiraukan kekesalanku dan melanjutkan makannya.
Sialan, sialan, sialan! Kok gue bego banget sih sampe gak tau dimsun neraka ini masang cincin di tangan gue?!
Sementara aku berusaha melepas cincin terkutuk itu dari tanganku, tangan besar Dimas segera menghentikan usahaku. Aku melotot pada si dimsun neraka di hadapaku.
“Ih, awas! Gue mau lepasin ini cincin.”
“Ck! Segitu pantesnya ditangan kamu, masa mau dilepas.”
“Gue enggak mau!”
“Kenapa?”
“Ya bukan punya gue!”
“Saya kasih….”
“Lo sinting ya? Harusnya lo kasih buat calon istri lo bukan sama gue!”
“Tapi saya maunya kamu yang pake….”
“Kenapa sih ngotot banget?!”
“Kenapa kamu tidak mau?”
“Ya gue bukan siapa-siapa elo, Dimas Wirmansyah!”
“Kamu pacar saya….”
“Fake! Don’t forget it!”
“Tapi saya mau kita sebaliknya, Naya.”
Aku menatap Dimas yang sekarang juga tengah menatapku tak berkedip, aku bukan seorang pesikolog yang mampu membaca bahasa tubuh, tapi menurut artikel sejauh ini aku baca; mata mematap tak bergetar adalah sebuah tekat dan keberanian yang kuat.
“Sinting lo ya?” celetukku.
“Saya tidak sinting atau gila, saya sadar dan serius, Naya.”
Aku hendak membantah ucapan Dimas namun urung aku lakukan karena Yudha sudah kembali. Kami kembali pada makan siang dan obrolan santai, namun aku masih tidak berani menatap Dimas.
Sialan, sialan, sialan! Sialan lo, Dimsun Neraka!
***
Definisi Malam Terkutuk!!

Malam itu, acara utama dan makan malam bersama yang berakhir di pukul sepuluh malam, kupikir semua sudah akan siap namun acara sesungguhnya baru dimulai. Para lelaki mulai mengeluarkan kaleng-kaleng bir dari–entah dimana mereka menyembunyikannya.
Tentu saja menunggu si empunya rumah, alias om Rama dan tante Rita sudah kembali masuk. Musik mulai berubah menjadi tempo cepat, meja makan yang sudah dibereskan setengahnya diubah menjadi meja bermain dan berkaleng-kaleng bir juga botol minuman beralkohol.
Mereka bermain kartu, putar botol, dan permainan yang lainnya. Tawa mereka membahana di suasana menjelang tengah malam ini, bahkan Ambar tidak repot-tepot mengambil gelas untuk minum, ia minum dari botolnya langsung.
Sungguh kebar-baran yang haqqh!
Irham menggenggam kaleng bir sambil menjepit rokok di bibirnya. Pangestu–suami Regina–nampak serius dengan kartu-kartu di tangannya.
Well, doi emang orangnya kaku.
Aris nampak setengah teler namun masih melanjutkan permainan, sementara satu-satunya orang yang masih tampak waras hanyalah Dimas.
Ya, si Dimsun Neraka itu.
Ia bersandar pada meja dan kaleng bir di sebelah tangan, tampak santai di antara yang lain. Ia pemain yang payah, beberapa kali kena jebakan dan harus menerima hukuman, Dimas memang seperti itu dari dulu, ia player paling payah di antara aku dan Ambar. Dipikir-pikir, Dimas memang banyak berubah. Dimas seperti … pria. Maksudku, aku memandangnya dari sudut seorang wanita.
Dulu, Dimas tidak lebih dari anak lelaki cengeng yang selalu kalah setiap kali aku jahili, anak lelaki yang berkacamata yang badannya kurus seperti anak perempuan, juga anak lelaki yang lebih sering main rubik ketimbang main manjat pohon seperti monyet. Tetapi lihat sekarang, Dimas tumbuh seperti seorang pria dewasa–meski aku tahu dia sudah lebih dewasa dari yang terlihat ‘you know what I mean’. Secara fisik saja sudah terlihat, tubuh kurus Dimas lebih terbentuk dari yang terakhir aku lihat, otot-ototnya mengisi dibagian yang tepat, jelas bahwa hobinya bertambah satu lagi yakni ngegym, kacamata yang biasa membingkai matanya yang teduh sudah tidak lagi ia pakai, wajahnya menjadi lebih tegas dan … tampan, shit!
“Ngelamunin apa, Naya?”
Jantungku hampir-hampir copot ketika Dea tiba-tiba menyapa dari belakang. “Eh, eng, enggak teh itu….”
“Kenapa kok mukanya gitu? Ngantuk ya?”
“Sedikit,” aku nyengir kuda.
“Si Dimas masih main ya? Dasar masih aja ikutan, padahal ujung-ujungnya dia terus yang kalah,” oceh Dea tanpa disuru.
Bodo amat, yang jelas gue ngantuk!
“Naya juga satu kantor ya sama Dimas?”
“I, iya, teh.”
“Gimana Dimas? Dia galak enggak?”
Kenapa ya bau-baunya bakal ada sesi wawancara tahap 2 nih.
“Dimas mah bos suka ngatur, Teh.”
Dea tertawa cekikikan. “Semua bos mah emang sukanya ngatur, Naya. Maksudnya, Dimas tuh gimana kalo di kantor?”
“Ooh, Dimas tuh kadang plin-plan, bentaran bilang A nanti ganti B.”
“Dimas emang kadang enggak jelas ya,” kata Dea mengiyakan.
“Emang!” sahutku terlalu cepat.
“Tapi dia enggak berubah kan?”
Aku mengedik bahu sebagai jawaban ‘mungkin’.
“Dia enggak berubah, begitu juga sama pilihannya.” Dea mengatakannya dengan nada penuh misteri, tapi aku tidak terlalu menanggapi karena setelahnya aku melihat Dimas berjalan ke arah kami.
“Mau pulang sekarang?” tanyanya begitu sampai di depan kami.
“Terserah, kamu yang punya acara,” acuhku.
“Nginep aja, Nay, kalo-kalo Dimas masih mau jadi bahan bullyan Ambar dkk,” sindir Dea.
“Gue enggak lagi ngomong sama elo, De.”
“Ya gue mau berbuat baik, Dim, elo sih enggak peka benget! Udah tau dari tadi Naya diem aja tuh ya karena capek mau pulang! Elo malah main muluk kayak kambing conge!”
“Kayak anying lo kalo ngomong. Udah lu sono balik ke laki lo, kayaknya mabok tuh si Aris!”
“Halah! Ngomong aja lo mau ngepetin anak orang! Awas! Belum sah, nanti ke tiganya setan.”
“Setannya elo.”
Dea pergi sambil menunjuk jari tengah pada Dimas yang diakhiri dengan tawa rendah khas Dimas.
Sepetinggal Dea suasana menjadi canggung antara aku dan Dimas. Pria tersebut berdiri di hadapanku dengan rambutnya sudah mulai tidak terkontrol, bekas tapung asil kekalahannya masih membenkas di wajahnya, matanya mulai sayu–entah mengantuk atau karena bir. Postur tubuh tinggi Dimas membuatku harus mendongak setiap kali berbicara padanga, dan ia harua menunduk agar bias mwlihatku yang pendek binti mini ini.
“Mau pulang sekarang?” tanganya ulang.
Aku mengedik bahu. “Terserah.”
“Saya mandi dulu, abis itu kita langsung pulang,” putus Dimas.
Duddududuuu…
Tanpa perlu meminta ijin, Dimas segera meraih kepalaku dan melayangkan sebuah keculan kilat di puncak kepalaku sebelum melenggang pergi. Aku hendak membuka mulut untuk memprotes namun terhenti oleh hal lain.
“Ekhmm!”
“Bau-baunya bakal ada yang sebar undangan nih.”
“Waduh, tahun ini dong ya.”
Dan berakhir dengan kericuhan dan drama rencana pernikahan.
“Teh Naya, tolong kasihin baju ke a Dimas.”
Aku melotot tiba-tiba di todong demikian oleh Regina.
“Eh kenapa enggak kamu aja?”
“Aduh, si Baby Dio rewel. Ini baju dari teh Dea, enggak ada baju lagi di lemari kamer atas. Tolong ya.”
“Eh, Re … aduh.”
Aku menatap baju ditanganku dengan nelangsa. Mau enggak mau ini sih. Aku mengela pasrah sambil menyered kakiku untuk menaiki tangga menuju kamar atas, setahuku Dimas ada di kamar lama Ghani–anak ke dua tante Rita–tapi yang mana?
Aku melihat pintu terbuka di ujung tangga, aku langsung tahu keberadaan Dimas. Kuketuk pintu kamar tersebut namun yang kudengar hanya suara shower, syukurlah lagi mandi.
“Permisi….” aku menyelinap masuk dengan mulus tanpa menimbulkan suara, kamar yang kumasuki hampir seperti kamar tamu, tidak banyak barang, hanya beberapa barang lama Ghani yang masih terpajang di rak dan meja belajar di sudut ruangan. Ghani kuliah di Ausi, hanya pulang kalau liburan saja. Aku letakkan baju ganti Dimas di kasur sementara aku melihat-lihat isi kamar Ghani, ngintip dikit boleh kan ya, tenang gue kagak bakal nyolong kolor dia kok.
Sepertinya Ghani penyuka Gundam, ia sampai mengoleksi action figur model robot tersebut di rak pajangan, tidak hanya satu, ia punya setidaknya dua puluh model.
“Gilak, kalo gue yang beli beginian, pasti langsung diceramahin Amih….”
“Sedang apa kamu?”
Jantungku hampir-hampir raib dari tempat begitu suara rendah Dimas mengintrupsi lamunanku.
“Tuhaaan, bisa enggak sih lo enggak ngagetin gue?”
“Saya cuman tanya kamu sedang apa di sini?”
“Oh, gue cuman disuruh anterin baju ganti elo.” Aku menunjuk baju di tepi kasur dengan daguku.
Dimas berpaling pada baju tersebut kemudian aku. “Terus kenapa kamu masih di sini?”
“Cuman mau liat-liat,” sahutku acuh.
“Liat-liat apa?”
“In….hmmmp! Tolol! Bangsat! Babi! Anjing!! Penjahat kelamin! Kenapa elo enggak pake baju?!!”
Sejurus kemudian aku langsung berbalik sambil menutup mata. Bangkek! Jadi dari tadi gue ngobrol sama Dimas yang masih pake handuk di pinggang?! Anjiir sial banget gueeee!!!
“Saya kan baru selesai mandi, Naya. Wajar kalo saya masih pakai handuk.”
“Ya lo buruan pake baju napa, ternodai nih kesucian mata gue!!!”
“Suruh siapa kamu masuk ke sini?”
“Gue disuruuuh!”
“Ya udah, saya mau ganti baju. Tapi kamu tunggu di sini.”
“Ngapain sih?!”
“Biar nanti sekalian pamit.”
“Duuuh, ya udah sih gue tunggu di luar aja ngapa?!”
“Saya malas nyari kamu lagi, atau kamu mau saya tinggal di sini?”
“Duuuh, ya udah ya udah, gue tungguin elo. Buruan lo pake baju! Atau lo mau gue teriakin penjahat seksual?”
“Silahkan, paling mereka nanya, kenapa kamu masuk ke kamer orang?”
Bangsat! Kena skak kan gue!
“Ya udaaaah, buruaaan!”
Dimas tidak menyahut, yang terdengar hanya suara pintu kamar mandi yang tertutup. Seketika tubuhku langsung lemas di tempat. Apes bener sih gue!
Beberapa menit kemudian Dimas keluar dengan pakaian lengkap, wajahnya segar dengan handuk di kepala dan senyum samar di sudut bibirnya.
Gue tau lo cuman ngerjain gue!
“Udah kan? Ayo pulang.”
Bukannya mebjawab, Dimas malah menunduk, seketuka aku mundur untuk menghindar. “Apaan?!”
“Rambut saya masih basah, Naya. Kalo masih basah terus kena AC nanti malah sakit.”
“Ya terus?”
“Harus dikeringin duluh lah, Naya.”
“Ya udah cepet keringin, kenapa malah nunduk.”
“Saya minta kamu yang ngeringin.”
What the f … manja banget sih! Timbang gosongin doang minta bantuan orang!”
“Ingatkan, kamu masih punya hutang hukuman sama saya….”
“Hukumannya kan berlaku di kantor!”
“Sst! Ini perintah.”
Aku menggigit bibir menahan segala sumpah serapah di bibirku. Aku menarik handuk Dimas dengan kesal sampai pria tersebut terhuyung ke depan. Dengan gemar aku menggosok asal rambut basah Dimas sampai airnya menciprat ke mana-mana.
“Pelan-pelan, Naya.”
“Berisik! Mau cepat kering kan?”
Aku terus menggosok sampai kepala Dimas ikut bergoyang-goyang saking kencengnya. Biarin! biar sekalian gue ubah jadi boneka Mampang ini orang!
“Naya….” Dimas menangkap kedua tanganku kemudian menjauhkannya dari rambutnya. Yang kulihat sekarang rambut Dimas semakin tidak karuan modelnya, sementara wajah si pemilik mulai berkerut tidak suka.
“Pffft–?!”
Belum sempat aku tertawa, bibir Dimas lebih dulu memyerang bibirku, memagutnya dengan ciuman menuntut. Aku mencoba mendorong tubuh Dimas yang sekarang merengkuhku dengan kuat, namun sialnya Tuhan tidak memberikan tenaga pada wanita itu bisa memukul pria seperti dalam film fiksi ilmiah.
“Ini hukuman kamu karena kamu jahil sama saya.”
‘What?! Enggak kebalik nih?!’
Tapi suara gue kok enggak keluar siiih?!
Dimas menyentuh bibirku dengan hati-hati. “Bibir kamu jadi merah seperti stroberi, saya jadi pengen makan lagi.”
Stroberi terkutuk! Enyahlah kau dari hidup Dimas! Bibir gue kan nih yang jadi korban?!
Dimas kembali menyerang bibirku, entah bagaimana caranya yang kutahu kemudian aku sudah berbaring di atas kasur dengan Dimas di atasku yang masih memagut bibirku.
Shit! Mint on my mount!
Rambut basah Dimas mengusap di jidatku, sementara tangan dingin Dimas mengusap tanganku yang kaku, membimbingnya untuk mengalungkan lehernya, sementara di dalam mulutku terjadi pertarungan yang sengit, antara lidah Dimas yang membara dan lidahku yang sama kakunya seperti es batu.
Damn! He is good kisser!
Aku melotot ketika tangan Dimas mulai menjamah sisi tubuhku, naik ke perut pengelusnya di sana sebelum semakin naik ke gundukan di sana. Segera kuterkesima, melepas pagutan kamu dan menahan tangan Dimas. Aku terkejut. Dimas nampak bergairah, wajahnya muram begitu aku menahan aksinya, kami masih berada di posisi yang sama; kening beradu kening, napas beradu napas.
“Eng, enggak seharusnya kita lakuin ini, Dim,” cicitku.
“Kenapa?”
“Ini cuman main-main kan? Kita cuman lagi main peran, ingat?”
Disaat seperti ini aku mulai merasakan takut pada Dimas.
Wajah Dimas seketika kaku, rahangnya mengeras, ekspresinya pun semakin gelap. “Kenapa kamu masih tidak mengerti, Naya?”
Aku diam tidak paham.
“Kenapa sampai sejauh ini pun kamu masih tidak mengerti maksud saya?”
“Lo mabok, Dim.”
Dimas tidak mengindahkan, ia justru semakin mengutarakan. “Kamu tahu, Naya, berapa lama saya nunggu kamu? Berapa lama saya nahan semua hasrat buas dalam diri saya? Nahan segala gejolak monster ini, hanya agar kamu tidak takut dan lari dari saya. Tapi tampaknya saya yang terlalu lunak, sampai lupa bagaimana cara buat kamu tidak berpaling dari saya.”
“Fix, lo mabok, Dim.”
“Saya tidak peduli! Yang saya pedulikan sekarang adalah cara buat kamu paham kalo saya mau kamu, saya mau kamu buat saya, tubuh kamu, pikiran, dan hati kamu buat saya, Naya. Saya rela mengotori diri dengan dosa di masa lalu, kalau sekarang saya harus melumuri diri dengan dosa lagi agar saya bisa mendapatkan kamu, saya rela, Naya.”
“Dim, ngomong apa sih lo? Fix, sekarang gue takut sama elo!”
“Takut? Kamu bilang takut sama saya? Saya cuman bilang apa yang saya mau bilang, tapi kamu malah takut. Bagaimana kalo saya lucuti kamu sekarang biar sekalian kamu benci saya?”
Aku melotot. “Apa maks….”
Bibir Dimas sudah memagutku lebih dulu sebelum sempat aku selesai berbicara. Tidak seperti sebelumnya, kali ini ia menciumku dengan kasar, penuh dengan tuntutan dan kepemilikan. Aku berkali-kali berusaha mendorongnya namun gagal. Hampir saja aku pasrah hinga Dimas melepas ciumannya. Bukan! Lebih tepatnya ditarik paksa oleh seseorang, hal berikutnya adalah aku direngkuh oleh Dea. Dalam sekejap kamar Ghani berubah ramai dengan orang-orang.
“Duuh, gini nih kalo ada singa liat lepas terus dibiarin gitu aja, ada anak itik sendirian langsung aja diterkam,” komentar Dea.
“Elo enggak apa-apa kan, Nay?” Zahra ikut nimbrung di sampingku.
Saking syoknya aku hanya bisa mengangguk kaku.
“BANGSAT! Lo pada ngapain?! Lepasin gue!”
“Payah banget sih lo bang, baru juga minum setengah kaleng lo udah teler. Pantes aja tadi diem aja, gini kan jadinya.” Ambar yang kulihat setengah teler sekarang malah nampak bugar, ia menghampiriku dengan segelas air yang ia berikan padaku. “Kaget ya, Vah liat abang gue teler? Emang gitu dia enggak kuat minum tapi sok-sokan minum. Siapa sih ini yang ngasih doi minum? Nyari masalah banget. Elo ya, Ham?!”
“Idih! Orang a Dimas sendiri yang mau minum, gue sih udah nyaranin dia minum kopi aja,” elak Irham.
“Elo cuman nyaranin bukannya nahan dia buat enggak minum.”
“Udah dong, malah main lempar-lemparan buah manggis!” lerai Zahra.
“Bangsat lo, Bar!” sembur Dimas. “Ngapain lo deket-deket sama Naya!”
Dimas hampir menyeruduk ke depan namun seketika di tahan oleh Irham dan Pengestu.
“Ck! Tuh kan lo pasti kepancing sama yang tadi, baru juga gue rangkul belum aja gue giniin….”
Belum sempat aku berreaksi Ambar sudah lebih dulu mendaratkan bibirnya dibibirku, setelahnya terdengar geraman dan hantaman keras juga teriakan lalu keributan.
Sementara aku….
Aku memilih ingin segera pergi dari sana, naik roket ke planet Namek, lalu menguburkan diri di sana, sambil diiringi lagu hula-hula. Rasanya mau mati aja 😭
Ini yang namanya definisi malam terkutuk.
Bener-bener terkutuk!

TBC 🤣

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Kamvret Momen!!

1 Juni 2020 in Vitamins Blog

22 votes, average: 1.00 out of 1 (22 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Bukan gebetan sih, apa lagi pacar, cuman kalo komunikasi pake ‘sayang’. Hmmmn, gimana dong?” @kodoktidur21

