Cerpen | ASMARADANA

12 Oktober 2023 in Vitamins Blog

 

5 votes, average: 1.00 out of 1 (5 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Apa kamu yakin, Dik dengan keputusan itu?” Surya menatap Lastri dengan raut wajah memerah menahan rasa yang juga mengilatkan pengharapan.

Terlihat Lastri memeluk lututnya dengan menghela napas. Tatapannya tampak kosong ke arah sawah-sawah yang masih menghijau di depan mata.
“Ya, aku yakin, Mas Sur.” Lastri menunduk hingga wajahnya tak terlihat lagi, tertutup kedua lengannya yang memeluk lutut. Perempuan itu menangis.

Napas Surya pendek-pendek. Hatinya seperti dicabut paksa dari tempatnya mendengar keputusan kekasihnya itu. Lebih dari itu, hal paling menyakitkan saat ini adalah melihat Lastri menangis. Surya tahu jika sebenarnya Lastri pun terpaksa menyetujui permintaan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di luar kota, meski itu cita-cita Lastri sendiri.

“Mungkin ini memang belum waktunya, Dik.” Surya berkata menguatkan hati.

Tangis Lastri semakin menjadi-jadi.

“Kau tahu aku masih harus menjadikan diriku lelaki yang layak menikahimu. Aku masih harus berjuang agar bisa lebih siap menghidupimu nanti, Dik.”
Lastri mengangkat kepala dengan wajahnya yang penuh air mata.

“Meskipun Mas Sur sadar jika keputusan Bapak sebenarnya adalah untuk memisahkan kita? Bagaimana jika ternyata aku di kota seberang dikawinkan dengan lelaki lain?” Lastri berseru hingga dadanya kembang kempis menahan tangis.

Perempuan itu sungguh berharap jika Surya akan bersikukuh menahan dirinya dengan menghadap sang ayah dan memohonkan Lastri agar tidak pergi. Namun, siapa tidak kenal Purwadi, bapaknya. Tak ada yang berani melawan, bahkan jika seseorang itu berniat baik untuk membetulkan kumisnya yang miring.

Surya menggeleng. “Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi,” sergahnya lantang. “Izinkan Mas untuk bekerja lebih keras lagi dan kau selesaikanlah pendidikanmu. Kita akan bertemu lagi di waktu yang lebih baik dari ini.” Surya memasang senyum menghibur meski itu tak membantu Lastri sama sekali. Sebelah lengannya tampak merangkul perempuan itu.
Lastri tak bisa berkata-kata. Ia turut merangkulkan tangannya ke punggung Surya. Ini adalah pertemuan terakhir mereka sebelum kepergian Lastri.

***

Purwadi membenarkan letak kacamata di atas hidung saat diketahuinya Lastri memasuki rumah. Hari menginjak petang. Purwadi tahu pasti dengan melirik sekilas wajah anak perempuannya yang sembap jika pastilah Lastri baru saja bertemu dengan bocah laki-laki itu. Tak perlu bertanya, Purwadi sudah bisa menebak apa yang mereka bicarakan ketika bertemu tadi.

Senyum terkembang di bibir Purwadi. Surya dan Lastri terlalu polos untuk bisa mengetahui rencana liciknya yang sesungguhnya. Sepertinya, rencananya kali ini akan berhasil.

***

Pagi buta Surya dikagetkan oleh suara deru kendaraan roda empat yang tak berhenti melintas di depan rumah. Siapa lagi pemilik suara mobil di desanya ini jika bukan Purwadi bapaknya Lastri. Dia satu-satunya tuan tanah dengan begitu banyak kekayaan yang tenar di seantero kabupaten.

Dada Surya bergetar, tenggorokannya serasa tercekik dengan gemuruh emosi yang mendadak meluapi tubuhnya.

Lastri diberangkatkan pagi ini juga ….

Bergegas Surya berlari keluar rumah. Ia melihat sosok Jono yang tengah berdiri di sisi jalan sembari tangannya bergerak lincah memberi aba-aba kepada para supir mobil yang melintas untuk terus melaju.

Ada lima mobil yang melintas. Entah Lastri berada di mobil yang mana. Pandangan Surya tak berkedip mengantarkan kepergian mobil-mobil itu hingga tak tampak lagi terhalangi debu jalanan.

“Surya!” Jono menghampiri. Lelaki itu tahu persis apa makna tatapan sendu yang ditampakkan Surya tanpa tahu malu itu.

“Lastri dibawa ke mana?” Dengan cepat Surya bertanya.

“Bandung, Sur. Juragan ingin Lastri belajar teknik, biar jadi insinyur,” jawab lelaki berkulit sawo matang itu dengan mata memicing. “Apa rencanamu, Sur?”

Surya seperti baru saja diguyur air sejuk dari langit. Tatapan sayunya berubah cerah seketika dan tatapan matanya kembali ke ujung jalan. “Aku akan menyusulnya.” Surya mengangguk-angguk mendengar kalimatnya sendiri. Lelaki itu lantas berlari masuk kembali ke dalam rumah.

“Oi, Surya! Memangnya kau sudah punya bekal?” Jono berseru dari teras rumah. Suaranya nyaring mengalahkan ayam jantan yang berkokok di berbagai sudut kampung.

“Belumlah. Nanti kujual kambing Bapak buat ongkos naik bus.” Surya berkelakar sambil terbahak dari dalam rumah.

“Dasar bocah malas! Ngarit sana! Cinta wae kauurusi. Memangnya istrimu nanti mau kaukasih makan rumput.” Bapak Surya turut menyahut sembari menyabet sarung yang dipegangnya ke punggung Surya dengan gerakan jenaka, membuat Surya dan Jono tertawa.

Surya melangkah cepat ke dalam kamar, mengambil topi lantas melangkah ke belakang rumah bersiap merumput, menyapa ibunya yang sedang sibuk memasak di tungku.

Senyum lelaki itu tampak yakin dengan semangat yang menyala di kedua matanya.

Dia akan mengumpulkan uang untuk menyusul Lastri!

***

Lastri duduk di salah satu sisi kabin penumpang. Mobil Landcruiser J80 milik bapaknya melaju tenang di jalanan berdebu. Sepanjang perjalanan itu, Lastri hanya menatap kosong pada pemandangan sepanjang perjalanan. Sesekali perempuan itu tampak tertidur tanpa sadar, lalu terbangun lagi dengan kening berkerut, seolah tak sabar ingin segera tiba di tujuan. Lebih tepatnya, ia bosan dan duduk termenung seperti itu hanya membuatnya mengingat Surya.

“Mbak Lastri.” Sang supir menyapa sembari memiringkan badannya sedikit ketika mobil berhenti di lampu merah. Suara cempreng pengamen dengan genjrang-genjreng alat musik mini mulai riuh memadati jalan. Lastri sekilas mengamati beberapa pengamen yang mulai mendekat sebelum membalas sapaan supirnya. “Masih berapa jam lagi kira-kira perjalannya?”

“Sudah dekat, Mbak. Mbak Lastri mau saya berhenti dulu di tempat istirahat? Atau langsung melanjutkan perjalanan?” tawarnya sembari melirik ke sisi lain kabin penumpang di mana rantang makanan yang dibawakan Pak Purwadi sama sekali tak tersentuh.

Lelaki paruh baya itu menghela napas pelan lantas mengangguk patuh, duduk tegak kembali dengan tangan kirinya memainkan kopling. Mobil kembali melaju meninggalkan matahari yang kian tumbang ke barat.

Angin mulai bertiup sepoi-sepoi menciumi kulit. Kendaraan itu melesat dengan kecepatan rata-rata. Kemacetan di beberapa titik membuat perjalanan mereka harus terlambat hingga berjam-jam lamanya, terimpit kendaraan-kendaraan besar yang membuat Lastri harus menahan kuat keinginannya untuk meloncat dari jendela mobil dan kabur.

Lastri tidak tahu di kota ini ia akan tinggal di mana. Kata-kata bapaknya yang sungguh manis nan menjengkelkan itu membuatnya tak bisa apa-apa lagi selain menurut. Purwadi berkata jika ia telah mengatur semua yang terbaik untuk Lastri. Perempuan itu hanya perlu mengikuti arahan Danang, ajudan serta supirnya saat ini.

Jalanan lebar dengan pohon-pohon mahoni nan rindang tampak menyambut. Jantung Lastri berdebar kencang tetapi wajahnya kali ini tak sedikitpun menampakkan kegundahan. Danang memelankan laju kendaraannya ketika perlahan mereka memasuki area perumahan dengan rumah-rumah bergaya klasik modern.
Perempuan itu mengamati sepanjang sisi perumahan dengan kening berkerut mengingat-ingat. Sepertinya ini bukan dejavu karena Lastri memang tahu dan pernah berkunjung ke tempat ini di masa kecilnya. Entah bagaimana bulu kuduknya tiba-tiba meremang dan sontak duduknya berubah tegak tepat saat mobil yang ditumpanginya berhenti.

Danang keluar dari kursi kemudi dan berjalan membukakan pintu untuk Lastri. Perempuan itu tak membuang waktu lagi dan bersegera keluar. Sebelum ia terkejut oleh kebenaran ingatan lampaunya tentang tempat itu, hal pertama yang membuat ia ternganga dan jantungnya seolah jatuh dari rongganya adalah lelaki yang berdiri di depannya.
Lelaki yang sejak pagi tadi mengantarnya sejauh ini bukanlah Danang, putra ajudan ayahnya, melainkan Irawan, putra rekan ayahnya yang sering disebut-sebut oleh ayahnya itu sebagai calon suami terbaik untuk Lastri.
Lastri mengepalkan tangannya erat.

Irawan menengok sisi kiri sejenak ke arah rumahnya yang mentereng dan mengembuskan napas penuh kelegaan menyebalkan di mata Lastri. “Selamat datang di rumah, Dik Lastri,” sapanya.

Napas Lastri memburu, terlebih ketika kedua matanya membaca tanpa sengaja tulisan berwarna perak yang berada di belakang Irawan. Regency 21, Surabaya.

***

Beberapa tahun berlalu ….

Surya membolak-balik amplop surat di tangannya sembari menimbang-nimbang. Ini adalah surat keempat yang akan dikirimkannya kepada Lastri, tetapi urung. Surya mengembuskan napas panjangnya dengan wajah masam. Kekasihnya itu tak pernah membalas surat-suratnya selama ini. Padahal berkali-kali sebelum Surya mengirim surat, Surya selalu mengecek betul-betul alamat tujuan suratnya melalui buku-buku alamat yang tak bosan ia beli di pasar loak.

Surya mendadak menjadi manusia yang gemar membaca demi mencari-cari informasi tentang kota tujuan Lastri yang juga akan menjadi tujuan perginya kelak. Bandung. Sesekali Surya pergi ke kota sebelah dengan merelakan sebagian uang sakunya untuk pergi ke warung-warung internet dan menghubungi teman-teman sekampungnya yang tinggal di kota itu.

Kali ini, dengan bekal yang dirasa cukup, Surya memutuskan untuk pergi merantau, mencari penghidupan yang lebih layak serta memastikan sendiri bagaimana keadaan Lastri di luar kota.

“Surya.” Sang Ibu memanggil. Surya yang telah berpakaian rapi dengan celana gombroh dan kemeja rayonnya itu menoleh dan tersenyum. Satu tas ransel penuh berisi pakaian serta sekardus kecil bekal yang disiapkan ibunya telah siap ia bawa. Surya memasukkan surat yang ditulisnya itu ke dalam tas, lalu berdiri menghadap ibunya.

Sang ibu tampak berusaha keras menguatkan hatinya saat berbicara kemudian, “Jaga dirimu baik-baik. Niatkan semua yang kaulakukan ini untuk sesuatu yang baik,” pesannya sambil menepuk-nepuk lengan Surya.

“Iya, Bu,” jawab Surya mantap diikuti tangan kanannya yang menggapai tangan sang ibu lantas menciumnya. “Surya berangkat,” pamitnya lalu pergi ke arah sang bapak dan membisikkan kalimat berpamitannya yang sama.

“Bekerjalah dengan baik. Lakukan hanya hal-hal baik, Sur, maka kebaikan juga yang akan datang kepadamu,” pesan sang bapak saat Surya menciumi tangannya.

Surya mengangguk pasti dengan keyakinan yang tampak cerah di wajahnya lalu berjalan menghampiri mobil pikap milik tetangganya. Surya akan menumpang sampai terminal bus. Tak hanya orangtuanya saja yang mengantar kepergian Surya, para tetangga turut berdiri berjajar di depan rumahnya dengan mata berkaca-kaca.

Hari itu tibalah Surya merantau berniat menyusul cintanya.

***

Petugas pos itu turut tersenyum kecut saat melihat ekspresi Lastri yang tampak kecewa. Perempuan itu telah pergi ke kantor pos tiga kali dalam seminggu ini dan tak mendapatkan apa pun. Lastri mengeyel dan terus menanyakan jika barangkali ada surat untuknya yang terselip atau lupa terbawa oleh kurir pos. Namun sekali lagi, petugas pos itu menggeleng. Semua surat sudah dikirim ke tujuan dan tak ada satu pun surat untuk Lastri. Lastri bersikukuh. Apakah jangan-jangan suratnya tidak sampai di tempat tujuan. Petugas pos dengan tetap berusaha menahan kesabaran menjelaskan kembali jika ada surat yang tak sampai tujuan, maka surat itu akan kembali ke kantor pos ini, tetapi nihil.