Enggak banyak bacot ah, happy reading 😂

Aku keluar pukul delapan tepat, sengaja aku berlama-lama berdandan agar membuat Dimas menunggu lebih lama.
Suruh sapa lo maksa gue ikut.
Sebelum masuk ke dalam mobil Dimas, aku sempat menyapa pak Dorman yang tengah ngopi ditemani dengan suara syahdu biduan dari acara tv nasional. Mobil Dimas melaju lancar di jalanan Jakarta yang cukup lengang di malam Rabu ini.
“Nanti mampir dulu ke minimarket ya,” kataku ketika kami baru melewati gerbang tol Tanggerang.
“Mau apa?”
“Mau ngecengin mamas minimarketnya. Ya mau nyari cemilan lah, biar gak dikata kurang makan apalagi kurang kasih sayang,” celetukku gemas.
“Oh….”
Well, percuma juga sih gue ngomong panjang kali lebar kali Jonggol sama papan tulis kayak Dimas.
“Bisa tolong ambilin kantong plastik di belakang?”
“Duuh, bisa gak sih lo nyuruh-nyuruhnya pas di kantor aja. Gak pasnya kita lagi keluar gini?”
Meski aku mendumal, anehnya aku tetap melakukan apa yang Dimas suruh.
Barangkali nanti aku didepak keluar dari mobil Dimas dengan konyolnya kalau-kalau aku tidak mau nurut sama papah Dimas. Papah Dimas? Hueeek!
Aku meraih kantong plastik yang dimaksud, yang ternyata memuat isi cukup banyak. Kuacungkan plastik tersebut pada Dimas yang kemudian diacuhkan dengan ogah-ogahan.
“Tolong bukain, Naya. Saya kan lagi nyetir.”
“Tuhaaaan!! Dosa apa sih gue sama elo, Dim!”
Dengan kesal aku setengah merobek membuka kantong plastik di pangkuanku. Begitu kubuka mataku langsung berkilauan, isinya adalah sebungkur roti sobek, dua bungkus potato cips, minuman bersoda, kopi kalengan, dan sebotol air mineral. Aku mengedip-ngedip takjub. Aku mendelik pada Dimas cepat yang ditatap malah memasang tampang muka papan.
“Kenapa kamu? Enggak suka?”
“Enggak sih,” sahutku seperti orang linglung. Sebenarnya bertanya-tanya, kapan ini orang beli beginian? Gue sih curiga dibagasi belakang doi buat minimarket.
“Ya sudah makan.”
“Ini nyuruh apa nitah?”
Dimas tidak menanggapi, ia tampak fokus menyetir. Didorong oleh rasa lapar, aku mengambil bungkusan roti sobek yang menggiurkan. Aku melahap dua pertiga roti bagianku, aku mencoba menyodorkan roti pada Dimas namun di sopir yang satu ini menolak.
Aku menghabiskan seperempat roti yang ada kemudian minum setengah botol kecil minuman bersodaku ketika kami sudah setengah perjalanan  menuju Tanggerang. Selama perjalanan suasana menjadi hening, jalanan hanya dihiasi oleh kendaraan dan lampu jalan, kami tidak banyak bicara hanya ada suara samar dari musik player di mobil yang mengalun sendu. Dimas nampak tidak akan mengajukan topik obrolan apapun untuk … mungkin, sampai di tempat tujuan. Dan aku mulai bosan dan mengantuk karena terlalu banyam diam.
Ingatkan? Ada yang bilang kalau orang yang terlahir berisik dan tiba-tiba dihadapkan di situasi yang memaksanya diam makan ia akan lebih sering lelah dan mengantuk.
Dan gue termasuk orang-orang tersebut!
Halo? Gue lagi sama orang apa sama pinokio sih? Perasaan kayu aja bisa ngomong kok, lah ini malah sebaliknya.
Kemudian sebuah pertanyaan iseng melintas di kepalaku.
“Kenapa sih lo enggak minta balikan sama … siapa mantan pacar lo?”
“Farah.”
“Iya, Farah. Kenapa lo enggak minta balikan aja?”
Dimas menghela napas berat. “Banyak yang enggak suka Farah.”
Well, gue enggak heran-heran amat. Dari awal aja udah keliatan; arogan, serakah, sebelas dua belas sama nenek lampir.
“Ya lo yakinin lah!”
Jujur gue enggak mau sok bijak!! Tapi gue gemes aja gitu, hidupnya gak enak banget gitu kalo gak nyusahin orang?
Dimas yang tampak tidak berminat menanggapi topik tersebut memilih diam dan fokus pada kemudi. Sampai kami keluar dari jalan protokol dan masuk ke jalan pemukiman penduduk. Aku melilih memainkan game di hpku selagi mengisi kekosongan. Setelah itu aku merasa mobil akan berbelok memasuki kompleks perumahan elit, mobil kemudian berhenti disebuah rumah berhalaman cukup luas dengan beberapa mobil terparkir di depannya.
Selagi Dimas memarkirkan mobilnya, aku tanpa sadar memperhatikan rumah di depanku.
Gilak. Gue baru tau ini anak punya sodara tajir juga. Nah kan, jiwa julid dan norak gue aja sampe keluar. Gue curiga sebenernya Dimas ini masih keturunan konglomerat yang bernasib sial karena jadi turunan ke delapan jadi gak dapet warisan dari kakeknya.
“Ayo.”
Aku tersadar dari lamunan bodohku tentang Dimas. Hell, ternyata dari tadi gue ngelamun? Norak banget si lu, Vah!!
Kalo dipikir-pikir, om Rama Sulaeman itu merupakan keponakan dari Lukman Rasyad, salah satu pengusaha propert terbesar di Indonesia, yang juga cucu dari Omar Sahril Rahsyad, si kakek konglomerat yang bisnisnya tidak bisa terhitung lagi–sabodo, gue gak ngafalin itu kakek sebenarnya kerja apa.
Tunggu! Berarti benar dong Dimas masih ada keturunan konglomerat, sayang aja dia cicit yang terbuang jadi gak diakuin gitu.
Ketika di depan pintu setelah Dimas memijit bel aku tanpa sadar mengumamkan sesuatu yang–setelah dipikir-pikir itu adalah pernyataan paling norak dalam hidupku.
“Kok lo gak pernah bilang kalo lo masih keturunan Omar Sahril Rahsyad.”
Aku berusaha terkesan biasa namun malah jadi orang paling norak seIndonesia. Terkutuk kau mulut laknat!
Dimas melirik dari ujung matanya. “Kenapa? Ada yang salah sama kakek buyut saya?”
“Emang enggak ada yang salah. Cuman….”
Aku menggantung kalimatku, lebih pada aku bingung apa yang harus aku katakan. Sambil berpikir, tidak seharusnya aku berada di sana.
“Cuman?” Dimas mengulang kalimat terakhirku yang menggantung.
“Cuman … mau bilang gitu doang,” ucapku asal.
Terdengar dengus tawa dari Dimas, dari arah dalam terdengar suara ribut dan langkah-langkah cepat menuju pintu. Dalam kesempatan itu aku merasa sebelah tanganku diraih dan digenggam oleh Dimas.
“Karena kamu tidak pernah bertanya, Naya.”
Dug!!
Kalimat Dimas diucapkan dengan biasa dan wajah sedatar papan penggilesan, namun entah kenapa menyimpan sebuah ultimatum di dalamnya.
Dimas menoleh dengan tatapan tidak terbaca, tangan yang menggegam tanganku pun semakin terasa nyata, seolah-olah hendak mengatakam sesuatu.
“Sedikitpun kamu tidak berinisiatif untuk sekadar bertanya.”
Aku masih diam, bahkan setelah Dimas melayangkan kecupan di punggung tanganku, aku masih berubah jadi arca prambanan.
“Untuk itu saya bawa kamu ke sini, jika kamu mau, sedikit mengenal saya, tidak apa-apa kan?”
Ketika aku hendak membuka mulut untuk bertanya, pintu di depan kamu terayun dan kami segera disambut oleh keramahan si pemilik rumah.
***
Hal yang paling aku benci selain kecoak yang tiba-tiba terbang dan cicak yang tiba-tiba jatoh dengan bunyi “telak” dilantai adalah acara keluarga. Yups! Acara sosialita keluarga.
Sepele tapi susah dilakukan, percaya atau tidak, kita harus memasang kedok sepanjang acara sambil menahan segala gejolak emosi di dalam hati, pikiran dan jiwa. Jujur saja, aku lebih baik pergi dan mengurung diri di kamar ketika hari-hari besar seperti lebaran, acara arisan, syukuran, apa lagi hajatan.
Mending gue kerja deh, baku hantam sama semrawut kerja lebih baik daripada baku hantam sama bu ibu mulut lemes, yang ada nambah dosa gue.
Makanya, begitu Dimas yang seenak jidat menyeretku masuk ke dalam lingkaran kerabat dan segala tetek bengeknya, membuatku sangat kesal. Aku sudah membayangkan segala kemungkinan yang ada. Dikucilkan? Sudah pasti! Ya jelaslah, aku hanya orang luar yang tiba-tiba diseret masuk kedalam zona mereka.
Ingin sekali sekali waktu aku menyentil ginjal Dimas.
Namun, yang aku hadapi sekarang adalah sebaliknya. Biar dikata arisan keluarga yang ada dalam bayanganku adalah kumpulan tante-tante dan om-om beserta pengikutnya alias aliansi keponakan Dimas. Tapi yang kulihat sekarang justru sebaliknya, yang hadir pada acara tersebut adalah para sepupu Dimas, tidak ada om-om dan tante-tante yang akan mengintrogasinya, hanya ada om Rama dan tante Rita si pemilik rumah, itu pun yang mengadakan adalah anaknya, Deana Putri Sulaeman.
Yang aku pikir akan dikucilkan dan merasa canggung sendiri justru berbaur begitu saja dengan para sepupu dan keponakan Dimas.
“Mba Naya udah makan? Kalo belum nanti diambilin sama Irham. Ham, lo ambilin gih apa kek selagi nunggu barbequenya mateng,” kata Zahra.
Wanita cantik ini berumur tidak jauh beda denganku, Zahra Rayana Rusman bekerja di perusahaan konsultan cukup ternama di Jakarta. Meski ayahnya merupakan pengusaha hotel ternama, Zahra tidak mengikuti jejak orang tuanya ia berpikir ingin merasakan prosesnya dari bawah hingga bisa mencecap manis di puncak dengan usahanya sendiri.
Jujur aku kagum, pembawaannya yang dewasa, cara bicaranya yang lues dan lugas membuat siapa saja tidak bisa memandang remeh Zahra.
“Lah kok gue, elo aja! Gue lagi seru nih,” celetuk Irham. Gusti Irham Rusman tidak lain adalah adik Zahra, Irham yang terpaut empat tahun dengan Zahra merupakan mahasiswa pertanian semester tujuh salah satu Universitas di Bogor. Meski masih berstatus mahasisawa Irham tengah merintis usaha sendiri, meski belum berjalan selancar jalan tol, namun pundi-pundi yang dihasilkan cukup untuk memenuhi kehidupannya sendiri selama kuliah. Meski tingkahnya selengean dan terkesan ogah-ogahan sebenarnya Irham adalah sosok yang peduli dan penurut, begitu sih kata Zahra.
“Enggak usah, Ra. Saya udah makan kok,” ucapku bohong.
“Tuh, mbanya aja enggak mau, lo malah maksa makan.”
Mulut ini bocah pedes juga ternyata.
Zahra serta merta menjewer Irham yang seketika berteriak kesakitan.
“Duuu, duuuuh, sakit teh!”
“Biarin! Makanya kalo ngomong tuh pake otak!”
“Duuuh, kenapa sih? Perasaan berisik banget, mba Nayanya jadi bingung tuh liatin kakian berantem,” sahut seorang wanita menengahi keduanya. Wanita berusia empat puluh akhir itu tersenyum ramah begitu mata kami berseloroh. Kalau bukan tahi lakat di bawah matanya aku pasti sudah tidak kenak bahwa itu adalah si pemikik rumah, tante Rita.
“Onoh, sih teteh….”
“Main ngeles lagi ini bocah!”
“Udah-udah daripada berantem, mending kalian bantuin a Aris sama teh Dea nyiapin makanan.”
Keduanya beranjak, aku yang hendak mengikuti jejak mereka malah ditahan oleh tante Rita.
“Naya mau kenana?”
Aku yang ditegur demikian mendadak kikuk dan kebingungan. “Eh … emm, mau ikut bantuin, Tan.”
“Enggak usah, mending kamu duduk di sini nemenin tante.”
Hmmn, bau-baunya bakal ada interview dadakan nih. Mana si Dimsun Neraka pake ngilang lagi.
FYI, pemirsa. Begitu kami memasuki rumah dan aku diseret masuk oleh Dea, si Dimsun Neraka sudah menghilang entah kemana. Sampai sekarangku aku masih tidak melihat batang hidung itu orang, jangan-jangan dia ditelen bumi, mungkin gue perlu manggil agen J dan agen K buat nyari Dimas, manatau kan kalau-kalau Dimas diculik alien.
Mungkin karena aku tanpa sadar berkeliling mencari sosok Dimsun Neraka, aku malah kepergok tante Rita. “Nyari siapa, Nay?”
“Ha? Eh, enggak … itu….”
“Kalo nyari Dimas, dia lagi mandi. Paling sekarang lagi siap-siap.”
Oke, terjawab sudah misteri menghilangnya Dimas. Yah, enggak jadi deh gue manggil Will Smith dan Tommy L Jones buat nyari Dimas.
“Dimas gimana?”
“Hah?”
Mungkin karena tiba-tiba ditodong pertanyaan yang unfamiliar aku sampai-sampai menunjukan jurus kebegoanku di depan tante Rita. Barulah setelah loading beberapa lama aku memahami maksud dan tujuan si penanya.
“Eh, oh, Dimas baik kok, Tan.” Tidak lupa kutambahkan senyum pepsoden di akhir kata.
“Baiknya itu kayak gimana? Dia enggak macem-macem atau aneh-aneh kan sama kamu?”
Refleks aku menggeleng. “Eng, enggak kok, Tan. Dimas enggak ngapa-ngapain, saya. Baiknya ya … perhatian, selalu ingetin makan, tidur jangan kemaleman nanti telat dateng ke kantor … gitu gitu lah.”
Tuhaaaaaaan!!!! Gue enggak tau mesti ngomong apaan?!
Kalo aja bukan tante Rita yang nanya, gue udah teriak.Dimas itu setan dalam wujud manusia tampan! Enggak ada hal baik yang dia lakuin tuh enggak adaaaa!! Asal lo tau! Dia itu lebih sering nyiksa gue ketimbang nyenengin gueee!!”
Tapi barangkali nanti gue langsung di depak keluar dari perusahaan sedangkan cicikan motor dan bayaran kostan masih dibayarin sama diri gue sendiri, jadi gue tahan makian gue dalam hati.
“Syukur lah. Tante tuh khawatir, dulu waktu Dimas pacaran sama model abal-abal itu Dimas jarang banget ke pertemuan keluarga kayak gini, alasannya ada aja, sibuk lah, Farah mau ke sini lah, lagi nemenin Farah nyalon lah, lagi di luar kota lah, macem-macem. Sampe tante tuh gemes banget. Waktu si Farah dibawa ke sini juga, enggak ada mesem-mesemnya.
Malah sok-sokan sibuk sama hp, padahal enggak jelas urusannya apa. Sampe pernah juga si Irham tanya iseng sama Farah, mungkin karena dia saking keselnya kali ya, jadi dia nyeletuk, ‘Mba model ya? Model di mana, Mba? Kok saya belum pernah liat muka mbanya di majalan sama tv.’ langsung kan tuh mukanya merah. Sejak itu, Farah enggak pernah lagi dateng ke acara keluarga.”
Sebisa mungkin aku menahan tawa yang hampur lolos dari mulutku, tau-tau di sodori keluh kesah si tante terhadap pacar keponakannya. Enggak salah sih gue, si Irham mulutnya sebelas dua belas sama sambel, pedes bener.
“Tante tuh heran, kok bisa sih Dimas kepincut sama yang begituan?”
Sama, Tan, saya juga heran, kenape manusia model begitu bisa jadi keponakan Tante? Mukenye aje yang pendiem, tapi kelakuan sebelas dua belas sama setan.
“Tapi tante seneng sih, sekarang Dimas sadar dan dapet pengganti yang secantik kamu.”
Aku tidak menjawab hanya tersenyum lebar.
Aduh, ini belum emaknya loh yang mongong tapi gue udah deg-degan setengah jalan, apa lagi kalo mak bapaknya yang nanya-nanya?! Eh bentar! Kek gue mau jadi aja sama si Dimaun Neraka, idiiih!!
“Jangan lebar-lebar senyumnya nanti dikira kembarannya Semar.”
Begitu mendongak aku langsung bertemu dengan wajah jenaka Ambar. Segera saja senyumku luntur.
“Hai … calon kakak ipar,” sapa Ambar sambil cengegesan.
Monyet!
***
“Bwahahahaa!!! Coba lo liat muka lo tadi, Vah! Sumpah muka lo maksa banget, enggak ada manis-manisnya, sampe kasian gue liatnya.”
“Anjing! Puas lo, puas ngetawain gue?!”
Aku menarik Ambar ke dapur agar bisa memaki sepuasnya, sementara tante Rita aku tinggalkan dengan Zahra yang kembali sambil membawa baki berisi makanan.
“Gue udah tau sih bakalan begitu jadinya waktu tante Rita nyuruh abang gue buat ngajakin elo. Tapi muka bego elo diluar ekspetasi gue!”
Ambar tertawa terbahak-bahak sampai-sampai memegang perutnya.
Ini bocah kalo gue slepetin cabe juga bakal langsung ditelen sana dia.
“Emang ya, enggak abang enggak adek sama aja bangkek!”
“Wits! Nape lu? Sentimen gitu sama pacar lo sendiri. Lagi berantem ya?!” kemudian Ambar tertawa lagi.
“Anjing emang lo! Siapa yang lagi berantem? Dan siapa juga yang pacar abang elo?!” sungutku marah.
Seketika Ambar berhenti tertawa malah mengganti mukanya dengan wajah terheran-heran.
“Lah? Gimana-gimana?”
Aku mendengus. “Gue, sama abang elo itu, enggak pacaran.”
“….”
“Kenapa lo?”
“Jadi … kalian cuman lagi gimic gitu alias pacaran setingan kek artis-artis dadakan itu? Gilak, man!”
“Serah lo deh contohnya kayak apaan, yang jelas. Gue sama Dimas enggak punya hubungan apa-apa! Gue cuman disuruh doang, sialanya gue mau-mauan lagi jadi pacar boongan si Dimsun Neraka itu!”
“Jadi … elo enggak pernah naksir atau cinta sama abang gue gitu?”
“Ya enggak lah!” semburku.
“Bwahahahahaaaaaa!!!!”
Langsung saja Ambar tertawa terpingkal-pingkal, kali ini benar-benar lepas. Wajahnya sampai merah saking senangnya. Aku sampe takut barangkali si kunyuk ini kerasukan setan lewat.
Kalo beneran kesurupan bakal gue tabok pake teflon ini bocah, puyeng-puyeng dah lo.
“Tuhaaaaaan!!! Kocak parah asli! Hahahaaa!!”
“Kenape sih lo?” karena Ambar tidak menunjukan tanda-tanda akan berhenti tertawa dan orang-orang di luar mulai menoleh ke dapur, aku segera menutup mulut Ambar dengan apel yang ada di meja makan.
“Anjir! Sembarangan aja lo! Untung enggak ke selek gue!”
“Makanya diem! Segitu lucunya apa cerita gue sampe lo ketawa kayak orang kesurupan gitu!”
“Cerita lo kagak lucu, Vah. Cuman miris aja gitu! Kesian bet dah abang gue!” kemudian Ambar mulai tertawa lagi.
Aku menyumpal kembali mulut Ambar dengan tangaku sendiri. “Apa sih! Lo lama-lama gue slepetin cabe nih!”
“Buset dah sadis bener dah lu….”
“Makanya lo jangan kenceng-kenceng ketawanya, kalo ada yang denger gimana?!”
“Ya enggak apa-apa, tinggal jelasin aja. Palingan pada ketawa.” Ambar terbahak lagi, aku mencobit pinggangnya keras-keras sampai ia menjerit ampun. Aku tidak melepaskan cubitanku biar tau rasa si kunyuk ini. Namun, tidak hilang akal, Ambar mengapit leherku dengan lengannya hingga posisinya berbalik aku yang dipiting oleh Ambar.
Saking ributnya, kami sampai tidak sadar dengan kehadiran orang lain di sana. Sampai akhirnya sura dalam dan tajam itu mengintrupsi kami.
“Ekhmmm!”
Sontak kami menoleh dan di sana berdiri Dimas yang tampak segar sehabis mandi tengah menatap kami sambil bersedekap.
Ukh!
Ooopsss!”
Ambar yang tiba-tiba melepaskanku membuatku terkejut dan hampir-hampir terjerembab kalau saja aku tidak sigap berdiri.
“Sorry. Gue … mau ambil makanan dulu, bye, Ivah. Hati-hati ya.”
Aku melotot begitu Ambar berbisik demikian sebelum akhirnya kocar-kacir kabur ke taman belakang. Ditinggal berdua dengan Dimas yang menguarkan atmospir gelap membuatku tidak nyaman. Mata tajam Dimas masih menelanjangiku, sesangkan aku berdiri kaku di depan kompor.
Sialan! Ini orang kenape lagi sih? Heran dah ah!
“D, duuuh, gue haus! Lo mau minun enggak? Gue ambilin deh….”
“Tidak usah, saya mau buat kopi aja.”
“G, gue bikinin ya.”
Dengan cekatan aku mengambil gelas dan menyeduh air, sempat kebingungan mencari toples kopi namun Dimas dengan mudah menenukannya, aku mengutuk air yang mendidih sangat lama, sampai-sampai keheningan menyelimuti kami kembali. Sementara air masih lama, aku menyiapkan filter dan memasukkan tiga setengah sendok kopi.
Aku terkesiap begitu tangan panjang Dimas mengurungku dari belakang, sekarang posisiku terjebak antara meja pantri dan Dimas.
Damn! Situasi macam apa ini?
“Nga, Ngap….”
“Kenapa kau mudah sekali ketawa kalo sama orang lain tapi terus-terusan cemberut kalo sama saya?”
Napas hangat Dimas berambus tepat di telingaku membuatku meriang, aku ingin melepaskan diri namun Dimas menahan sebelah tangaku.
“Saya juga mau liat kamu ketawa kalo lagi sama saya, Naya.”
Aku merasa tengkukku disentuh oleh sesuatu yang lembut. Shit! Gue nyesel gulung rambut gue sekarang, begini kan jadinya!
Tepat pada saat itu air di kompor mendidih, itu adalah kesempatanku lepas dari kungkungan Dimas. Pria tersebut terkejut namun tidak memprotes, aku menuang air  sedikit demi sedikit ke dalam teko dengan filter sampai uapnya mengepul dan aroma khas dari kopi menguar ke dakam indra penciumanku, menjadi candu yang tidak terlupakan.
Dimas masih diam di tempat, namun aku merasakan matanya masih mengawasiku. Begitu selesai aku segera menuang kopi ke dalan gelas satu persatu sebelum menyerahkannya pada Dimas.
Aku duduk di kursi dapur dengan kopiku sendiri, mengambil potongan buah yang ada di atas meja tanpa suara, begitupun Dimas yang tidak tampak ada niatan untuk beranjak dan bergabung dengan orang-orang di luar sana.
Ditengah keheningan yang aneh itu Dea datang bak dewi penyelamat. “Loh? Kalian masih di sini? Makanannya udah mateng tuh. Naya, ayo makan dulu.”
Karena saking ingin keluarnya aku sampai terburu-buru bangkit, hingga meja dan kursinya berbunyi cukup keras. Aku mengambil sepotong apel di meja kemudian membawa gelas bekas kupoku ke bak pemcuci piring. Begitu aku hendak melewati Dimas tiba-tiba tangan besar itu menarik lenganku dan dalam sekejap wajah Dimas sudah ada di depan wajahku, menciumku.
Rasa kopi, dari mulut Dimas menguar bersamaan dengan rasa apel yang tertinggal di mulutku, aku melotot namun tidak bisa bergerak, lama kemudian Dimas baru melepaskanku. Wajahnya masih sedatar jalan ketika aku berhasil melihatnya, tanganya yang besar mengusap sudut bibirku dengan hati-hati.
“Lain kali … saya tidak akan menahan diri untuk ini, Naya.”
Setelahnya ia melenggang pergi, meninggalkanku di depan kompor yang siap menertawakanku dengan girang. Rasa kopi dan apel berjubal di mulutku, meninggalkan rasa manis misterius lain di sana. Belum pernah sebelumnya merasakan bibir Dimas semanis ini.
“Naya?”
Aku terkejut oleh suara Zahra yang juga menyusulku. Aku segera tersadar dari lamunan bodohku. Sialan! Kenapa Dimsun Neraka itu selalu berhasil buat gue kayak orang bego sih!
Bangkek! Bangkek!
“Tadi, diapain sama abang Dimas?”
“Hah?!”
Zahra tersenyum jahil sambil mengedip sebelah mata.
“Enggak usah malu, semua orang nonton kok. Si Irham aja sambe ngerekam.”
“HAH!!”
“Selamat datang di keluarga kami.” Dengan bangga Zahra tersenyum lebar dan mengapit lenganku untuk bergabung bersama yang lainnya.
Sementata yang lain tersenyum penuh arti, bahkan Ambar bersorak kayak orang gila, tapi si tersangka malah pura-pura jadi orang suci sedunia yang tidak tahu apa-apa.
Bangkek!!
Kamvret momen emang!!!

TBC 😂

One of Thousand ‘Open a Time’

19 Mei 2020 in Vitamins Blog

Hari ini Edanland tengah mengadakan upacara kedewasaan, semua anak-anak yang menginjak usia dewasa tahun ini akan dikumpulkan di kuil Fazmadurre. Acara tersebut diadakan sangat meriah, setiap keluarga akan membuatkan persembahan-persembahan berupa hasil bumi mereka. Sesembahan-sesembahan itu akan diletakan di dalam kuil, yang mana sesembahan tersebut kemudian akan diolah sebagai sajian bagi dewa Urrzha, yakni dewa pelindung di tanah Edanland.
Dikisahkan bahwa, ketika Edanland tengah dilanda kemalangan dan dikuasai oleh Tartaur–iblis dari dunia bawah–Urrzha datang dari langit menbawa cahaya dan mengusir para Tartaur dari tanah Edanland. Sejak saat itu, nenek moyang mereka–suku tertua yang ada di Edanland–menyebut Urrzha sebagai dewa pelindung. Dari sanalah upacara persembahan dewa Urrzha diadakan bertepatan dengan hari kedewasaan, ini dimaksudkan sebagai terlahurnya generasi baru yang akan membawa kecerahan dan perdamaian seperti halnya dewa Urrzha.
Sepanjang jalan akan penuh dengan penjual makanan dan minuman, bunga-bunga di sebar di sepanjang jalan menuju kuil, panji-panji akan didirikan di setiap rumah-rumah keluarga yang anaknya menginjak usia dewasa. Simbol dewa Urrzha, bunga lili putih. Sementara anak-anak akan didandani dengan pakaian yang telah ditentukan sebelum diarak menuju kuil bersama persembahan mereka.
Semua euforia tersebut turut dirasakan oleh semua orang, termasuk Lily. Gadis kecil itu bangun lebih awal demi melihat setiap proses upacara kedewasaan berlangsung, lily telah mengenakan paian terbaiknya, ia sudah tidak sabar. Matanya yang bulat berkilat-kilat penuh minat, dari rumahnya ia bisa mendengar suara-suara keramaian yang ada di pusat desa. Ia tidak sabar menunggu Kaiya untuk menemaninya.
“Aku sudah tidak sabar,” ucap Lily penuh semangat.
Kaniya gadis yang seumuran dengannya dan satu-satunya teman Lily menjawab dengan terkikik. “Kau memang selalu tidak sabar.”
“Kau tahu? Aku tidak sabar untuk mencicipi gula-gula Mandya. Tahun lalu aku hanya mendapat sedikit saja, itupun diberikan oleh kakek Sashi yang kasihan padaku karena aku gagal menangkap gula Mandya.”
Gula-gula Mandya merupakan makanan khas yang hanya muncul setahun sekali, yakni pada saat upacara kedewasaan. Gula Mandya merupakan manisan dari buah-buahan yang sudah diolah oleh para pendeta yang akan disebar ketika upacara selesai, tujuannya adalah bentuk syukur pada semua orang yang mengikuti acara tersebut.
“Aku tidak sabar melihat arak-arakan kak Ghania.”
Tahun ini, kakak Kaniya, Ghania, menginjak usia dewasa. Untuk itu panji-panji dikibarkan di depan rumah Kaniya, keluarga Kaniya bahkan sudah berangkat sedari pagi dan menitipkan Kaniya di rumah Lily.
Bahkan Kaniya mengenakan pakaian yang sama dengan Ghania, berupa pakaian yang terbuat dari sutra halus.
“Kak Ghania sangat cantik ketika didandani, aku yakin dewa Urrzha pun akan terpesona padanya,” komentar Kaniya.
“Kau benar! Aku juga akan mencoba mengajak Saka.”
Kaniya mengerut bingung. “Saka? Siapa itu?”
Dengan senyum bangga, Lily menjawab, “Dia temanku.”
“Dari mana asalnya, kenapa kau tidak pernah mengenalkanku pada teman barumu itu?” Kaniya mencemberut bibir kesal.
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Dia tidak mau bertemu dengan orang lain, lagi pula … aku bertemu dengannya … di hutan Selatan.”
Mata sipit Kaniya mendadak melebar begitu Lily mengatakan hutan Selatan. “Hutan-Selatan? Bukankah itu tempat para iblis dikurung? Sedang apa dia di sana?”
“Ukh, aku tidak tau, tapi … ini rahasia….” Kaniya mengangguk paham, Lily menengok ke sana kemari memastikan bahwa hanya ada mereka berdua di jalan tersebut. “Saka….”
***
Upacara utama tengah dimulai, semua anak yang menginjak usia balig berbaria mulai dari pusat desa, yakni rumah kepala adat, kemudian mereka diarak menuju kuil. Setiap anak membawa sesembahan mereka, parade tersebut dipimpin oleh pendeta dengan membawa dupa dan lonceng. Diikuti di belakangnya kepala adat juga perwakilan anak untuk membawa benda pusaka kuil berupa busur dan panah. Konon, benda itulah yang digunakan dewa Urrzha untuk mengusir para iblis dari Edanland.
Sesampainya di kuil, semua sesembahan akan diterima oleh para pendeta, mereka menyimpan hasil banen ke lumbung dan hasil karya ke tempat yang lain, sementara anak-anak akan dibawa masuk satupersatu sambil mengenakan jubah hitam dan emas.
Di dalam kuil, semua akan bersujud pada satu-satunya patung di sana. Patung tersebut adalah patung dewa Urrzha yang gagah dengan baju zirah, serta panah, dan sepasang sayap terbentang di belakang punggungnya, membawa kesan bahwa patung tersebut dibuat sedemikian rupa dengan dewa Urrzha yang sesungguhnya. Sementara anak-anak bersujud, pendeta tertua akan memercikkan air suci untuk mengusir roh jahat yang akan mempengaruhi masa depan anak-anak tersebut, kemudian memberikan masing-masing dari mereka secawan arak buah, gula Mandya, juga setangkai bunga lili putih.
Ghania bersujud dengan lima anak lainnya, dua diantaranya adalah anak lelaki. Mereka bersujud dengan pendeta tertua yang membacakan doa-doa dengan khitmat, Ghania merasakan air suci membasahi mantelnya, kemudian dalam sekejap suasana menjadi sunyi. Lonceng-lonceng yang ditabuh oleh seorang asisten pendeta kian memudar, ia masih bisa melihat pendera mondar-mandir memercikkan air suci, namun semuanya seperti gerakan lambat. Kemudian Ghania benar-benar berada dalam kesendirian, gadis tersebut ingin mengangkat kepala namun ia takut kalau-kalau ini adalah bagian dari ritual kedewasaannya. Tidak lama cahaya keemasan turun dari langit, jatuh di hadapannya seperti sebuah tirai halus. Seketika kekosongan di sana sedikit terisi. Namun Ghania masih tidak berani mengangkat wajah, ada sesuatu yang membuatnya untuk tetap bersujud di hadapan cahaya nan menghangatkan itu. Ghania tidak bisa melihat sekelilingnya, tapi dia benar-benar sendirian, kemana keempat kawannya itu? Dimana para pendeta? Kenapa hanya dia sendiri di sana?
Berbagai pertanyaan bermunculan di dalam kepala Ghania, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa telah berdiri di hadapannya sosok lain selain dirinya. Sosok tersebut teramat magis, kedamaian menguar dari tubuhnya, tubuhnya yang kokoh berbalut baju sutra kualitas terbaik yang bahkan tidak akan ditemukan di negeri manapun, surai panjangnya nampak sehalus sutra yang ia kenakan. Sosok itu berlutut di hadapan Ghania seraya menyentuh kepala gadis tersebut.
“Ghania….”
***
Ketika Lily masuk ke mulut hutan, hari telah menjelang siang. Riuh rendah suara di pusat kota mulai menghilang begitu memasuki hutan lebih dalam. Gadis kecil tersebut seolah tidak takut dengan kegelapan hutan atau makhluk-makhluk penghuni hutan yang misterius.
Konon banyak makhluk aneh di dalam hutan, terutama di hutan Selatan ini. Makhluk-makhluk penghuni hutan ini memiliki kekuatan magis tersendiri, ada yang katanya dapat membuat orang tersesat, ada yang dapat merupa jadi makhluk lain atau benda lain, ada yang suka mencuri barang-barang dari orang yang masuk ke hutan, bahkan konon ada juga yang suka menculik anak-anak untuk dijadikan santap makan malam mereka.
Namun Lily tahu, semua cerita tersebut hanya dibuat oleh para orang dewasa agar anak-anak tidak terlalu jauh masuk ke dalam hutan.
Lalu apa yang dia lakukan sekarang ini?
Lily berumur sebelas setengah tahun, tapi ia masuk ke dalam hutan dengan suka hati. Lily kecil dengan lincahnya menyelinap di antara pohon-pohon, meerangkak di bawah pohon tumbang alih-alih memanjatnya dari atas, melompati akar pohon yang mencuat dari tanah, tidak lupa ia memetik buah-buah manis yang tumbuh liar di hutan. Wajahnya semakin cerah begitu mendengar suara gemuruh air dari kejauhan, tempat pertemuannya dengan kawan barunya tersebut sudah semakin dekat.
Saka, begitu Lily memanggilnya. Mereka bertemu beberapa bulan laku, ketika itu Lily tengah mencari bahan ramuan obat untuk ayahnya, Lily kecil mencabut bebungaan yang tumbuh liar di dalam hutan tanpa perlu takut akan dimarahi oleh si pemilik bunga. Toh itu bunga liar, pikir Lily. Saat Lily hendak mencari semacam jamur liar yang hanya tumbuh di batang pohon Ark, di sanalah ia bertemu dengan Saka.
Lily menuruni beberapa pijakan dari batu alam sebelum akhirnya sampai di tempat tujuan. Di sana terhampar kolam sungai dengan air terjun yang tinggi, airnya yang jatuh deras terbawa oleh angin, menimbulkan percikan-percikan halus seperti hujan, meski begitu airnya sangat segar sampai-sampai Lily berpikir untuk mandi di sana. Ditambah lagi tempat tersebut dikelilingi oleh tebing dan pepohonan, menciptakan lubang dari atas sehingga matahari bisa bebas masuk sesuka hati, cahayanya yang jatuh menimpa embun air mencipta refleksi pelangi yang indah di udara.
Andai saja Kaniya melihat ini, pikir Lily.
Sebenarnya, Lily sudah mengajah Kaniay untuk ikut dengannya, hanya saja gadis itu tidak ingin melewatkan hari besar kakanya. Karena kalau ia di posisi kakannya, ia juga akan kecewa kalau kakak kesayangannya itu tidak hadir di hari besarnya seperti ini. Jadi Lily memilih menemui Saka sendiri.
“Kau terlambat, Lily.”
Terdengar suara jengkel dari seseorang, Lily menoleh dan matanya langsung bertemu dengan seorang anak lelali, diperkirakan umurnya sekitar enam atau tujuh belas tahun. Tubuhnya tinggi dan tegap, otot-otot tubuhnya sudah terbentuk–atau memang sengaja dilatih–tatapannya yang tajam menyiratkan kesan jijik dan jengkel–itu sudah biasa, menurut Lily, sudah sejak pertama mereka bertemu–bibirnya setengah mencibir ketika berbicara, menyiratkan bahwa sekaki anak lelaki ini bicara makan yang keluar adalah sebuah hinaan atau makian. Meski begitu wajah anak lelaki setengah matang ini memiliki wajah yang luar biasa tampan, jenis ketampanan yang tidak bisa dicari dari seorang pangeran sekalipun, atau mungkin dia lah pangeran di antara pangeran, begitu pikir Lily yang naif. Meski bekas luka mengerikan menghiasi wajah sebelah kirinya, namun tidak menutup ketampanan di wajah remaja lelaki itu.
Namun, di antara semua kekacauan yang ada pada anak tersebut, ada yang lebih menarik. Yakni, sepasang sayap gelap yang menempel di punggung remaja tersebut. Sepasang sayap itu sekarang terlipat rapih, bulu-bulu halusnya nampak berkilauan begitu tertimpa cahaya matahari.
“Saka!!”
Saka yang sekarang berdiri di tepian kolam meregangkan sayap-sayapnya, bersiap untuk terbang mungkin. Benar saja, dalan sekali hentakan kecil remaja lelaki tersebut melayang, ia melayang seolah tidak berbobot, seolah-olah ia seringan bulu.
Lily yang menyaksikan aksi yang sengaja dilakukan Saka tersebut selalu berhasil membuatnya terkagum-kagum, Lily kecil menengadah mencoba melihat aksi pamer lainnya dari Saka. Hanya saja cahaya matahari menghalangi pandangannya, membuat Lily harus memicingkan mata atau menggunakan tangan mungilnya utuk menghalau cahaya matahari. Setelahnya–entah berapa putaran–Saka turun dengan anggun, cahaya yang jatuh di belakang punggung Saka membuatnya nampak seperti malaikat yang turun ke bumi, kesan magis semakin terasa begitu Saka mendarat di sebuah batu di hadapan Lily kemudian berjongkok agar tingginya menyamai tinggi anak perempuan tersebut.
Lily tidak mengerti apa yang membuat Saka tampak berbeda hari ini, mungkin karena pedang yang tergantung di pinggangnya, atau karena Saka yang mengenakan pakaian khas berperang hari ini, atau apapun itu, Lily merasa ada yang berbeda dari Saka.
“Harusnya kau mendapat hukuman, makhluk kecil.”
Suara Saka yang berat menyadarkan Lily, gadis kecil itu mencemberutkan wajah.
“Masih untung aku datang.”
Saka berdecak, ia mengubah duduknya menjadi bersila, sekarang ia lebih pendek beberapa centi dari Lily. Gadis itu jadi tidak harus menengadah terlalu sering.
“Jadi … ada apa dengan hari perayaan dewa Urrurrumu? Apa patungnya tiba-tiba hancur terkena sambaran petir? Atau seorang dari anak puber itu melempar tomat ke wajah dewa Urrurrru? Atau….”
“Tidak seperti itu!”
“Atau jangan-jangan patung dewa abal-abal itu bergerak dan berteriak ‘Mari kita hentikan pemujaan ini!’ pada semua orang?”
Lily yang tidak paham dengan arah pembicaraan Saka hanya meneleng kelapa dan seolah tidak pedulia–atau memang tidak peduli–dengan leluco aneh Saka, Lily malah membelot ke arah pembicaraan lain.
“Aku menbawa sesuatu!”
“Biar aku tebak, buah liar?”
Lily tercengang. “Bagaimana kau tahu?!”
“Mudah, aku hanya perlu mengikutimu.”
Mata bulat Lily semakin membulat terkejut. “Jadi kau sudah membuntutiku sedari tadi?!”
Saka bergumam tidak menjawab tapi pura-pura berpikir. Lily segera mengajukan pertanyaan lain. “Apa kau juga melihat perayaan itu? Ramai sekali bukan? Beberapa tahun lagi aku juga akan mengikuti upacara itu! Aku tidak sabar!”
“Kau tidak sabar bertemu dengan patung dewa bodohmu itu?” tanya Saka tajam.
“Tidak juga,” sahut Lily polos. Sebuah senyum terukir di bibir Saka, namun segera hilang begitu Lily melanjutkan, “Tapi, jika aku beruntung aku ingin bertemu langsung dengannya.”
Senyum sumringah di bibir Lily membuat Saka sedikit jengkel. Apa sih bagusnya menyembah dewa bodoh semacam Urrzha tua? Mereka hanya dibutakan oleh cerita-cerita nenek moyang mereka yang bodoh dan naif!
Saka berubah serius. “Lalu, apa yang akan kau lakukan jika bertemu dengan dewamu itu?”
Dengan amat polos sambil tidak memedulikan tatapan tajam Saka yang bisa melubangi kepala itu, Lily menjawab, “Aku ingin meminta obat penyembuhan untuk ayah.”
Seketika segala kaku di wajah Saka memudar, terganti oleh kelembutan dari seorang remaja lelaki. Ia menarik ujung dagu Lily agar gadis cilik itu menatapnya, dipandanginya wajah ayu Lily. Sejak pertama Saka memang sudah tertarik pada gadis cilik yang bahkan tetap mendekat walau dirinya berada di bawah ancaman pedang. Gadis yang menatapnya dengan penuh penasaran alih-alih lari dan menangis dalam pelukan ibunya. Sejak tangan mungil Lily menyentuhnya sejak saat itu Saka merasakan getaran lain pada gadis mungil tersebut, sesuatu yang ada dalam diri gadis itu yang membuat Saka tertarik, sejak saat itu Saka mengklaim bahwa gadis itu adalah mainan barunya. Namun, lama kelamaan, Saka mulai memahami perasaannya sendiri, Saka menginginkan gadis itu. Menginginkannga sebagai seorang lelaki, mungkin karena sikap polos Lily, atau keberanian Lily, atau paras ayu gadis cilik itu yang membuat Saka semakin terjebak dalam penyiksaan untuk tidak membawa kabur anak orang hanya untuk memenuhi kepuasannya sendiri.
Akan tetapi, melihat Lily yang menjawab polos seperti ini, rasanya bukan tidak mungkin kalau Urrzha tua yang asli muncul di hadapannya juga akan ikut-ikutan jatuh hati pada Lily. Membayangkannya saja Saka sudah enggan, apa lagi kalau hal itu benar-benar terjadi. Entah apa yang akan ia lakukan pada dewa bodoh itu. Melihat Lily dengan jarak sedekat ini membuat sesuatu dalam jiwa Saka bergejolak kuat, mungkin ini juga efek dari masa pubertasnya. Namun, Saka berusaha menahan semua itu agar kelinci kecil tersebut tidak kabur thnggang langgang.
“Kalau kau ingin obat penyembuhan untuk ayahmu, kau tidak perlu menunggu sampai kau dewasa dan bertemu dengan dewa bodohmu itu. Aku bisa memberikannya kalau kau meminta itu padaku.”
Lily menimpali. “Tapi kau meminta imbalan yang aneh, aku tidak mengerti.”
Wajah Saka seketika mengeras. Ya, memang Saka pernah menawarkan obat pada Lily, ramuan tersebut dibuat oleh tangan seorang tabib yang ahli. Obat yang hanya ada di dunianya, obat yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Di dunianya, ramuan tersebut diminum oleh para prajurit setelah berperang, cukup sekali teguk maka segala luka akan sembuh, namun memang tidak berefek pada luka sihir atau racun yanh mematikan.
Sedangkan jika itu diminum oleh manusia, maka cukup satu tetes, satu tetes saja tidak lebih. Maka segala penyakit yang diderita manusia tersebut akan sembuh, baik itu luka dalam atau luka luar. Tapi jangan menggunakannya berlebihan, karena efeknya bisa berbahaya bagi tubuh manuisa itu sendiri.
Begitu Saka menjelaskan itu semua dengan bersemangat membara Lily meminta satu tetes ramuan itu untuk ayahnya. Saat itu Saka yang masih baru-baru itu menyadari perasaannya pada Lily menjawab dengan angkuh. “Boleh saja. Asal kau mau memberikan sebagian jiwamu padaku.”
Padahal jiwa yang Saka maksud adalah jiwa yang lain, namun Lily yang polos mengira Saka meminta setengah dari kehidupannya. Tanpa berpikir panjang Lily kecil menyetujui permintaan Saka. “Baiklah, tapi kalau ayah sudah sembuh total … kau baru boleh mengambil sebagian nyawaku.”
Mendengar hal itu Saka marah besar, gadia ini benar-benar tidak mengerti maksud dari perkataannya itu. Alhasil, kesepakatan itu batal. Saka hilang minat dan Lily yang tidak lagi merengek meminta ramuan itu darinya.
Saka berdecak sebal karena mengingat hal itu, ia melepaskan Lily yang kemudian sibuk membuka kantung di tangannya.
Begitu tangan gadis itu dikeluarkan dari kantung dengan segenggam buah segar indra penciuman Saka berkedut. Aroma asam bercampur manis dari berbagaimacam buah liar membuat Saka menoleh, Lily menyodorkan buah-buahan itu pada Saka dengan senyun sumringah.
“Aku mendapatkan buah Ruan. Rasanya asam tapi sangat segar kalau dimakan, mau mencobanya?”
Saka menatap buah di depannya dengan senyum sumringah Lily, kemudian remaja lelaki tersebut menghela napas menyerah.
“Baiklah, aku akan mencobanya.”
“Benarkah?!”
“Ya. Berikan padaku.”
Dengan senang hati Lily menyodorkan buah bulat berarna biru itu pada Saka, si penerima bukannya menengadah tangan tapi malah membuka mulutnya. Lily yang sempat kebingungan hanya menggantung tangannya di udara, sementara Saka yang menunggu malah sebal karena mulutnya tidak kunjung mendapat kesegara dari buah di tangan Lily.
“Kenapa kau diam saja? Cepat suapkan padaku!”
Suara Saka yang keras dan dalam membuat Lily terlonjak, gadis kecil tersebut buru-buru memasukkan sebutir demi sebutir buah Ruan ke dalam mulut Saka. Sampai buah terakhir masuk ke dalam mulut Saka dan remaja lelaki itu mendesah kekenyangan.
“Buahnya enak bukan? Memang sedikit asam, tapi ini enak.” kata Lily sumringah.
Saka yang tidak memedulikan pertanyaan Lily malah lebih tertarik pada hal lain. Ia malah lebih tertarik pada jemari Lily yang sedari tadi menyuapinya, jemari mungil tersebut berwarna biru, mungkin karena sari buah yang merembas. Ketika gadis cilik tersebut hendak mengelap sisa sari madu dari tangannya tanpa diduga Saka menghentikannya. Remaja lelaki tersebut serta merta menarik tangan Lily ke arah mulutnya, dan tanpa bicara Saka menjilat sisa sari buah yang ada di tangan Lily sampai hanya menyisakan warna biru pudar di permukaan kulit putih Lily.
Sementara itu si pemilik tangan malah tercengang tidak bergerak, sensasi baru yang ia rasakan membuat napasnya tertahan dan jantungnya berdebar terlalu kencang. Otaknya yang masih suci mendadak harus berpikir keras prihal apa yang baru saja Saka lakukan pada jarinya.
“Yang ini lebih manis.”
Bak sihir sejurus kemudian wajah Lily menjadi merah padam. Buru-buru Lily menarik tangannya kembali kemudian memberikan sekantung buah yang tersisa pada Saka dengan melemparnya sebelum akhirnya gadis itu melarikan diri.
Apa yang tadi itu?? Apa yang dilakukan Saka?
Lily berhenri di sebuah pohon rimbun, napasnya terengah. Ia meninggalkan Saka begitu saja, anak itu pasti marah.
“Hei, kebapa kau kabur begitu?”
“Uaaaah!”
Saka bergelantung terbalik di dahan pohon membuat Lily jatuh terduduk di tanah.
“Ya ampun, kau ini kenapa….”
“Jangan mendekat!”
Lily berteriak sampai-sampai ia sendiri terkejut dengan suaranya yang keras, tangan Saka yang hendak meraih Lily menggantung di udara. Ekspresinya terkejut.
“Kenapa kau berteriak padaku?”
“So, soalnya ka, kau aneh….”
Saka mengerut kening tidak paham. Remaja lelaki itu lantas berjongkok di hadapan Lily sampai benar-benar bisa melihat wajah semerah tomat gadis kecil itu.
Saka yang menyadari perubahan sikap Lily malah menyungging senyum senang. Terlintas sebuah ide di kepala Saka setelahnya.
“Lalu kenapa mukamu merah seperti tomat?” Saka menyentuh wajah Lily yang membuatnya beringsuk mundur, menjauhi Saka. Ketika dilihat-lihat wajah Lily semakin menjadi-jadi sampai-sampai hampir menangis. Melihat hal tersebut membuat Saka gagal menahan diri untuk tertawa.
Remaja lelaki itu tertawa kesenangan samapi terguling ke tanah, mendengar tawa Saka yang menjengkelkan membuat Lily sadar bahwa ia sedang dikerjai. Gadis kecil itu lantas mencemberutkan wajah sambil melempar apa saja di sekitarnya, meski yang didapatnya hanya daun dan rumput.
“Wajahmu lucu sekali.”
“Berisik! Kau selalu mengerjaiku!”
Saka masih tetap tertawa.
“Sudahlah, aku ingin pulang! Lebih baik aku pergi bersama Kaniya daripada bersamamu di sini.”
Namun sebelum Lily beranjak pergi, Saka serta merta menangkap lengan mungil Lily untuk kemudian kembali membuatnya duduk di hadapannya.
“Baiklah, baiklah. Maafkan aku.”
Lily masih mencemberutkan wajah. “Kau bercanda kan?”
“Aku serius, maafkan aku. Aku tidak sedang mengerjaimu. Aku benar-benar minta maaf.”
“….”
“Apa kau mau memaafkanku?”
Dengan anggukan kecil khas anak-anak, Lily memaafkan Saka dengan begitu mudahnya.
“Astaga, kau benar-benar…. Apa kau mau berjanji padaku, Lily?”
“Janji seperti apa?”
Saka mengeluarkan jari kelingkingnya. “Kelak ketika kau dewasa nanti dan sudah cukup mengerti dengan perasaanmu sekarang, mau kah kau berjanji untuk tidak menikah dengan siapapun? Dan mau kah kau berjanji untuk ikut denganku ke dunia yang belum pernah kau lihat sebelumnya? Dunia yang jauh berbeda dengan duniamu. Mau kah kau berjanji padaku?”
Lily mengedip-ngedip matanya kebingungan, ditodong dengan serentetan janji dan kalimat yang tidak ia mengerti membuatnya bingung.
Kenapa Saka meminta hal-hal yang aneh lagi padanya?
“Lily…mau kah kau berjanji?”
Masih dengan kebingungan, Lily pada akhirnya menyambut kelingking Saka. Mengaitkan jemari mungilnya ke kemari Saka yang besar. “Baiklah, aku berjanji.”
Saka tersenyum puas. “Bagus. Sekarang….”
Sebuah bayangan melintas di atas kepala mereka. Saka yang merasakan sesuatu yang aneh serta merta mendongkok ke langit. Dari atas sana, makhluk-makhluk bersayap besar terbang menyeberangi hutan menuju pusat kota. Satu, dua, tiga, empat … dan semakin banyak. Lily yang penasaran dengan perubahan ekspresi Saka yang menegang ikut-ikutan menengadah. Alih-alih takut, gadia itu malah takjub dengan sekawanan besar makhluk bersayap yang rupanya hampir mirip dengan Saka.
“Saka, apa mereka kawan-kawanmu?” Lily menujuk-nunjuk mereka. “Wah merreka banyak sekaki, kemana mereka akan pergi?”
Mengacuhkan pertanyaan Lily yang berruntutan, Saka melihat sekelebat sosok yang ia kenal ikut bergabung bersama kawanan besar makhluk tersebut.
“Saka….”
“Dengar! Sebaiknya kau cepat-cepat kembali….”
Karena kakut, Saka sampai mencengkram bahu Lily. “Masuk kedalam rumahmu. Kunci semua pintu dan jendela, bersembunyilah ke tempat yang tidak akan bisa di lihat oleh mereka! Jangan sampai para makhluk itu menemukan kalian.”
Lily yang kembaki dibanjiri perintah tersebut hanya mengangguk bingung. Ia masih melongo begitu Saka melepas cengkramannya. Karena jengkel akhirnya Saka membentaknya. “CEPATLAH!”
Seketika itu juga Lily melesat berlari untuk kembali ke rumah. “Lily!”
Gadis kecil itu menoleh pada Saka yamg berdiri di sana, ia memperhatikan lagi Saka yang tumbuh sebagai remaja, dengan sagap dan bekas luka di wajah. Lily merasakan persaan yang aneh sesaat sebelum Saka berucap. “Jaga dirimu,” diakhiri dengan senyum yang tidak terbaca.

Dan itu adalah akhir dari sebuah kisah di atas tanah Edanland. Sebelum akhirnya darah dan kehancuran melumuri tanah itu.

Tangisan, jeritan, kesedihan, dan kehilangan….

Apa semua itu bebar-benar akhir?

Tidak.

Ini adalah awal dari sebuah akhir.

 

 

 

Jedeeeerrrrree….

Apakah ini? 🤔🤔🤔

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Gimana?!

13 Mei 2020 in Vitamins Blog

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Lo susah sinyal? Pinjem aja radar si bos. Kan sinyalnya kenceng tuh, lo bohong aja doi tahu. Sayangnya radarnya suka eror kalo kata kuncinya ‘pa kabar mantan?’” @A_Inay

P.S

Jujur, sebenernya saya hampir kehilangan karakter Iva ini sendiri yang sebenernya saya ambil dari karakter sahabat-sahabat saya. Saya harus menbaca lagi dari part sebelumnya buat kenalan lagi sama karakter Arivah Inayati. Tapi semakin lama, saya mulai tidak mengenali sosok Arivah ini, jadi mohon maaf kalo ternyata ini mulai gak jelas 🙏🙏🙏

Terima kasih buat kalian yang masih mau baca cerita saya 😊😊 Happy reading

“Gimana?!”
Pagi ini aku tengah mendengar sesi kultum pagi bersama bapak Dimas Wirmansyah yang terhormat, bertempatkan di kantor sempitnya, aku mendengar kultumnya dengan khitmat. Aku tidak sendiri, aku ditemani dengan meja kursi lengkap dengan kesemrawutan di atasnya, sepertihalnga kertas yang sedang menumpukkan diri berjamaah, atau  map warna-warni yang gagal jadi pelangi, atau pulpen yang selingkuh dari tutupnya dan sekarang dicampakan begitu saja di kolong meja.
Bukan tanpa alasan aku berdiri di depan meja Dinas dengan kepala tertunduk, sampai aku bisa melihat kuku jempol kakiku yang mulai memanjang dan buluk.
Hmmmn, nampaknya medipedi sepulang kerja menggiurkan nih.
Pagi ini, aku tidak sengaja–well, setengah kesurupan sebenarnya–menerjang pintu kantor pak bos yang sialnya tengah mendapat kunjungan dari supervisor cabang Tanggerang. Karena aku terlanjut masuk dengan berteriak bak orang kesetanan sambil membawa nampan dan kopi, sekejap itu juga aku bertukar peran jadi Ijah.
Si tamu tampak linglung namun tetap menerima kopi yang aku berikan sementara Dimas memelototiku siap menerkam. Setelahnya aku buru-buru keluar dan mendekam di toilet selama hampir satu jam lamanya. Merenungi kebodohan diri sendiri.
Lalu seolah kesialan ini belum berakhir sebelum hari pun berakhir, aku mendapat kesialan keduaku, yakni: mendengarkan ceramah Dimas yang … sebagian besarnya tidak begitu aku dengar. Atau mungkin telingaku otomatis menulikan diri 🤣
Sisi baiknya aku tidak kena pilnati alias surat kmapret bin laknat a.k.a Surat Peringatan. Tapi sisi terburuknya aku harus menjadi budak Dimas selama setidaknya dia bilang seminggu. Contohnya, menyiapkan kopi setiap pagi, menyiapkannya makan siang, menemaninya kalo meeting dengan klien, dsb. Secara singkatnya, aku jadi asisten pribadi alias babysitter Dimas.
Bukannya senang yang ada gue malah kesal, ini sih akal-akalan ini orang aja buat nindas gue.
“Oh iya, untuk memulai hukuman, tugas pertama kamu sore ini kamu harus ikut saya.”
Begitulah sepenggal titah absurd sang tuan pada sang ajudan. Singkat, padat, dan tidak jelas.
“Gimana??”
“Kamu ikut saya setelah pulang kantor hari ini,” ulang Dimas.
“Maksud saya, dalam urusan apa saya harus ikut dengan bapak?”
“Saya ada urusan penting, jadi kamu harus ikut.”
Duuuh, pengen banget dah gue jambak ginjalnya. Tapi bukan Arivah Inayati namanya kalo nurut begitu saja!
“Tapi kan itu sudah di luar jam kantor pak, berarti bukan lagi pekerjaan saya.”
Dimas bangkit dan sekarang berdiri menjulang di depanku. “Ini bukan lagi masalah jam kerja, ini perintah. Selama kamu masih bejerka dibawah naungan saya kamu harus melakukan tugasmu sekalipun itu di luar jam kerjamu.”
Teng! Teng!
Sepertinya bell tanda pertandingan sudah dimulai, aku melepas topeng sopan-santunku sebagai bawahan sekarang aku maju sebagai Arivah Inayati yang sebenarnya. Aku bersedekap, siap menantang.
“Meskipun ini perintah, tapi prinsip gue, ‘kalo itu udah di luar jam kerja, berarti bukan urusan gue! Sekalipun yang menyuruhku jenderal, kalo sudah jam kerja kelar ya kelar!’ SOP perusahaan juga kan gitu, lo enggak baca emang?”
Eat it, monky!
Dimas diam sejenak, matanya masih mengawasiku, awalnya biasa saja tapi setelah lima menit berlalu aku mulai tidak nyaman.
Fix deh, kayaknya ini orang kesambet setan lewat. Aduh, gimana dong?!
“Ada saja jawaban kamu ya, Naya.”
Aku kebingungan dengan pernyataan Dimas yang mendadak itu. “Gimana?”
Dimas maju selangkah lagi sampai sekarang hampir tidak ada jarak di antara kami. “Saya jadi tidak bisa berpura-pura galak di depan kamu, ada saja tingkah kamu yang buat saya tidak bisa marah.”
“Ya bagus dong,” celetukku asal. Sebenarnya aku tidak paham dengan apa yang dikatakan Dimas, karena tidak ingin terlihat tolol, mari kita jawab saja sekenanya.
Dimas terkekeh rendah sampai-sampai membuatku merinding disko sebelum berbisih amat pelan. “Unfortunately, that’s what makes you look attractive in my eyes.”
Tanpa aba-aba, Dimas mencondokan tubuh hendak menciumku namun secepat itu pula aku menahan jidat Dimas dengan sebelah tanganku dan menutup mulutku dengan sebelah tangan yang lain. Gerakan impulsifku itu membuat kami sama-sama terkejut; Dimas yang terkejut dengan penolakanku dan aku yang…tentu saja terkejut dengan soang yang satu ini.
Main nyosor aja, heran dah.
Jujur saja aku mendadak hilang akal dan tidak tahu harus bicara apa, jadi yang aku lakukan saat itu hanya mengubah diri menjadi arca di depan Dimas.
Dari sudit mataku aku masih bisa mengawasi Dimas yang sekarang tengah memperhatikanku tanpa bicara. Pria ini tidak tampak tersinggung atau terganggu. Dia hanya diam persis setupa Borobudur.
“Saya tunggu kamu di lobi pukul lima nanti,” mulai Dimas setelah beberapa saat jadi setupa. “Kamu boleh keluar.”
Dan tanpa menunggu perintah dua kali dari pak bos, aku cepat-cepat keluar dari kantor neraka tersebut, berjalan lebar-lebar menuju kubikelku, setelah di tempat aku segera menjatuhkan diri tertelungkup.
Sial, sial, sial! Barusan itu apaan sih?!
“Cieee yang baru dapet hukuman,” Jeje dan segala tampang jahilnya. Aku segera mendelik garang pada spesimen manusia tersebut, serta merta hanya untuk memuntahkan kata-kata mutiaraku.
“Bacot lu!”
“Idiiih, sewot. Lo diapain emang sama si bos….”
Aku tidak lagi mendengarkan ocehan Jeje, yang ada dalam kepalaku hanya sepenggal kalimat Dimas dan prilaku pria tersebut yang mulai tidak normal lagi.
Sialnya, kenapa mesti kejadian sama gue?!
Pukul lima kurang, aku sudah menyelesaikan segala urusanku, bos besar masih tertahan di ruangan karena bosnya dari bos besar datang untuk melakukan kunjungan. Tanpa basa-basi aku membereskan mejaku dengan kecepatan seorang pro, sampai-sampai Jeje dan yang lain keheranan. Aku segera ngacir pamit, sesampainya di lobi aku segera disambut oleh mamang ojol yang telah kupesan sebelumnya, dan saat pukul lima pas, aku sudah seperempat jalan. Ponselku berdering selama perjalanan namun aku abaikan, tanpa repot-repot melihat aku tahu itu adalah Dimas.
Bodo amat ahh, bodo kalo lo mau marah beneran atau pura-pura, gue enggak peduli. Shit!

***

Pulang kerja itu, enaknya leye-leye dulu sambil nonton tv, ditemani dengan kripik singkong sisa kemarin malam, juga minuman soda yang menggoda iman. Anggap saja refreshing diri sebelum mandi, ya itung-itung nikmati aroma sedap tubuh sendiri sebelum tergantikan oleh aroma sabun.
Jorok anat lu, Vah.’
Bodoooo.
Hapeku bergetar untuk–kurang paham deh udah berapa kali gitu–nama ‘Dimsun Neraka’ muncul di atasnya. Aku memang sengaja tidak menjawab atau membalas pesannya karena aku memang sedang malas berurusan dengannya, terakhir aku berurusan dengannya malah berakhir dengan kerugian padaku sendiri.
Pukul setengah tujuh, aku baru mendapatkan niat mandiku ketika pintu kostku diketuk tiga kali. Tanpa perlu mengintip dari jendela, aku langsung membuka pintu dan sedetik berikutnya aku segera membanting pintu kembali.
“Anjir! Ngapain itu setan udah nongkrong di depan kostan?!” gumamku lebih pada diriku sendiri.
Pintu di belakangku kembali diketuk oleh si setan–setan yang ada di sana tidak seram memang, kelewat tampan malah. Tapi karena kelewat tampan itu jadi menipu mata para manusia yang kelakuan aslinya udah sering banget tukeran siftt sama setan. Siapa lagi yang aku maksud selain Dimas!
“Naya….”
“Ngapain lo di sini?!” teriakku.
“Saya sudah bilang kan, sore ini kamu ikut saya,” sahut si setan–maksudku Dimas.
“Gue kan udah bilang enggak mau alisa enggak minat!”
Dari luar tidak terdengar lagi pemaksaan, aku yakin Dimas tengah mengela napas penuh kesabaran. Kemudian suara pria tersebut berubah menjadi sehalus lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’.
“Sebaiknya kamu buka pintunya dulu, tidak sopan rasanya bicara sambil berteriak. Saya tidak ingin jadi tontonan penghuni kost yang lain atau warga yang mengira saya suami berengsek yang baru diusir karena ketahuan selingkuh.”
Jujur, godaan berteriak meminta tolong sampai penghuni kost dan warga kompleks pada keluar melayang-layang di pikiranku, dan bayangan Dimas yang diarak warga sepertinya menjadi pemandangan menarik. Tetapi, mari kita pikir ulang, kalau aku berteriak dan Dimas benar di gelandang warga, kerugian itu tetap melanda si remah-remah roti ini.
Contohnya, semisal ada salah satu penghuni kost atau warga yang memvideokan kejadian tersebut kemudia meng-uploud-nya ke medsos, tersebar kemana-mana terus dilihat temen TKku, temen SD, temen SMP, temen-temen SMA, terus temen-temen kuliah, lebih seram lagi kalo orang kampung tahu dan melapor pada ibu negara?! Bisa mati digantung gue sama si emak!! Belum lagi acara tv yang haus akan reting dan drama, tiba-tiba wartaberita deteng, terus gue nanti ditanya-tanya, berita masuk koran, gue dipanggil di acara talk show sana sink, sambil jualan kisah sedih gue, dan musik yang mengandung bawang agar para penonton ikutan nangis-nangis bombay, dan reting si empunya acara naik dengan GUE yang buka-bukaan kebusukan gue sendiri!
Duuuude!!!
“Naya.”
Aku sadar dari pikiran sekaligus rencana dramaku. Dimas kali ini tidak terdengar berteriak atau mengetuk, namun suaranya berubah menjadi membujuk dan memohon. Shit!
“Nyari siapa, Bang?”
Mampus lo!
Itu pak Dorman si penjaga kost, mungkin beliau sedari tadi memperhatikan.
Mampus lo, Vah. Bisa ribet urusan kalo pak Dorman ikut-ikutan manggil, bisa-bisa sekostan gedor-gedor kamer gue! Gue yakin sebagiannya hanya penasaran apa gue berubah jadi Belle setelah mendekam di goa Hiro ini, atau mereka ingin tahu apa aku mati bunuh diri atau mati dicekek kecoak.
“Mau ketemu pacar saya, Pak.”
Sembarangan!!!!
“Siapa? Oh, abang ini pacarnya mba Ipah? Ala mak….”
Gue yakin si Dimsun Neraka lagi senyum-senyum monyet di belakang pintu.
Pak Dorman ini memang keturunan Batak, yah keturunan keberapa gitu dari nenek moyangnya yang bermarga Sinagar, bodo ah gue gak peduli.
“Memang, mba Ipahnya tidak ada? Setahuku, dia sudah pulang.”
“Dia lagi ngambek sama saya.”
Mooooooonyeeeeeeeet!!! Kudu banget tuh diomongin?
“Bah! Macem mana bisa ngambek ke abang?! Kau apakan itu anak orang?”
Aduuuh, ini bakal panjang urusannya.
“Sejak kapan gue pacaran sama fakboi kayak elo?” sergahku begitu aku membuka pintu, dua orang di belakang pintu tersebut sontak menoleh, namun hanya satu yang tersenyum di antara mereka. Ya siapa lagi kalo bukan si Dimsun Neraka ini?
“Bah!! Si abang ini bilang, mba Ipah itu pacarnya, benar?”
Aku menatap Dimas sangar sebelum beralih pada pak Dorman. “Dia bos saya, Pak….”
“Baah….”
“Sekaligus … pacar saya.”
Bangek! Bangkek! Bangkeeeeeeek!!! Terkutuk kaaaauuu Dimsun Nerakaaaaaa!!!!!
Pak Dorman diam memperhatikan kami bergantian, aku memalingkan wajah sebisa mungkin agar tidak mendelik pada si setan yang sedang tersenyum kemenangan ini.
“Anak muda, bah! Sudah, kalian selesaikan saja urusan percintaan kalian itu! Tapi jangan ganggu penghuni kostan yang lain.”
Kemudian pak Dorman pergi masih sambil mengomel. Sekarang tersisa aku dan si Dimsun Neraka.
“Puas lo?!” semburku galak. “Drama banget dah, heran.”
“Bisa kita bicara?” todong Dimas.
Aku diam dulu, tanpa mengatakan apapun lagi aku membuka pintu sedikit lagi memberikan akses masuk pada Dimas.

***

“Jadiii???” todongku begitu kami duduk–well, di karpet ternyamanku.
“Malam ini ada arisan keluarga,” jelas Dimas memulai.
“Ya, terus??”
“Kamu juga ikut dateng.”
Aku melotot. “Ngapain?!”
“Kamu masih inget kan acara ulangtahun tante Lina istri om Rama?”
Well, karena waktu itu gue berubah jadi anjing laut di kolam bersama gorila ngamun … gue inget. Terus?”
“Om Rama mau kamu dateng lagi, kemarin dia belum sempet ngobrol kan sama kamu.”
Aku menarik alis. “Harus banget?”
“Harus, mengingat status kamu adalah pacar saya.”
Actually, fake, kalo lo lupa,” ralatku.
“Jadi kamu mau?”
Duuh, ini orang gak peka ngapa ya? Pengen banget gue sentil ginjalnya.
Hmn! Sebentar, kalo gue ngeiyain ajakan si Dimsun Neraka ini … terus gue dapat apa? Dapet makan gratis udah pasti, dapet kenyang udah pasti, abis itu apa? Gak ada!! Baaah!! Dia yang untung tetep aja gue yang rugi.
Tiba-tiba sebuah ide melintas di otak tumpulku.
“Oke, gue ikut … tapi dengan satu syarat!”
“Apa?”
Aku menyeringai kemenangan.
“Kasih gue libur.”
“Bera….”
“Tiga hari!” tukasku bahkan sebelum Dimas menyelesaikan kalimatnya.
Dimas mengela napas frustrasi. “Kamu….”

“Terima atau kamu pulang dan dateng ke acara arisan sendirian?”
Dimas menatapku dengan tatapan yang tidak terbaca namun wajahnya tetap selempeng jalan raya. “Haah!! Kalau bukan karena om Rama….” desah Dimas penuh fristrasi. “‘Kay! Kamu menang, kamu boleh dapet libur tiga hari asal kamu ikut saya sekarang.”
Dimas serta merta menggandengku namun segera aku tepis. “Main gandeng aja udah kayak truk gandeng, bentar dulu! Gue mau mandi dulu. Badan masih bau kecut gini mau diajakin ke acara arisan! Sinting lo?”
“Astagaaaaa! Saya kira kamu udah siap-siap!”
Aku tidak mempedulikan kemudian melenggang, tapi herannya Dimas masih mengekor.
Lah udah kayak anak ayam ini bocah!
“Eeet! Eet! Mau kemana lo?”
Dimsun Neraka mengedik bahu acuh sambil menjawab santai, “Barangkali kamu butuh bantuan buat gosokin punggung, saya siap.”
Seketika aku melongo. “Gimana?!”
“Bercanda, saya tunggu di mobil.” Dan sebelum aku sempat bereaksi apapun Dimas sudah meraup wajahku dan mencuri kecupan di puncak kepalaku, kemudian ia melepas begitu saja dan melenggang keluar meninggalkanku dengan kesyookan di wajahku.
Ba, bangkeeeeeek!! Apa-apaan itu?!