“Saya yang akan mengantar sendiri jika suatu saat nanti ada surat untuk Mbak Lastri.” Petugas itu menatap wajah manis Lastri dengan kalimatnya yang meyakinkan. Berharap urusan ini segera selesai.

Terlihat Lastri mendesah dan mengangguk pasrah. “Baiklah, Pak. Saya permisi,” tuturnya kemudian diiringi langkah kakinya yang lesu keluar kantor pos.

“Pacarmu itu tahu tidak kalau kau pergi ke Surabaya?” Ajeng, teman kuliah Lastri bertanya. Kali ini mereka terduduk di bangku panjang di bawah pohon Linden.

“Pak! Dawet ayunya dua ya.” Ajeng berseru. Dari tempat yang tak begitu jauh, penjual dawet ayu itu mengacungkan jempol dan segera membuatkan pesanan.

Panas terik. Awan mendung mulai menyelimuti langit Surabaya.
“Aku yakin dia tahu,” jawab Lastri dengan pandangan menerawang. “Mas Surya orang yang suka menepati janji. Aku percaya dia saat ini pasti sedang berusaha entah bagaimana caranya untuk menemuiku.”

“Irawan? Dia juga lelaki baik. Malah di depan mata. Tidak membuatmu menunggu dan sengsara seperti ini. Hei, jangan sampai koe mburu uceng kelangan deleg.” Ajeng bersedekap.

Kurang baik apa Irawan sebenarnya. Lelaki itu dengan sabar membiarkan rumahnya menjadi tempat tinggal Lastri selama di Surabaya. Menyediakan apa pun yang Lastri butuhkan tanpa diminta dan yang pasti, Irawan adalah sebenar-benarnya calon suami idaman di mata Ajeng.

Lastri menoleh cepat. Biasanya, jika sampai Ajeng mengeluarkan kata koe, Ajeng benar-benar sedang kesal.

“Esnya, Mbak.” Sang penjual membawa nampan mengantar es, meredam sejenak obrolan Lastri dan Ajeng.

“Irawan tidak bisa dibandingkan dengan Mas Surya, Jeng. Ini soal komitmen. Bahwa aku dan Mas Surya akan menyelesaikan urusan kami terlebih dahulu sebelum pergi ke jenjang lebih jauh. Kamu tidak paham, lantas dari mana kamu bisa membandingkan mutiara dengan batu kerikil?” Lastri mengotot, membuat Ajeng menelan ludah.

***

“Surabaya katamu?” Surya menggeram. Wajahnya memerah. Dadanya kembang kempis bersiap memuntahkan seluruh emosi. Namun, ternyata tidak. Surya justru membungkukkan tubuh dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Perasaannya campur aduk membuatnya hampir menangis.

Ia baru saja tiba di Bandung pukul tiga dini hari tadi dan langsung datang ke tempat Kusno, teman sekolah menengah pertamanya dulu yang kini telah pindah ke kota ini. Begitu beberapa hari lalu Surya mengabari jika hari itu ia akan tiba, Benu, teman yang selama ini berkomunikasi dengannya melalui telepon pun menginap di rumah Kusno, bermaksud menyambut kedatangan Surya.

“Bagaimana bisa kau tidak tahu, Sur? Kukira kau bersemangat datang kemari karena betul-betul ingin menemuiku dan bekerja di sini. Aku tak sampai hati membahas soal Lastri karena aku tahu kau pasti sedih. Kupikir kau kemari karena ingin menyembuhkan patah hatimu. Tapi ternyata ….” Benu tak bisa melanjutkan kata-katanya.

Temannya ini telah tertipu. Apakah Purwadi benar-benar telah merencanakan skenario ini untuk menjebak dan menjauhkan Surya dari Lastri?

Kusno yang hanya menyimak pembicaraan pun turut menyandarkan tubuhnya ke tembok dengan ekspresi sama marahnya yang tak habis pikir.

Surya mengusap wajah. Tatapannya tertuju pada pintu ruang tamu milik Kusno yang masih terbuka. Menampakkan pemandangan pagi kota Bandung yang ramai oleh hilir mudik orang-orang yang hendak berdagang.

Surabaya. Perasaan Surya hancur saat hatinya berkali-kali menyebut nama kota itu, seolah-olah selain jarak tempat ini ke kota Lastri yang begitu jauh, Lastri terasa kian tak tergapai.

Aduhai, apakah Lastri masih menantinya di sana? Ataukah jangan-jangan perempuan itu telah dipinang dan menikah dengan lelaki lain?

Surya menunduk putus asa bercampur rindu yang membuat dadanya sesak.

***

Irawan menghela napas sebelum mengangkat telepon. “Halo.”

“Ha, Irawan. Calon mantu terbaik. Bagaimana kabar Surabaya?” Purwadi menyapa dengan aksen suaranya yang serak.

“Tak begitu baik, Pak Pur. Harus sampai kapan saya menunggu? Lastri masih saja keras kepala. Pak Pur tentu ingat dengan perjanjian itu, bukan?”

Purwadi terdiam sejenak. “Sepertinya aku harus betul-betul menjalankan rencana ketiga,” ujarnya parau.

“Apa itu?” Irawan mengerutkan kening ingin tahu.

“Menghabisi anak tengik itu.” Purwadi menjawab dengan wajah beringasnya yang keriput.

Tampak Irawan menyeringai. Kedua matanya menyipit dan sebelah lengannya mengetuk-ngetuk meja.

“Surya sudah berangkat ke Bandung. Nanti biar orang-orangku yang mengeksekusi,” ujar lelaki tua itu.

“Tidak perlu. Biar aku saja, Pak Pur. Aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana bocah itu tersungkur tak berdaya sambil memohon-mohon ampunanku,” kelakar Irawan diikuti tawanya yang menyeramkan.

Purwadi di seberang telepon turut tertawa.

***

Seperti pesan ibu bapaknya, meski keadaan Surya kala itu sangat memprihatinkan, Surya tetap memaksakan diri untuk berangkat bekerja. Dia yakin jika niatnya baik, maka ia akan mendapat jalan keluar. Maka, dengan terseok-seok, Surya menguatkan diri untuk tetap menjalani harinya seperti biasa. Beruntung ia memiliki teman-teman baik yang mau menampungnya tinggal untuk sementara waktu dan memberinya pekerjaan. Bekal Surya sudah habis. Mau tak mau, ia harus berjuang kembali, apalagi, perjalanan Bandung-Surabaya membutuhkan uang yang tidak sedikit.

Waktu beranjak siang, Surya berjalan gontai hendak kembali ke toko tempatnya bekerja setelah mengantar berkardus-kardus pesanan pelanggan. Benu menawarinya sepeda, tetapi Surya menolak. Sudah baik Benu mengizinkannya bekerja di toko kelontong miliknya, Surya tak mau kian merepotkan.

Beberapa meter sebelum tiba di pintu gang, mendadak dari arah belakang ada seseorang yang menutup mulutnya dengan kacu, tubuhnya diseret dengan kedua tangannya disatukan di belakang badan. Surya yang tak siap akhirnya kalah. Orang-orang tak dikenal membawanya ke sebuah rumah tak berpenghuni, menghajarnya habis-habisan, memukulinya tak kenal ampun sampai pada titik kesadaran Surya yang mulai menipis lalu hilang ditelan kesakitan tak tertahan.

***

Lastri menangis tersedu-sedu di sudut kamarnya yang remang. Perasaannya hancur berantakan. Petugas pos yang biasa dititipinya surat itu mendadak datang ke kampusnya, memberinya informasi mengejutkan.

Surat-surat yang dikirim Lastri kepada lelaki bernama Surya Darmadi itu sesungguhnya tak pernah ia kirimkan. Ia diancam oleh Irawan agar mau menuruti perintahnya untuk memberikan surat-surat itu kepadanya. Tempo hari, saat ia berkunjung ke kantor tempat Irawan bekerja, ia tak sengaja mendengar pembicaraan Irawan dengan seseorang melalui telepon bahwa Irawan dan orang itu sedang merencanakan sesuatu yang buruk kepada seseorang. Petugas pos itu berkata bahwa percakapan telepon berakhir dengan kalimat Irawan akan pergi Bandung.

Sudah sejak bertahun-tahun lalu petugas pos itu sesungguhnya memendam rasa bersalah dan tak tega tiap kali melihat Lastri terpuruk bahkan marah-marah karena rasa tak percayanya kepada kantor pos yang tak beralasan. Namun kini, ia sudah tak tahan lagi. Biarlah ia dipecat dari pekerjaannya asal ia telah melakukan hal yang benar.

Lastri termangu pucat pada awalnya, hingga setelah petugas pos itu pergi, Lastri tak bisa lagi menahan tangisnya yang tak terbendung.

“Mas Surya ….”

***

Surya dibawa ke rumah sakit terdekat oleh Benu dan Kusno. Beruntung seorang anak jalanan yang sering mengamen ke toko Benu itu hapal wajah Surya, sehingga ketika ia berteduh dari hujan lebat di rumah kosong itu dan melihat ada manusia bersimbah darah tak sadarkan diri, ia langsung berlari tunggang langgang menuju ke toko tempat Surya bekerja untuk mencari pertolongan.

Tulang iga Surya patah beberapa, dadanya tersayat senjata tajam hingga tembus ke paru-paru, kepalanya bocor, belum lagi seluruh tubuhnya yang lebam terkena pukulan. Hingga beberapa hari dirawat, Surya belum juga menampakkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Napasnya begitu lemah dibantu oksigen.

Benu menunduk dengan wajah memerah. Hatinya terenyuh menyaksikan bagaimana nelangsanya Surya. Ia telah duduk di kursi dalam ruang perawatan itu dua jam lamanya. Tadi siang, ia telah mendatangi kantor polisi dan sampai saat ini ia belum menerima kabar apa pun. Informasi sementara, pelaku kemungkinan adalah gerombolan berandal kota yang sering meminta uang kepada korbannya dan mengancam tindak kekerasan jika tak dituruti.

Sebagai teman baik, Benu berjanji akan membantu temannya itu sampai sembuh benar dan siap bekerja lagi, kalau perlu, ia akan menjebloskan ke penjara, siapa saja pelaku yang telah melukai temannya hingga seperti ini.

Lamunan Benu pecah saat Kusno memasuki ruangan.

***

Lastri terlihat panik. Berkali-kali ia melihat penunjuk waktu di pergelangan tangannya. Ini adalah hari keempat sejak ia menerima kabar dari petugas pos itu. Lastri memutuskan untuk pergi menyusul Surya ke Bandung. Ajeng memaksa mendampingi Lastri pergi. Maka saat ini, setelah menghubungi Danang dan mencercanya habis-habisan, Danang akhirnya mau memberi tahu di mana Surya berada. Sebagai tangan kanan Darmadi yang memata-matai gerak-gerik Surya, Danang tahu semuanya.

Mobil angkutan yang ditumpangi Lastri terasa lambat. Supir berkata bahwa ia terbiasa menunggu ibu-ibu pulang dari pasar dan akan berhenti sebentar di sisi gerbang pasar. Lastri hampir-hampir meledak marah. Ajeng memutuskan mengajak Lastri turun dan berganti kendaraan. Setelah berdebat, akhirnya mereka menaiki ojek hingga tiba di depan sebuah toko.

“Terima kasih, Pak.” Lastri memberikan sejumlah uang kepada pengendara ojek, begitu juga Ajeng.

Tubuh lelah setelah menempuh perjalanan hampir semalaman dan sepagian ini tak mereka rasakan. Sebelum memastikan jika mereka berada di tempat yang tepat, hujan deras mendadak turun membuat Lastri dan Ajeng berlari-lari kecil mencari tempat berteduh.

Kening Lastri berkerut ketika menoleh ke arah kiri dan kanan di mana toko kelontong tujuan mereka ternyata tertutup rapat begitu juga toko-toko lainnya di sekitar tempat itu. Menyisakan pemandangan kosong dengan hati Lastri yang berkecamuk.

Ajeng menoleh. “Kita mencari tempat tinggal dulu saja, Lastri.” Ajeng memberi saran. Lastri mengangguk.

“Mbak.” Suara seorang anak lelaki kecil mengalihkan perhatian keduanya. Tampak seorang anak berumur sekitar delapan tahun dengan pakaian kumal menyapa. “Mbak mau beli di toko ini, ya? Baru aja tutup,” celotehnya.

Lastri tersenyum simpul, menoleh ke arah Ajeng dengan pengertian yang sama. Anak ini adalah petunjuk.

Lastri mengangguk. “Iya. Adik tahu pemilik toko ini siapa?”

“Tahu, dong. Aku hapal semua orang di kawasan ini, Mbak.”

Mata Lastri berbinar. Belum sempat bertanya, anak itu sudah berceloteh lagi, “Pemilik toko ini namanya Mas Benu, pegawainya ada banyak. Ada Mbak Lusi, Mbak Resmi, Mas Bujang, Mas Surya-“

“Mas Surya.” Lastri berjongkok sembari mengusap kedua lengan anak lelaki kecil itu. “Kamu tahu di mana dia tinggal?” napas Lastri memburu, tak sabar bertanya.

“Mas Surya kata Mas Benu sekarang tinggal di rumah sakit, Mbak. Mas Surya keluar darahnya banyak tuh di rumah kosong.” Kepala bocah itu mengedik, menunjuk arah ketika dia menemukan Surya bersimbah darah.