TBC 😅

Just Prologue

23 April 2020 in Vitamins Blog

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

….Li…

L… Li.

“Lili!!”
Seketika gadis itu terjaga, gelap segera menyergap pandangannya. Matanya bergulir liar guna mencari sosok si pemilik suara yang memanggilnya, namun tidak ada orang lain di sana. Hanya ada dirinya sendiri, terbaring di ranjang sempit dalam rumah kayu itu. Suara angin musim dingin bergumuruh dari jendela kecil di salah satu sudut, membawa serta salju yang akan menggunung keesokan harinya.
Mimpi itu lagi.
Gadis itu kembali membaringkan diri, berusaha kembali memejam. Malam ini udara lebih dingin dari sebelumnya, mungkin karena badai di luar sana. Dirapatkannya sehelai selimut kesayangannya dan gadis itu kembali memejam.
Li…li.”
Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Seolah-olah suara itu berbisik di telinganya. Terkesiap, gadis itu kembali terduduk, napasnya memburu. Suara itu bukan khayalannya, bukan mimpi, namun menang ada seseorang atau sesuatu yang memanggilnya dari kejauhan. Langkah-langkah lebar dari balik pintu dan ketukan halus menyentak gadis tersebut dari lamunannya.
“Lyra,” itu adalah suara ayahnya.
Lyra beranjak membuka pintu. Di sana, ayahnya sudah berdiri dengan air muka serius. Bukan berarri Lyra belum pernah melihat ayahnya serius, hanya saja dilain situasi ayahnya tidak pernah sekaku ini, maka ia simpulkan ada satu hal yang benar-benar mendesak.
“Ada a….”
“Pergilah ke Kuil Barat, temui pendeta Kung,” sergah sang ayah.
Lyra yang kebingungan tidak merespon, setelah mimpi anegnya sekarang ia dihadapkan oleh sikap aneh ayahnya. Setelah beberapa detik, barulah Lyra merespon ucapan ayahnya. “Kenapa aku harus pergi ke sana, ayah?”
Dengan tidak sabaran, sang ayah menerjang masuk ke dalam kamar, mengambil segelai selimut dari dalam lemari kayu milik anaknya. Selimut itu bertekstur halus dengan motif unik yang jarang ditemui di negeri manapun. Itu adalah selimut milik mendiang istrinya.
“Dia tahu apa yang harus kau lakukan. Bergegaslah, badai akan segera berhenti. Tidak ada cukup waktu untuk menjelaskan semuanya padamu. Tengah malam nanti kau akan menginjak usia matang untuk dipanen….” dengan buru-buru ia berikan kepada puterinya yang kemudian diseretnya dari kamar menuju lantai bawah.
“Dipanen?”
“Aku yakin mereka tidak akan menunggu hingga fajar datang untuk mengincarmu….”
“Mengincarku? Siapa?”
“Jika kau betremu dengan Pendeta Kung, maka katakan ini padanya ‘mereka yang lahir di antara dua bulan merah, akan menjalani takdir yang telah digariskan. Dua mata uang beradu, kematian, kesedihan, putus asa akan terjadi dimana-mana. Namun cahaya itu tidak akan padam.'”
Lyra ingin bertanya maksud dari kamilat yersebut ketika mereka sampai di istal kecil milik mereka, semua kuda pejantan ternyata sudah di siapkan oleh ayahnya. “Dia akan mengantarmu.” Kuda tersebut milik ayahnya, Lyra tidak pernah dibolehkan menunggang kuda tersebut. Ia hanya boleh merawat dan mengajaknya merumput. Namun, setelah ayahnya mengijinkannya menunggangi Satgi–nama kuda tersebut–Lyra merasakan senang dan waswas.
Lyra mengulurkan tanyannya pada cuping hidung Satgi yang serta merta diendus oleh kuda besar itu dan meringik senang. “Badai segera berhenti, beriaplah.”
Lyra segera memakai manterl selimutnya. Ia bergegas menunggang Satgi, menarik kekang kendalinya hingga kuda itu meringik dan menghentakkan kepalanya. “Sebelum aku pergi, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Katakan.”
“Sebenarnya apa yang terjadi? Apa maksud ayah dengan orang-orang yang mengincarku? Siapa mereka dan dari mana? Lalu apa yang akan terjadi kalau aku tetap bersama ayah?”
Ayahnya sejenak diam, pandangannya melambung pada salju yang berhampuran di luar istal. Gemuruh angin meredam suara apapun, namun di dalan Lyra masih bisa mendengar suara lirih ayahnya.
“Kau akan menemukan semua jawaban pertanyaanmu nanti,” ucapnya.
“Kapan? Besok?”
“Saat kau sudah berada di tempat yang aman, Pendeta Kung akan memberitahukan segalanya.”
“Kenapa bukan ayah?”
Ayahnya menggeleng. “Ayah tidak bisa.”
Lyra tidak memaksa lagi setelahnya. Badai di luar sudah mulai reda, pria tua tersebut memandu Satgi keluar istal.
“Bagaimana dengan ayah?”
“Ayah akan baik-baik saja di sini, pergilah. Pergi, sebelum makhluk-makhluk itu menemukanmu.”
Satgi meeingik begitu pria tersebut menepung bokongnya dan kuda itu melesat cepat menuju ke arah barat, ke dalam hutan rimbun nan gelap. Dari punggungnya, Lyra mengamati ayahnya yang perlahan manjauh dan menghilang begitu ia masuk lebih dalam ke dalam hutan.

***
Badai sudah berlalu, namun salju yang turun masih membuat mata Lyra pedih. Hutan menjelang tengah malam terasa mencekam, bayangan-bayangan hitam yang sebenarnya adalah pohon sempat membuat Lyra mengigil ngeri, ia sudah pernah masuk ke dalam hutan berkali-kali bahkan jutaan kali. Namun Lyra tidak pernah tahu bahwa hutan menjelang tengah malam bisa memiliki suasana semagis ini.
Satgi terus dipacu melewati jalanan setapak menuju kuil Barat. Perjalanan terasa mudah sebelum suara-suara aneh dikepalanya muncul kembali. Kali ini lebih riuh, seolah-orang ada banyak orang yang memanggilnya namun dengan suara yang sama, cara pengucapan yang sama, yang diakhiri dengan desah menyiksa.
Li.
Li…li.
…Lil….
Lili.
Lili.
Lili.
Lyra mengeleng kepalanya berharap mampu menghilangkam suara-suara yang mulai menyakitkam di kepalanya. Sementara Satgi terus memacu kakinya di atas permukaan salju.
Dari sudut matanya, Lyra menangkap bayangan besar melintas di atas kepalanya. Ia mulai merasa bahwa ia memang tengah diawasi sesari tadi.
Makhluk-mamhluk penghuni hutan. Pikirnya.
Lyra semakin memacu Satgi lebih kuat, membuat kuda jantan itu meringik. Dari balik rimbunan pohon, gadis itu bisa melihat puncak-puncak kuil yang berdiri di atas bukit, hingga ia hampir mencapai kuil, Lyra masih tidak tahu apa yang harus dilakukannya.


Sesampainya di kuil, Lyra segera berlari ke pintu utama. Pintu besar itu tertutup rapat, digedornya pintu tebal itu dengan tangannya yang telanjang. Berharap penghuni di dalam mendengarnya.
“Pendeta Kung! Pendeta Kung! Tolong buka pintunya!”
Setelah beberapa kali mengetuk akhirnya pintu dibuka, yang keluar adalah seorang pria tua plontos dengan sebuah mantel tebal. Ia tersenyum ramah dan tanpa mengatakan apapun mempersilahkan Lyra masuk.
“Ayah bilang aku harus menemuimu, sebenarnya apa yang terjadi?”
Pendeta tua tersebut tidak langsung menjawab, sementara air mukanya berubah. “Apa yang dikatakan ayahmu?”
Lyra mengulang pesan ayahnya tanpa terlewatkan. Gadis itu menduga ini semacam kode rahasia yang hanya bisa dipahami oleh kedua pria tersebut, karena sejurus kemudian raut wajah pendata tersebut betubah luluh.
“Oh, anakku. Ini adalah permulaan,” katanya kemudian, lalu ia mengenggam tangan Lyra dengan sayang, “Kau akan menjalani takdir yang berat. Dua sisi dunia menginginkanmu, pertumpahan darah akan terjadi dimana-mana, dan takdirmu harus memilih di antara keduanya.”
“Apa maksudnya?”
Pendeta itu berubah serius. “Ada makhluk-makhluk diluar sana yang mengincarmu, salah satu pemimpinnya menginginkanmu. Satu dari yang lainnya menginginkan kematianmu, karena kelak kau akan melahirkan keturunan yang mampu mengubah dunia. Lyra, kau adalah yang terpilih.”
Lyra semakin tidak mengerti dengan penjelasan sang pendeta. Ia ingin mengatakam sesuatu namun diserga dengan tidak tanduk si pendeta. “Tidak ada waktu lagi! Mereka tengah. Berlomba mendapatkamu, aku yakin salah satunya sudah mengikutimu sedari kau keluar dari rumah. Malam ini, ketika usiamu menginjak usia tuai, penghalangku tidak lagi berguna. Sebelum semuanya terlanjur sia-sia, lebih baik aku mencobanya. Ikuti aku.”
Makhluk itu sudah mengikutinya? Itu berarti bayangan makhlum hutan yang ia liat dati adalah sosok yang mengikutinya.
Mereka memasuki kuil lebih dalam, suasana kuil lebih mencekam daei biasanya, lorong-lorong yang mereka lalui hanya diterangi oleh lilin-lilin, mereka berjalan berbelok-belok, menaiki tangga, hingga mereka sampai di puncak teratas kuil. Di ruangan itu dirlukis lingkaran besar di lantai, tepiannya bertuliskan aksara kuno yang tidak dapat di baca. Lilin-lini juga menyala di ruangan tersebut, seperti sengaja disiapkan sebelumnya.
“Ini adalah mantra perlindungan, berratus-ratus tahun yang lalu menjadi senjata ampuh ketika para makhluk itu datang. Karena Mantra perlindunganku sudah tidak lagi mempan padamu, maka aku harap ini mampu menghalangi hawa kehadiranmu. Apa kau siap?”
Lyra yang masih bingung hanya mengangguk, kemudian dibimbingnya gadis itu untuk memasuki lingkaran tersebut. Kemudian pendeta tersebut membacakan sesuatu yang belum pernah Lyra dengar, rentetan kalimat itu seketika memunculkan cahaya dari tulisan-tulisan kuno disekitar lingkaran, mengelilingi Lyra hingga tercitpa cahaya yang membentuk setengah lingkaran.
“Ingat ini Lyra, jangan pernah keluar dari lingkaran ini, sekalipun terjadi hal yang buruk pada siapapun di depanmu, jangan pernah keluar dari mantra perlindungan ini! Kau paham?”
Lyra mengangguk paham.
“Kurasa makhluk itu sudah memasuki kuil, aku harap mereka tidak mengganggu anak-anak. Akan sangat menyulitkan jika semua orang terbangun dan menimbulkan banyak masalah.” Sebelum pergi pendeta Kung sempat menoleh pada Lyra, wajahnya yang berkeriput sempat mengulas senyum, “Kau akan baik-baik saja setelah semua ini berakhir. Hanya mereka yang berjiwa suci yang pantas mendapatkanmu.”
***

Badai tengah berlangsung begitu ia turun, benda-benda dingin yang turun dari awan kelabu bercampur angin berkeliaran membabibuta.
Ia mendarat pada salah satu cabang, memperhatikan sebuah rumah kayu yang ada di tepi hutan. Sayap besar nan gelapnya menekuk membentuk kubah guna menghalau badai, sementara matanya nan merah darah tertuju pada salah satu jendela kayu. Jiwanya merasakan tanda kehidupan di sana, tengah tetlelap sementara badai mengamuk di luar. Meski bedigu, aroma manis yang samar masih tercium oleh indranya. Aroma manis nan menggoda ini akan mesakin kuat begitu menjelang tengah malam, aroma tersebut dimiliki oleh seorang gadis yang tengah terlelap itu. Esok usia gadis itu menginjak masa tuai, sudah wakrunya ia menjemput gadis itu dan membawanya, sesuai janji yang telah terjalin berratus-ratus tahun yang lalu.
Makhluk itu meiupkan sesuatu, kemudian seberkas serbuk keemasan melayang menyeberangi badai, hingga sampai pada jendela kayu nan gelap di bawah sana. Ia merasakan penghuni kamar tersebut terbangun, merasakan jantung si mangsa berdepar kuat membuat makhluk tersebut tersenyum senang. Sepeeri seekor singa yang menunggu buruannya keluar dari sarang.
Tak berapa lama badai perlahan mereda, hanya ada sedikit angin dan salju yang turun tetap seperti hujan. Ia melihat istal yang terbuka, tidak lama muncul seorang gadis berlari menunggang kuda menuju hutan.
Makhluk itu tercenung, jantungnga berdebar amat kencang. Itukah makhluk yang mengeluarkan aroma manis ini? Gadis yang menunggang kuda itu? Pengantinnya? Tanpa berpikir panjang ia mengepakkan sayap besarnya mengikuti jejak gadia itu memasuki hutan. Aroma manisnya bertambah kuat ketika ia lebih dekat dengan gadis tersebut.
Begitu fokusnya ia samapi tidak sadar dengan kehadiran makhluk lain di sekitarnya. Hampir-hampir ia terkena anak panas yang melesat dari sisi lain, untung saja ia sempat menampiknya. Ia menoleh dan mendapati makhluk lain itu.
“Astaga, aku tidak menyangka yang turun tangan kali ini adalah sang penguasa kegelapan sendiri, tuan Azka.”
Azka tidak menanggapi, terkesan tidak peduli dengan ocehan makhluk bersayap seputih salju di depannya ini.
“Apa yang kau lakukan di sini, Iyzac?” tanga Azka pada akhirnya.
Makhluk nermana Iyzac itu mengernyit alis. “Harusnya aku yang bertanga, ‘apa yang kau mau’ dari gadis itu?”
“Itu bukan urusanmu.”
“Jangan coba-coba kau menyentuh gadis itu dengan tangan kotormu. Atau aku sendiri yang akan memberi pelajaran padamu.”
Azka tidak gentar dengan ancaman tersebut, ia malah menyeringai menantang. “Coba lakukan kalau kau bisa, tuan Iyzac.”
Azka menjatuhkan diri kemudian melesat masuk ke dalam jugan, Iyzac yang terkejut mengikuti Azka di belakang. Mengejarnya sampai ia tidak bisa menyaingi kelincahan Azka dan kehilangan jejak. “Sial!”
“Iyzac!”
***

Gadis tersebut masuk ke dalam sebuah kuil, Azka tahu itu untuk perlindungan. Namun sia-sia saja jika gadis itu berusaha bersembunyi. Ini sudah masuk masa tuainya, dan Azka akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan gadis tersebut, termasuk mengotori tangannya dengan darah sekalipun.
Azka hendak meluncue kebawah begitu sebilah pedang menodong lehernya. Mata merah darah Azka melirik pada si pemilik pedang dengan menuh ancaman. “Singkirkan pedang busukmu dariku, Zurric.”
Pria bernama Zurric itu malah tersenyum, tidak tampak ketakutan dengan ancaman Azka. “Ya ampun, apa itu sambutan dirimu untuk kawan lamamu, Azka?”
Azka menggeram. “Apa maumu?”
Zurric mengedik bahu acuh. “Hanya ingin memberu tahu, jangan pernah berpikir untuk membawa Eve ke sarang yang kau sebut istana itu.”
“Dan kau sebut apa istanamu itu? Sarang burung raksasa?” Sebilah pedang telah tergenggam di tangan Azka, pedang berwarna hitam pekar, berbilah tipis dan bertahtakan rubi merah darah di pangkal pedang membuatnya pantas di sebut pedang kematian.
“Sungguh aku tersanjung.”
***
Lyra mengigil, hampir satu jam ia menunggu di sana. Malam ini lebih dingin dari malam sebelumnya, seolah-olah ada hawa lain yang menyelimuti tempat tersebut. Gadis itu memeluk dirinya sendiri berharap mendapat kehangatan lebih.
Pendeta Kung mengatakan bahwa ia tidak boleh keluar dari lingkatan mantra perlindungan, meski dunia sedang berperangkun mantra perlindungan akan tetap melindunginya. Namun Lyra penasaran, apa yang sebenarnya terjadi di bawah sana? Apa yang terjadi pada dirinya? Lyra ingin tahu.
Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pikirannya seolah-olah ingin meledak. Ia menginginkan jawaban. Terbesit dalam pikirannya untuk keluar dari lingkaran cahaya tersebut, namun ia kembali dengan peringatan pendeta Kung.
Sebuah ketukan halus menyadarkan Lyra dari lamunannya, ia menoleh pada pintu kayu besar yang tertutup. Terdengar suara lirih seorang pria tua dari balik pintu.
“Lyra, apa kau masih di dalam?”
Lyra tidak langsung menjawab, gadis itu. Berdiri dengan waspada. “Y, ya!” sahutnya serak.
“Apa kau bisa membantuku membuka pintu ini? Makhluk itu mengejarku dan tanganku terluka. Harol sedang menghadapinya. Bisa kau bantu aku membuka pintu?”
Lalu tanpa curiga lagi, Lyra yang didorong rasa manusiawi ia bergegas menuju pintu, sempat ragu sebelum akhirnya kakinya melewati belenggu cahaya dan seketika itu juga lingkaran cahaya tersebut menghilang. Gadis itu takjub sekaligus menyesal. Ia segera membuka pintu tersebut yang sama sekali tidak dikunci, bahkan lebih ringan dari dugaannya.
Begitu pintu terbuka, yang berdiri di sana buka lah pendeta Kung. Melainkan seorang pria berbalut baju putih bersih, tubuhnya jangung, sebuah pedang terselip di pingganya. Yang membuat Lyra tercengang adalah dua buah sagap seputih salju juga wajah si pria yang tampan rupawan. Jenis ketampanan yang tidak akan pernah ditemui di negeri manapun.
Sayang, wajah dan semua keindahan itu sirna dengan tatapan dingin nan menusuk dari si pria, bibirnya mencibir dan menyindir.
“Aku tidak menyangka jebakan seperti ini ampuh.”
Dapam sekejap tangan-tangan besar pria tersebut mencengkram lengan Lyra, gadis tersebut meronta-ronta minta dilepaskan.
“Lepaskan!”
“Tidak secepat itu, tidak sebelum aku menuai jiwamu.” Tiba-tiba sebilah pedang sudah digenggam oleh si pria, membuat gadis tersebut menggigil ketakutam.
“Lepaskan aku, aku mohon!”
Namun pria tersebut tidak menggubria, ia malah mengayunkan pedang tanpa diperingati. Lyra mengigil namun tidak bisa bergerak, ruaranya mendadak menghilang dan yang bisa ia lakukan hanya memejam mata, sementara hatinya terus merapat doa dan memohon pertolongan pada dewa, “Dewa kumohon lindungi aku.”
Tiba-tiba terdengar ledakan di belakang Lyra, suaranya menggelegar. Ledakan tersebut menghancurkan dinding kuil, segala materialnya berhambiran di mana-mana. Lyra yang tidak siap dengan ledakan tersebut hanya mambu bertelungkup melindungi kepalanya dengan kedua lengannya. Sebuah batu sempat mengenai wajah dan tubuhnya yang sekarang terasa nyeri. Selain debu dan batu, udara menjadi amat dingin di kulit Lyra, benda-benda putih pun ikut masuk ke dalam kuil. Salju.
“Sudah aku peringatkan kau, untuk menjauh dari pengantinku!”
Lyra tertegun dengan suara fameliar tersebut, matanya bergerak ke arah pria yang sempat mencengkram lengannya. Ia terkejut ternyata lria tersebut jatuh terlentang, bahu sebelah kirinya terluka, darah segar mengalir dari luka tersebut.
Lyra tertegun, tubuhnya semakin bergetar. Ia mendengar suara langkah-langkah kaki di balik tubuhnya. Sosok itu tengah berjalan ke arahnya. Lyra menoleh penuh ketakutan, wajahnya pucat takut-takut ia akan menjadi korban berikutnya. Namun begitu ia menoleh dan melihat sosok tersebut ia tercengang.
Seorang pria berjubah gelap, dengan sayap segelap malam, tanduk di atas kepalanya tampak runcing dan berbahaya, matanya menyalang merah, dan sebuah pedang berlumur darah di sebelah tangannya. Darah segar.
Siapa yang baru dia bunuh?
Lyra semakin ketakutan, ia berusaha melarikan diri, sayang kakinya mendadak lumpuh. Jadi ia berusaha mundur atau merangkak menjauhi pria yang sekarang benar-benar mendekatinya.
“Ku-kumohon jangan bunuh saya.” Lyra setengah menangis ketika memohon pada makhluk yang entah apa jenisnya ini.
“Membunuhmu? Ya mungkin aku akan membunuhmu.”
Lyra menjadi semakin pucat pasih dan hampir-hampir menangis.
“S-saya mohon tuan, jangan bunuh saya.”
Pria tersebut terkekeh geli, sementara bagi Lyra yang mendengarkan malah terkesan mengerikan. Sebuah sentuhan dingin di pipi Lyra membuat gadis tersebut beringsuk mundur, sayangnya punggungnya membentur dinding, alhasil ia terjebak.
“Jangan takut,” sergah makhluk tersebut. Sekarang ia tengah berlutut di hadapan Lyra, jika boleh jujur. Sosok di depannya ini tidak kalah tampan dengan sosok sebelumnya, malah lebih rupawan, garis wajah yang tegas, mata yang semula merah menyala sekarang berubah menjadi gelap, tanduk yang semua sama mengerikannya sekarang hanya berupa gundukan kecil di atas kepalanya, sayap gelapnya terlipas sempurna, tubuhnya atletis, dengan otot-otot di bagian yang pas.
Dari balik tubuhnya, Lyra bisa melihat rembulan selepas badai, cahayanya jatuh menimpa mereka, kemudian salju yang enggan berhenti menambah kesan magis pada pria tersebut. Lyra kembali tersedar begitu pipinya di sentuh untuk kedua kalinya oleh sosok di depannya. Pria itu menangkup pipi Lyra dengan penuh kelembutan, sebuah senyum sabar terukir dari bayang-bayanynya, membuat Lyra terpesona.
Kemudian seolah mengucap sebuah mantra tidur, pria tersebut mengatakan, “Aku datang menjemputmu, Lili … Istriku.”

 

P.s

Yo yo yo

Wkwkwk, ini cuman selingan selama mencari si Arivah yang lagi kena PSBB 🤣 Arivah libur panjang jadi enggak mau keluar, akhirnya keluar dah prolog ini. Keknya sih cuma unek-unek autor aja dah. Jadi, mon maap gak gak jelas, gak nyambung dan gak banget buat dk terusin #yaemanggakditerusinsih 😅😅

Oke, geish, tetap jaga diri kalian. See yeaaaah 🤣

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Bucin vs Julid

1 April 2020 in Vitamins Blog

22 votes, average: 1.00 out of 1 (22 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Halo semua, maaf lama dikarenakan Arivah yang baru keluar dari goa setelah menyepi 😅 Mohon maap nih ya ceritanya agak halu, typo, ngaco, dan gak masuk akal #banyak bacot lo, tor! Oke, oke, selamat menikmati cerita abal-abal saya lagi 😂

Ironi itu; ketika lo mau bilang ‘I love U’ ke gebetan, tapi doi duluan bilang ‘you’re my bestfriend’ kan ngenes. Belum apa-apa udah gugur bunga duluan.” @ A_Inay

“Gathering kemana nih gathring?” sindir Jeje di satu siang.
“Eh iya gatheringnya kemana sih kita?” timpal Kayla.
“Vah, lo kan pelaksana kok diem-diem aja sih?” colek Hanin yang entah sejak kapan selalu ikut dalam acara ngerumpi kami.
“Ih, kok gue sih? Kan gue udah copot jabatan, sekarangkan pelaksananya mba Sri. Ya, lo tanya lah ke mba Srinya.”
Jeje memutat bola mata, jengah. “Ya elah, gue mau nanya gimane orang mba Sri kerjaannya enggak cuma di kantor aja.”
“Ya doi kan anak marketing ya wajarlah.”
“Ya udah elo tanya ke bos gih,” titah Kayla.
Aku melotot. “Iiiih ogah! Siapa yng ngebet liburan, malah gue yang repot.”
“Eh buset ini anak ngegas amat ya, santai aja napa? Kek gue nyuruh elo cipok si bos aja.”
Aku melempar bekas tisu pada Kayla dengan sebal. “Muluuut tuh mulut ya.”
“Vah,” seketika suasana menjadi senyam begitu si dedemit muncul dibelakang. Jeje sok sokan sibuk, Kayla mentengin komputer–padahal aku tahu dia sedang mengclose halaman olshop dan youtubenya, Rayhan ngumpet di bilik Gisya–berpura-pura membantu si doi padahal modus mau mendekati, dan aku?
Jadi patung arca, remah-remah stupa Prambanan.
“Kamu yang nyiapin konsumsi ya,” lanjutnya tiba-tiba.
Aku yang mendadak dititah tanpa tahu apa-apa mendadak hilang fokus, alhasil mengeluarkan kebegoanku. “Eh? Gimana?”
Si empunya titah mengembus napas kemudian mengulang titahnya. “Kamu saya tunjuk jadi seksi konsumsi selama kita di Semarang nanti.”
“Kita ke Semarang, Pak?” celetuk Jeje.
“Kenapa enggak ke Timur saja? Liat yang ijo-ijo kayaknya seger,” Rayhan yang memang sudah pasang telinga ikut menimpali.
“Cuaca kayak gini enaknya ke pantai, Lombok kek,” Hanin ikut-ikutan voting.
Oke guys, kalo gue boleh milih, gue mau tidur di rumah aja. Leye-leye sambil nonton anime.
“Kok kamu enggak ikutan?” tanya si bos kalem.
Aku mengernyit heran, pendapat gue penting banget emang? Udah ditentuin ngapain komplain. Aku mengedik bahu acuh. “Kalo saya dikasih waktu tiga hari buat libur, daripada kemana-mana mendingan tidur.”
“Duuh, pak Dimas gimana sih? Arivah ini kerjanya emang tidur sama main game, Pak. Mana paham dia soal liburan, yah, sebenernya ada acara kayak ini bagus juga buat Iva kembali ke habitat alaminya,” seloroh Jeje sambil cekikikan.
“Maksudnya gimana?” sungutku.
“Eh, tapi hasil jepretan lo bagus, Vah. Lo jadi seksi dokumentasi aja. Nanti elo ikut gue aja, biar gue enggak ribet nyariin elo kalo gue minta difotoin.” Rayhan memaikan alisnya.
Jeje mencibir. “Halah! Itu sih akal-akalan elo buat pencitraan di instagram!”
Rayhan tidak terlalu ambil hati hanya mengedik sambil menyeringai jenaka.
“Tapi emang sih, foto elo oke juga,” tambah Kayla.
“Apaan? Biasa aja gitu.”
“Kalo kamu tidak mau jadi seksi konsumsi,” potong Dimas, “kamu jadi seksi dokumentasi saja.”
“Eeeh, enggak-enggak mau pak!” tolakku.
Dimas mengembus napas lelah. “Jadi pelaksana enggak mau, seksi konsumsi enggak mau, jadi seksi dokumentasi juga enggak mau. Kamu maunya jadi apa?”
Aku mengerut kening. Loh kok? “Kalo ditanya jadi apa? Saya sih mau duduk di teibun penonton aja, Pak. Kalo enggak, bapak kasih aja saya libur tiga hari saya udah cukup….”
“Kalo jadi pacar saya, kamu … mau?”
Sekejap senyap. Jeje menjatuhkan mulutnya, Kayla nampak mengigit bibirnya sekuat tenaga–aku yakin dia ingin sekali menjerit, Gisya hampir pingsan, Rayhan dan Hanin juga beberapa orang yang ikut menyimak pembicaraan kami juga ikut syok. Meski begitu, si pembicara malah terlihat santai dan datar-datar saja.
Tapi satu hal yang pasti, Dimas tidak melepas tatapan anehnya dariku.
Aku berdeham untuk mencairkan suasana. “Gi, gimana … Pak?”
Dimas mengedik bahu acuh, sebelum berbalik pergi ia bergumam. “Canda kok kalian serius banget.”
Aku menjatuhkan mulut, semua orang di sana sama syoknya. Orang yang pertama sadar adalah Rayhan yang mencoba tertawa namun jatuhnya garing persis kanebo kering.
“Ha, hahahahaa, lucu ya, si bos ini.” Tetapi tidak ada yang merespon, “Eh, ketawa dong, malu nih gue.”
Kulepar Rayhan dengan pensil dari meja Jeje dan berhasil mengenai kepalanya.
“Anjir, sakit goblok!”
Aku menjatuhkan diri ke kursi dengan wajah ditekuk-tekuk. Berengsek!