“Rumah sakit apa namanya, Dik?” Ajeng turut bertanya.

Anak kecil itu menggeleng. “Mas Benu yang tahu.”

“Oke. Oke. Terima kasih.” Dengan tergopoh-gopoh Lastri merogoh sakunya dan memberi anak kecil itu uang, lantas berlari disusul Ajeng yang berteriak-teriak memanggilnya.

“Kita ke rumah sakit terdekat terlebih dulu.” Lastri memutuskan diikuti suara nyaringnya saat memberhentikan mobil angkot yang hendak lewat. Ajeng tak bisa apa-apa lagi selain mengiyakan dan mengikuti apa pun keputusan Lastri.

Hujan sepertinya belum ingin mereda dan Lastri tak peduli lagi. Dia sudah kian dekat dan tak ingin kehilangan kesempatan. Lastri menggigit bibir, berharap tak ada sesuatu pun yang mengkhawatirkan dari keadaan Surya.

Ajeng tak henti-henti mengusap lengan Lastri untuk menenangkan. Ia sungguh belum pernah bertemu dengan lelaki bernama Surya itu sebelumnya, tetapi melihat bagaimana Lastri begitu kacau dan kalang kabut mendengar berita buruk ini, sepertinya Ajeng tak bisa menganggap remeh lelaki itu.

Surya pastilah lelaki istimewa.

***

Nasib mempertemukan kembali Lastri dan Surya. Perempuan itu berusaha tenang dan mengusap air mata yang makin deras mengaliri pipi tirusnya. Tubuhnya hampir roboh kalau-kalau Ajeng tak menjaganya.

Surya tampak bukan Surya saat ini. Hampir-hampir Lastri mengelak jika laki-laki yang terbaring tak sadarkan diri di depannya ini adalah kekasihnya. Kepalanya tertutup perban, separuh lebih wajahnya tertutup ventilator, seluruh tubuhnya tampak pasrah dengan selang infus serta beberapa baret luka yang menyayat kulitnya.
Perlahan Lastri berjalan mendekat, menguatkan diri. Benu berdiri di sisi lain ranjang, tak kuasa turut menitikkan air mata antara terenyuh sekaligus tersentuh melihat Lastri datang dengan sekujur tubuh penuh basah air hujan, mendatangi kekasihnya yang sedang sekarat.

Benu telah menceritakan semuanya. Lima hari ini Surya tak menunjukkan tanda-tanda akan terbangun. Kening Lastri mengernyit. Kali ini, tubuhnya benar-benar kalah. Perempuan itu jatuh tersungkur dari kursi di sisi ranjang perawatan Surya membuat Ajeng dan Benu terkejut bukan main. Ajeng berusaha memapah temannya itu sementara Benu berlari memanggil perawat.

Dari semua kejadian mengejutkan yang tak dinyana akan terjadi hari itu, hal paling mengejutkan dari semuanya adalah ketika tiba-tiba saja Surya terbatuk-batuk dengan napasnya yang tersengal mengeluarkan cipratan darah dari mulut dan hidungnya.

Situasi mendadak tegang dengan datangnya beberapa perawat yang memeriksa Surya serta memberi pertolongan kepada Lastri yang tak sadarkan diri. Tubuh Ajeng turut bergetar, begitu juga Benu yang berdiri kaku dengan mata berkaca-kaca dan jantung yang seolah diremas melihat pemandangan memilukan di depan matanya itu.

***

Keadaan genting terjadi di rumah Irawan. Sudah sejak kemarin pagi ia tak melihat Lastri keluar rumah, rekan-rekannya di kampus juga berkata bahwa Lastri absen, begitu juga Ajeng, teman dekatnya.

Ke mana perempuan itu?

Irawan menggebrak meja penuh amarah. Semua anak buahnya tak ada satu pun yang terlepas dari kemarahan lelaki itu. Tak ada yang mengetahui di mana Lastri berada. Sepertinya perempuan itu mencari kesempatan pergi di saat semuanya sedang lengah.
Irawan memejamkan mata, berusaha menenangkan diri agar bisa berpikir jernih. Ia merasa bersalah dan tak berani menghubungi Purwadi, hanya hatinya yang terus bertanya-tanya, Apakah perempuan itu nekat pulang ke Yogyakarta?

***

Surya masih tak berhenti terbatuk-batuk hingga beberapa hari kemudian. Dokter berkata jika itu adalah proses pembersihan darah yang masuk ke paru-paru. Lastri dan yang lainnya memakluminya meski terasa ngeri. Tak tega rasanya melihat Surya kesulitan bernapas.

“Dik Lastri.” Surya berkata serak.

Lastri tersenyum kecil. “Ya. Mas Sur,” jawabnya sembari menggapai sebelah tangan Surya.

“Aku tak pernah menyesal atas apa pun. Kau jangan pernah merasa bersalah karena ini bukan salahmu.” Surya memandang Lastri dengan mata berkaca-kaca.

“Seharusnya aku tidak pergi.” Lastri berucap sengau. “Aku tak akan pergi lagi setelah ini, Mas. Aku berjanji. Aku akan menemani Mas Surya sampai sembuh,” janjinya dengan wajah kuyu.

Surya memejamkan mata. “Ah, sungguh saat ini aku merasa sangat sehat dan damai, Dik,” ucapnya dengan ekspresi berseri-seri meski wajahnya pucat seperti mayat. “Ternyata, obat yang mujarab itu engkau,” imbuhnya lagi.

Wajah Lastri memerah. Senyumnya tampak malu-malu. “Karena memang Mas harus sehat. Aku tak peduli keadaan Mas Surya seperti apa pun, Mas selalu layak untuk Lastri.”

“Astaga, Dik. Jantung Mas berdesir seperti mau copot mendengar ucapanmu.” Surya berpura-pura memegang dadanya erat sembari tersenyum penuh cinta ke arah Lastri. “Mas berjanji, hari Mas pulang dari rumah sakit ini adalah hari pernikahan kita. Mas akan mengurus semuanya secepat mungkin.”

Lastri terbelalak. Benu dan Kusno yang sedari tadi menulikan telinga atas percakapan Lastri dan Surya itu menoleh bersamaan dan bersorak.

“Siapa dulu yang mengompori?” Benu bersedekap.

“Hus!” Surya mengepalkan tangan erat-erat. Wajah pucatnya bersemu.

Lastri menutup mulutnya menahan senyum, Benu dan Kusno saling pukul menyalahkan dengan nada bercanda lantas tertawa meski dalam hati mereka terharu. Teman mereka yang paling malang akhirnya bahagia.

Lastri menggenggam rapat tangan Surya, tak ingin berpisah lagi.

TAMAT

*Koe : kamu (aksen kasar untuk menyebut lawan bicara dalam bahasa Jawa)
*Mburu uceng kelangan deleg : (peribahasa Jawa) artinya : memburu sesuatu yang kecil hingga kehilangan hal besar

Cerpen | Untuk Laura

16 Mei 2023 in Vitamins Blog

black-1175218_1920

 

7 votes, average: 1.00 out of 1 (7 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Kota Ockland dilanda kericuhan. Keamanan kota sedang diobrak-abrik oleh sindikat kriminal yang bergerak secara senyap menculik warga kota di beberapa tempat. Pihak regensi beserta tim investigasi telah menurunkan tim khusus untuk menyelesaikan persoalan tersebut. CCTV dipasang hampir di semua sudut strategis berikut petugas yang disebar hampir di semua wilayah.

Laura berjalan cepat dengan napas terengah saat tiba di pintu gang. Area tempat tinggalnya ini sesungguhnya adalah area yang jauh dari hiruk pikuk serangan para penjahat itu dan termasuk wilayah aman karena berada di lokasi terdekat dengan kantor polisi setempat.

Waktu menunjuk pukul sepuluh malam. Laura merasakan dadanya seolah akan meledak karena sedari tadi menahan rasa cemas sekaligus lelah karena langkahnya yang cepat. Perempuan itu bersandar pada tembok di salah satu sisi tersembunyi sebuah rumah tak jauh dari jalur masuk tempat tinggalnya. Tadi, Laura mengira jika dirinya akan menjadi korban penculikan selanjutnya setelah selama 1 kilometer jauhnya ia dibuntuti oleh seseorang.

Laura membuka ponselnya dan menggerutu. Keegan. Teman lelakinya itu biasanya akan berbaik hati menemaninya pulang mulai dari halte bus kedua hingga depan jalan menuju gang rumahnya ini. Keegan berkata jika rumahnya berada dua kilometer dari tempat Laura turun dari bus sehingga bukan masalah besar jika ia menemani Laura pulang.

Bagi Laura sendiri, Keegan adalah sosok sempurna yang memenuhi segala ekspektasinya tentang lelaki idaman. Keegan adalah lelaki pekerja keras, penyayang, dan peduli dengan orang lain. Hal itu masih ditambah dengan fisiknya yang gagah dan rupawan.

Sejenak Laura tersenyum tipis saat mengingat pendapatnya sendiri tentang lelaki itu, tetapi dengan cepat ia mendecak lantas menyakukan kembali ponselnya dengan gerakan kasar saat tahu jika sepertinya Keegan tak akan datang. Baru saja akan melanjutkan langkah setelah yakin jika tak ada siapa pun yang mengikutinya, Laura justru mendengar suara derapan langkah kaki yang terdengar tegas di belakangnya.

Astaga. Apakah dirinya lengah sehingga membiarkan penguntit itu berhasil menemukannya meski ia bersembunyi di tempat gelap?

Tubuh Laura gemetar dengan antisipasi yang terlambat meski ia pada akhirnya berhasil maju selangkah demi selangkah dengan tersendat-sendat. Langkah kaki itu kian dekat membuat Laura memejam dan bersiap melawan dengan sepenuh kemampuannya yang seadanya apa pun resikonya. Perempuan itu mencengkeram tas yang diselempangkannya dan bersiap melemparkannya ke belakang lantas hendak berlari.

Laura menghitung dalam hati seiring derap langkah kaki di belakangnya yang kian cepat. Perempuan itu secepat kilat melempar tas di tangannya dan seketika itu juga keterkejutan kedua saat tangannya tiba-tiba dicengkeram membuat jantungnya seolah betul-betul terlepas dari tempatnya.

“Laura.”

***

Sudut jalan itu sepi. Lelaki yang tampak mengenakan pakaian serba hitam dan penutup kepala itu menghentikan langkah. Perempuan yang diikutinya tadi sepertinya menyadari jika ada orang yang sengaja membuntutinya dan itu adalah masalah besar.

Pemimpinnya dengan tegas mengatakan jika ia hanya harus mengawasi perempuan itu hingga tiba di rumahnya tanpa ketahuan.

Telanjur. Lebih baik ia segera pergi dari tempat ini.

Lelaki itu menengok penunjuk waktu di pergelangan tangan, menghitung waktu.

Beberapa saat kemudian, sebuah sepeda motor besar dengan warna gelap berhenti persis di depannya. Tak menunggu waktu lebih lama, ia segera membonceng di belakang dan pengendaranya pun segera memutar gas, melaju di jalanan besar itu, menyaru dengan kendaraan lain, membaur dengan mobil petugas yang sesekali membunyikan sirene, menandakan petugas patroli yang benar-benar tak beristirahat malam itu.

***

Laura meletakkan gelasnya dengan tangan gemetar. Bayang-bayang dirinya dibuntuti orang tak dikenal lantas tiba-tiba ditikam benar-benar membuat kepalanya pening.

“Kau dibuntuti?” Keegan mengernyitkan dahi.

Laura mengangguk pelan. “Kau mendadak datang di belakangku. Apa kau tak melihat? Kupikir kaulah orang itu. Sialan!” umpatnya sembari memukul lengan Keegan.

Raut wajah Keegan berubah gelap sesaat sebelum berucap dengan nada getir, “Maafkan aku, Laura. Aku ada lembur hari ini dan tak bisa menemanimu pulang—”

Suara rentetan tembakan dari televisi yang menyala menyela kalimat Keegan. Keduanya menoleh cepat dan melihat jika kanal berita terbaru sedang memperlihatkan suasana keributan di salah satu rumah yang sedang dikepung. Ada begitu banyak polisi dan juga warga kota yang tertarik ingin melihat proses penangkapan di sebuah rumah yang diduga sebagai kediaman pelaku penculikan.

Suara embusan napas Laura terdengar putus asa. “Apakah menurutmu para polisi akan berhasil menangkap salah satu saja dari mereka malam ini?” tanyanya dengan nada cemas. “Aku ingin sekali pindah dari kota ini tapi seluruh jalan menuju keluar wilayah kota menjadi tempat yang paling tidak aman,” keluhnya dengan senyum kecut. “Teman-teman kerjaku banyak yang kehilangan anggota keluarga mereka. Aku takut.” Laura tanpa sadar mengusap lengannya sembari memeluk badan, menunjukkan ketakutannya yang tak terbendung.

Ada tatapan tak biasa dari kedua mata Keegan mendengar kalimat Laura itu. “Bagaimana jika kita menikah saja sehingga kau hanya harus di rumah dan aku yang akan bekerja?” celetuknya yang berhasil membuat kedua mata Laura melotot marah.

Namun, berbeda dari biasanya di mana Keegan yang setelah mencandai Laura itu akan mengeluarkan suara tawanya, kali ini lelaki itu memasang ekspresi wajahnya yang serius dan menatap Laura dengan penuh harap.
“Aku bersungguh-sungguh, Laura. Kau telah mengenalku dan aku mengenalmu dengan baik. Bukankah aku telah memberi apa yang kaubutuhkan selama ini? Aku akan menjamin keamananmu dan mencukupimu. Apakah itu tak cukup memberimu pertimbangan?” Keegan meraih tangan Laura dan menggenggamnya.

Entah bagaimana hal itu terasa berbeda bagi Laura dari sentuhan Keegan selama ini yang hanya menyentuh lengan saat memanggilnya.

“Keegan. Mungkin ini terlalu terburu-buru. Aku—”

“Aku berjanji atas perihal yang kuucapkan tadi, Laura. Kau akan menjadi satu-satunya. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu apa pun alasannya. Aku mencintaimu.” Keegan berucap lembut penuh kesungguhan, menyentuh perasaan Laura hingga perempuan itu berkaca-kaca.

***

Suara tawa terdengar keras di dalam sebuah mobil minivan yang sedang melaju di jalanan lengang pinggir kota. Dua laki-laki tampak berbincang dengan bahasa asing dan entah sedang membicarakan apa.

“Siapa … kalian?” Suara tanya penuh teror dari mulut seorang perempuan yang duduk di kursi tengah mobil itu terdengar parau. Seingatnya, tadi ia sedang berada di meja kerjanya dan menyalakan laptop, tetapi entah bagaimana kini ia sudah berada di kendaraan asing bersama dua laki-laki yang tak dikenalnya!

Salah seorang dari dua laki-laki itu kembali tertawa. “Sebentar lagi kita tiba, Sayang. Kau akan segera tahu,” ucapnya dengan senyum sinis sembari mengangkat ponselnya ke telinga.

“Tuan. Kami sudah membawa target selanjutnya.” Laki-laki itu berkata dengan penuh keangkuhan.

“Ah, bagus. Aku sedang berada di tempat biasa. Kususul kalian sesegera mungkin,” sahut seseorang di seberang telepon lantas memutus sambungan.

“Tuan Lee sedang pergi?” Lelaki yang berada di balik kemudi bertanya.

“Ya. Dia sedang bersama wanitanya. Sebentar lagi akan menyusul kita ke markas.”

Kendaraan roda empat itu terus melaju membelah jalanan mulus di tengah hutan pinus, menuju tempat tujuan.

***

Keegan masih menggenggam tangan Laura ketika pada akhirnya mereka berjalan turun dari mobil yang dikendarai Keegan. Laura tak sempat memperhatikan sekeliling bahkan tak peduli lagi dengan tujuan mereka pergi kali ini karena selama perjalanan tadi, yang ada dalam pikirannya hanyalah pernyataan Keegan yang tak pernah disangka-sangkanya, bercampur aduk dengan kebingungan hatinya sendiri yang tak berkesudahan.

Laura tersentak dari lamunannya ketika mereka berdua tiba di depan sebuah rumah besar di mana sudah ada banyak sekali anggota polisi yang berjajar seolah menunggu mereka berdua.

“Kee-Keegan.” Langkah Laura sontak berhenti dengan wajahnya yang pias. Perempuan itu menyentakkan genggaman tangannya saat mengetahui jika Keegan sama terpakunya seperti dirinya. “Apa … yang terjadi?” tanya Laura terbata, mulutnya terasa kering bahkan untuk sekadar menelan ludah menenangkan diri dan memahami situasi.

Pikiran Laura yang lelah kini tumpul seketika saat tak berhasil mengumpulkan barang satu kemungkinan tentang apa yang sedang dihadapinya.

“Kau … Keegan ….”

Tanpa disangka, dari semua ekspresi gugup dan takut yang bisa ditunjukkan oleh Keegan kepada Laura atas peristiwa ini, lelaki itu justru memiringkan tubuhnya dan tersenyum lebar dengan aura menakutkan hingga membuat Laura tanpa sadar memundurkan kakinya gemetar. Tak berapa lama, sebuah mobil minivan datang membunyikan klakson, mengalihkan perhatian semuanya.

Dua orang lelaki dan satu orang perempuan yang dicekal tangannya turun dari kendaraan itu.

Para polisi yang semula anteng seperti patung itu mendadak menundukkan tubuh mereka yang tentu saja merupakan isyarat tanda menghormat setelah Keegan menatap tajam ke arah mereka semua, setelah itu, serempak para polisi itu melepas resleting baju hingga ke atas kepala, membuat penampilan mereka berubah total menjadi selayaknya seorang pengawal berpakaian serba hitam.

Belum selesai hal itu membuat Laura kembali tertimpa shock, pintu besar rumah itu terbuka lebar, memperlihatkan beberapa pelayan dengan pakaian khasnya yang begitu rapi, berdiri seperti boneka dengan tatapan kosong.

“Tuan Keegan Lee.” Mereka menyapa serempak.

Laura membelalak mendengar suara sapaan itu, wajahnya berubah pucat saat tanpa sadar ia mengamati dan mengenali beberapa perempuan yang beberapa waktu lalu berkali-kali masuk ke dalam saluran berita televisi, menjadi berita utama perempuan hilang yang menghebohkan.

Laura jatuh terduduk dengan dadanya yang sesak diikuti kedua matanya yang membasah. Tak mampu berkata-kata.

“Selamat datang di rumah, Laura. Bagaimana? Apakah kau menyukai mereka? Kalau kau tak setuju, aku bisa dengan mudah mengganti mereka semua.”

Tangis Laura pecah, diikuti isakannya yang berujung pada suara teriakan putus asa penuh kengerian yang tak bisa ditutup-tutupi lagi.

 

TAMAT

 

Puisi | Lentera

25 Maret 2023 in Vitamins Blog

png_20230325_103353_0000

Aku masih merangkum sepi yang kautinggalkan
Berteduh memeluk namamu yang masih basah dalam ingatan
Hujan kini memercik rindu yang perlahan menghunjamkan kepedihan
Lihatlah, hatiku tinggal separuh meski cintaku masih utuh seluruh

Dalam mataku saat ini dunia hanya temaram, kosong, penuh serpihan debu masa lalu yang menyapu-nyapu tubuh dengan kegelisahan

Masih kusimpan lembaran cerita itu dalam sebuah ruang rahasia
Kuletakkan senyummu pada sepohon kandil sebagai lentera
Lantas kuhias seluruhnya dengan kesibukan-kesibukan….

 

The Red Prince | BONUS PART Mauve’s Story : Sang Penakluk

8 Februari 2023 in Red Prince

Cover

d7d6a59e83610ca99f8f86f12033de3c

 

Love it! (No Ratings Yet)
Loading…

Dunia langit dilanda mendung pekat selama beberapa hari. Suasana tampak mencekam dengan guntur serta petir yang menyambar tiada henti. Para okultis berkata jika kelahiran sang putra mahkota telah dekat. Semesta sedang berantusias menyambut kedatangan makhluk yang sangat mereka nanti-nantikan itu.

Azure berdiri di belakang jendela kamarnya dengan kening mengernyit. Kedua tangannya tak lepas dari mengusap perutnya yang kini telah membesar, seiring usia kehamilannya yang telah mencapai sebelas bulan. Perempuan itu menatap ke arah langit yang memperlihatkan pelangi semesta yang terlihat cantik dan garang dengan warnanya yang tetap cerah di balik pekatnya awan.

Sesekali tampak petir berwarna ungu cerah itu memperlihatkan kilatan cahayanya yang sedang berkejar-kejaran dengan ganasnya petir berwarna putih yang mengejut-ngejutkan cahayanya dengan beringas, meliuk-liuk di antara awan-awan.

Suara pekikan terkejut keluar dari mulut Azure saat pergerkan perutnya terasa sangat keras. Perempuan itu mengusap perutnya yang tampak bergerak-gerak dengan wajahnya yang meringis.

“Ada apa, Azure?” Reddish yang baru saja keluar dari ruang mandi itu terkesiap saat menemukan jika istrinya sedang kepayahan menyandarkan tubuhnya pada tepi meja, menampakkan wajahnya yang pias. Lelaki itu segera mendekat dan turut mengusapkan telapak tangannya pada permukaan perut Azure. “Sakit?” tanyanya cemas.

Azure terlihat menenangkan diri dengan berkali-kali menarik dan mengembuskan napasnya perlahan melalui mulut. “Sedikit,” sahutnya meringis, menahan rasa tak nyaman yang mulai merayapi sekitar punggung dan perutnya.

“Crimson.” Reddish memanggil pengawalnya itu dan dalam beberapa detik, lelaki tua klan merah tersebut menjura di ambang pintu. “Panggilkan okultis dan para pengawalnya. Minta mereka bersiap-siap,” perintahnya tegas.

“Mungkin ini tak apa-apa, Reddish. Bukankah langit masih gelap dan musim ini masih akan berlangsung satu bulan lagi seiring waktunya putra kita lahir?” Azure berkata lemah, dituntun oleh suaminya agar terduduk di ranjang diikuti Reddish yang turut duduk, merangkul perempuan itu, membiarkan Azure bersandar di pundaknya.

Reddish menampakkan ekspresi gelap dan menggeleng pelan. “Aku ingin kau ditolong segera saat waktunya tiba. Biarkan mereka menemanimu sampai nanti-“ Ucapan Reddish terhenti saat Azure tiba-tiba saja menjerit tertahan ketika merasakan perutnya terasa luar biasa nyeri. Peluh seketika bermunculan di wajah Azure, menghiasi roman wajahnya yang bertambah pucat.

“Astaga.” Reddish membeliak saat melihat darah Azure yang berwarna biru pekat itu menodai gaun yang dipakainya. “Crimson! Suruh mereka cepat!” Reddish gusar, bersegera membantu perempuan itu naik ke atas peraduan.

Azure tampak kepayahan dalam usahanya menahan rasa sakit. Sebelah tangan perempuan itu tampak memegangi perutnya sementara sebelah tangannya yang lain mencengkeram erat tangan Reddish. Suara guntur dan kilatan petir kian ganas. Suasana di luar kastil tampak makin pekat membuat ruang peraduan itu temaram, angin berembus kencang seperti akan terjadi badai. Petir berwarna ungu itu menyambar keras di atas kastil membuat keterkejutan menampar mereka semua.

Reddish terduduk kaku di sisi ranjang, sesekali memandangi luar ruangan melalui jendela dengan kening berkerut. Tubuhnya yang kukuh dan gagah di medan pertarungan itu kini tampak gemetar. Sebelah tangannya berusaha menenangkan perempuan itu dengan mengusap perutnya, menguarkan aura merahnya yang pekat untuk mengurangi rasa sakit yang membuat istrinya terus menerus mengeluh.

“Kau pasti kuat, Azure. Aku tak akan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu padamu.”

Suara derap lari bersahut-sahutan terdengar kemudian. Okultis klan merah dan para pengawalnya tiba dan menjura. Mereka yang pada kesempatan sebelum-sebelum ini selalu menunduk dan tak berani menengadah tanpa diperintah, kini melebarkan kedua mata mereka begitu tiba di ambang intu ruang peraduan itu.

Pemandangan pertama yang membuat mereka pias adalah karena maharani mereka mengeluarkan begitu banyak darah berwarna asing yang mungkin tak bisa mereka saksikan sedekat ini. Sesuai dengan asal klan nona Azure dari wilayah biru, darah biru pekat itu merembes hingga mengalir membuat seprai berwarna merah milik pemimpin mereka itu kini menjadi gelap.

“Tuan Reddish. Sepertinya Nona Azure akan melahirkan sekarang juga,” ucapnya lugas lantas menengok ke arah anak buahnya yang telah siap sedia membawa peralatan.

Reddish menelan ludah. Di luar keangkuhannya yang biasa, Reddish tahu jika urusan perempuan, kehamilan apalagi kelahiran ini tak dapat ditanganinya sendiri. Pikirannya yang selalu jernih dan tepat ketika memutuskan sesuatu itu mendadak buntu sehingga dengan wajahnya yang pucat, Reddish dengan bingung bertanya, “Aku boleh tetap di sini?”

Okultis itu menjawab tegas. “Tentu, Tuan. Anda bisa tetap di sini memberi dukungan kekuatan kepada nona Maharani.”

Reddish mengangguk dan menoleh ke arah Azure yang tampak memejam dengan ekspresi wajahnya yang melenguh kesakitan.

“Reddish ….” Azure memanggil lemah, seluruh daya tubuhnya seolah tersedot, tak mampu menanggung rasa nyeri luar biasa yang kini menjalari tubuhnya.

Lelaki itu menopang tubuh Azure dan menciumi kepalanya, membisikkan gumaman-gumaman menenangkan. “Aku di sini, Azure.”

Suara gemuruh angin disertai petir yang mengilat-ngilatkan cahayanya itu terdengar kian kencang, Azure menuruti perintah okultis itu untuk tetap tenang dan mengatur napasnya yang kini kembang kempis seperti mau habis. Reddish tak henti-henti menguarkan aura merahnya yang hangat, tak peduli jika tubuh Azure yang sedingin es itu seakan tak memberi reaksi.