***

Starbucks Tamrin adalah tujuanku siang ini, aku sudah berjanji menemui seseorang. Sempat tertahan oleh duo biangkerok akhirnya aku mampu meloloskan diri, setelah duo biangkerok si bos besar ikut-ikutan menahan yang langsung kutangkis dengan alasan kebelet, akhirnya aku bisa keluar dari kantor tanpa membawa kerjaan apapun. Enggak sia-sia gue berguru ke Ninja Hatori dan Naruto 🤣
“Sorry telat, tadi ditahan dulu sama anak-anak.”
It’s okay. Saya juga baru sampe.”
Aku menyeringai jahil. “Baru dateng kok kopinya udah abis setengah.”
Pria itu melirik kopi di depannya sebelum akhirnya tertawa. “Selera humor kamu sepertinya baik-baik saja ya, Vah.”
“Emang kemarin-kemarin kayak gimana, Pak?”
“Yudha saja enggak apa-apa, Rivah.”
Aku mengernyit dahi tidak setuju. “Enggak ah, situ kan lebih tua. Udah pantes dipanggil bapak….”
“Tapi kalo udah nikah palinggilnya ayah aja jangan bapak, nanti dikira bapak tukang parkir lagi.”
Nah, ini baru berita bagus. Bau-baunya bakalan ada undangan yang nyelip di bawah pintu kostan nih besok. “Emang bapak mau nikah sama siapa?”
Sumpah! Gue cuman iseng nanya, tapi seratus persen mau tau siapa calonnya! 😂
“Kamu.”
Syalalalalala lalalalalaaaaa
Perlu banget ya gue cek kedokter sekarang, takut-takut gula darah gue  naik gara-gara gombalan satu orang ini doang.
“Halah! Basi!”
Yudha tertawa renyah, tidak nampak tersinggung sama sekali. Salah satu pembeda Prayudha dan Dimas. Dalam kinerja Dimas paling killer tapi Yudha tidak kalah killernya, dalam sikap Yudha is nomber one dibandingkan Dimas, makanya kadang kalau sedang santai sesekali kami duduk bersama dan saling melempar celotehan. Tentu saja masih dalam batasan kasta bos dan kacungnya.
Padalah kalo Dimas di gituin, doi udah pasti lebih galak dari kucing baru lahiran.
Eh, FYI, hubunganku dan Yudha sudah perjalan kurang lebih dua mingguan. Eeets, kita cuman temen kok. Hemmn kok agak sakit gitu ya. Ya karena memang seperti itu, meski Yudha sudah jelas menunjukan ketertarikannya padaku aku tidak lantas menyambut perlakuannya tersebut. Lo bilang gue sombong juga gak apa-apa, mungkin situ yang terlalu murah 😏
“Gimana kerjaan, Vah?”
“Alhamdulillah yah, sesuatu.” Yudha tertawa lagi. Ini orang sejak kapan sih doyan banget ketawa gitu, perasaan pernyataan gue enggak ada lucu-lucunya dah.
“Bos baru kamu … enggak nyusain kan?”
Duuuuh, perlu banget nih gue jawab pertanyaannya?
“Jawab jujur apa bohong nih, Pak?”
Yudha tertawa. “Senyaman kamu saja.”
“Kalo nyaman mah namanya pak Yudha. Eeeeh….”
“Duuuh saya yang baper nih.”
Lah noh! “Kalo ditanya nyusahin apa tidak, jawabannya universal kok, Pak. Namanya kerja ya udah pasti kurang enak kalo bos tidak mau nyusahin anak buah, yang ada anak buahnya kurang kerjaan, terus ngapain kerja kalo gitu, kan?”
“Kalo saya nyusahin kamu tidak?”
Aku menatapnya dengan kepala miring dan mata menyupit. “Sebelas dua belas lah.”
“Tapi kamu tetap nomor satu buat saya, Rivah.”
Dududuuu, Tuhan! Sentil ginjalku sekarang!!
Aku hanya tertawa tidak menanggapi. Makananku datang setelahnya–well, siang ini aku mendadak jadi orang sehat dengan lucnh box dari Starbucks berisi dua potong sandwich ditambah sahuran mentah dan setengah potong buah. Menunya aja yang sehat tapi perut dan kantong gue yang gak sehat sekarang.
“Kamu kenyang makan begituan?”
“Ha? Gimana?”
Nah ini, orang kalo laper mendadak budek, tapi giliran udah kekenyangan jadi bego.
Yudha menunjuk dengan dagunya. “Makanan segitu kamu kenyang?”
“Ke, kenyang kok, Pak.” Di kenyang-kenyangin aja lah.
“Serius?”
“Iya, beneran deh. Bapak sendiri enggak makan, minum kopi doang emang kenyang?”
“Sebelum ke sini saya udah makan.”
Tau gini tadi gue beli nasinya mang Ohim aja biar kenyang.
Sementara aku berusahan menikmati makan siangku yang … sudah habis sebelum sepuluh menit, Yudha tengah sibuk dengan ponselnya. Aku baru memakan baby carrot ke duaku, rasanya manis sedikit tawar. Heran, kenapa kelinci iconik banget sama wortel. Padahal dia makan rumput sama pakan instan.
“Saya enggak tahu kalo manusia bisa berevolusi jadi kelinci dalam hitungan jam.”
Aku serta merta menoleh dan kudapati Dimas yang bersandar di pagar pembatas dengan ice coffee di tangan.
“Elo udah dateng, Dim? Cepet amat?”
Aku melotot pada Yudha di depanku lalu beralih lagi pada Dimas yang sekarang tidak lepas menatapku. Ukh, sometimes gue pikir doi bikin gue deg degan kalo udah melotot kek gitu. Salah-salah gue dimakan sama dia.
“Niatnya enggak mau cepet-cepet, tapi mobil gue larinya kekencengan jadi dateng di sini kecepetan.”
Alesan macem apa coba?! Mobil mana yang lari woi, manusia?!
Dimas duduk di sebelah Yudha. Fix, sekarang gue udah kayak lagi interview sama mereka.
“Kenapa kamu? Kayak belum pernah liat orang ganteng aja.”
“Idih! Siapa yang liatin bapak? Geer banget.”
“Gimana kerja sama Rivah? Jangan liat sikapnya yang selengean. Gini-gini Arivah tuh bisa diandelin.”
Dimas mencibir. “Ya, bisa diandelin buat bikin ribut jagat kantor.”
“Yeee, yang bikin ributkan Jeje sama Rayhan, Pak. Bukan cuman saya, saya mah diem aja.”
“Ngeles aja kamu kalo dibilangin.”
Yudha tertawa. “Tapi rame kan kalo ada Rivah? Awal-awal berisik, lama-lama jadi asyik. Jadi suka sepi kalo gak ada dia. Saya kalo di kantor jadi inget kamu terus.”
“Kangen itu tuh, Pak,” celetukku.
“Aduh, iya kali ya. Ketahuan deh.”
Gue tau si Yudha ini ngebucinin gue terus, tapi gak blak-blakan kayak gini juga. Dibucinin secara live gini bisa-bisa gue keok di tempat.
Aku tertawa renyah untuk menutup kegugupanku, mataku sempat berseloroh dengan Dimas yang sedari tadi memperhatikan kami tanpa berkomentar. Aku serta merta menghentikan tawa.
“Udah ketawanya?”
Aku mengangguk tanpa berkomentar, suaraku hilang dan tenggorokanku kering setelah tertawa.
“Eh, lo udah nyobain kopi buatan Rivah belum?”
Dimas mengedik bahu tidak berkomentar dan sekarang matanga tertuju pada layar laptopnya.
“Sekali-kali lo musti ngicipin kopi buagan Rivah. Enak rasanya, enggak kalah sama kopi buatan cafe.”
“Masa sih?” komentar Dimas acuh.
“Beneran.”
“Enggak ah, Pak,” timpalku.
“Elo aja kali yang lebai, jadi gitu.”
Julid amat sih ini orang, enggak suka benget ada orang seneng tuh. Heran deh, kebanyakan julid jodohnya seret lo baru tau rasa!
Sebelum Dimas mengalihkan segala pikirannya pada kerjaan, ia sempat bergumam, “Tapi, tartlet buatan kamu enak … walau sedikit gosong.”
Dimas bergumam sangat halus, seolah-olah hanya aku yang mendengarnya. Diakhiri dengan tatapan aneh dan senyum menyebalkan but … shit! Gue gak bohong dan lebay, dia menis banget kalo gitu!!!!
Aku meraih minumanku untuk menutupi kegugupanku. Sialan-sialan! Gue yang keok cuman disenyumin doang?! Lemah banget sih lo, Vah!!!

***

“Vah, dipanggil tuh sama si bos tertjinta.”
“Duuh, Jeee. Pantat gue baru nyampe ujung kursi doang udah suruh berdiri lagi? Enggak bisa napa doi sekali-kali ngapelin gue gitu ke sini, perasaan kerjaan gue ngapin bos besar mulu dah?”
“Ngarep lo! Lo jadi pacarnya si bos dulu baru diapelin! Lah ini, lo masih jadi remah-remah roti, bos mana liat lu oi manusiaaa.”
FYI, ya Jee. Gue enggak makaud aombong nih ya. Gue … sebenernya pacarnya si bos! Tapi enggak pernah tuh gue dapat perlakuan manis dari si bos! Gue terus malah yang rugi! Well, fake girlfriendnya sih.”  Ingin kuberteriak seperti itu, tapi kupikir tidak bijak, nanti malah ribut sekantor.
“Udah sana, kesian bos udah jadi Lutung, kali aja pas ketemu elo udah jadi pangeran.”
“Cuih! Pangeran matamu soak!”
Aku bangkit dan tidak menghiraukan guyonan Jeje lagi. Kuketuk pintu tiga kali sampai kudengar suara si bos dari dalam. Kudapati Dimas sedang (sok) sibuk membolak-balikkan (takdir) kertas.
Lima menit aku berdiri, diacuhkan oleh si bos. Akhirnya aku berinisiatif memancing keributan eh maksudnya perhatian eeeh bukaaaan maksudnya mengintrupsi, nah baru bener.
“Ekhm!”
Bos masih budek. Oke.
“Ekhm, khmmm.”
Si bos masih menulikan diri. Oke sekali lagi.
Kali ini aku sengaja mengeraskan suara. “EKHMMMN!”
Tapi masih tidak digubris. Fix! Si bos dungu nih atau dia emang telinganya lagi di servis. Oke, Vah! Coba sekali lagi, kalo si bos masih ngacangin elo, fix lo tonjok aja muka gantengnya, eeeeh!
“Duuh! Pegel, baru juga istirahat sekarang malah suruh nunggu lagi. Lama pulak, udah kayak nunggu jodoh a….”
Aksiku berhenti setelah kepergok Dimas yang sudah mencampakan kerjaannya dan sekarang tengah memangku wajah dengan sebelah tangan, menyaksikan akting murahanku.
Sialan! Dari kapan dia ngeliatin gue kek orang sange sendirian? Anjiiir, jijik banget gue ngebayanginnya.
“Kok berhenti? Saya mau liat kelanjutannya.”
Anjiiir! Gue mau nguburin diri nih, dimana ya?
“Pertunjukannya udah kelar, Pak.”
Dimas mendengus. Ngejek gue lo?! Kemudian seperti kebanyakn bos pada umumnya, inilah momen turunnya titah bos pada kacungnya.
“Buatin kopi buat saya.”
Gue salah denger kan yak?
“Gimana, Pak?”
Dimas menatapku dengan muka selempeng tol Kanci. “Buatin saya  K.O.P.I.” Dimas mengeja bagian akhir seolah-olah aku tidak paham artinya.
Aku mulai naik darah. “Saya tau, Pak. Maksud saya….”
“Tidak pakai kopi instan, pakai yang di toples khusus. Kalau tidak tahu, tanya mang Ohim. Kopinya cukup dua sendok makan, airnya 250 mili, suhunya air 65 derajat, gulanya dua sendok teh aja, dan susunya seper empat cangkir. No susu saset, pakai susu kotakan yang full cream not lowfat. Kalau tidak ada beli dan tidak pakai lama.”
Aku mendadak hilang ingatan mendengar semua rentetan resep kopi ala Dimas. What the….
Aku masih diam selama lima menit sebelum Dimas kembali mengintrupsi. “Kenapa masih di sini? Cepetan sana.”
Aku mendadak sadar, tapi seolah disibir aku tidak memprotes apapun. Sebagai gantinya aku pergi dengan menghentak-hentakkan kaki sampai sejagat kantir ngelirik dari kubikel masing-masing, Jeje sempat menyapaku tapi kuacugkan, aku berjalan seperti orang kesurupan. Dalam hati aku terus merapal segala makian untuk satu makhluk keturunan iblis gang baru saja kutemui.
Monyet, anjing, kucing, buaya, kebo, sapi, agam, babi …. bangsaaat!!
Aku kembali ke kantor bos dalam waktu dua puluh lima menit, aura dan wajahku masih menebar teror untung semua menghuni, aku berjalan lebar-lebar, sampai kopi di atas nampan yang gubawa berguncang-guncang. Aku sempat melihat Jeje berdiri dari kubikelnya hendak menahanku namun tidak kugubris, aku terus berjalan melewati jajaran kubikel, sampai aku merasa hampir semua orang menatapku. Kusempat mendengar Jeje berteriak memanggilku, namun masih tetap kuhiraukan. Sampai di depan pintu si bos, aku langsung menerjang masuk tanpa perlu mengetuk pintu, kemudian berteriak cukup keras, “Your Majesty, pesanan Anda sudah si … ap … Ooopsss.”
Aku melihat Dimas mematapku dengan tatapan membunuhnya dan sekatika aku tahu, setelah ini aku tidak akan selamat.
Mampus kau, Vah!

TBC 😅

P.s

Buat semua, jaga kesehatan, jaga kebersihan, corona lagi main ke Indonesia. Jadi kalian mesti siap siaga, cuci tangan kalo abis pegang uang, barang, dll yang umum. Jangan lupa pake masker, pake antis, jaga pola makan. Oke 😘😘

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Tebak-Tebakan Buah Manggis

12 Februari 2020 in Vitamins Blog

26 votes, average: 1.00 out of 1 (26 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Emang bener ya, cewek cantik itu enggak pernah salah. Buktinya, doi telat aja dimarahinnya sambil senyum2. Lah, giliran gue yang telat. Marahnya udah kayak orang dendam kesumat.” @ JejeSyah05

P.s

Geish, sebelumnya mau kasih tau ya, part yang “Upsi” itu emang part lama, saya mau ambil ceritanya doang karena di arsip saya gak ada. Saya pikir bisa copy langsung ternyata mesti di edit dulu baru ambil teksnya. Nah, saya pikir gak bakalan up, tapi ternyata up juga. Jadi kalo yang bingung ‘Upsi’ itu part berapa? Dan ini part berapa? Saya kasih tau ‘Upsi’ itu part 3 dan ini part 10. Sorry, gak pake nomer karena niatnya gak bakal sepanjang ini. Tapi ternyata masih berlanjut. Makasih yang udah mau baca, vote, n komen cerita abal-abal saya ??? Happy Reading ???

“Ekhm!! Cieee yang malam minggu dicariin sama bos.”
Aku melirik tajam pada Jeje yang cengengesan ala kuda lagi chasting iklan Pepsoden. “Eh busat, muke lu nape?”
Aku hanya mencebik tanpa ada niatan untuk membalas.
“Eh, gilak! Gue dikacangin. Salah makan apa lu?”
“Yah elah, muka Ivah udah busuk dari kemarin kale, elo sih pake absen segala kemarin. Jadi enggak tau deh muka Ivah yang makin busuk pasnya liat si bos.”
“Bangkek! Enggak usah banyak bacot lu, Ray!”
Jeje menggeleng takjub. “Gila, gila. Elo diapain sih sama doi sampe berubah jadi macan galak gini?”
“Menurut elo!”
“Heran, bisa biasa enggak sih? Jan kek orang ngajak ribut gitu, lama-lama gue ikutan emosi nih,” komentar Rayhan.
“Elo lagi!” semburku pada Jeje. “Ngapain lo waktu itu bilang ke Dimas gue ada di Senopati?”
“Kok gue sih? Gue cuman di suruh! Lagian kenape sih? Sentimen banget masalah malem minggu, emangnya doi nyuruh lo ngapain?”
“Berenang malem-malem kek anjing! Anjing aja kagak mau nyentuh aer malem-malem lah gue suruh nyemplung ke kolam!” sungutku.
Baik Rayhan maupun Jeje melotot. “Seriusan?”
“TAU ah!”
“Udah biarin aja, palingan nanti pas makan siang dia bisa sembuh pake naspad,” saran Rayhan.
“Kalo gak lo coba cari pacar deh, biar ada obatnya kalo lo lagi stres gini,” saran Jeje.
“Udah, lo biarin aja dulu, daripada nanti doi makan elo.”
Setelah itu keduanya tidak lagi berkomentar apapun dan kembali pada kesibukan masing-masing. Aku masih bersungut-sungut menebar teror seantero ruangan. Bodo amat!
Ini gara-gara si monyet Dimas dan si gorila Diana!
Aku tidak menyangka Diana yang Dimas maksud adalah Diana Pramestya yang itu. FYI, kalau dilihat dari kilas baliknya, Diana memang teman–ralat, kapan gue pernah temenan sama gorila?–I mean, satu angkatan dan sekolah denganku di SMA dulu. Dari dulu Diana memang sudah terkenal jadi kembang sekolah, hampir semua anak cowok baik adik kelas, seangkatan, kakak kelas, bahkan guru PPL yang sempat mengajar kami pun tertarik pada Diana. Yah, kurang lebih dalam otak cowok-cowok itu bilang, “Lo bukan cowok sejati kalo enggak bisa naklukin dia, ya lumayan kan buat dipamerin pas lagi nongki sama temen-temen.”
Namun, Tuhan menciptakan manusia itu dengan imbang, kalau ada kelebihan pasti ada kekurangannya. Jadi, selain wajah nan cantik, seksih, mulus, putih, rambut panjang ala iklan Life Buoy, hidung mancung, semampai, kaki jenjang, bahan berisi depan belakang, senyum menawan…. Diana Pramestya adalah cewek mulut pedas nan songong, sok kaya, sok pinter, sok berkuasa, jutek tidak ketulungan, pemaksa, sok laku, dan sok sok lainnya. Intinya, Diana adalah cewek yang enggak banget buat elo yang ngerasa gini banget.
Herannya, cowok-cowok mendadak picek sampai tidak peduli dengan sifat Diana yang cacat demi kenikmatan yang hanya bisa dinikmati dengan mata mereka.
Kalo gue udah tak colokin satu-satu.
Di tahun kedua, aku satu kelas dengan Diana. Seperti kata gosip, Diana memang paling menonjol diantara yang lain, bahkan di dalam kelas itu sendiri. Kalo diibaratkan, Diana ini mutiara di atas remah-remah roti. Mulus boo, tapi awas bisa gigit.
Kalo lo tanya gimana bisa Diana sebenci itu sama gue, ya gue juga kurang paham sih itu gorila kesambet apa.
Tapi aku yakin awalnya karena kejadian di kantin ini, yang mana Diana tidak sengaja kecipratan kuah bakso yang kumakan, padahal setitik doang tapi marahnya sudah seperti disiram semangkok. Well, abis itu gue siram dia semangkok-mangkoknya sih, abis doi banyak bacot.
Yah, walau setelah itu aku dipanggil BK. Aku sih minta maaf walau yang mulai bukan aku, well, aku cukup puas melihat ekspresi doi pas aku siram di depan para fansnya. Pengen banget gue tambahin ke ember gitu loh. Tapi, sejak itu aku menjadi pahlawan bagi para cewek sekaligus musuh untuk Diana.
Bravooo, Ivah!!!
Sampai satu ketika, kami disatukan dalam satu kerja kelompok Seni Budaya. Kerja kelompok yang dilaksanakan di tempatku menjadi awal pertemuan bawang merah dengan si pangeran–cuih! Pangeran?!
Saat itu Ambar bergabung bersama kami–sebenernya, si kunyuk itu cuma ngerecokin kerjaan gue aja–Diana baru tahu bahwa Ambar tetanggaku dan ternyata doi bukan orang biasa. Lagi asik-asiknya ngerjain prakarya datanglah si Pangeran Kodok yang berhasil mengalihkan dunia Bawang Merah.
“Bar, kunci motor lo mana?”
“Buat apaan?”
“Pinjem bentar.”
“Elah, mau kemana sih?”
“Buru!”
“Ck!”
Aku sih biasa saja, meski Dimas sempat melirik ke arah kami beberapa kali.
“Tugas pak Ilham, Nay?” tanya si pangeran akhirnya.
“Hmn,” sahutku acuh.
“Oh.”
“Nih! Bensinnya tinggal setengah, sekalian lo isiin ya.”
“Mana?”
“Apanya?”
“Duitnya lah! Lo suruh gue ngisi bensin juga, ya mana?”
“Ck, pake duit lo dulu lah.”
Dimas mencibir, sebelum pergi ia sempat kembali melirik ke arah kami.
“Eh, kayaknya kertas warnanya kurang deh, Bar.”
“Ya tinggal beli di photocopy-an depan.”
“Motor gue lagi dipake sama bocil. Tunggu aja bentar lagi balik, tapi lo yang beli ya, Bar.”
“Aaaaaa!!! Itu abang lo Bar?!”
Barulah kami sadar bahwa selama kami bicara bertiga satu-satunya orang asing di sana tidak bergerak sama sekali. Ternyata dari awal Dimas masuk sampai keluar dia cuma melongo seperti baru melihat keajaiban dunia di depan matanya.
“Abang lo kuliah kan? Udah punya pacar belum? Kalo belum kenalin gue dong sama abang lo!”
Aku dan Ambar melotot syok. Gilak, sebegitu kuatnya pelet Dimas sampe si gorila tergila-gila gini.
Lima belas menit berikutnya diisi dengan sesi wawancaea Diana prihal Dimas. Sampai Dimas kembali lagi dengan membawa kantong plastik di tangan.
“Nih.” Dua pack kertas lipat terulur dari tangan Dimas.
Aku menarik sebelah alis dengan keheranan namun menerima pemberian Dimas. “Thanks.”
“Terus ini buat kalian.” Dimas kembali mengeluarkan dua botol Nutriboost stroberi dan jeruk.
“Kok cuman dua? Buat gue mana?”
“Lo kan udah gue beliin bensin, kalo lo mau minum ya sono minta ke motor lo.”
“Anjir, pelit amat lo sama gue!”
“Ma, makasih!” Aku terkejut begitu Diana berani bersuara. Yeah, ini dia Diana beraksi! Diana kembali menjadi Diana yang PeDe dan sok kecantikan.
“Sama-sama,” kata Dimas tidak sungkan menambah senyum.
“Diana.” Diulurkannya tangan mulusnya ke arah Dimas.
Aku dan Ambar diam menyaksikan drama Romeo bertemu dengan Juliet.
“Dimas.”
“Vah, lo kok gak jualan popcorn sih? Kan rame kalo nonton mereka pake popcorn.”
“Bener juga, tapi gue punyanya tai kambing, lo mau? Sama sih bulet-buletnya.”
“Itu sih lo aja yang makan, anying!”
Aku cekikikan. Semenjak itu Diana menjadi fans garis keras Dimas, dan sejak saat itupula ia gencar main ke rumah Ambar atau sekadar bertanya tentang Dimas, dan gue? Tetap menjadi musuh Diana.
Well, gue enggak peduli sih doi mau musuhin gue apa kagak, toh yang nanggung dosa dia bukan gue.

New Massage
Gonna lunch?

***

“Vah, makan kuyyy!”
“Rawon yuk, mumpung bos lagi keluar nih,” timpal Rayhan.
“Sorry, guys. But, I can’t.”
“Kenapa? Lo masih marah?”
“Enggak.”
Jeje menyipit curiga. “Hmn, bau-baunya lo lagi seneng banget. Kenapa? Abis dapet lotre lo?”
“Atau jangan-jangan lo abis nemu duit segepok di laci lo?”
“Ngawur lo!” sungutku.
“Atau lo mau pergi sama sesorang ya? Ngaku lo siapa?”
“Anjir ternyata Arivah udah gede guys.”
Aku tertawa renyah. “Apaan sih? Enggak kali.” Tapi aku tidak berhenti tersenyum.
“Eh, seriusan lo, siapa orangnya? Kita-kita kebal enggak?”
Kalo gue bilang, nanti lo-lo pada langsung strock. “Hmmn, maybe.”
“Elah, Vah. Lo jangan ngajakin kita tebak-tebakan buah manggis doang. Yang bintanya lima ternyata isinya tujuh. Mana yang dua unyu-unyu lagi, harusnya kan gak masuk itungan.” Sungut Jeje mulai kesal.
“Elonya aja yang mau dibegoi sama bocah!” sambar Rayhan.
“Lah, kan kadang suka bener!”
“Udah ah, gue ditungguin. Bye-bye fans.”
“Iyuuuuh, songong amat yang baru punya gebetan.”
Aku hanya tertawa sambil melambai tangan ala miss Indonesia.

Side Story SatNight Kacrut

“Lepas … Aaaaaa!!!”
“Aaaaaa!!!”
Byuuuuur!!!!
Kami berdua sukses jatuh ke kolam, sebagian orang yang melihat kejadian itu bergegas ke pinggir kolam, entah dengan alasan menolong, memarahi, atau sekadar menonton. Hal itu berhasil membuat suasana pesta ulangtahun tante Rita menjadi gaduh.
Good, sekarang gue jadi tontonan, besok pasti udah viral di InstaStory orang-orang dan dunia perlambean.
“Semua ini gara-gara elo!”
“Kok gue?! Elo yang nyolot ngambil cincin ini!”
“Sekarang mana cincinnya? Balikin! Itu bukan milik elo!”
“Duh ini gorila masih aja nyolot!”
“Dasar jalang!”
“Aaaa!!”
Diana menjambak rambutku dengan kencang sampai-sampai rambutku terasa lepas dari kepala. Sebelah tangan lainnya berusaha mencakar wajahku dengan membabibuta.
Gila, perasaan selama SMA dulu ini anak enggak seganas ini deh. Kok ya sekarang doi dendam kesumat gitu ke gue.
Kujambak rambut panjang Diana dengan kedua sekuat tenaga hingga ia berteriak kesakitan. Perkelahian kucin dan gorila di dalam kolam tak ubahnya menjadi hiburan tersendiri. Selang beberapa menit yang cukup lama–cukup membuat kita benar-benar basah. Perkelahian kami baru berhenti setelah si empunya acara muncul.
“Apa-apaan ini?!”
“Diana!”
Kami berdua saling melepaskan diri dan mengatur napas dengan benar.
“Om, cewek ini,” Diana menuding tepat di depan wajahku, aku tepis tangannya dengan kasar, “Dia … dia itu pencuri!”
“Eh, lo kalo ngomong jangan sembarangan, ya!”
“Gue enggak bakal nuduh kalo elo ngaku!”
“Itu sama aja!”
“Sudah!”
Kerumunan semakin bertambah ke pinggir kolam, seperti sedang menyaksikan makhluk aneh yang baru saja turun ke Bumi, tapi salah sasaran. Harusnya di darat malah nyemplung ke kolam.
“Jelaskan, Diana. Maksud kamu dia pencuri tuh apa?”
Diana melirik licik kemudian tersenyum licik ke arahku. Aduuuh, pengen banget gue colok itu mata.
“Dia itu udah nyuri cincin dari Dimas!”
“Memang kamu tahu dari mana kalo dia nyuri?”
“Duh, om, aku tuh udah tau banget cewek macam Arivah Inayati ini cuma cewek matre, dia deketin Dimas juga karena mau morotin dia kan?!”
Aku menatap bengis pada Diana yang sekarang tersenyum menang.
“Kenapa enggak jawab? Malu lo udah ketahuan?”
Aku mengedik bahu acuh. “Enggak sih, buat apa gue ngeles atau ngomentarin cerpen lo yang ala manuskrip sinetron gitu. Bagus kok karangan lo, kalo lo masih sekolah udah pasti dapet nilai seratus, eh bentar deh.” Aku bergaya ala-ala detektif sedang berpikir, “Bukannya elo emang dapet nilai seratus pas pelajaran Bahasa Indonesia? Tapi sayang lo ngambil cerita orang terus ngaku-ngaku itu cerita buatan lo, berarti elo juga nyolong, hmmn gimana dong? Kita sama-sama tukang nyolong nih.”
“Pfffft!!!”
Beberapa orang mulai berbisik dan sebagian lagi terkekeh.
Eat it, kampert!
Seketika wajah Diana berubah menjadi merah padam, antara marah dan malu yang bercampur aduk. Suruh siapa lo ngajak gue berantem?
“Sudah-sudah! Lebih baik kalian segera naik! Terus ganti baju kalian. Acaranya udah selesai.”
Kemudian beberapa orang mulai meninggalkan panggung acara–well, kolam renang–sedangkan aku berusaha berjalan ke tepian kolam dengan sebelah sepatu yang masih terpakai. Kutendang lepas sepatu sialan tersebut sampai mengapung di air. Sialan memang!
Tidak lama sebuah tangan terulur di antara aku dan Diana. Begitu tahu si empunya tangan adalah Dimas, dengan semangat 45, Diana meraih tangan Dimas.
Thanks, aku tahu kamu pasti pilih aku….”
“Naya.” Begitu namaku disebut, wajah Diana menjadi berubah merah padam. Persis kepiting rebus.
Aku menarik sebelah bibir tersenyum kemenangan. “Sorry, ladys first. Gorila diharap mengantre.”
Aku meraih tangan Dimas yang kemudian membantuku naik. Begitu sampai di darat aku segera menepis tangan Dimas kemudian berjalan mendahuluinya, sementara Dimas mengejar di belakang.
Rest roomnya di sebelah sini, Naya.”
“Enggak butuh!”
Aku memilih jalan berputar agar tidak perlu masuk ke dalan restoran dan membasahi lantai sekaligus menjadi bahan tontonan orang-orang. Begitu sampai parkiran aku segera menuju mobil Dimas menunggunya membuka alarem pengaman hanya untuk kemjdian mengambil sepatuku.
“Loh, kamu enggak masuk?”
“Enggak, gue naik taksi!”
“Naya….”
Dimas yang panik turun dari mobil kemudian mengejarku hingga ke pinggir jalan.
“Saya sudah janji sama teman kamu kalo saya yang antar kamu pulang sampai depan kostan.” Terselip kepanikan di suara Dimas ketika mengatakannya.
“Enggak perlu, bisa pulang sendiri,” ketusku.
“Tapi ini udah malam, bahaya kalo kamu pulang sendiri.”
“Udah bisa.”
“Kamu marah?”
Aku diam tidak menanggapi, tak lama sebuah taksi berhenti di depanku. Aku baru akan masuk begitu Dimas kembali mencegah lenganku.
“Naya….”
“Apa?!”
Dimas tidak berkomentar tidak pula membujuk, dengan diam ia mengikatkan jaket di pinggangku agar airnya tidak membasahi kursi penumpang, mengusap sisa air kolam di wajahku dengan hati-hati, merapihkan rambutku yang berantakan lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Kemudian berbisin,
Sorry and good night.”
Diakhiri dengan sebuah kecupan kilat di daun telingaku, membuatku begidik ngeri. Dimas melakukan semuanya dengan diam dan wajah sedatar jalan. Aku masih tetap tidak menanggapi dan langsung masuk ke dalam taksi, membanting pintunya dengan keras sampai si pengebudi terkejut. Taksi melaju tapi dari sepion, aku masih bisa melihat Dimas masih menunggu di sana dengan tatapan tidak terbaca.
Bener-bener SSN! SadSatNight!