Pada detik di mana Azure merasakan kesakitan luar biasa tak tertahan, suara jerit tangis bayi terdengar kencang seiring berhentinya nuansa gelap nan mengerikan yang sedari tadi melingkupi proses kelahiran itu. Nuansa negeri itu mendadak tenang. Azure mengatur napasnya yang tersengal ketika proses menyakitkan itu seolah musnah tanpa bekas setelah putranya terlahir. Reddish masih memeluk tubuh Azure dengan terpejam hingga ketika suara kencang bayi itu mengusik pendengarannya, perlahan kedua mata merah lelaki itu membuka, tampak berkaca-kaca.

Okultis dan anak buahnya bekerja cekatan. Bayi kecil berwarna putih bersih itu lantas dibersihkan dan dibungkus selimut berwarna merah yang menyelimti seluruh tubuhnya, memperlihatkan wajahnya yang mungil dengan rona merahnya yang  manis. Tangisnya yang menggema itu telah mereda, berganti dengan sikap tenang karena nyaman setelah tubuhnya kembali hangat tertutup selimut.

Okultis itu tak menutup-nutupi lagi rasa harunya dengan membiarkan kedua matanya yang berkaca-kaca itu meneteskan air mata di pipinya. Kedua tangannya yang mendekap bayi mungil itu berjalan menuju peraduan, diikuti para anak buahnya yang kini tengah membantu Azure berganti pakaian.

“Selamat, Tuan Reddish. Putra Anda lahir dengan begitu sehat dan sempurna.” Okultis itu menyerahkan sang bayi ke arah Reddish yang langsung diterima oleh lelaki itu dengan memeluk rapat bayi itu dalam lengan-lengannya.

Reddish mengamati bayi itu dengan  saksama dan menemukan jika meskipun seluruh tubuh bayi itu seolah tak memiliki ciri sebagai makhluk warna, tetapi ia bisa melihat jika kedua mata bayi itu berwarna ungu cerah, kepalanya tampak bergerak-gerak dengan mulutnya yang mengerucut lucu, tak sabar untuk meminta jatah minumnya. Di sisi lain, setelah peraduan itu dibersihkan, Azure yang masih lemah tampak berbaring setengah duduk dengan kedua matanya yang hampir terpejam. Okultis perempuan itu telah memberinya beberapa ramuan minuman untuk membantu memulihkan energi dan memberinya waktu beristirahat.

“Aku yang akan menggendongnya agar Azure bisa beristirahat. Kalian keluarlah dan kembali untuk jadwal perawatan berkala bayi ini.” Reddish memerintah yang langsung disahuti dengan anggukan oleh para perempuan okultis di tempat itu. Namun, sebelum mereka pergi, salah seorang dari mereka memberanikan diri bertanya,

“Siapakah nama yang akan disandang putra Anda ini, Tuan? Kami akan segera memberi tahu kabar baik ini ke seluruh penjuru kastil.” Okultis itu menjura diikuti yang lainnya.

Reddish menimang-nimang bayi itu dengan penuh sayang. Ekspresinya tampak teduh ketika menatap bagaimana akhirnya bayi itu tertidur dalam pelukannya. Dengan senyum tipis, Reddish menarik napas panjang sebelum menyebut nama manis itu meluncur dari bibirnya. “Mauve. Namanya adalah Mauve,” tuturnya mantap dengan nada penuh kebanggaan.

***

Mauve kecil hidup dalam gelimang kasih sayang. Seluruh penghuni kastil merah bahkan semua wilayah negeri langit itu mengelu-elukan namanya sebagai warna paling indah yang pernah ada di negeri itu. Bayi kecil yang semula tampak seperti makhluk manusia pada umumnya itu kini mulai memperlihatkan warnanya. Rambutnya yang semula berwarna putih bersih itu mulai menunjukkan perubahan warna seiring usianya yang makin bertambah. Lebih dari itu, hal paling mencolok yang menarik perhatian makhluk lain adalah karena pada usia sekecil itu, Mauve telah memiliki warna ungu terang di ujung-ujung jemari berikut kuku-kukunya, menunjukkan jika kekuatan aura yang dimiliki lelaki kecil itu begitu besar walau usianya masih belia.

Azure tengah mengajaknya berjalan-jalan di sekitar kastil biru ketika hari masih pagi. Mauve tampak antusias dengan berlarian ke sana kemari menggiring hewan-hewan biru yang tampak merubung dan senang bermain-main dengannya. Usianya baru menginjak tiga tahun, tapi kekuatan aura dan pesona yang tumbuh di dalam dirinya telah tampak. Terbukti dari makhluk apa pun yang melihat apalagi berdekatan dengannya seolah terpedaya hingga tubuh mereka terpaku dan memuji-muji keelokan Mauve tanpa sadar.

Anak laki-laki kecil itu tiba-tiba saja menghentikan langkah saat matahari mulai merangkak naik, memperlihatkan pemandangan negeri yang indah dengan warna-warni mencolok di berbagai sudutnya. Mauve dengan kedua mata ungunya tampak terpaku sejenak lantas membalikkan badan ke arah Azure yang sedari tadi tampak tersenyum melihat tingkahnya.

“Ibu, ke sana. Aku ingin ke sana.” Mauve menunjuk-nunjuk dengan tangannya yang mungil membuat Azure berjongkok, melihat ke arah telunjuk Mauve.

Azure mengangkat sebelah alis saat menemukan jika tempat yang diinginkan oleh Mauve ternyata adalah kastil ungu yang terletak tak jauh dari lokasi mereka saat ini. “Ah, kau rindu kastilmu, Mauve?” tanyanya sembari mencium pipi anak lelaki itu dengan gemas.

“Iya, aku ingin ke sana, Ibu. Ayo ke sana.” Mauve mulai merengek dengan menarik-narik sebelah tangan ibunya.

Perempuan biru itu menoleh ke belakang, ke arah para pelayan birunya yang bersiaga di sana. “Aku akan menemani Mauve ke kastil ungu. Salah satu dari kalian pergilah ke kastil merah dan sampaikan kepada Reddish jika aku pergi,” ucapnya lembut dengan tersenyum.

Para pelayan itu menjura dan menyahut homat. Azure tampak menguarkan aura birunya dengan Mauve yang ia dekap dalam pelukannya. Lelaki kecil itu terlihat berusaha mengeluarkan aura ungunya dengan serius, menggerak-gerakkan tangannya yang diliputi warna ungu itu dengan gerakannya yang lucu dalam dekapan ibunya. Azure terkekeh riang. “Kau hebat, Mauve. Auramu sudah tampak pekat di usiamu yang sekecil ini,” pujinya sembari menggerakkan tubuhnya naik, terbang menuju kastil ungu diikuti beberapa pelayannya.

***

Begitu tiba di kastil ungu, Mauve terdiam sejenak. Azure mengira jika anak laki-lakinya itu akan langsung meloncat turun dan bergegas menjejakkan kakinya dengan berlari-lari di sana begitu mereka sampai. Namun di luar dugaan, pagi yang cerah itu mendadak berubah kelam seperti akan turun hujan. Azure menengadah dan dadanya berdebaran. Ia sepertinya sudah bisa menebak apa yang akan terjadi jika langit negeri sudah terpayungi oleh awan hitam seperti itu. Dan benarlah, suara guntur diikuti cahaya kilat berwarna ungu cerah yang menyakitkan mata itu muncul.

Azure merasa dejavu begitu melingkupinya saat ini. Ia seolah berada lagi di tiga tahun lalu di mana Mauve masih berada di perutnya. Nuansa ini ….

Mauve merosot turun dari dekapan ibunya dengan tatapannya yang tak biasa, menatap ke arah kastil itu masih dengan kependiamannya yang aneh.

“Mauve.” Azure berusaha memanggil, tetapi anak lelaki itu tak menghiraukan.

Dari dua tangannya yang  kecil, aura ungu menyala terang, merambati setiap jemarinya lantas meninggalkan warna ungu rapat yang berakhir di pergelangan tangannya. Dada Azure berdesir saat ia menyimpulkan apa yang terjadi. Kekuatan aura Mauve bertambah besar saat ia berada di kastilnya sendiri dan ia mulai cemas.

Langit kian mendung. Petir berwarna ungu itu menyala-nyala dan menggelegar kuat membuat mereka yang ada di tempat itu memekik tertahan dengan kedua tangan yang refleks menutup telinga karena terkejut.

Mauve bergeming di tempatnya dan Azure merendahkan tubuhnya lantas memegangi pundak anaknya lembut. “Kau tak apa-apa, Nak?” tanyanya di sela nuansa mencekam yang membuat bulu kuduk mereka meremang. “Apakah tak sebaiknya kita pulang dulu dan bertemu dengan ayahmu?” Azure mencoba membujuk, tetapi lagi-lagi Mauve hanya terdiam mematung. Kedua matanya menatap entah apa ke depan, sementara aura ungu anak itu menyala kian pekat.

Saat petir ungu itu menyala seolah akan menyambar kepala mereka dengan kuatnya, cahaya putih terang tiba-tiba saja menyerang dengan gema suara keras yang menyergap ke arah Mauve. Tak ada yang bisa mereka lakukan karena cahaya itu seolah membawa kekuatan besar yang menghantam tubuh mereka hingga terpental, membuat Azure yang saat itu hendak meraih tubuh Mauve tak bisa apa-apa karena pada akhirnya kalah dan tumbang ke tanah tertelan ketidaksadaran berikut semua pengawal yang sedari tadi berdiri di belakangnya, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

 Reddish sedang memimpin rapat pemimpin klan ketika Crimson masuk ke ruangan dan berdiri di ambang  pintu. Ajudannya itu menjura, membuat Reddish menatap lelaki itu dan mengerutkan kening. “Ada apa, Crimson?”

“Ampun, Tuan. Saya hendak memintakan izin. Pelayan biru dari kastil biru datang hendak menyampaikan pesan.” Crimson menyahut dengan tubuhnya yang menjura.

“Pelayan biru?” Reddish mengangkat sebelah alis. Ia tahu jika saat ini istri dan anaknya masih berada di kastil milik istrinya itu sejak pagi buta. Mauve yang sangat aktif dan disiplin bangun pagi itu selalu meminta ditemani berjalan-jalan pagi oleh Azure. Reddish sangat paham jika Azure bukanlah tipe perempuan manja yang selalu meminta perhatian kepadanya bahkan untuk keinginan-keinginan kecilnya di hari-hari biasa, justru Reddishlah yang seringkali menawarkan banyak hal yang selalu ditolak oleh Azure, menganggap Reddish terlalu berlebihan.

Dan kini, pelayan biru datang menghadap untuk menyampaikan pesan padanya? Reddish berdiri dari duduknya dengan antusias, menantikan pesan apa yang hendak disampaikan oleh Azure kepadanya. Ia sangat menanti ini terjadi, di mana Azure meminta sesuatu kepadanya, dan ia akan dengan senang hati mengabulkannya seperti saat perempuan itu meminta minuman di dunia manusia beberapa bulan lalu. Lelaki itu mempersilakan pelayan biru itu masuk yang langsung disahuti anggukan oleh Crimson. Lelaki klan merah itu meninggalkan ambang pintu, diganti oleh pelayan biru yang melangkah masuk.

Baru saja pelayan itu akan mengucapkan kalimatnya, mereka semua yang berada di tempat itu tiba-tiba saja dikejutkan oleh ruangan yang mendadak berubah remang. Reddish dan yang lainnya sontak menoleh ke arah jendela besar yang menganga di sisi ruangan itu, memperlihatkan awan mendung pekat dengan petirnya yang menyambar-nyambar.

“Nona Azure dan Tuan Mauve … pergi ke kastil ungu, Tuan.” Terbata-bata pelayan itu menjelaskan.

Reddish menoleh cepat ke arah makhluk biru yang saat ini menunduk di ambang pintu. “Apa kaubilang?” Reddish melebarkan mata dengan keterkejutan yang menghantam kesadarannya.

Ia telah menutup rapat kastil ungu itu agar tak bisa terlihat oleh mata Mauve. Vantablack yang turut mengikuti rapat pemimpin klan itu menjadi yang pertama ditatap oleh Reddish, dimintai penjelasan. Vantablack yang kini telah tumbuh menjadi lelaki remaja itu berdiri dan menjura. “Saya masih bisa memastikan jika kekuatan saya masih menyelubungi kastil itu, Tuan, berikut kekuatan merah Anda yang menyegel tempat itu.” Vantablack memaparkan lugas.

Wajah Reddish menampakkan ekspresi gelap. Ia berniat menunda Mauve untuk tinggal di kastilnya sendiri sampai usia lima tahun. Ia ingin anak lelakinya itu menikmati masa kecilnya meski hanya sebentar. Masa lalunya yang kelam menjadikannya bersikap bijak dengan tak membiarkan anak itu bertemu dengan kekuatannya di usianya yang masih terlalu dini walau Reddish menyadari jika tanpa kekuatan petir yang ia sembunyikan di kastil itu, Mauve tetap tumbuh sembari menumbuhkan kekuatan besar itu dari dalam dirinya.

Reddish masih mengingat jika membawa kekuatan besar dalam tubuhnya yang kecil itu terasa merajam tubuhnya. Mahogany, sang ayah, terpaksa menempa Reddish kecil dengan latihan terus menerus untuk menyeimbangkan kekuatan api dalam dirinya dan itu terasa menyiksa.

“Aku mengakhiri pertemuan hari ini sampai aku memanggil kalian kembali. Ada sesuatu yang harus kulakukan.” Reddish berkata tegas dan dengan cepat meninggalkan ruangan. Para pemimpin klan berdiri serempak dan menjura, membiarkan Reddish tergesa melangkah pergi.

***

Reddish terus menembus angin kencang yang menerpa dan melempar tubuhnya berkali-kali ketika ia dengan keras kepala memaksa diri menghampiri Azure dan Mauve yang saat ini entah bagaimana keadaannya di kastil ungu itu. Semoga ia belum terlambat.

Petir ungu yang berkilat itu menyala-nyala terang di atas kastil, seolah dengan angkuh menunjukkan keberadaannya setelah tiga tahun ini disembunyikan. Reddish baru saja akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk terbang menuju kastil ungu itu ketika nuansa gelap nan mencekam yang meliputinya itu musnah perlahan-lahan. Dada Reddish bedesir dan ia dengan cepat melesat mendekati kastil ungu yang hanya tinggal separuh jarak.

Matahari yang tadinya tampak bersembunyi dan takut-takut berada di balik awan kini memperlihatkan lagi sinar cerahnya yang pongah, menerangi apa saja. Lelaki merah itu menginjakkan kakinya dengan gamang. Crimson yang berjalan di belakangnya turut memindai sekeliling. Ketika cahaya mentari itu merambat dan naik perlahan, tampaklah pemandangan mengejutkan yang membuat Reddish tercengang dan mengepalkan tangan. Lelaki itu berlari mendekat dan melebarkan mata lantas berjongkok ke sisi tubuh Azure yang tergeletak begitu saja di atas rerumputan berwarna ungu muda itu.

Hal lain yang membuat Reddish terbelalak adalah saat ia melihat Mauve turut tak sadarkan diri tak jauh dari ibunya terbaring dengan semakhluk hewan berwarna ungu yang menyundul-nyundulkan kepalanya ke arah Mauve dengan gerakannya yang lucu. Hewan kecil berbulu itu terus mendesak-desakkan tubuhnya seolah sedang berusaha membangunkan anak lelakinya yang tak sadarkan diri. Lebih dari itu, yang membuat kedua mata merah Reddish menyipit adalah ketika ia melihat jika punggung hewan berbulu serupa kucing itu itu membentuk garis zig-zag serupa petir yang memanjang dari belakang kepala hingga ekornya yang panjang.

Reddish segera memerintah Crimson untuk mengundang yang lainnya kemari membantu para pelayan Azure yang turut tak sadarkan diri. Lelaki itu kembali menunduk, menatap Azure dalam pangkuannya yang masih memejam.

“Azure. Bangunlah.” Reddish mengusap pipi perempuan itu perlahan sembari mengeluarkan aura merahnya yang hangat. “Azure,” panggilnya sekali lagi.

Perempuan itu tampak mengernyit dengan lemah. Bulu matanya tampak bergerak-gerak, mengajak kedua matanya untuk membuka. Reddish melekap Azure rapat-rapat, cemas atas ketidaktahuannya akan apa yang sebenarnya terjadi.

Azure tampak mulai mengatur napasnya perlahan dengan keloapak matanya yang mulai terbuka. Keterkejutan tampak melumuri wajahnya ketika ia menemukan Reddish di depan matanya. Wajahnya tampak dipenuhi teror saat mengingat peristiwa mengerikan sebelum ia menyadari jika dirinya tak sadarkan diri.

“Astaga. Reddish. Mauve ….” Azure menatap ke arah pandang Reddish yang saat ini tak berkedip menatap ke depan begitu Azure menyebut nama putra mereka.

Pemandangan hewan berbulu yang tak henti-henti menyentuhkan tubuh lembutnya ke arah Mauve itu membuat Azure mengerutkan kening. Sang lelaki kecil itu terlihat mulai menggeliat dan ia terkejut oleh hewan berbulu yang tiba-tiba saja menciumi pipinya. Keterkejutan itu berubah menjadi tawa riang Mauve yang khas ketika ia mengusap-usap kucing ungu itu dengan telapak tangannya.

Suara meongan lirih diiringi gerak tubuh kucing itu yang memeluk-meluk seolah mengajak Mauve untuk lupa jika sebelum ini, ia dan ibu beserta pengawalnya hampir saja celaka karena nuansa aneh nan mencekam yang tadi sempat melingkupi mereka.

Reddish menatap anaknya dengan wajahnya yang masam, sementara Azure justru tersenyum penuh syukur karena tak menemukan suatu apa pun yang membahayakan putra kesayangannya.

Anak laki-laki itu bangkit sembari menggendong kucing kecil itu dalam pelukannya lantas berjalan mendekat ke arah kedua orang tuanya yang kini sedang terduduk menatapnya dengan ekspresi berbeda.

“Ayah! Ibu! Lihat kucing ini lucu sekali. Dia memiliki warna bulu sama seperti warnaku!” serunya antusias. “Aku ingin memeliharanya, ya. Aku ingin membawanya. Suren. Namanya Suren!” Mauve beceloteh riang dengan mengangkat-angkat hewan itu dengan gemas, membuat Azure tak kuasa menolakdan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya menyetujui.

“Dia memang milikmu, Mauve. Dia adalah kekuatanmu.” Reddish berucap serak dengan tak henti menatap pada hewan kecil itu. Reddish tahu jika hewan itu hanya sedang berpura-pura bersikap menggemaskan di balik tampilan sesungguhnya yang ganas. Sepertinya kucing itu cukup mengerti jika ia harus menjaga sikap dengan mengimbangi Mauve yang masih belia setelah ia seolah dihukum oleh Reddish dengan mengurungnya di tempat ini. Ia akan patuh dan menjadi milik Mauve sesuai perintah anak itu.

“Milikku? Ayah yang melindungi hewan ini untukku? Terima kasih, Ayah.” Mauve mencium-cium Suren dengan pipinya, menunjukkan rasa senangnya.

Dan begitulah, Mauve hidup bersama-sama dengan kucing kecilnya sepanjang waktu hingga bertahun-tahun kemudian membawa Mauve tumbuh besar menjadi lelaki muda di negeri langit itu. Menjadi petarung selanjutnya.

***

Mauve tumbuh menjadi lelaki gagah yang mencolok. Dia masyhur oleh sifatnya yang penyayang. Mauve senang membantu dan tak suka merepotkan makhluk lain, bahkan dalam kehidupan kesehariannya, Mauve telah meminta tinggal di kastilnya sejak usia 10 tahun. Para pengawal yang sejatinya dihadirkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhannya, malahan diperintah oleh Mauve untuk turut serta berlatih bela diri dan menyemai warna bersamanya, meskipun begitu, para pengawal itu tetap berperilaku baik dan selalu tunduk, menjura patuh di hadapan lelaki ungu itu. Jika klan merah terkenal dengan parasnya yang rupawan dan memikat tapi dengan sifat-sifatnya yang kasar, maka Mauve adalah penyempurna di mana ia adalah idaman setiap makhluk perempuan dengan parasnya yang tampan dan sifatnya yang penyayang.

Sesempurna itu Mauve di mata semua makhluk sehingga terkadang, tidak ada yang menyadari jika kelebihan itu adalah racun bagi makhluk lain. Mauve adalah makhluk penakluk. Wujudnya yang tampak indah dengan peliharaan lucu serupa kucing besar itu adalah tipuan besar bagi makhluk lain yang hendak menyerang.

Suren yang saat pertama kali bertemu dengan Mauve hanyalah seekor bayi kucing kecil yang menggemaskan, kini turut mengubah dirinya menjadi kucing besar serupa singa dengan bulu-bulu ungunya yang panjang memenuhi badan, meskipun suaranya yang serupa meongan kucing dan sikapnya yang jinak itu membuat siapa saja yang melihat dan berdekatan tak tahan untuk tak mengusapkan telapak tangannya di kelebat bulunya yang halus.

Di saat terdesak dan diharuskan bertarung bersama Mauve, Suren bisa berubah menjadi busur berbentuk petir yang akan mengeluarkan ribuan cahaya mematikan berwarna ungu ke arah musuh. Suren juga bisa berubah menjadi serupa hewan tunggangan yang kecepatan terbangnya seperti kilat.

Barangkali melalui itulah semesta mengabulkan permintaan Reddish di waktu lampau saat ia menyerah pada dirinya saat ancaman memiliki putra dengan kekuatan besar itu menghadangnya. Walau keinginan Reddish pada waktu itu terlontar saat ia terkena pengaruh kekuatan jiwa, tetapi dengan Mauve terpisah dari sumber kekuatannya yang tertanam di tubuh Suren, Reddish bersyukur karena kekuatan besar itu tak menyakiti Mauve seperti dirinya yang dahulu harus menyimpan kekuatan api besar dalam dirinya sendiri.

“Mauve.” Suara sapaan lembut dari arah belakang membuyarkan lamunan. Mauve menoleh dan menemukan jika Vanilla, makhluk peremuan dari klan putih itu berdiri tak jauh di belakangnya. Suren tampak terlebih dahulu menyambut kedatangan makhluk putih itu dengan mengeong dan menyundul-nyundulkan kepalanya ke sisi tubuh Vanilla.

Lelaki itu tersenyum dan membalikkan badan. “Kau, Vanilla,” sapanya kemudian. Sedetik setelahnya, Mauve memindai sekeliling dan menyadari jika dirinya masihlah sedang berada di tepi bukit jauh di pulau seberang. Ia tadi datang ke tempat ini untuk menuruti Admiral adiknya, yang rewel memintanya untuk bermain petak umpet bersama. “Apa yang kaulakukan di sini?” tanyanya dengan mengangkat sebelah alis.

“Ayahmu memanggilmu. Dia murka karena kau membuat Admiral menangis. Astaga … kau ternyata di sini.” Vanilla berujar dengan mengangkat bahu.

Mauve mengusap wajahnya kasar. Ia tak berniat menghilang dan membuat adiknya itu menangis. “Astaga. Admiral selalu mengadu kepada Ayah,” keluhnya. “Baik. Aku akan ke kastil milik Ayah sekarang juga,” ucapnya sembari mengangguk dan hendak berjalan ke ujung bukit untuk mulai terbang. Namun sebelum itu, Mauve menghentikan langkah dan menoleh. “Kau tahu aku berada di sini? Kau turut mencariku?” tanyanya tak percaya dengan ekspresi tak percaya yang penuh terima kasih.

Ditanya seperti itu, perempuan itu justru hanya berpaling dengan ekspresinya yang membuat kening Mauve berkerut.

“Vanilla?” Mauve memanggil ketika makhluk perempuan itu hanya diam.

Perempuan itu menoleh.

“Kau mau pulang bersamaku? Kita bisa bersama-sama menaiki Suren.” Mauve menawarkan, mengedikkan dagu ke arah Suren yang saat ini sedang asyik menjilat-jilat kakinya.

Vanilla menarik napas. “Kau tak apa-apa? Aku tak merepotkan?” tanyanya canggung.

“Tentu. Aku bisa dimarahi ayah nanti jika tahu kau berada di tempat ini sementara aku tak mengajakmu pulang.” Mauve tersenyum, meyakinkan perempuan itu.

“Ah, baiklah,” sahutnya mantap lantas mulai mengekor langkah Mauve. Namun, tiga langkah ketika Mauve pada akhirnya memimpin jalan diikuti kucingnya yang mengeong-ngeong, lelaki itu menghentikan jangkahan kakinya dan tiba-tiba membalikkan tubuh, dengan secepat kilat mengeluarkan petir-petir ungunya yang menancap di sekeliling tanah tempat makhluk putih itu berdiri.

“Vanilla tak mungkin mencariku sampai kemari.” Mauve menyeringai dan terkekeh dengan senyum jahat meremehkan yang membuat makhluk putih itu menampakkan otot-otot kulitnya yang tebal, sebelum menampilkan wujud aslinya sebagai makhluk serupa beruang raksasa dengan matanya yang marah, jelas sekali berniat menerkam Mauve dari belakang.

Mauve lantas melangkah mendekat, menyentuh kepala beruang besar itu seolah sedang merasa bersalah karena telah membuat makhluk itu terjebak dalam kurungannya. “Terima kasih karena telah mengingatkanku untuk pulang,” ujarnya dengan wajah manisnya yang tampan.

Beruang itu mengerutkan alisnya dengan ekspresi terharu, cepat sekali ia berubah perasaannya dan tiba-tiba saja merasa berharga karena makhluk ungu itu mengucapkan terima kasih, lupa pada posisinya saat ini yang masih berada di dalam terali petir yang merubunginya. Baru setelah Mauve enyah dari tempat itu menampakkan wujudnya yang semakin kecil ketika terbang makin jauh, tiba-tiba kepala beruang itu terasa pecah dengan cahaya putih bersinar yang lama kelamaan membesar keluar dari kepala bekas sentuhan Mauve tadi.

Belum sempat mengeluarkan raungan, terlebih dahulu tubuh beruang itu hancur berkeping-keping dengan bagian-bagiannya yang tampak hangus, seperti habis dilalap api.

Mauve tersenyum dengan sebelah bibir, melirik melalui ekor matanya dengan puas. Ia mengelus pucuk kepala Suren yang terus melaju kilat menuju kastil merah, di mana keluarganya telah menantinya pulang.

 

Terima kasih telah membaca sampai part ini :) Terima kasih banyak atas segala penyemangat yang selalu diberikan di tiap part, semoga semangat itu juga yang ada di diri teman-teman semua.
Selamat menjalani hari, semoga hari-hari teman Vitamins dan kakak Author semua selalu menyenangkan ^^

See ya….