TBC ?

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Uuuuuupsssssssii!!

8 Februari 2020 in Vitamins Blog

32 votes, average: 1.00 out of 1 (32 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

TTS: TekaTekiSial. Pertanyaan Menurun: Super hero yang cintanya ditolak terus sama gebetan. Jawab: SUPERMAN a.k.a SOPOORMAN.” @A_Inay

Aku lempar map yang sedari tadi kuremas dengan emosi membuncak.
“Sontoloyo!” umpatku.
“Kenapa lo?” Jeje melongkok dari atas kubikelku.
“Menurut lo?!” sungutku.
“Si Ivah lagi PMS kali, makanya mukanya kayak mau makan orang gitu.”
Aku lihat Rayhan ikut nimbrung di depan kubikelku. Heran lagi sama manusia yang satu ini. Kerjanya apa sih selain nimbrung ke bagian BO?
“Enggak butuh bacot lo, koplok!”
“Makan tuh koploknya si Ivah.”
Rayhan mengedik bahu tidak peduli. “Kalian mau makan di mana?”
“Nasi padang dong plis.”
“Sori guys, kayaknya gue deliv aja. Si bos gak mau banget ditinggal sama gue,” sesalku.
“Doi kesurupan apa lagi emang?” tanya Rayhan mendadak tolol.
Aku mendengus. “Kalo lo tanya doi kesurupan apa, banyak lah. Lo gak usah pura-pura amnesia.”
Si korban malah ketombean sambil nyengir kuda lumping.
“Emang si bos beneran tetangga lo, Vah? Gak salah orang lo? Kok sentimen banget sih ke elo.”
Hmm, kenapa aroma-aromanya Jeje lagi coba korog-korog informasi  soal bos baru ya.
“Itu namanya ‘profesional’, Jengkol.”
Jeje mendelik pada Rayhan seolah-olah akan menerkamnya. “Gagal paham gue sama manusia yang satu ini. Coba lo pikir, pagi ini doi minta nama-nama nasabah yang udah lunas buat nambah target, pas ditanya minimal plafon? Doi bilang berapa aja ya gue kasih kan tuh. Gak banyak cuma sepuluh. Sepuluh doang gue kasih. Tapi kalian tau doi jawab apa?”
Keduanya kompak menggeleng ala boneka kucing di dasbor mobil.
“Doi bilang, ‘Kok maksimal lima puluh sih. Memangnya lima puluh bisa nutup target satu miliar lebih?’ Ya udah gue balik lagi dong, ganti nama-namanya. Pas gue kasih lagi doi malah bilang, ‘ini plafon sampe 300 juta? Udah di follup lagi usahanya sampe sekarang? Kenapa ini ada temponya? Harusnya kamu update terus dong, biar bisa kita ajukan lagi. Jangan cuma duduk mantengin layar komputer sambil haha hihi!'”
Jeje meringis ngeri sedangkan Rayhan … tidak pernah jelas apa gunanya ini manusia di sini.
“Gue bukan anak marketiiiing!!” seruku ke arah pintu laknat tempat neraka terkutuk itu berada.
Saya dengar!” sahut si bos dari dalam.
Kami serempak melotot ke arah pintu, tapi aku lebih dulu sadar lalu menggerang frustrasi.
“Vah, mending lo makan dulu deh….”
Kutepis saran Jeje, aku lebih yakin bahwa makhluk yang satu ini hanya ingin balas dendam prihal kejadian kemarin.

Bicara soal kejadian kemarin–well, dua minggu lalu–setelah pak bos mengeluarkan pernyataan yang membuatku menanggung malu. Doi memberikan ultimatum ke dua;
“Oh, iya. Toilet buat urusan pribadinya, bukan buat ngurus urusan orang apa lagi ngedumelin orang.” JEDEEEER!!
Mulai dari sana, manusia satu ini mulai membuatku naik darah setiap pagi. Segala macam hal sepele dikomentarinya, suka nongol tiba-tiba persis setan.
“Oke, jadi lo mau main-main sama gue? Fine! Gue ladenin! Kita liat … siapa yang minta ampun duluan?”
Aku menyeringai jahat ala-ala pemain antagonis sinetron yang sedang booming abad ini.
“Gak usah drama deh lo, kita gak lagi di novel drama khayalan lo, jadi gak usah alay! Udah lah, kalo lo gak mau makan gue aja yang makan. Lo mau ikut gak, Jengkol? Apa lo mau ikutan drama juga kayak manusia yang satu ini?” kali ini Rayhan yang buka suara.
Astaga, kenapa aku baru sadar kalau manusia satu ini ternyata hidup?
“O.M.G! Ya gue ikut lah! Males banget gue duaan sama makhluk beda kasta ini! Gak level, eewwwh.” Jeje qween mode on.
Rayhan mengela napas dramatis, menatap prihatin pada kami. Kemudian ia mendongak sambil menengadah tangan. “Ampuni teman-teman Rayhan yang alay dan drama qween ini, ya Allah.”

***

Kuketuk pintu tiga kali sampai terdengar sahutan dari dalam. Aku masuk untuk ke tiga kalinya ke ruangan laknat ini, tiga kali pula si bos ganti pacar. Pertama, si bos kencan dengan kertas. Kedua, doi selingkuh dengan komputernya, dan sekarang ia sedang ngecengin printer di pojokan.
“Kenapa, In?”
FYI, guys! Gue udah tumpengan tiga kali setelah masuk ini ruangan.
Selain suka mendadak amnesia, si bos ini tidak konsisten orangnya. Sudah tiga kali ia memanggil namaku dengan panggilan berbeda; Ariv, Yayat, sekarang Iin?!
“Ini nama-nama nasabah yang bapak minta.”
“Taro aja di meja.”
“Kalo begitu permis….”
“Eet!”
Set dah, nape lagi sih nih orang? “Kenapa pak?”
“Kata siapa kamu boleh keluar? Saya belum selesai periksa.”
“Periksa? Emangnya puskesmas apa pake acara periksa segala,” gerutuku sambil menyeret salah satu kursi di depan meja bos.
Baru kudaratkan pantatku di kursi, pak lurah yang satu ini mulai meluncurkan amunisi perangnya. “Saya belum suruh kamu duduk kok kamu udah duduk duluan, Riv.”
Hai, guys, nama gue Riv, Rivet Amat nama panjang gue.
“Insting manusia, Pak. Kalau saya berdiri terus, saya curiga butuh balsem pulang kantor nanti. Makanya saya duduk.” Aku pura-pura picek walau tahu si bos melotot padaku.
Lima menit kemudian si bos meninggalkan gebetannya, alias si printer, dan kembali ke singgahsananya. Dalam diam ia mengambil selembar kertas yang kubawa tadi, membacanya sebelum akhirnya meletakkannya kembali.
“Nanti saya minta, Ardian buat follup semuanya. Terima masih, Ari. Sekarang kamu boleh kembali ke tempat.”
Meski kode-kode usiran sudah dikeluarkan, tapi aku masih bertahan di sana.
Si Bos mendelik dengan alis terangkat. “Kenapa masih di sini?”
Aku memasang senyum semanis gula bibit, gumoh-gumod dah tuh. “Misi, Pak. Perasaan bapak dari tadi salah manggil saya terus deh. Ya Ariv lah, Yayat lah, Iin, Riva’i, sekarang Ari.” Aku mendengus terang-terangan. “Kalo bapak lupa nama tetangga bapak sendiri, biar saya kenalin diri la….”
“Saya tau kok,” tukas pak bos. “Saya tau dan ingat betul nama kamu.” Pak bos mengaitkan tangan di atas meja, menatapku lurus-lurus. “Arivah Inayati.”
Saat itu juga, alam dedemit gonjang-ganjing, dan aku mendadak amnesia setelahnya. Alhasil, kalimat paling bego keluar dari mulutku.
“Gimana pak?”

***

Pulang cepet itu, enaknya mempir dulu ke tempat tongkrongan, sambil isi perut plus cuci mata dan sedikit sombong dengan duit gajian yang rasa-rasa air comberan. Hari ini masih wangi, besok-besok udah bau busuk. Kehilangan kaporitnya.
Berhubung sekarang masih puluk tujuh malam, rasa-rasanya tidak adil kalau harus pulang tanpa memberikan reward untuk diri sendiri setelah seharian penuh berjibaku dengan bos kamvret. Jadi, setelah dari Grand Indonesia aku melipir ke Rooftop Cinema.
Nonton tidak harus di dalam ruangan, sesekali cobain di luar ruangan. Biar ada sensasinya gitu, toh zaman dulu sebelum ada bioskop orang-orang juga kalau nonton film di luar. Pasnya gerimis datang, pada lari-larian deh kayak di film India. Tapi itulah asyiknya misbar.
Beruntung sekali aku masih menemukan tempat seperti ini di tengah kota Jakarta yang padatnya minta digulung, tempat ini menyajikan suasana nonton film di tahun 90-an. Bedanya kalau dulu nonton lesehan atau mesti manjat di atas pohon, yang ini lebih millenials.
Pukul tujuh tiga puluh aku sampai di Rooftop Cinema, tempat tersebut berada di bagian atas gedung….
Ya, namanya juga rooftop, Vah. Kalo di bawah ya namanya basmen!
Live music sedang dimainkan selagi acara belum dimulai. Sebenarnya, film baru mulai pukul setengah sembilan, hanya saja kalau aku datang pukul delapan aku curiga jalanan makin menggila. Aku memilih duduk di meja bar yang di sediakan di sana, sementara stage sedang di isi oleh seorang penyanyi pria diiringi permainan gitar akustik yang syahdu.
Sayup-sayup lagu Galway Girl-nya Ed Sheeran dilantunkan oleh si penyanyi, orang-orang mulai berdatangan, mengisi tempat sesuka hati. Rata-rata mereka datang berpasangan atau dengan teman-teman mereka.
‘Lah, lo pasangannya mana, Vah? Sesingle itu lo sampe ke acara misbar aja lo alone gitu?’
Serah apa kate lu, Tan, Setan!
Aku memilih duduk di barisan kedua dari belakang, jadi pasnya hujan datang aku bisa lari duluan.  Mana tau kan? Cuaca sedang tidak menentu. Kuposisikan diriku senyaman mungkin, popcorn dan minuman soda sudah aku kantongi di dalam pangkuan hangatku, dan film dimulai.
Seperempat film dimulai aku mulai bosan, Misbar memang menyajikan film-film lokal baik itu hasil tanggan dingin sutradara ternama atau sineas muda yang baru berkarya, dari film lawas hingga film baru, seperti malam ini misalnya. Film yang ditayangkan adalah film lawas, aku mulai sering menguap sedangkan mas dan mbak yang punya acara mulai memainkan intermezo pencair suasana.
Aku mengambil ponselku, bermaksud mengecek notifikasi, saat sudut mataku yang peka ini menangkap sesuatu yang janggal di arah jam dua. Begitu aku menoleh yang kudapati hanya sepasang kekasih yang sedang asyik–what the hell! Berciuman di tengah keramaian ini!!
‘Gue tau lo iri, Vah. Tapi ya gak ngintipin orang lagi seneng-seneng juga kali. Kalo lo kepengen terus lo mau ciuman sama apa? Tiang gawang?’
Shut the hell up!
‘Vah, Vah, apes banget sih lo.’
Go to the hell! Setan bukan tempatnya di sini!
‘But, I’m here, I’m here with you.’
Aku menggeleng kuat hingga imajinasi si setan itu hilang, begitu aku menoleh lagi ternyata mereka sudah menjauhkan diri. Sekarang malah terganti adegan menye-menye, dimana si wanita bersandar di bahu si pria. Kemudian dalam gerak lambat, si pria berhasil menoleh ke belakang, mata kami berseloroh bertemu dan detik itu juga aku menyesalinya.
Uuuuupsssssi!!

TBC? ?

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Kucing vs Gorila

7 Februari 2020 in Vitamins Blog

22 votes, average: 1.00 out of 1 (22 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalo ada umur panjang, gak usah lah jumpa lagi. Bosen ketemu lo lagi, lo lagi.” @kodoktidur21

Sorry lama geish, karena tumpulnya otak dan ide. But, makasih buat klean-klean yang nungguin kelanjutan kisah si Arivah ini ???? And this is for you all. Happy reading

Ini cincin dikutuk kali ya, masa iya enggak mau lepas?
“Jangan dipaksa, nanti jari kamu sakit.”
Aku tidak mengindakan komentar Dimas. Berbagai cara aku lakukan demi melepas cicin terkutuk ini!
Kenapa gue bisa setolol ini sih?!
“Ck! Naya….” Dimas meraih tanganku sekaligus menghentikan aktifitas sia-siaku.
Aku mendesah kesal. “Tolol banget sih gue.”
Sisa perjalanan kami diisi dengan kekosongan, hanya ada suara deru mobil dan sayup-sayup suara musik player. Satu jam semudian kami sampai di tempat tujuan. Sebuah restoran mewah menjadi tempat terlaksananya pesta ulang tahun tante Dimas.
Aku menoleh keluar dan seketika menatap horor Dimas di sampingku. “Elo seriusan mau bawa gue ke sini?”
“Iya.”
“Acara ulang tahun tante lo, di sini?”
“Iya.”
Aku kehilangan kata seketika.
“Ayo.”
“Eh bentar!”
Dimas berhenti dengan pintu mobil yang sudah terbuka sedikit. “Kenapa?”
“Emmn … y, yang bener aja dong, liatin penampilan gue! Enggak lucu banget buat dateng ke acara kayak gini!”
Dimas menarik sebelah alisnya. “Kenapa sama penampilan kamu? Kamu baik-baik aja kok. Kamu pake baju, enggak telanjang sama sekali.”
Aku melotot. Duuuuh, boleh enggak sih gue gampar itu mulut pake sendal mak gue?
“Ya bukan gitu, Dimas….”
“Ya?”
“Apanya?”
“Kamu manggil saya kan?”
Aku menggeram frustrasi. “Tuhan! Dosa apa gue sama emak gue hari ini? Sampe dikirimin makhluk beginian dalam hidup gue.”
“Nih.”
Seperti jin dalam lampu yang mengabulkan permintaan, begitu kubuka mata sepasang sepatu heels tergantung di depanku. Aku mengerjap dua kali kalau-kalau itu hanya halusinasiku. Tapi itu nyata.
“Punya siapa?” tanyaku pada satu-satunya spesies pria di dalam mobil tersebut.
“Pakai aja.”
Aku meneripa namun masih dengan kecurigaan. “Jangan bilang ini punya mantan lo. Ogah deh kalo itu bekas mantan lo, nanti gue kena sial lagi.”
Duuuuh elaaaa, lu ganjen amat sih, Vah.
Dimas tidak tampak terganggu, ia justru menampilkan mimik jenaka. “Bukan, itu baru kok. Tadinya memang mau saya kasih ke Farah. Tapi enggak jadi. Kenapa kamu takut kena sial, padahal kamu bukan juga pacar saya.”
Jedeeeeer!!!! Kan lo malu sendiri, Vah. Songong sih!
Aku tidak berniat membalas kalimat Dimas yang aslinya mau sekali aku sambalin. Aku melepas sepatuku asal lalu mengenakan heels yang diberikan Dimas di kedua kakiku. Ukurannya pas! Benar-benar kebetulan yang ajaib! Dan lagi, kok cute banget siiiiiih!!!!
“Kenapa kamu liatin terus? Kekecilan?”
Aku menggeleng. “Enggak, pas kok! Pas banget malah.”
“Suka?”
“Banget!” begitu aku menoleh, ternyata yang tanya juga sedang memperhatikan. Bukan itu yang membuatku terkejut, tapi ekspresi wajah yang sekilas melunak dan senyum samat yang sempat menghiasi bibir Dimas menjadi penampakan yang langka.
“Ya udah, ayo turun.”
Sayangnya, mungkin itu cuma halusinasiku saja. Buktiknya skarang mukanya udah jadi jalan tol lagi.
“Emas Dimas!!”
Begitu masuk, kami langsung disambut oleh bocah lelaki berumur tujuh tahun yang berlari memeluk kaki Dimas.
“Halo, jagoan bunda Tiara. Kenapa lari-lari?”
“Mas Ambar tuh!”
Ambar?
“Lingga, jangan lari-lari dong! Nanti kalo kamu jatoh, emas yang dijewer sama tatu Tiara!”
“Biarin!!! Bbleeee!!!” Lingga berlari menjauh lagi dan menghilang di antara kerumunan orang.
“Jadi baby sitter lo?” komentar Dimas.
“Ya, elah! Tau lo dateng mah gue enggak usah ke sini, A!”
“Sengaja, biar elo enggak ngedekem aja di kostan.”
“Eh, bentar….” Ambar berjalan ke arah kami, tepatnya ke arahku, dengan senyum sumringah direntangkannya tangannya hendak memelukku. “Eneng Ivaaaaaaah!!!!”
Namun sebelum sempat Ambar memelukku, Dimas lebih dulu menarik belakang kerah bajunya hingga Amar tertahan dengan wajah lucu karena lehernya tercekik.
“Apaan sih lo, A! Ganggu momen banget! Gue kan mau penyuk eneng Ivah….” sekali lagi Ambar hendak memelukku namun kembali lagi Dimas menarik belakang bajunya dengan mudah.
“Apaan sih lo, Dim! Gue udah siap peluk Ambar juga. Kangen nih gue sama cungkuk yang satu ini.”
“Tau nih.”
Dimas masih tidak menjawab selama beberapa detik yang lama. Hingga akhirnya ia angkat bicara. “Jangan asal peluk cewek orang.”
“Heh?! Apa?”
Dimas mengembuskan napas. “Naya cewek gue, jadi elo jangan asal main peluk dia.”
Seperti yang sudah-sudah ekspresi Ambar sudah seperti melihat setan turun ke bumi, mulut menganga sempurna, mata melotot, jari menunjuka ke arah kami bergantian. Sampai aku bingung sebenernya yang setan di antara aku dan Dimas ini siapa?
Detik berikutnya suara hirup pukuk acara digantikan oleh teriakan histeris seseorang.
“MAAAAAAMIIIIII, DIMAS MAU KAWIIIIIIN!!!!!”
Berita baiknya hiruk pikik seketika senyap dan berita buruknya, semua orang menoleh ke arah kami dengan penasaran.
Kunyuk Ambar!!! Mampus lo, Vah!

***

Aku memilih bersembunyi di sisi lain kolam setelah lama diwawancarai oleh beberapa orang yang bahkan sebenarnya tidak begitu aku kenal nama dan hubungannya dengan Dimas. Masa bodo, aku tidak berniat menghapalkannya, toh ini hanya semalam.
Tapi, kalo diumumin pake mulut toa Ambar kayak gini, mana mungkin bisa semalam doang. Udah pasti mereka hapalin muka gue, lah gue mana hapal muka orang segaban gini!!!
Selagi aku diwawancarai oleh emak-emak, si tersangka yang memnyeretku ke sini malah menghilang entah kemana. Si kunyuk Ambar juga malah kabur setelah berteriak sebegitu kencangnya.
Emang makhluk barbar enggak cocok di tempat kek beginian, alhasil begitulah kelakuannya.
Aku memperhatikan dari jauh kerumunan orang di depanku. Kebanyakan tamu yang datang bukan hanya keluarga namun didominasi oleh rekan kerja dan kaum emak-emak sosialita. Kok tau? Tau lah, dimana anggota punya acara, kumpulan jeng-jeng ini pasti mendapat tempat tersendiri dari si mpunya acara. Dan pakaiannya itu loh, beeeeh!!! Terlalu mencoloh untuk ukuran mata kaum missqueen sepertiku.
Dior, Prada, Harmes, Belanciaga, Gucci… Heran enggak butuh beras kali ya buat makan. Atau kalo laper cukup pandengin aja tas harga satu miliar lo sampe kenyang.
“Udah dari kapan lo pacaran sama Dimas?”
Aku dikejutkan dengan kehadiran makhluk astral di hadapanku. Dinda.
“Enggak berubah ya, Vah. Muka, tinggi, penampilan….”
Refleks aku memperhatikan penampilanku sendiri. Lalu melihat penampilan Dinda sendiri. Kalo lu liat penampilan di gorila ini, masya Allah, kucing kampung juga bakalan khilaf. Mini dress berpotongan V line rendah sampe belahan kemana-mana, panjangnya hanya menutup setengah panjang paha. Heran, enggak kekurangan bahan tuh?
“Kenapa emang? Gue pake baju, enggak telanjang kek elo.”
Dinda terkekeh mengejek. “Duuuh, kok bisa sih cewek kayak elo yang dibawa sama Dimas? Kayak enggak ada cewek lain aja.”
“Maksud lo apa?”
Dinda tertawa cekikikan persis kunti. “Ivah, Ivah. Lo sadar gak sih? Dimas itu cuma main-main sama elo.” dengan congkaknya Dinda menaikkan dagu, senyum ala-ala artis antagonis di sinetron yang sering Amih tonton. “Om Rama udah bilang kalo dia mau jodohin gue sama Dimas, jadi elo … siap-siap aja hengkang dari Dimas.”
Aku menarik sebelah alis. Heran, kepelet apa sih ini anak sama Dimas sampe segitu ngebetnya kawin sama itu cowok.
“Kenapa lo liat-liat? Sirik lo sama gue?”
“Idih, ngapain gue sirik sama gorila ngebet kawin kayak elo.”
“Apa lo bilang?!”
“‘Sirik,'” sahutku acuh.
“Lo bilang gue gorila?! Elo enggak ngacak? Lo sendiri kucing garong?!”
Well, asal elo tau, kucing garong lebih cantik dan cute dari gorila.”
“Elooo….” Seketika ekspresi Dinda berubah menjadi horor seperti baru balihat genderuo. Melototnya itu loh, pengen banget gue colok pake tusukan cilok. “Dari mana lo dapetin cincin itu?!”
Aku segera menyadari ke arah mana Dinda sedang menatap sekarang, ternyata dia juga tahu prihal cincin peninggalan mendiang eang Dimas. Pantas sampai histeris begitu. Selintas aku mendapat ide untuk mengerjainya. Kuacungkan jari manisku ke depan matanya dengan senyum congkak.
“Cincin ini? Gue dikasih cincin ini sama Dimas. Dia bilang ini pemberian eangnya, diturunin ke tatu Maya, dan sekarang dikasihin ke gue sebagai calon-istri-Dimas.” Aku sengaja menekankan bagian terakhir, biar tahu rasa dia.
Reaksi yang diduga ternyata cukup mengejutkan, wajah Dinda yang berubah pucat seperti habis donor darah ke vampir. Ia menggeleng tidak percaya, dengan tatapan masih terarah pada jari manisku, gue sampe takut kalo-kalo doi matahin jari manis gue saking tidak percayanya.
“Enggak mungkin! Elo pasti nyolong!”
“Sembarangan!” semburku, “Jaga ya kalo punya mulut jangan asal nuduh!”
“Enggak nyangka, selain lo ngedukun lo juga hobi nyolong. Berapa banyak om-om yang lo kibulin, heh?!”
“Wah, bener-bener ini gorila.”
“Balikin enggak! Sadar oi itu bukan hak elo!” Seperti orang kesetanan dicengkramnya lenganku dan dengan memaksa ia menarik cincin di jari manisku sampai-sampai jari manisku terasa sakit.
Gilak, ini gorila beneran kesurupan kali ya.
“Lepasin tangan gue bego, sakiiiit!”
“Enggak! Elo harus balikin dulu cincinnya! Harusnya itu dipake sama gue bukan elo!”
“Sinting lo ya? Lepasin gueeee!!!”
Perkelahian itu mulai menimbulkan banyak pasang mata mulai memperhatikan kami, sayangnya si sinting yang satu ini sudah hilang urat malunya sampai-sampai tidak memedulikan orang-orang yang mulai berdatangan.
“Elo pake lem apa sih di cincin ini sampe enggak mau lepas?”
“Kan gue udah bilang, ini dikasih ke gue jadi dia enggak mau kalo pindah ke tangan elo!”
Bullshit! Elo boong! Gue tau elo pasti nyolong!! Lepasin enggak!”
“Enggak! Dan gue enggak nyolong ini cincin!!”
“Lepas … aaaaa!!!”
“Aaaaa!!!!”
Byuuuuur!!!

TBC ?

Aut: Menurut klean mereka bakal jadi duyung gak?

Read: gue sih yakin si Arivah bakalan jadi dugong bukan duyung ?

Ivah: Kamvret!! Masih mending dugong daripada elo kudanil!!

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || What Should I do?!

19 Januari 2020 in Vitamins Blog

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Seberapa buncit isi rekening lo, sampe berani ngasih SP1 ke bos yang gagal minta balikan sama mantan?” @A_Inay

P.s No edit, baru keluar dari oven langsung uploud. Happy reading ?

Pukul setengah dua lebih sedikit, bukan warga +62 namanya kalau tidak berbudayakan telat. Janjinya jam sebelas, tapi ternyata ngaret samapai jam setengah dua. Aku bahkan sudah dua kali touch up karena lipstik tiba-tiba lari pasnya ketemu kuah mie rebus pake telor.
Aku kembali memagut diri di depan cermin, untuk … tau dah berapa kali gue ngacak, udah sebelas dua belas sama ikan Cupang deh. Kaos lengan panjang bergaris hijau dengan pleated midi hijau daun dan sneaker.
[Lah, bukannya lo mau kencan? Gitu amat dandannya.] Kencan? Siapa yang mau kencan?
FYI, aku tidak peduli dengan ajakan Dimas, bodo amat. Dia mau datang atau tidak aku tidak peduli, aku sudah janji dengan teman-temanku dan aku tidak akan membatalkannya sekalipun dia datang menjemputku di lokasi pertemuan, aku tidak akan ikut dengan permainannya.

Prihal Kamis bodong!!

“Kencan?”

“Iya, kencan.”
Aku mencondong dan menyentuh dahinya. “Enggak panas,” gumamku. “Tadi pagi elo salah makan apa sampe otak lo konslet gitu?”
Dimas menepis tanganku. “Jangan salah sangka dulu, Naya. Saya ajak kamu kencan itu untuk pura-pura saja.”
Hmm?
Dimas menyandar pada kursi sambil memijit pangkal hidungnya. “Om Rama Sulaeman, kamu tahu kan? Dia tahu saya putus sama Farah….”
Farah? “Pfffft….”
“Kenapa kamu ketawa?”
“Eh enggak, gue cuma inget sesuatu aja. Lanjutkan.” Padahal gue keinget makhluk setengah jadi yang kutemui bersama dokter muda di kontrakan elit yang juga bernama Farah.
Selintas aku mengingat wajah cemberut dan manja di Farah ini, dan itu membuat aku geli.
“Beliau ingin menjodohkan saya dengan anak temannya, Dinda Pramestya.”
Aku menarik sebelah alisku. “Terus, apa hubungannya sama gue?”
Dimas melirikku, masih dengan wajah selempeng tol dia menjelaskan. “Saya tidak mau.”
“Ya tinggal bilang enggak mau.”
Dimas yang sekarang mencondongkan tubuh ke depan. “Tidak semudah mulut kamu berbicara, Naya.”
Aku meringis setiap kali Dimas menyebut nama kecilku itu, terdengar … aneh. “Ya, jadi lo maunya gimana?”
“Jadi pacar saya,” sahut Dimas cepat. Bahkan aku hampir-hampir tidak mendengarnya.
“Well, pacar pura-pura lo,” koreksiku.
“Hanya sehari,” timpalnya.
Aku diam menatap ke dalam mata Dimas. Tapi tidak akan keraguan sedikitpun di sana.
“Kenapa mesti gue? Kenapa enggak yang lain aja? Hanin, Gisya, Siska … mereka cantik-cantik. Mereka pasti enggak keberatan jadi pacar boongan lo, sukur-sukur kalo keterusan….”
“Kerena mereka bukan kamu,” potong Dimas. Aku menyeringit kening. Dimas menarik napas frustrasi. “Maksud saya, karena mereka tidak mengenal saya sebaik kamu.”
“Dan sejak kapan gue jadi pengertian sama elo?”
Dering ponsel Dimas memenuhi ruangan, pria tersebut meraih ponselnya kemudian memutuskan panggilan.
“Sabtu nanti saya jemput kamu, kamu mau atau tidak saya tidak peduli, tapi saya tidak menerima penolakkan.”

Serah lo! Gue juga enggak peduli!

***

Jakarta padat merayap di malam Minggu. Yeah, here we go! Untuk pertama–dalam dua minggu terakhirku–malam mingguku tidak kuhabiskan sendirian bersama Misbar atau restoran cepat saji. Akhirnya pukul setengah empat Deswi menjemputku dan kami harus berjibaku dengan kemacetan selama tiga puluh menit untuk sampai di Senayan City.
“Heran deh, ketemua aja mesti ke Senayan. Padahal Green Indonesia lebih deket,” komentarku ketika sampai di parkiran.
“Si Azhra mau melipir dulu, dititipin sama ibunya katanya.”
“Terus si Senja kemana?”
“Nah tuh mereka.”
Kami berkeliling di Senayan City kurang lebih dua jam, ternyata titipan mama Azhra ini sudah seperti belanja kebutuhan rumah. Segala macam bumbu instan, sayur, buah, tissu, sayur, dan lainnya.
“Ini sih namanya belanja bulanan, Ra,” komentar Senja. Ia kebagian membawa tisu dan sabun.”
“Ya emang, emak gue tuh suka gitu. Bilangnya nitip tapi titipannya seabreg-abreg.”
“Terus elo iyain gitu ya?” celetukku.
“Ya gimana dong? Enggak gue turutin ntar gue dikutuk jadi crying stone the next generation gimana dong?”
Deswi cekikikan di belakangku. “Apaan crying stone?”
“Batu menangis, Wi. Batu menangis duuuh.”
Saat itu aku merasakan ponselku berdering, tertera Dimsun Neraka alias Dimas. Kusilent ponselku dan kembali kujejalkan lagi benda persegi tersebut ke dalam tas.
Bodo amat! Biarin aja si Dimsun itu nyariin gue, bila perlu keliling Jakarta sekalian!

“Eh, makan yuk. Laper nih. Makan siang gue cuma mie doang, dikira bakal dateng siangan taunya sampe si Senja ketemu kebarannya baru pada ngumpul.”
“Suruh siapa lo makan cuma sama mie nasi doang?” komentar Azhra.
Aku mencibir. “Disuruh coak sama cecak di pojokan kamer gue! Puas lo?”
“Lah, Gue juga nungguin incess yang satu ini,” Azhra menunjuk Senja dengan dagu, “lama bener dah dandannya.”
“Yeee, gue juga nungguin elo yang mendadak boker dulu di rumah gue!”
“Duuuh, udah dong. Jadi mau makan apa ribut di jalan nih?” sela Deswi menengahi.
“Makan lah!” sahutku dan Azhra.
“Ya udah, yuk.”
“Eh, kemana?”
“Udah ikut aja.”

***

Akhirnya kami mendapat tempat untuk makan, mencari tempat makan di mall di malam minggu memang cukup sulit. Area foodcourt sudah pasti penuh, alhasil kita harus mencari atau menunggu antrean yang panjangnya sudah seperti KRL. Belum lagi menunggu makanan disajikan, lamanya bisa sampai buat nonton anime lima episode dengan durasi 24 menitan.
Pukul tujuh lebih kami mendapat makanan kami, selama makan kami tidak banyak makan, fokus dengan makanan masing-masing. Alhasil makan kami habis dalam waktu lima belas menit.
Nunggu dua setengah jam, ngabisin makanannya cuma lima belas menit. Udah kayak orang enggak ketemu makan dua minggu.
Setelah itu kami berpindak ke cafe terdekat untuk sekadar mengobrol, karena kami sadar diri kalau tempat makan bukanlah tempat yang asik buat nongkrong.
Apa lagi pasnya waktu-waktu ramai, pasti mengundang usiran-usiran halus untuk mereka yang terlalu lama mendekam di tempat.
Senja sedang asik bercerita tentang bos rese di tempat kerjanya ketika notif WhatAppku berdenting.
Jenglot Kantor: Elo dimana?
Anda                 : *send pic
Anda                 : Tebak sendiri gue dimana ?
Jenglot Kantor: Si kampret ditanya bener juga! ?
Anda                 : Anomali cafe! Lagian ngapain sih lu
nanya-nanya?
Jenglot Kantor: Widih, sama sapa lo?
Anda                 : Sama pacar doang, emangnya elo
sama Joni mulu ?
Jenglot Kantor: Sombong amat lu!
Jenglot Kantor: Halah! Palingan lo sama temn2 lo!
Jenglot Kantor: Jomblo tuh enggak usah kebanyakan
nganyal udah punya pacar! Ntar
giliran ada yang mau deketin malah
enggak jadi, sukurin lo!
Anda                 : Eh, bangkek! Lo ngecaht gue cuma
buat ngatain gue?
Jenglot Kantor: ?
Jenglot Kantor: Gue ngechat mau minta anter nyari
BH, BH gue banyak yang mengecil.
Heran deh kenapa ya? ?
Anda                 : Bukan BH lo yang mengecil onta! Tapi
beban kerjaan dia yang nambah gede!
Kempesin napa, heran gue.
Jenglot Kantor: Iiih, enaka aja main kecil2in, ini
namanya aset masa depan! Enggak
kayak lo!!!
Anda                 : ???
Anda                 : Baru liat ada tai ngajak ribut.
Jenglot Kantor: Lo ngajak ngomong tainya si Joni ya
iya lah ngajakin ribut ? Coba lo
ngajak ribut tai gue.
Anda                 : Goblok!!!
Anda                 : Gue lagi makan! Jorok banget
sumpah!!
Jenglot Kantor: ???
Jenglot Kantor: Halooo, yang duluan kan elo! Gue
mah tinggal nerusin! Jadi yang goblok
siapa?
Jenglot Kantor: Ya udah lah kalo lo lagi sibuk, nanti
aja
Jenglot Kantor: Bye!! Selamat menikmati tai Joni ?
“Sinting!”
“Siapa yang sinting, Vah?”
“Enggak ini temen gue.”
Aku sempat melihat 50 panggilan masuk dari Dimas. Bodo amat! Aku jejalkan kembali ponselku dan kembali pada obrolan teman-temanku. Suasana Anomali cafe yang tidak terlalu ramai malam ini membuatku nyaman, interior industrial dengan lampu gantung kuning membawa kesan hangat, kami duduk di depan counter, sayup-sayup terdengar dengung mesin ekspresso, denting cangkir, dan musik yang mengalun sendu membuat malam minggu semakin lengkap.
Denting bel dari pintu menandakan pelanggan masuk, aku masih mendebgarkan Deswi yang menjelaskan paket-paket wedding di tempatnya, Azhra nampak berminat, sedangkan Senja mendengarkan sambil menikmati wafel toping es krim coklatnya. Suara denting pintu kembali terdengar, langkah-langkah mantap terasa dari balik punggungku, berjalan semakin dekat.
Sayangnya, entah kenapa hal itu malah membuat perasaanku tidak nyaman. Seperti ada sepasang mata yang tengah mengawasiku, tapi aku berusaha mengabaikannya hingga langkah itu semakin teredam oleh aktifitas di cafe. Saat itulah, ponselku kembali berdering dan nama Dimsun Neraka muncul di layar, aku berusaha mengabaikannya dengan mematikan ponselku, sayangnga hal itu malah mengundang hal lain. Seperti bisikan-bisikan halus ini,
“Kalo ada yang telpon tuh di angkat.”
Kemudian sebuah kecupan mendarat di pipiku. Saking terkejutnya aku sampai-sampai beringsuk dari tempat dudukku, aku juga mendengar ketiga temanku ikut syok. Begitu aku menoleh yang kulihat adalah wajah datar Dimas.
“El….”
“Sudah aku bilangkan, jangan kemana-mana sebelum aku jemput kamu.”

Aku melotot tidak percaya pada satu-satunya spesimen manusia yang sekarang beridiri di depanku.
“N-ngapai….”
“Dari tadi aku telpon kamu tapi enggak pernah kamu angkat….”
“Gu….”
“Kamu tau kan jalanan Jakarta macer di malam minggu dan aku mesti nyari kamu sampe keliling Jakarta.”
“Suruh siapa l….”
“Pacar kamu, Vah?” celetuk Azhra.
Aku melotot syok. “Bukan! Dia tuh….”
“Dimas Wirmansyah. Pacar Naya.” Aku melihat ketiga temanku melirik padaku dengan pandangan meminta menjelasan. Aku hendak membantah namun Dimas kembali memotong. “Ayo, kita udah telat.”
Dimas meraih tanganku lalu menarikku berdiri. Aku membelalak mata smabil berusaha melepas kaitan tangan Dimas, sayangnga aku tidak bisa melepaskan diri tanpa terlihat oleh ketiga temanku. Jadi aku berusaha dengan cara lain.
“Ke mana?”
“Kita mau dateng ke acara ulang tahun tante Rita, kamu lupa ya?”
“Dan gue udah bilang enggak mau, kan?”
Dimas tidak tampak menanggapi jawabku, dia malah beralih pada teman-temanku. “Nayanya dipinjen dulu boleh?”
Dan sialnya kalo lo temenan sama orang-orang kamvret tuh mereka udah pasti ngeiyain aja.
“Boleh, Mas! Boleh banget malah!”
“Boleh banget, bawa aja Mas, enggak apa-apa. Kalo kelamaan di sini biasanya dia suka nyemilin anak orang.” Aku membelototi Azhra, tapi cewek sableng ini malah semakin meledek. “Tuh kan, tuh kan mulai kumat dia.”
Aku hendak memprotes namun terhenti dengan tawa rendah seseorang. Aku menoleh pada Dimas yang sekarang sedang terkekeh mendengar celotehan Azhra.
“Ati-ati ya kalo bawa Arivah mesti kasih sesajen biar mulutnya diem,” timpal Senja.
“Siap.”
“Kalo pulang, anterinnya sampe depan kostan ya, Mas,” tambah Deswi.
Duuuh, kok gue mau peluk elo, Wi. Keknya cuman elu deh yang bener dari dua kampret ini.
“Siap, Mba. Kita duluan ya.”
“Sorry, ya,” ucapku pada akhirnya sebelum ditarik keluar oleh Dimas. Sampai di parkiran aku sesegera mungkin menghentak tangan hingga tautan Dimas terlepas dan aku masuk ke dalam mobil.

***

Dua puluh menit perjalanan aku masih diam, memalingkan wajah ke luar jendela. Aku masih kesal!
“Kamu kenapa?” tanya Dimas pada akhirnya.
“Tau dari mana gue lagi di situ?”
“Cuman nebak.”
“Enggak mungkin! Elo pasti nanya kan sama temen kantor gue. Siapa? Jeje ya?”
Dimas tampak tidak membantah juga tidak menanggapi.
“Si kamvert! Dipikir-pikir ya ngapain juga dia ngajakin gue nyari BH malem-malem? Nyarinya di jemuran tetangga kali ya.”
“Apa?”
“Enggak!”
Dimas diam. Aku diam.
“Lagian kita mau ke mana sih?” tanyaku akhirnya.

“Saya kan sudah bilang, kita mau ke acara ulang tahun tante Rita, Naya….”
Aku memotong. “Bisa enggak panggilnya Ivah atau Arivah aja?”
Dimas melirik dari ujung matanya. “Kenapa?”
“Ya … enggak apa-apa. Itu kan panggilan di rumah. Sedangkan kita enggak sedeket itu.”
Dimas diam lagi.
Kami berbelok ke kawasan Kemang, mobil Dimas melaju santai di jalanan Jakarta yang cukup padat malam ini. Fana Merah Jambu milik Fourtwenty mengalun dari musik player, menambahkan efek malam yang sendu. Aku hampir-hampir mengantuk ketika Dimas memulai obrolan lagi.
“Kamu udah makan?”
Aku menoleh horor. “Kok gue geli dengernya.”
“Kalo masih laper, saya ada makanan di dasbor. Makan aja.”
“Gak ah! Gue curiga itu makanan basi kemarin.”
“Saya enggak ada niatan buat racunin kamu, Naya.”
“Ivah!” koreksiku.
“Sorry, but I can’t.”
“Serah.”
Aku membuka dasbor sebelah kiri dan menemukan sebungkus roti dan biskuit, nampak baru dibelinya. Selain kedua benda tersebut, aku menemukan kotak lain di sana. Sebuah kotak kecil berlapis bludru.
“Apaan nih?”
Dimas melirik, sebelah tangannya hendak meraih kotak tersebut namun segera aku sembunyikan di belakang tubuh.
“Tolong kembalikan.”
“Enggak! Gue mau tau isinya.”
“Isinya bukan apa-apa, Naya.”
“Jangan-jangan ini cintin buat mantan lo itu, siapa tuh? Ah, Farah!”
“Ckk!”
Akhirnya Dimas menyerah dan membiarkanku membuka kotak tersebut. Benar, kotak kecil itu berisikan cincin bertahtakan permata kecil di atasnya. Sederhana namun masih terlihat elegan.
“Itu cintin mendiang eang, diberikan ke mama, dan sekarang diberikan pada saya untuk calon istri saya nanti.”
“Farah?”
Dimas tidak menjawab atau mengubah ekspresi datarnya. Kuambil cincin tersebut dan kukenakan di jari manisku untuk mengagumi keindahannya.
“Eh, pas, loh!”
Aku mengacungkan jari manisku ke hadapan Dimas, pria tersebut menoleh dengan alis terangkat.
“Awas nanti enggak bisa lepas.”
“Tenang aja.” Aku bermaksud melepas cincin Dimas ketika kami memasuki halaman sebuah hotel cukup ternama di sana, sayangnya entah kenapa cincin tersebut malah susah untuk dilepaskan.
“Eh, kok susah sih?”
“Kamu bohong kan?”
“Seriusan! Ngapain sih gue bohong!”
Aku berusaha melepaskan cincin sialan ini dari jariku, namun sia-sia, si cincin malah tidak mau lepas dari jariku. Dimas menepikan mobilnya semata-mata hanya ingin melihat keadaan cincinnya. Ia berusaha menarik lepas cincin dari jariku tapi malah jariku yang sakit.
“Sakit goblok!”
Dimas melepaskan tanganku dan aku kembali berusaha melepas cincin tersebut namun tetap sia-sia. Aku segera menyadari kebodohanku, aku melirik pada Dimas dengan air wajah menyesal.
What should I do?”

TBC ?

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Steak Ikan Asin

14 Januari 2020 in Vitamins Blog

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Semanis-manisnya pujian si bos kalah manis sama dusta mantan yang ngajak balikan #preeeet” @Ryyhaju

P.s Sorry kalo kebanyakan typo, males ngedit ? thanks yang udah mau baca n happy reading

Meeting pertama acara gathering dilakukan pada Jumat pagi, semua jajaran yang terkait telah masuk dalam ruang meeting. Semua, tidak terkecuali aku. Asal kalian tahu, aku mengundurkan diri dari tim sukses gathering kali ini. Jabatan tersebut kuberikan pada mba Sri yang memang lebih senior dan lebih sabar menghadapi kelakuan abnormal bin ajaib Dimas.
Sudah cukup aku menanggung derita di kerjaan, menanggung kelakuan minus Dimas di luar kantor, tidak lagi harus meladeni kemauan doi untuk menjadi pion Dimas.
Udah cukup, makasih!
Selagi bos sableng sedang meeting, para kacung yang tersisa mulai hilang kendali. Jeje bahkan sudah bertransformasi setelah bergabung dengan Hanin dan kawan-kawan, Rayhan yang awalnya kupanggil untuk membantuku memperbaiki system error di PCku, malah ikut nimbrung bersama Kayla. Sementara aku? Aku sibuk dengan grup WhatsAppku.

Don’tOverCook:
Zar’i: Gue balik minggu ini geish. Anybody miss me????
Deswi: Zzzzzz ?
Senja: Zzzzzz ? (2)

Zar’i: Kok kalian jahaaat sih???
Zar’i: @Senja lo jangan pura2 tidur, tar lo malah ketinggalan pesawat, mampus lo!

Senja: Enggak bakal, gue suruh pangeran William bopong gue kalo gue molor di airport ?

Zar’i: Sinting!!!
Anda: Kerja woy kerja!!!
Senja: Iya deh yang mau jadi bu bos mah mottonya udah ganti sekarang ‘Kerja lembur bagai kuda lumping.’
Zar’i: Si Deswi ngilang geish
Zar’i: beneran tidur kali ya tu anak
Anda: Deswi sibuk ngurus nikahan orang
Anda: sampe lupa ngurus nikahan sendiri
Zar’i: tidak seperti Anda
Zar’i: ngurusin jodoh orang mulu tapi gak pernah jadi jodoh sehidup semati ?
Senja: ??
Anda: ?
Senja: jadi pengen sundays guys ?
Anda: tuh kan matanya mines
Anda: tai aja dibilang es krim coklat
Zar’i: lo mau makan tainya si @A_Inay, Jah?
Senja: *picture
Senja: sore-sore ditemenin es krim lebih nikmat daripada ditemenin es batu dari atlantik, iiih syerem

Aku tersenyum mendapati foto Senja yang berlatarbelakangkan jendela-jendela airport yang luas dengan objek fotonya sebuah es krim sundays bertoping susu coklar. Tampaknya ia sedang menunggu boarding.
Azaria, Senja, dan Deswi adalah sahabatku sejak duduk di bangku kuliah. Aku dan Azaria teman satu SMA, kami bertemu Senja dan Deswi saat ospek universitas. Senja mengambil jurisan manajemen, sedangkan Deswi mengambil bisnis.
Sejak lulus tiga tahun lalu, kami langsung terpisah-pisah. Jalan yang kami pilihpun berbeda-beda, Azaria pergi ke Belanda dan mengambil S2 di sana, Senja memilih jadi tukang roti–well, dia bakat sih di situ–jadi, si bontot yang satu ini pergi ke Inggris. Hanya aku dan Deswi yang masih tetap di negara tertjinta +62 ini. Meski begitu, kami jarang sekali bertemu, selain Deswi yang tidak lagi tinggal di Jakarta–alias kembali ke kambung halamannya di Bogor–si Deswi ini orang sibuk. Sebagai WO milenial yang sedang naik daun saat ini, hampir seluruh waktu Deswi dihabiskan untuk mengurus para clien.
Saking sibuknya jangan-jangan dia lupa tanggal nikah dia sama tanggal nikahan cliennya lagi.

Zar’i: jadi, kapan nih kumpulnya geish?
Anda: nyimak aja deh, ngikut aja.
Senja: udah biasanya lo mah nitip absen!

“Vah, kenapa sih lo enggak mau terima aja jadi tim sukses gathering?” tanya Kayla.
Aku mengedik acuh. “Enggak ada. Cuman males aja.”

Rayhan ikut menimpali. “Sayang ya, padahal kalo lo yang jadi tim suksesnya dan kalo ternyata yang berangkat gathering cuma divisi marketing sama BO, lo kan bisa selundupin gue buat ikut.”
“Gimana cara, Ray?” tanya Kayla.
“Gampang lah, Ivah tinggal tunjuk gue jadi seksi apa gitu. Kan secara otomatin gue ikut andil dan enggak mungkin ditinggal.”
Licik juga otak ini bocah.
“Ivah tuh bukannya enggak mau, cuman dia enggak tahan aja sama kelakuan abnormalnya si bos,” celetuk Jeje yang sekarang sudah duduk manis di kubikelnya. “Iya enggak, Vah?”
Aku bersenandung. “Ingin kusentil ginjalmuuuu.” Kutambahkan senyum termanisku. “Love youuuuuh.”
Kayla mencondong di sela-sela layar komputerku. “Vah, gue jadi penasaran deh.”
“Penasaran kenapa?”
“Soal lo sama pak Dimas. Kalo diliat-liat nih ya, lo kok sentimen gitu sama doi. Perasaan pak Dimasnya mah lempeng-lempeng aja tuh. Lo punya dendam apa sih sama doi?”
Aku mengerut kening. “Kok lo….”
“Fix!! Lo jadi murid gue, La!” seru Jeje cepat.
“Gilak! Lo persis banget sih sama si Jenglot kantor ini, La.”
Rayhan bersedekap. “Racun si Jenglot mulai merajalela nih, besok-besok gue jualan jimat aja kali ya buat penangkal si Jenglot ini.”
Jeje mencibir bibir tapi tidak menanggapi.
“Seriusan deh, lo sama bos ada masalah apa sih? Apa  jangan-jangan pak Dimas ini dulunya mantan lo, Vah?”
Aku melotot.
Jeje terbahak.
Dan Rayhan ngorong di pojikan kubikel kosong.
“Lo ada-ada aja sih, La! Mana mungkin lah makhluk setengah-setengah ini mantannya si bos!”
Kayla mengedik bahu. “Mana tau kan si bos matanya lagi picek, jadi gak bisa bedain Angelina Joli sama Arivah Inayati?”
Jeje semakin terbahak hebos sampai-sampai kursi yang di dudukinya berdecit-decit. “Halu lo!”
“Seneng ya lo, seneng. Ketawain gue sampe enggak inget tempat gitu. Elo lagi, La. Pertanyaan lo aneh-aneh aja!”
“Ya, kan gue tanya bener. Lo sama pak Dimas punga masa lalu apa sampe lo sentimen mulu sama doi?”
“Duuuh, kalo lo mau tau masalah gue sama doi, udah panjang ceritanya. Udah kayak lo bikin skripsi gitu dah.” tentu saja aku tidak akan membocorkan cerita kelam itu pada sembarang orang!
Aku mengembus napas panjang. “Gini ya, gue mau kelarifikasi nih ya,” segera Kayla dan Jeje pasang telinga. Persis wartawan infotiment. “Pertama, gue bukan mantan si bos, amiiit amiiit gue punya mantan kucing bar-bar. Dua, enggak ada side story antara gue sama pak bos, cuma gue ya males aja sama orang itu. Tiga, asal lo tau ya, pak Dimas itu bukan kucing anggora yang kalian liat, dia itu kucing garong gondrong!”
Jeje berkomentar. “Bukannya kebalik ya, Vah? Elo lebih mirip kucing garong deh ketimbang doi yang jadi kucing garong. Secara ya, lo lebih garang gitu.”
“Kampret! Ya enggak lah! Justru kebanyakan kucing garong itu ya kaum cowok! Lo enggak pernah dengerin lagu ‘Kucing Garong’? Siapa yang dimaksud? Cowok kan?!”
“Terus, kalo cowok itu kucing garong, ceweknya jadi apa, Vah?” Kayla membenarkan duduknya namun tetap mencondong tubuh.
Aku tersenyum jemawah sambil bersedekap. “Udah pasti ikan salmon yang harus dibeli dengan mahar!”
“Kok mahar?”
“Iya lah mahar! Mahar itu udah harga mahal bagi wanita! Jadi kalo ada pria berani kasih mahar, nah itu baru pria yang menghormati martabat wanita.” Aku menambahkan, “Nah, ikan salmon itu gue. Gue mau dibeli dengan mahar, bukan Prada, Hermes, atau Dior. Itu mah bonus!”
Jeje manggut-manggut ala burung platuk. “Tumben omongan lo bener, Vah.”
“Fix, dia abis diruqiah kayaknya.”
“Nah, terus apa hubungannya antara pak Dimas kucing garong dan elo yang ikan salmon?”
Aku berdecak dramatis. “Duuuh, masa masih enggak ngerti juga?” keduanya menggeleng. “Gini ya, lo kalo liat kucing garong biasanya di mana?”
Jeje mengerut kening namun tetap menjawab. “Pasar?”
“Jalan?” timpal Kayla.
“Warteg?”
“Selokan?”
“Nah, sekarang gue tanya, dimana lo bisa dapetin steak salmon paling enak?”
“Restoran Eropa?”
“Hotel?”
Kayla mencenting jari. “Mall Kelapa Gading!”
“See? Dari segi tempat aja beda, warteg dan restoran. Ibaratnya nih ya, kita ini salmon paling mahal dan langka, masa iya yang makan kucing garong, menurut kalian sayang gak?”
“Sayang lah!” sahut Jeje dan Kayla bersamaan.
“Nah, sayang kan! Harusnya salmon mahal ya dinikmati sama yang mahal juga! Enggak sama kucing pasaran. Kita sebagai cewek itu musti mahal! Jangan kayak ikan asin menyemenye di warteg! Diobral murah.”
“Jadi, menurut kamu, saya ini kucing garong dan kamu itu ikan mahalan, begitu?”
Nah loh, jelangkung kantor dateng.
Aku tidak berani mendongak, karena tanpa mendongak atau menolehpun aku sudah hapal betul siapa yang ada di belakangku ini. Apes bener dah! Selain itu, aku baru sadar kalau kedua temanku sudah kembali sok sibuk di depan komputer masing-masing,
Dan gue sedari tadi ngebacot sendiri solah-olah dongengin mereka? Gua bahkan enggak sadar kalo semua keributan di ruangan ini seketika henyak gara-gara kehadiran satu makhluk ini.
“Arivah,” panggil Dimas setengah menggeram.
Aku mengigit bagian dalam bibirku sebelum menguatkan tekad untuk berbalik dan menghadapi kenyataan pahit ini.
“E, eh, ada bapak, siang pak? Udah makan siang pak?” tidak lupa aku tambahkan senyum semanis gula bibit.
Biar gumoh sekalian.
Namun, nampaknya itu tidak berpengaruh apapun, wajah Dimas malah semakin kelabu, dan aku tahu jurus cewek cantik ini tidak ampuh pada pengguna yang jelek. Setelah itu Dimas mengeluarkan kata-kata mutiaranya,
“Arivah Inayati, ke ruangan saya! Sekarang!”
Mampus lo!

***

Aku menunggu sambil memainkan game di ponsel, selagi Dimas menyelesaikan panggilan di ponselnya sendiri. Setelah itu barulah Dimas memusatkan perhatian padaku dan aku menyimpan ponsel tapi tidak berani sedikitpun melihatnya.
Sebenarnya, aku tidak takut-takut amat dengan si Dimdim ini. Toh, kita tetangga dari kecil dan aku tahu dia tidak berani melawan, hanya saja sejak kejadian itu, aku menjadi harus waspada terhadap srigala yang satu ini. Sudah kubilamg kan? Dia bisa diam-diam bak anjing baik tapi begitu kau berbalik, dia bisa saja menerkammu hingga ke tulang.
“Jadi, kalian ngomongin apa aja tadi?” mulai Dimas.
Aku mengangkat alis, berpura-pura bego. “Oh, itu. Kita lagi debatin ikan salpon pantes enggak dikasihin ke kucing garong. Tapi menurut saya, sayang salmonnya, Pak. Kan mahal kan yak. Masa iya buat kucing garong?”
“Kenapa sayang? Salmon yang busuk juga ujung-ujungnya dibuang, terus dimakan kucing garong. Kamu enggak tau?”
Aku mengigit bagian dalam bibirku lalu mengedik acuh.
Membuat Dimas kembali meneruskan. “Steak semahal apapun kalo enggak abis dimakan ya dibuang ke tong sampah, ujung-ujungnya apa? Dimakan juga sama kucing garong kan. Terus apa bedanya ikan salmon sama ikan asin?”
Dimas menopang dagu, matanya lurus menatapku dengan sorot mengejek, namun ekspresinya masih seluruh tol Jagorawi.
Kampreeeet! Secara enggak langsung lo ngatain gue ikan asin!
“Sudah lupakan masalah tidak penting ini.”
Elo duluan yang mulai ngajak ribut!
“Sabtu nanti kamu ikut saya,” titah si bos.
Aku mengerut alis. “Ngapain pak? Kan libur, masa iya tetep masuk?”
“Dilarang nolak!” tegas Dimas. “Lagi pula, ini bukan masalah pekerjaan, Naya.”
“Tetep aja pak, saya udah ada rencana sama teman-teman saya!” Enak aja lo main sabotase!
“Baru rencanakan? Belum tentu jadi.”
Aku melongo. Sepertinya ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi. “Ya enggak bisa gitu dong, Dim! Gue udah lama enggak ketemu mereka, mumpung temen-temen gue pulang ke Indonesia!”
“Saya juga temen kamu, Naya.” Dimas memijit pangkal hidungnya, namun masih tidak acuh terhadapku.
“Elo enggak masuk hitungan temen gue!” sanggahku. “Lagian kenapa mesti gue sih? Kan ada tuh si Hanin, Kathrin, Siska, dan Gisya! Mereka bakal mau kalo lo ajak ngelembur!” aku menyebutkan semua jajaran fans garis keras Dimas.
“Enggak bisa, pokoknya harus kamu yang ikut sama saya.”
Nih orang nyolot amat sih!
“Kenapa sih lo? Ganggu libur gue aja! Lagian mau apa coba? Mending kalo lo ngajakin gue kencan, lah ini kencan sama kerja….”
“Iya.”
Aku mengerut kening tidak paham. “Iya, apa?”
Dimas menatap lurus-lurus ke arahku, ekspresinya masih sama lurusnya. Namun ada hal lain yang membuatnya nampak serius kali ini. Dengan tega, Dimas melengkapi kalimat sepotongnya. “Iya, saya mau ngajak kamu kencan, Arivah Inayati.”
Seketika itu seluruh alam dedemit gonjang ganjing mendengarnya.
Sinting!

TBC? ?

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Jackpot or Zonk

7 Januari 2020 in Vitamins Blog

26 votes, average: 1.00 out of 1 (26 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Patut dicatet, kalo bos udah baik-baikin kacungnya, berarti ada maksud dibalik kue bakwan. Ngajak nikah, misal, atau jadi selingkuhannya. Uupssss! #antiplakor2basi #bossloveu” @JejeSyah05

Maaf, late post. Selamat membaca ?