The Red Prince | EPILOG : Kencan Ala Reddish

5 Februari 2023 in Red Prince

Cover

21 votes, average: 1.00 out of 1 (21 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Flavia duduk dengan canggung di kursinya. Kedua matanya menatap sosok Onyx yang saat itu sedang berdiri di depan meja pemesanan untuk makan siang mereka. Perempuan itu tak mengerti, lelaki yang mengaku bernama Henry itu tampak aneh dengan tiba-tiba meminta bantuannya agar diterima di toko baju tempatnya bekerja. Lebih anehnya lagi, saat ini, ia mau-mau saja duduk di sini menyanggupi ajakan makan siang bersama lelaki itu.

Flavia mengerjap dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ia terus berusaha berpikir positif dengan terus membimbing benaknya untuk berpikir jika mungkin saja Henry baru saja di PHK dan segera membutuhkan pekerjaan untuk mencukupi hidupnya. Itu adalah satu-satunya alasan paling masuk akal yang dipikirkannya berkali-kali.

“Maaf membuatmu menunggu.” Onyx berkata sopan sembari menarik kursi dan duduk di seberang Flavia.

“Waktu istirahat siangku cukup lama. Tak masalah.” Flavia tersenyum tipis.

Mereka telah memutuskan untuk menanggalkan sikap resmi dengan panggilan Anda, Saya setelah keduanya sempat berbincang singkat hingga Onyx memutuskan untuk mengajak perempuan itu makan siang berdua.

Onyx mengangguk dengan senyum tipisnya yang sama. Ia tak habis-habisnya menarik napas panjang saat melihat sekilas ruangan kafe tempatnya berada bersama Flavia saat ini. Kafe ini adalah kafe yang sama ketika dirinya mengajak Azure untuk bertemu malam itu saat ia menyamar sebagai Brick. Bayangan perempuan biru itu masih terpatri jelas di pikirannya dan sulit untuk pergi. Ia telah berusaha merelakan semuanya dengan memeluk hal-hal pahit yang dialaminya akhir-akhir ini dengan  hati lapang, tetapi ternyata memang tak semudah ucapan, kenangan-kenangan tentang Azure justru membanjir hebat dan membuatnya seperti makhluk linglung yang terus mendatangi tempat-tempat penuh kenangan Azure di dunia manusia ini.

Lamunan Onyx buyar ketika salah seorang pelayan kafe datang mendekat membawa pesanan. Secangkir espreso dan segelas matcha latte dingin.

Onyx meyeruput kopi panasnya sejenak dan membuka percakapan. “Aku tahu kau mencurigaiku,” ucapnya datar.

Flavia menengadahkan pandangannya dan menelan ludah. “Aku tak mencurigaimu, maaf. Hanya saja … ada beberapa hal yang membuatku sepertinya patut bertanya padamu,” sergahnya dengan wajah masam.

Onyx mengembuskan napas panjang. Dia tahu jika wanita di depannya ini memiliki hati yang tulus serta tak mudah berprasangka kepada orang lain. Dia paham jika selama di dunia manusia, wanita inilah yang menjadi sahabat baik perempuan biru itu dan sekarang Onyx mengerti alasannya. Flavia adalah wanita keibuan yang senang menolong.

“Aku adalah pendatang dan membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi diriku sendiri. Apakah itu cukup?” Onyx menjelakan singkat lantas bertanya kembali.

Flavia mengulas senyum. “Kenapa kau memilih pekerjaan di toko itu? Bukankah ada begitu banyak pekerjaan di negara ini yang lebih layak kaukerjakan ketimbang hanya bekerja di toko baju?” tanyanya sembari menyeruput minuman dinginnya.

Onyx tersenyum tipis. “Karena seorang teman.” Tanpa sadar lelaki itu berucap sesuai dengan kata hatinya, membuat  Flavia menaikkan sebelah alisnya. “Aku berniat menyusul seorang teman yang bekerja di tempatmu, tapi sepertinya temanku telah memutuskan untuk pindah ke tempat lain,” jelasnya lagi membuat perempuan itu kini mengernyitkan dahi.

“Temanmu? Yang telah pindah?” Flavia membeo sembari mengingat-ingat siapa rekan pegawai di toko itu yang baru-baru ini mengundurkan diri. Saat tak menemukan jawaban dan  justru dadanya berdesir ketika ia teringat Carissa, Flavia membeku. Kedua matanya sejenak menatap Henry penuh penilaian. “Temanmu itu … laki-laki ataukah perempuan?” tanyanya perlahan.

Ada rona merah yang tampak selintas di wajah Onyx, tapi buru-buru lelaki itu memasang ekspresi datar. Onyx kemudian mengembuskan napas panjang untuk menenangkan penyesalannya yang kini tak ada gunanya lagi. Flavia telah membuat kesimpulan yang tepat tentang siapa orang yang dirinya maksud.

Flavia ternganga melihat ekspresi Onyx seolah tanpa lelaki itu berbicara, ia bisa tahu jika memang benarlah Carissa yang lelaki di depannya ini cari. Astaga … sebenarnya apa yang terjadi? Ingatan-ingatan yang berputar di benak Flavia tentang kebersamaannya dengan Carissa itu membuat perasaan rindu yang selama ini ia tahan mendadak banjir begitu saja menggenangi kedua matanya.

“Kau … mengenal Carissa? Dia … dia perempuan yang sangat tertutup dan tak pernah becerita apa pun tentang kehidupan pribadinya sebelum bertemu denganku. Dia … dia tak pernah bercerita jika ternyata memiliki teman laki-laki ….” Flavia berkata masih dengan ekspresinya yang tak percaya.

Onyx memasang ekspresi kecut. “Tentangku dan Carissa memang tak pantas untuk diceritakan, Flavia. Dia juga mengalami masa lalu yang buruk dan … entah saat ini,” ucapnya dengan wajah keruh, merujuk pada kehidupan perempuan itu yang kini tertahan oleh kekuatan merah Reddish nan kejam yang tentu saja tak akan segan-segan mengungkung Azure dalam kuasanya sesuka hati.

“Oh ….” Flavia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, menahan perasaan. “Dia pergi begitu saja tanpa memberiku kabar. Apakah … kau juga tak mendapat kabar apa pun darinya sehinga kau terlambat menyusulnya kemari?” Flavia bertanya dengan kening mengernyit.

Onyx mengangkat bahu. “Begitulah,” jawabnya dengan senyum kaku. “Mari lupakan sejenak tentang … Carissa karena aku membutuhkan segera pekerjaan di tempatmu bekerja. Jadi, berkas-berkas apa saja yang harus kupersiapkan untuk melamar kerja di toko itu?”

***

 “Kau senang?” Reddish bertanya sembari menunduk, menatap Azure yang sedang bersandar di dadanya.

Azure tersenyum damai. “Ya, Reddish. Terima kasih. Aku tak pernah berpikir jika aku bisa mengikuti upacara sakral itu lagi bahkan ….” Dada Azure terasa kembang kempis menahan perasaan hingga ia tak sanggup melanjutkan perkataannya. Kedua mata birunya memindai perlahan dengan tatapan haru pada hamparan kastil biru yang kini nyata terhampar di depan mata. “Bahkan aku ….”

Reddish mengecup pelipis Azure dengan penuh sayang, mengerti benar apa yang saat ini sedang bergolak di hati istrinya. “Apa pun untukmu, Azure. Lagi pula … ini untuk kebaikanmu. Kekuatan tubuhmu akan berangsur-angsur membaik lebih cepat jika kau berada di kastilmu sendiri,” ucapnya dengan sebelah tangan Reddish mengusap lembut perut istrinya.

Azure mendongak. “Kau sungguh-sungguh tak keberatan … berada di sini? Lihat, kastil ini tampak sepi karena sepertinya hewan-hewan biru yang  biasanya berkeliaran di tempat ini takut padamu,” godanya dengan terkekeh kecil.

Reddish menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi heran. Ingatannya kembali pada beberapa waktu lalu saat ia dan rombongan pemimpin klan mendatangi tempat ini untuk melakukan kunjungan meski tak mendapatkan hasil apa pun. Waktu itu kondisi kastil biru ini terlihat lengang dengan nuansa khas bangunan kosong yang lama tak dihuni. Benarkah sebenarnya masih ada makhluk-makhluk penghuni wilayah biru lain yang masih bertahan dan mereka pergi karena kedatangannya?

Ekspresi Reddish yang sedang berpikir itu membuat Azure tak tahan untuk tak mengusap pipi suaminya. Di saat yang sama, keduanya dikagetkan oleh suara kepakan burung yang begitu keras di atas selasar bangunan kastil tempat mereka menghabiskan waktu di kastil biru itu. Reddish seketika mendongak pun juga Azure yang buru-buru menegakkan punggung demi memastikan suara apa yang sebenarnya melintasi mereka.

Tiba-tiba saja, dari arah kanan selasar, seekor burung berwarna biru terbang rendah lantas turun persis di depan tempat duduk Reddish dan Azure saat ini. Burung itu menurunkan kepakannya perlahan dan beceker-ceker, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang ramping dengan sayap panjang menjuntai dihiasi gradasi warna biru bening seperti air di pucuk-pucuk sayapnya yang panjang.

“Longclaw!” Azure berseru dan beranjak berdiri.

Burung itu menyambut dengan terbang ke arah Azure yang menjulurkan tangannya. Azure tertawa renyah saat burung itu menyentuh-nyentuhkan kepala ke pergelangan tangannya.

“Dan sekarang hewan-hewan langit itu datang lagi setelah kau kembali.” Reddish menyambung perkataan Azure tadi dan turut berdiri. Secara ajaib, burung Longclaw berwarna biru yang semula bergerak aktif di tangan Azure tersebut seperti mengerti kedatangan lelaki merah itu hingga membuatnya anteng dan menunduk.

“Aura warna kalian saling memanggil dan saling menguatkan satu sama lain.” Reddish berucap menyemangati.

“Benarkah? Apakah kastil merah tidak memiliki hewan peliharaan?” Azure bertanya kemudian.

“Hewan-hewan langit di kastil merah terlatih untuk bertarung. Mereka tak akan sempat bermanja-manja seperti itu,” ujar Reddish angkuh yang membuat Azure menarik napas panjang.

Burung Longclaw itu mengusap-usapkan kepalanya di tangan Azure sejenak sebelum kembali terbang, meliuk-liuk dengan bahagia di udara. Azure melepas burung itu dengan tersenyum. Kepalanya yang masih tertengadah lantas menatap langit negeri yang tampak terang di sore hari itu.

“Klan merah memang selalu berhubungan dengan apa-apa yang terkuat. Aku percaya itu.” Azure tersenyum sembari memandang ke arah Reddish yang masih menatap ke arah burung biru itu terbang.

Reddish lantas mendekat dan memeluk Azure dari belakang, mengecup sisi kepala istrinya sekali lagi dengan ciumannya yang penuh perasaan. “Tapi aku bukan lagi yang terkuat saat ini karena nyatanya, aku membutuhkanmu untuk menyelesaikan semuanya,” bisiknya parau dengan suara lirih di sisi telinga Azure.

Azure seketika membalikkan badan dan meletakkan kedua tangannya di dada lelaki itu dengan pandangan menatap ke kedalaman mata Reddish yang memandanginya pula dengan tatapan teduhnya. “Aku membutuhkan Tuan Reddish untuk bersamaku dan aku tak peduli gelar apa pun yang ada padamu. Keberadaan Tuan Reddish di sisiku dan anak-anakku nanti itu sudah cukup.” Azure berkata dengan matanya yang berbinar.

Reddish menatap Azure dalam sebelum pada akhirnya mengulas senyum tipis di bibirnya. “Akan kupastikan istriku mendapatkan apa yang dia mau.”

Azure mendekap Reddish lekat, merasakan bagaimana suara jantung Reddish yang  bertalu-talu di telinganya itu menentramkan hatinya. Azure hanya ingin begini saja, berada dekat dengan makhluk-makhluk yang ia cintai tanpa merasa terbebani lagi oleh masa lalu dan segala hal pahit yang pernah dilaluinya.

Reddish mengencangkan pelukannya sejenak sebelum berkata pelan, “Apakah istri dan anakku masih menginginkan jus buah anggur? Atau kita bisa meminum yang lainnya?” tanyanya menggoda yang membuat Azure menengadah dengan wajah memerah, mengingatkan perempuan itu pada keinginannya yang tak biasa setelah setengah hari ini mereka menghabiskan waktu untuk bersama-sama berkunjung ke kastil biru milik Azure dan belum sempat menikmati jamuan siang mereka.

“Ah, ya. Tentu. Sepertinya hanya minuman itu yang menggoda selera minumku saat ini.” Azure menjawab dengan senyum malu-malunya yang manis.

Reddish menengadah sejenak. “Waktu masih menjelang sore di dunia manusia. Sepertinya belum terlalu terlambat untuk menikmati minuman itu.”

“Sepertinya begitu.” Azure menjawab bersemangat. “Ayo, akan kutunjukkan padamu di mana gerai jus paling enak di sekitar lokasi tempat tinggalku dulu,” ajaknya sembari menggamit sebelah tangan Reddish dan memimpin berjalan, membuat lelaki merah itu menurut dengan senyum terkembang.