“Mba Ivah, dipanggil bos tuh. Katanya mbanya belum nyerahin nama-nama yang jatuh tempo bulan depan.”
Jeje menoleh dengan alis terangkat. “Belum lo kasih juga, Vah?”
Aku mengedik bahu acuh. “Tau deh, males jalan ke sananya. Gue nitip aja ya kalo lo ke sana.”
“Sini aku yang kasih aja, Mba!”
Sudah pasti aku dan Jeje menoleh bersamaan ke arah Gisya–bontot baru yang menggantikan posisi Hanin sebagai bontot terlama. Masuk dua minggu yang lalu, Gisya sudah mencuri banyak perhatian mata para karyawan; khususnya yang jenisnya pria, dari mulai anak IT, sampe mang Ohim ikut-ikutan melirik dua kali saat Gisya masuk bersama Dimas.
“Enggak apa-apa nih?” Well, gue cuma basa basi.
“Iya mba, enggak apa-apa. Lagian aku belum puas liatin pak Dimas. Bentaran banget tadi.”
Sontak mataku berseloroh mata dengan Jeje. Sudah pasti karena pernyataan ajaib Gisya. Selain Hanin, si bontot satu ini adalah fans Dimas di garis keras. Dari pertama kemunculannya, ia sudah menebar aroma-aroma fangirl. Karena Gisya di tempatkan di bagian marketing, otomatis ia yang sering bolak-balik keruangan Dimas. Selain itu, usut punya usut, si Gisya ini masih ada hubungan keluarga sama Dimas. Katanya sih, doi naksir Dimas dari jaman SMA kelas 11.
Hitung sendiri dah tuh berapa tahun mereka bedanya.
Pantas kalau Gisya punya pemikiran ajaib prihal Dimas. Kalau Hanin hanya bisa ngayal dari jauh, si Gisya ini berani maju hingga ke zona tidak terjangkau kami para kacungnya.
Punya bakat jadi pelakor ini anak.
Kilas info ya, gusy. Seminggu yang lalu, kudengar Dimas baru putus dari pacar modelnya. Aku tidak heran kalau Dimas punya mantan sekelas model Nasional begitu, memang dari dulu mantan pacarnya cewek-cewek populer sekolah gitu.
Heran sih, mereka liat apanya sih? Ganteng aja kagak, maco aja enggak, terkenal aja enggak, tapi koknya koleksi mantan banyak banget.
Tapi tidak heran juga kalau Dimas lebih sering diputuskan oleh mantan pacarnya daripada ia yang mutuskan pacarnya.
Ya, kali peletnya gak ampuh buat bertahan lama makanya enggak pernah langeng.
Jeje berdecak sambil menggeleng. “Gilak, lo udah ngedekem di ruangan pak Dimas hampir sejam, lo masih bilang bentaran? Lama lo seberapa abad sih?”
“Kalo bisa seumur hidup gue,” jawab Gisya. “Bayangin deh, pas lo buka mata tiap pagi, terus yang pertama lo liat adalah wajah pak Dimas yang masih merem, kan bakalan cerah tiap hari hidup gue.”
Naive girl.
Jeje mengomentari, “Makanya, gue udah sering bilang kan sama lo, Vah. Lo jangan kebanyakan nonton drama Korea sama Jepang, kalo enggak mau bentukan lo kayak anak ini nih. Halu aja kerjaannya.”
Aku membalas, “Halah, elo kali yang kebanyakan nonton acara gosip, jadi bentukan lo kayak ember bocor gitu.”
Jeje melemper tisu bekar padaku sayangnya meleset. “Dibelain lo malah nyolot.”
Aku baru membuka mulu begitu pintu ruangan seberang terayun dan menampakan muka Dimas yang kusut.
Bau-baunya kayak abis kesambet pohon jengkol ini orang.
Seketika para lambeh berhamburan kembali ke habitan masing-masing, kecuali Gisya–masih bertahan di depan kubikelku–yang sekarang tengah menyambut si bos dengan senyum ala Pepsoden.
Terakhir aku mendengar Jeje berbisik, “Bos galak tapi tamvan keluar dari sarang, awas jangan nengok-nengok kalo enggak mau jadi korban pertama.”
“Selamat siang, Pak Dimas.”
Gisya memulai dengan menyapa ala-ala mbak IndoApril, sementara aku dan Jeje was-was menanti respon si bos.
“Kenapa kamu masih di sini?”
“Kan, tadi pak Dinas yang suruh saya buat bilang ke mba Ivah.”
“Sudah kamu sampaikan?”
“Sudah, Pak. Tapi, kata mba Ivahnya dia lagi sibuk, jadi tadi mau nitip aja. Baru aja saya mau kasih ke bapak, eh pak Dimas udah nyanperin saya duluan. Apa jangan-jangan … bapak baca pikiran saya, ya?”
Aku menggigit bagian dalam bibirku untuk menahan tawa, sedangkan Jeje sudah membekap mulut dengan sebelah tangan.
Pepet teroooos!!! Sampe dapet!!
Tapi, tampaknya makhluk setengah es ini tidak terpengaruh dengan gombalan Gisya yang frontal, Dimas malah menanggapi dengan muka selempeng jalan.
“Saya bukan cenayang.” Sekarang Dimas melengos melewati Gisya dan sekarang berdiri di samping kubikelku. “Eekm.”
Duuuh, nape sih lu malah nyamperin gue. Jelas-jelas ada ikan seger didepan mata lo malah melipir ke sini.
“Batuk pak haji?” celetukku tanpa peringatan.
Aku merasakan Jeje gemetar di sebelah, aku yakin karena menahan tawa. Sementara Gisya masih di depan kubikel, memperhatikan.
“Bukan, ini bos galak kamu.”
“Oh, ya udah ganti. Abis keselek kodok ya, Pak?”
Pfffppp!”
Bukannya melihat muka kesal Dimas, aku malah dibuat selangan jantung berkala, sekaligus mengubahku jadi batu menangis mendadak.
“Bukan. Saya keselek cinta sama kamu.”
“UHUK!!!” Jeje terbatuk hebat saking terkejutnya dan Gisya melotot syok.
Ini orang beneran kesambet pohon jengkol dah.

***

Makan siang itu bukan hanya isi ulang amunisi tapi juga untuk berbagi informasi, dan lebih enak jauh dari kantor, biar tidak ketemu orang kantor yang kadang suka bocor.
“Jadi, lo ditunjuk jadi koordinator gathering kantor bulan depan, Vah?”
Sambar langsung, Je! Belum juga gue napas abis jalan, manusia satu ini udah nodong duluan.
“Iya, jadi tuh bulan depan rencananya kita mau gathering, sekalian ngerayaan pencapaian target bulan lalu yang nyampe aplus.”
“Beneran sekantor nih? Biasanya anak marketing aja yang gathering, kita-kita mah tim anti libur,” komentar Jeje. Bau-bau kedongkolan dan iri hari sudah tercium dari nyinyiran-nyinyiran Jeje.
“Gue kurang tau sih, bakal semua apa cuman divisi tertentu aja. Tapi jajaran general meneger udah pasti ikut.”
“Halah, gathering kantor tuh enggak asik! Kebanyakan orang jadi banya yang bergerombol enggak jelas. Bukannya liburan malah stak ngomonginnya kerjaan lagi, kerjaan lagi. Kalo di kasih liburan, mending ngetrip sendiri, lebih seru tau.”
Aku menoleh syok pada Rayhan yang sudah duduk manis di sebelah Jeje. Eh, kok gue enggak nyadar ada bau-bau keberadaan ini manusia, tiba-tiba udah nongol aja. Gue curiga dia pake jurus tinja eh salah ninja maksudnya.
Jeje mengernyit. “Eh tumben omongan lo bener, Ray. Biasanya bacot lo enggak jelas gitu.”
“Ngacak lo, Je!” sambarku.
Makanan kami datang tidak lama kemudian, seporsi nasi padang lengkap dengan sate udang tersaji di meja kami. Waktunya isi energi sebelum berjuang sekali lagi untuk sesuap makan nasi.
“Gue pikir nih ya, pasnya lo di suruh ke ruangan si bos abis ngegombalin lo di depan mata Gisya, gue pikir si bos bakal ngomong apa gitu ke elo. Ternyata eh ternyata, malah nambah kerjaan lo.”
“Maaf kalo penonton harus kecewa.”
“Eh tapi serius loh, Vah. Si Gisya mukanya kayak mau nangis gitu pas Dimas gombalin lo.”
Aku mengibas tangan.
“Kampret nasi lo muncrat ke makanan gue!” sewot Rayhan.
“Alah, nanti juga bakalan lo makan ini,” sindirku. “Halah, dia mah anaknya baperan, baru juga liat Dimas gombalin cewek. Belum juga dia liat Dimas cipokan ganas sama cewek.”
“Serius lo!” seru Jeje.
“Anjing! Kaget goblok!” umpat Rayhan.
Seketika itu aku mengerjap seolah baru sadar dengan apa yang baru saja aku ucapkan.
Mampus lo, keceplosan kan lo, Vah? Goblok sih!
“I, idiiih! Kok lo ikutan baper sih. Itu kan misalkan woy! Bukan beneran!” elakku asal.
“Ya kali kan bener. Lo kan tetangganya, Vah. Elo enggak pernah mergokin gitu pasnya lo main ke rumah dia.”

“Emangnya, lo ngarep gue nemu apa di rumah Dimas?”
“Ya, kejadian apa gitu kan.”
Kalo boleh jujur, seriiiiiiing bangkek! Saking seringnya gue sampe bingung, sebenernya gue dapet jacpot apa zonk?
“Jangan dengerin Jengkol sinting, Vah. Otaknya emang udah segleg, kebanyakan baca novel porno jadi kayak gitu,” celetuk Rayhan.
“Muuuuluut tuh muuuluut yaaa.” Dijejalkannya daun singkong ke mulut Rayhan dengan gemas.
Ini nih yang bikin gue males makan siang sama dua biangkerok ini, ujung-ujungnya pasti gue yang apes. Semprul emang.
“Duuh, kalo kalian berantem lagi mending bayar makanan kalian dulu deh. Gue enggak mau ya jadi ATM berjalan kalian lagi. Besok-besok gue enggak mau lagi maksi bareng kalian, rugi gue!”
“Tau nih si Ray.”
“Gue teroooos!”
“Lama-lama, lo berdua gue kawinin juga dah!”
“Ogah!!”

***

Prihal hari minggu sial:
“Saya tidak tahu, kalau kamu sampai senekat ini buat nguntit saya, Naya.”

“E, eh, kok bapak di sini?”
Dimas bersandar pada pindu sambil bersedekap. Sok kecakepan lo!
“Saya memang tinggal di sini.”
Oh, jadi ini maksud amih anak temen ya? Ini mah tetangga kita!
Aku berdecak keras sampai terdengar oleh si empunya apartemen. “Kenapa kamu?”
“Eh, enggak. Pantesan tadi ketemu sama ce….” cewek sableng, “pacarnya pas mau naik tadi.”
“Oh.”
Gitu doang? Gue enggak disuruh masuk banget nih? Bawain minun kek atau apa gitu, elah!
“Jadi … kamu ada perlu apa samapi nguntit saya?”
Aku melotot.
WTF! Ngintitin elo? Sinting kali gue kalo sampe mikir nguntitin elo!
“Idih, geer banget sih!” kusodorkan bungkusan ditanganku. “Gue cuman disuruh nganterin titipan dari nyokap lo! Bukan nguntitin lo!”
Dimas mengambil bungkusan tersebut tanpa bicara.
Aku bersedekap dengan dagu terangkat siap menantang. Sekarang bukan di kantorkan? Sudah tidak ada lagi batasan bawahan dan atasan. Hanya ada antar tetangga komplek.
“Lagian ya, buat apa juga gue nguntitin elo, Dimdim?! Kayak gue enggak punga kerjaan aja!”
Dimas menarik sebelah alisnya, siap melontaskan argumen tapi segera kupotong. “Udah lah, gue enggak mau debat sama elo. Gue mau cepet pulang! Harusnya lo kasih gue masuk kek, tawarin minum kek, atau tawarin gue makan kek. Bukannya nuduh gue nguntitin elo! Sekarang, mana ongkir gue?”
Aku menodongnya dengan gaya renternir.
Gue sih berharap enggak ada CCTV di lorong, bisa turun pasaran gue kalo masuk CCTV terus ada yang iseng nyebarin gitu.
Saking fokusnya dengan pikiranku sendiri, aku sampai tidak sadar wajah Dimas sudah berada di depan wajahku, begitu sadar aku hendak beringsuk mundur namun pinggangku segera ditahan pria tersebut. Aku tidak tahu bagaimana tiba-tiba bibir Dimas sudah mendarat di sudut bibir kiriku kilat.
“Itu ongkir kamu.”
Ia kembali mengecup sudut bibir kananku.
“Ini untuk konpensasi kemarin. Dagu saya memar gara-gara diseruduk kamu.”
Sekali lagi, Dimas mendaratkan ciuman di bibirku. Kali ini cukup lama ia memagut bibirku.
Berengsek! Di saat seperti ini, gue malah berpikir kalo bibir Dimas emang semanis ini!
Setelah melepaskanku, bukannya permintaan maaf yang aku dengar tapi seringai iblis yang terpatri di bibir Dimas sekarang.
Thanks, ciuman gratisnya.” Itu kalimat terakhir Dimas sebelum ia menutup pintu tepat di depan wajahku.
Berengsek! Dia beneran ngerjain gue!

TBC? ?

Oh My Fake Bo(ss)yfriend || Nah, Loh!

19 Desember 2019 in Vitamins Blog

30 votes, average: 1.00 out of 1 (30 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...
ChocovadoLoading…

Enggak usah sedih jadi jomblo, toh masih ada aja kok yang sayang sama elo. Si bos, contohnya.” @JejeSyah05

P.s

Sorry typo bertebaran dimana-mana, dikarenakan males edit. Happy reading ?

***

Pulang cepat itu enaknya bisa beli makan di warteg langganan selagi masih buka, tapi sialnya walau wartegnya buka yang tersisa di piring cuma remah-remah lauknya saja.
Apes banget kan jadi anak rantauan.
Alhasil, pilihan alternatif lain ya restoran cepat saji 24 jam yang menjamur sepanjang jalan. Risiko lain kalau makan di tempat itu antreannya padat merayap persis jalan raya Jakarta. Belinya cuman ayam sama nasi, tapi sok-sokan milih sampe setengah jam sendiri.
Nambah dosa orang-orang yang lagi kelaperan aja.
Setelah berjibaku dengan para pengantre sembako lain–well, pelanggan lain–akhirnya aku mendapat makanan sekaligus tempat duduk yang strategis; di lantai dua, pojokan, dekat jendela.
Di lantai dua pun tidak jauh beda dengan lantai pertama, padat penghuni. Rata-rata pengunjungnya adalah para pekerja yang baru pulang sepertiku–untung gue sempet ganti baju, mahasiswa, dan satu dua anak SMA yang masih keluyuran di atas jam 6 sore.
Emaknya enggak pada nyariin apa?
Suka dukanya duduk di pojokan itu kamu tidak terdeteksi radar penghuni lain, sedangkan kamu bisa melihat seluruh aktifitas di dalam ruang tanpa memuta kepala 360 derajat untuk melihat orang-orang.
Seperti sekarang, aku menangkap kedatangan penghuni baru yang menempati bagian teras. Nampaknya mereka sepasang kekasih, si cowok dengan gantle mempersilahkan si cewek duduk dengan menarik kursi layaknya cowok-cowok casanova dalam film.
Sayangnya lo salah tempat, Bung. Ini restoran cepat saji bukan prevat room di restoran Eropa.
Aku menggeleng-geleng takjub dengan kelakuan ajaib warga +62 yang satu ini. Tetapi, kalau dilihat-lihat … area teras ini memang tidak dihuni oleh penghuni lain selain mereka. Dengan kata lain, area bersih dari pengunjung.
Seriusan itu cowok nyewa teras atas buat makan ala ala prevat room?!
Aku mengedik bahu acuh, daripada mengueus urusan mereka mending urus urusan perut sendiri. Namun, sialnya, hati dan pikiran itu kadang tidak singkron. Niat hati mau makan, eh malah kepo sama sejoli di luar.
Sebenarnya, sejauh yang bisa mata laknat ini lihat, makanan yang dipesan … ya, makan cepat saji, tidak jauh-jauh dari nasi dan ayam. Tapi sepertinya si tuan puteri ini lagi diet, mejanya hanya di isi mangkuk sup krim dan roti bagle dan air minum kemasan. Sedangkan si cowok memesan makan berat; nasi, ayam, dan cock.
Kalo gue jadi itu cewek udah pasti mesen yang banyak lah, kalo enggak abis ya dibawa ke kosan. Buat apa diet-diet? Lo kerja nonstop dan lupa makan aja udah mampu ngurusin badan lo.
Itu sih lo, Vah, yang secara kekurangan gizi.’
Berisik lo!
Ting!!
Notifikasi WhatsApp membangunkanku ke dalam realita menyakitkan. Kuraih ponselku dengan sebelah tangan, aku mengerut kening ketika mendapat pesan baru dari nomor tidak kukenal. Isinya hanya kalimat basa-basi semacam,
[Hai.] Aku menutup chat room di WhatsApp kemudian kembli meneruskan makan malamku. Tidak lama notifikasi berbunyi lagi kali ini dengan kalimat lebih panjang.
[Udah pulang apa masih di kantor, Rivah?] Hmn, dia tahu namaku, berarti antara temen-temen kamvretku yang berusaha ngeprank, atau nasabah iseng yang keganjenan.
Kerja di bagian operasional itu, tidak lolos dari keisengan nasabah. Bertugas di bagian BO tidak menuntut untuk menghadapi komputer, dilain kesempatan aku juga mencari bibit berpotensial untuk dijadikan nasabah. Lumayan lah walau akhirnya ditangani oleh anak marketing, tapi aku juga kecipratan insetifnya.
Namun, tidak menutup kemungkinan kena apes karena salah sasaran. Alhasil, bukannya nambah insetif malah nambah musibah sendiri. Terlebih kalau calonnya adalah laki-laki, banyak modusnya. Ya, salah kirim lah yang akhirnya ngajak kenalan. Ya, salah pencet telpon lah yang akhirnya ngajak jalan. Ya, miscall-miscall iseng lah. Atau paling parah, malah ngajak phonsex di tengah malam.
Akhirnya setiap kali nomor baru masuk tanpa perkenalan diri, maka tidak akan kuladeni. Seperti sekarang ini.
“Bo-do-a-mat.”
Tidak lama chat ketiga masuk, kali ini membuatku hampir-hampir menyemburkan minumanku yang  berakhir dengan keselek dan batuk-batu.
[Saya kangen sama kopi buatan kamu, Rivah.] Barulah aku kenal siapa orang ini; Prayudha Syahdin. Ex-bos tertjinta kami. Aku memang menghapus nomornya begitu ia dipindah, karena toh, aku tidak lagi punya urusan dengannya. Mana tahu kalau ia benar-benar menghubungiku setelah dimutasi.
Bales enggak ya? “Ah, nanti aja. Pura-pura aja lagi enggak inget hape.”
Aku hendak melanjutkan makan, namun hal yang lebih menarik tertangkap radar mataku. Kembali lagi pada sepasang sejoli di teras luar, kali ini mereka tampak membicarakan hal yang serius. Si pria terlah menyingkirkan makanannya ke samping, begitupun si wanita. Mereka nampak berdebat sengit, si wanita yang terlihat lebih marah dan si pria yang berusaha menenangkan. Sampai akhirnya perdebatan itu di akhiri dengan si tuan puteri yang meninggalkan tempat sedangkan si pria tidak melanghentikan atau mengejar si puteri seperti adegan dalam dongeng.
Kesian amat, iyalah si cewek kabur, secara nyewa prevat room kok teras resto cepat saji gini.
Lama memandangi, si empunya badan malah memergokiku. Buru-buru aku memalingkan muka, berpura-pura fokus pada makananku.
Duuuh, masa iya ke-gep orang pacaran sampe dua kali. Sial bener gue.
Cepat-cepat kulahap setengah nasi dan ayam di mejaku, berusaha bersikap masa bodo itu susah ternyata. Aku hampir terjungkal begitu kursi di depanku ditarik oleh seseorang.
“Saya baru tahu ternyata selain bengkeng sama atasan dan sering mencibir orang hobi lain kamu adalah menguntit orang pacaran.”
Nah, loh kan. Mampus loh, Vah!
“Jangan pura-pura sok sibuk makan, Naya.”
Aku mendongak terlalu cepat sampai-sampai kepalaku membentur sesuatu, yang pertama aku lihat ketika menatap ke depan adalah; Seorang pria yang tengah kesakitan sambil memegangi dagunga.
Baru lah aku sadar bahwa pria yang ada di teras bersama si tuan puteri tadi adalah Dimas Wirmansyah?!
“Arivah Inayati!” geram Dimas dengan suara rintih tertahan.
Aku meringis ngeri, selama Dimas masih menunduk kesakitan, buru-buru kusambar dompetku, dan tanpa pamit aku tancap gas untuk kabur.

***

Minggu pagi adalah waktunya tidur sampe siang! Sayangnya, ekspetasi dan kenyataan itu dari dulu memang tidak pernah akur. Karena pagi ini, Amih menggrebek indekostku dengan segudang barang bawaannya.
“Bilang napa mih kalo mau dateng, kan Naya bisa beresin kostan dulu.”
“Halah, enggak enak kalo Amih bilang dulu ke kamu. Kamu pasti beresin sampe enggak ada cela buat Amih marahin kamu. Mending sidat dadakan kayak gini, jadi keliatan kan anak perawan yang satu ini jorok. Pantes sampe sekarang enggak laku-laku.”
Aku melotot tidak terima pada Amih, tapi yang diplototi malah melotot balik, malah lebih galak.
Karena pasal ibu-ibu sudah dijadikan undang-undang tidak tertulis, maka hamba tidak bisa membantah. Pasalnya berbunyi;
1. Ibu negara selalu benar.
2. Anak buah selalu salah.
3. Jika ibu negara salah makan akan kembali ke pasal  satu.
“Terus Amih ngapain ke sini kalo urusannya cuman mau marahin anaknya? Bilang kangen kek, malah ngomelin Naya.”
“Nah, justru itu. Amih kangennya ngomelin kamu, Nay.”
Aku melongo, saking syoknya.
Amih memang penuh kejutan, datang tidak diundang, pulangnya minta diantar, dan diongkosin. Bukan sekali dua kali aku kena sidat si Amih. Untung aku tidak pernah membawa pria masuk ke dalam indekostku, kalau pun ada yang main paling cuman Rayhan, itu pun hanya duduk-duduk di teras.
“Oh, iya. Mumpung kamu lagi libur….” Amih menaruh bungkusan kantong plastik di atas meja.
Hmm, perasaan gue kok jadi gak enak ya.
“Apaan nih, Mih?”
“Titipan temen Amih. Dia mau ngasihin ini ke anaknya, tapi enggak bisa ke sini. Karena Amih yang ke sini jadi sekalian aja.”
Aku menarik sebelah alis pura-pura bego. “Terus?”
“Ya kamu lah, Nay, yang anterin ini ke anaknya!”
“Ha?! Yang bener aja? Mana tau aku, Mih! Temen Amih aja aku enggak tau apa lagi anaknya!”
“Ini dikasih kok alamatnya. Kamu kan tinggal di sini udah lama, enggak bakal susah lah nyari alamatnya.” Amih kali ini menyodorkanku secarik kertas berisi alamat anak dari temannya ini.
Manusia macam apa yang berusaha Amih sodorkan padaku kali ini? Tuhaaaan.
Aku bukan lagi anak kecil yang mau-maunya dibohongi. Aku paham setiap kali Amih datang, tiba-tiba aku akan jadi kurir dadakan. Ya suruh anter ini-itu. Dan hampir semua orang yang terima paketku adalah laki-laki, aku paham Amih sengaja agar aku bisa bertemu dengan orang-orang itu dan berharap akan tertarik pada salah satunya.
Sayangnya, hingga saat ini, usaha Amih selalu gagal. Klien terakhir yang menerima paketku malah tidak berakhir baik. Waktu itu aku mengantarkan titipan–entah apapun itu–ke Semanggih. Aku sampai di kontrakan cukup mewah, katanya sih dia mahasiswa kedokteran tingkat akhir.
Tidak heran kalau tempat kostnya saja kayak perumahan elit gini, anak sultan mah bebas.
Ketika aku masuk yang membukakan pintu adalah seorang pria berbadan sedang, tidak terlalu tinggi, berwajah oval, dengan alis mata berkarakter, mata menyipit, dan bibir yang mencibir. Aku sempat berpikir, ini orang salah makan nasi kemarin kayaknya.
Yang lebih membuatku salah fokus adalah penampilannya. Bukan, bukan kaos longgarnya, yang jadi masalah adalah hot pans-nya.
Hot pans dong ya, pink lagi. Ini orang beneran salah makan deh.
“Siang, Mas,” sapaku sopan.
Pria tersebut melotot syok. “Mas? Emangnya gue tukang baso?”
“Eh, kalo gitu, Aa.”
Kali ini ia mendengus. “Aa. Dikira tukang photocopy.”
“Kalo gitu, Akang?”
Ia malah tambah cemberut. “Lo pikir gue tukang suling organ tunggal?”
“Ya udah, Kak.”
Sekarang ia maha bersedekap sambil bersandar pada pintu. “Ya, gue emang jualan online, tapi bukan itu!”
Aku mulai lelah. “Abang deh,” tawarku.
Kali ini ia melotot. “Emangnya gue abang becak?!”
Aku mengembus napas frustasi. Aku tidak tahu kalau menganter paket ke perumahan elit saja harus ada passwordnya.
“Kayaknya lo anak baru ya?”
Serah lo kate aja lah, Bung!
Pria tersebut berdeham lalu mengulurkan tangannya. “Karena lo gak tau, ya udah gue kasih tau aja biar enggak lama.”
Elo yang bikin ribeeet, goblog! Tuhaaaan, dosa apa aku hari ini?
“Panggil gue, Fa-rah.”
Aku mengerjap beberapa kali. “Gimana?” mungkin aku salah dengar.
“Fa-rah. Panggil gue Fa-rah. Actualy, Farhan tapi nama Farhan terlalu cowok. Jadi masih mending Farah.”

For God’s sake!! Don’t tell me you are….

“Itu paket buat siapa? Perasaan gue enggak mesen apa-apa. Sini.” Diambilnya paket di tanganku sementara aku masih jadi lukisan the scream. “Oh, buat Sandy. Bentar ya. Honneeeeeey!! Ada paket nih!”
GOOOOOOD!!!
Tidak lama keluar pria lain yang kali ini aku yakinkan namanya memang Sandy. Ia tinggi, berkulit putih mulus, dan wajahnya luar biasa tampan. Tapi….
“Paket apa, Sayang?”
Sukanya pisang lagi ?.
“Ini dari mommy, batik samaan buat nikahan kak Safira.”
Si Farah cemberut tidak suka. “Kapan sih, kamu kasih tau sama keluarga kamu?”
Sandy merangkul makhluk setengah jadi itu dengan sayang. Diusapnya kepala si Farah ini yang bibirnya lagi dimonyong-monyongin.
Serius deh! Gue aja gak percaya harus cerita beginian sama klean-klean. Enggak semanis itu kalo lo ada di posisi gue, sekarang aja gue udah mual-mual.
“Nanti aku kasih tau kamu ke Ayah, Mommy, dan kak Safira. Kita cuma nunggu waktu yang tepat aja buat kasih tau mereka.”
Lalu tanpa bersalah, permisi, atau ‘terima kasih’. Mereka menutup pintu di depan wajahku yang masih syok dengan adegan abnormal yang baru saja aku saksikan.
Mata gue ternodai!
Pulang dari sana aku marah, diam seribu bahasa, meski Amih bertanya aku mengatakan bahwa si Sandy itu sudah punya pacar dan kecil kemungkinannya aku mendapatkannya. Tentu saja aku menyembunyikan fakta mengerikan mereka, kalau aku mengatakan yang sebenar-benarnya aku yakin bukan hanya Amih saja yang kena serangan jantung tapi mommy Sandy juga sudah pasti langsung kolaps.
Ya, siapa yang mau anak lelakinya ternyata punya kelainan, suka sama pisang lagi.

***

Aku sampai di salah satu gedung apartemen yang cukup mewah di Jakarta Selatan, kupandangi gedung yang menjulang menjulang tinggi tersebut sambil berpikir; sejak kapan emak gue gaul sama orang-orang kayak gini? Menurut alamat yang diberikan, si klien ini tinggal di lantai 10.
Untung naiknta pake lif, coba kalo kayak rusunawa yang kapenya tangga, bisa-bisa gue kurus mendadak.
Aku menunggu di salah satu lif dengan dua orang lain yang berada di depan pintu lif yang lain, begitu pintu lif yang kutunggu terbuka, seorang wanita berpenampilan modis keluar dari lif di depanku. Entah sengaja atau tidak, bahu kami bersinggungan. Namun rasa-rasanya ia buta sama tata krama kemudian pergi begitu saja.
“Sableng,” grutuku.
Sepuluh menit kemudian aku sampai di depan pintu apartemen yang di maksud, sejenak aku masih berdiri di depab pintu persis orang bego yang bingung antara memencet bell atau mengetuk pintu. Pasalnya, aku takut salah orang, tapi Amih bilang kalau temannya ini sudah memberitahu anaknya, jadi kalau aku datang mengantar dia juga tidak akan bingung, kan?
Dari sekian rencana modus Amih untuk mencarikanku jodoh–well, karena memang tidak ada yang pas di mataku–untuk kali ini Amih mengakuinya, ia memang sengaja menyuruhku mengantar bungkusan ini pada anak temannya. Berharap, akan timbul medan magnet yang kuat sehingga terjadi fenomena tarik menarik.
Menurut sumber ahlinya perlambean alias emak-emak pasar, si cowok–yang masih belum jelas jenisnya–ini sudah memiliki pacar, hanya saja orang tua pihak si cowok masih kurang sreg sama si ceweknya. Alhasil, timbullah ide gila seperti ini.
Aku sempat tidak terima dengan ide ini, karena secara tidak langsung Amih menjerumuskanku pada dunia perplakoran! Apa yang bakal Jeje bilang kalo tahu soal ini?!
Pada akhirnya tetap kulakukan karena aku tidak ingin  dikutuk dan kisahku jadi berita dengan judul Malin Kundang The Next Generation, padahal sama saja aku menuju ke arah dosa.
“Semoga gue enggak ketemu uang setengah-setengah dan semacamnya.”
Aku memencet bel di samping pintu sekali, kutunggu sepuluh menit, namun belum ada jawaban. Lalu ku pencet lagi bel dua kali, belum terlihat tanda-tanda kehidupan. Dan sampai aku memencet  bel tiga kali, barulah terdengar suara dari dalam.
“Siapa?”
“Paketnya, Mas!”
“Bentar!”
Hmn, kok bau-baunya gue kenal suara ini orang.
Lalu seperti gerakan slow motion pintu di depabku dibuka, dan seperti di dalam film-film, aku melihat dari kaki kemudian baik ke atas hingga kutemukan wajah yang SAMA sekali tidak asing untukku.
“Saya tidak tahu, kalau kamu sampai senekat ini buat nguntit saya, Naya.”
Nah, loh!

TBC?? ?

DayNight
DayNight