Keduanya lantas terjun bersama-sama ke dunia manusia dengan tubuh mereka yang perlahan-lahan berubah menjadi wujud manusia mereka di masa lalu, Alan dan Carissa.

***

Dunia manusia masih dilanda cuaca mendung ketika Reddish dan Azure tiba. Langit yang muram membuat siang itu tampak lebih sore dari waktu seharusnya. Meski begitu, udara terasa lembap  dan panas seolah waktu sedang  mau bekerjasama dengan baik untuk Reddish dan Azure pergi menikmati minuman dingin yang begitu menggoda itu.

Keduanya menyaru di antara pedestrian setelah sebelumnya menginjakkan kaki di salah satu sisi pepohonan lebat yang berada di samping taman kota. Mereka berjalan bersisian dengan kedua tangan bertaut, berusaha untuk tak tampak mencolok dengan pakaian kasual seperti penampilan mereka sebelumnya.

Azure terlihat begitu menikmati udara sekeliling. Kedua matanya memindai ke segala arah, tampak mengenali dan sejenak mengenang perjalanannya di masa lalu. Hampir satu tahun ia bertahan hidup berbaur dengan manusia di tempat ini. Ada banyak hal yang tak ia temukan di dunia langit saat berada di dunia manusia ini, satu di antara yang paling sulit bagi Azure untuk beradaptasi adalah kebiasaan manusia untuk memenuhi energi tubuh mereka dengan makanan, sementara Azure bahkan hanya perlu meminum beberapa gelas air di pagi hari untuk memenuhi energinya, walau setelah beberapa lama, perempuan itu pada akhirnya membawa botol air mineral dan meminumnya secara berkala seperti yang ia lakukan bersama Flavia.

Reddish merangkulkan sebelah tangannya di pundak Azure hingga Azure seolah baru teringat jika ia saat ini sedang bersama Reddish. “Sepertinya kehidupan lamamu cukup baik. Kau mengenang tempat ini sepenuh hatimu.” Reddish mengedarkan pandangannya sebelum membalas tatapan Azure.

“Tempat ini sempat menjadi rumah.” Azure tersenyum tipis.

Reddish hanya mengangguk dan menarik napas panjang. “Aku tahu rasanya … bagaimana mengenang sebuah rumah,” komentarnya dengan kalimat implisit, merujuk pada kebersamaannya dengan Candy. Bagaimanapun, Candy adalah orangtua kedua baginya setelah  orangtuanya tiada. Candy adalah tempatnya pulang meski saat ini ia harus menyakiti hatinya sendiri dengan menuruti keinginan perempuan itu untuk memasukkannya ke dalam ruang tahanan.

Azure menatap Reddish dengan wajah prihatin lantas memeluk pinggang lelaki itu. Reddish menipiskan bibir lalu balas merapatkan dekapannya di pundak Azure dan berucap kemudian, “Jadi, di mana kita bisa menemukan jus berwarna ungu itu?”

Azure tersenyum. “Di seberang toko tempatku bekerja. Aku biasanya menikmati minuman dingin di tempat itu. Ayo,” ajaknya lalu melangkah diikuti Reddish yang turut menjangkahkan kaki jenjangnya mendekati penyeberangan, bersama-sama dengan pejalan kaki lainnya menyeberangi jalanan penuh dedaunan kering itu dan berjalan beriringan di sepanjang trotoar bangunan toko yang berjajar di jalan tersebut.

“Itu toko tempatmu bekerja, bukan?” Reddish menghentikan langkah dan memiringkan badan demi melihat jika di seberang jauh dari blok bangunan ini, terdapat pula bangunan pertokoan yang berjajar, terpisah oleh jalan besar yang pada beberapa titiknya terdapat tiang-tiang tinggi yang berbaris di sepanjang pemisah jalan.

Azure mengangguk.

“Kauingin bertemu dengan teman manusiamu itu ….” Reddish mengerutkan kening, mengingat-ingat apakah ia pernah tahu nama manusia perempuan itu atau tidak.

“Flavia.” Azure menarik napas. “Kau mengizinkanku bertemu dengannya?” Azure memastikan.

“Tentu saja.” Reddish menjawab ringan lantas mengalihkan pembicaraan mereka dengan kembali mengusap pundak perempuan itu dan menghelanya memasuki pintu gerai. “Kita bisa menemui temanmu setelah ini,” tambahnya yang membuat Azure mengangguk antusias dengan tersenyum.

Keduanya kemudian melangkah ke set meja terdekat di sisi dinding kaca yang dihiasi oleh dedaunan dan aneka buah-buahan artifisial warna-warni di ujung-ujungnya. Salah seorang pelayan datang membawa  buku catatan kecil dan pulpen, mengatakan ucapan selamat datang dan menanyakan menu minuman yang dipesan.

Azure terlihat antusias saat pelayan itu pergi dan mengucapkan kata-kata ramah khas pelayan jika pesanan akan tiba dengan cepat, membuat Reddish tak bisa menahan senyuman di sudut bibirnya melihat tingkah Azure itu.

***

“Baik. Saya akan segera kembali dengan segala persyaratan yang diperlukan. Terima kasih.” Onyx bangkit bangkit dari duduknya setelah menghabiskan waktu beberapa menit untuk melakukan wawancara singkatnya dengan pemilik usaha.

Lelaki setengah baya itu mengangguk dan tersenyum, mempersilakan Onyx yang membungkukkan badan meminta izin keluar ruangan.

Astaga. Tak semudah yang dibayangkan olehnya sebelum ini. Onyx mengira jika ia akan dengan mudah berbicara kepada manusia seperti yang dilakukannya dengan Flavia, tetapi entah mengapa saat ia memasuki ruangan lelaki setengah baya itu, kekuatan dirinya seolah tersirap hingga membuatnya menunduk pada manusia kharismatik yang mewawancarainya tadi.

“Hei.” Flavia memanggil perlahan membuat lelaki klan hitam itu sedikit terlonjak kaget. “Bagaimana? Apakah bos menyambutmu baik?” tanyanya dengan nada selidik penuh harap.

Onyx menarik napas panjang. “Ya seperti itulah, aku akan datang lagi kemari untuk mengantar berkas-berkas yang diperlukan,” jawab lelaki itu sembari terus melangkah meninggalkan lorong panjang di lantai tiga dari bangunan toko tersebut, diikuti Flavia di sebelahnya. “Terima kasih.” Onyx menengok dan tersenyum tipis ke arah perempuan itu.

“Senang bisa membantumu.” Flavia mengangguk singkat. Ia telah menyelesaikan pekerjaan shift pertamanya hari ini sehingga bisa meluangkan waktu untuk menemui atasannya serta memintakan jadwal temu untuk lelaki bernama Henry yang tiba-tiba saja melamar pekerjaan di tempatnya bekerja. Flavia yakin jika atasannya itu pastilah tak menilai dua kali pada calon pegawainya dengan latar belakang seperti Henry karena memang sebagian besar pegawai yang bekerja di sini adalah perantau yang tak memiliki keluarga, seolah-olah lelaki setengah baya itu bukannya sedang berniat mendirikan toko untuk berbisnis, tetapi juga menampung orang-orang dari berbagai negara  yang berniat mencari kerja dan membantu perekonomian mereka.

“Kau sudah selesai bekerja?” Onyx bertanya ketika mereka pada akhirnya berjalan bersama-sama menuju pintu keluar.

“Ya, aku mendapat jatah separuh waktu pagi hari ini-“

“Flavia!” Suara panggilan dari arah kanan membuat Onyx dan Flavia menghentikan langkah dan menoleh bersamaan.

Flavia terpaku sejenak dengan keterkejutan yang menghantam dada mengetahui siapa yang memanggil namanya. Carissa. Perempuan itu berdiri tak jauh dari tempatnya, bersama seorang laki-laki yang merangkulnya rapat. Lebih dari itu, satu hal yang tak pernah Flavia lihat selama mereka bersama adalah senyuman bahagia Carissa yang saat ini ditujukan kepadanya. Selama ini, Carissa yang Flavia kenal adalah sosok perempuan dingin yang sangat tertutup dengan kehidupan serba misteriusnya yang tak punya teman. Namun sekarang, setelah beberapa waktu mereka tak bertemu, ia menjadi ragu apakah benar sosok yang kini sedang menghampirinya itu adalah Carissa-nya yang dulu.

Lidah Flavia terasa kelu bahkan untuk sekadar balas menyebut nama sahabatnya itu. Ada rasa bahagia tak terkira dan haru yang menyeruak tanpa ampun di dada Flavia, membuat kedua matanya terasa panas. Di sisi lain, ada nuansa tercengang yang membuat Onyx memundurkan langkahnya tanpa sadar melihat bagaimana mesranya Azure dan lelaki di sisinya … siapa lelaki itu? Apakah itu Reddish yang sedang menyamar? Kedua tangan Onyx tanpa sadar mengepal dengan kepalanya yang menunduk. Sementara itu, mengikuti Azure yang melangkah mendekat ke arah temannya, Reddish tak putus memindai laki-laki mencurigakan yang kini berdiri di sisi Flavia itu.

“Astaga. Kau pergi ke mana saja?” Flavia memeluk Carissa yang juga tengah mendekapnya rapat dengan mata memejam.

“Maafkan aku.” Azure berucap perlahan, melepas pelukannya hingga kini dapat memandangi wajah sahabatnya yang tengah berurai air mata itu.

Teringat sesuatu, Flavia menoleh ke belakang. Henry berkata jika Carissa adalah teman lamanya, tetapi, saat tak ada tanda pengenalan dari Carissa kepada lelaki yang bersamanya tadi ….

“Ada apa, Flavia?” Azure mengernyit ketika perempuan itu termangu sejenak.

“Henry-“

“Hai. Lama tak bertemu, Sobat. Mari kita berbincang sesama laki-laki dan biarkan para perempuan mengambil waktu mereka sendiri.” Reddish mendadak maju tanpa diduga dan berakrab dengan Onyx, menepuk pundaknya lantas dengan cepat menghela lelaki klan hitam itu ke sudut lain.

Flavia yang semula tegang itu tersenyum lantas mengalihkan perhatiannya ke arah Azure lagi dan menggandeng  tangannya ke arah bangku di sisi dinding. “Siapa laki-laki itu, Carissa? Kalian … tampak sangat dekat,” tanyanya dengan antusias, berkebalikan dengan Azure yang saat ini masih memandangi ke arah Reddish dan lelaki manusia itu pergi. Tak biasanya Reddish yang angkuh itu mau berakrab dengan sembarang makhluk apalagi manusia yang baru pertama kali ditemui. Apakah Reddish sedang berbaik hati memberinya waktu untuk berbicara sejenak dengan Flavia? Ataukah lelaki itu memiliki tujuan lain?

Mendapat guncangan sentuhan di punggung tangannya, Azure menoleh cepat. Flavia menoleh kembali ke arah pandang Azure sejenak dan bertanya lagi, “Lelaki itu … kekasihmu?”

Azure berdeham dengan pipinya yang merona. “Dia … suamiku, Flavia,” jawabnya dengan tersenyum malu-malu.

Jawaban itu sontak membuat Flavia menutup mulutnya karena ternganga. “Suami? Astaga … kau menghilang selama ini karena diculik pria tampan?” tanyanya dengan mata membulat sempurna diiringi kalimat godaan yang berhasil membuat Azure terkekeh sembari mengingat-ingat dan membenarkan kalimat Flavia itu dalam hati karena memang seperti itulah ia bertemu dengan Reddish. Lelaki itu membawanya paksa pulang ke negeri langit dan menikahinya.

“Kau tampak bahagia, Carissa.” Flavia menatap Azure dengan penuh haru. “Aku turut senang,” imbuhnya sembari menepuk-nepuk punggung tangan Azure yang masih digenggamnya.

“Terima kasih, Flavia. Eh, lelaki yang bersamamu tadi … siapa dia?” Azure balik bertanya.

Ekspresi Flavia berkerut penuh tanya. “Kau tak mengenalnya?”

“Aku?” Azure menunjuk dirinya sendiri lantas mengernyit memutar ingatan di benaknya. “Aku belum pernah bertemu dengan laki-laki itu sebelum ini. Apakah dia pegawai toko yang baru? Ataukah … ah, dia kekasihmu?” Azure melebarkan mata saat dugaan terakhir tentang lelaki itu sebagai kekasih Flavia membuatnya berdebar. Apakah ia melupakan sesuatu? Apakah Flavia telah menceritakan tentang lelaki itu padanya dahulu dan Azure tak memperhatikan?

“Sungguh kau tak tahu siapa dia?” Flavia menyelidik, merasa ada yang ganjil dengan identitas laki-laki yang baru ditemuinya itu.

“Ya, aku tak ingat jika pernah bertemu dengannya. Ada apa, Flavia? Apakah ada yang salah?” pandangan Azure teralih kembali ke tempat di mana Reddish dan laki-laki tadi berbelok dan menghilang di sana.

Firasat buruk seketika menyergap Azure tanpa ampun. Perempuan itu seketika berlari diikuti teriakan Flavia yang memanggilnya dan turut pula berlari mengejarnya.

***

Reddish melangkah tanpa suara dengan ekspresi gelap. Berjalan di sisinya Onyx yang masih mengepalkan kedua tangannya dengan perasaan campur aduk. Onyx yakin jika lelaki yang menggiringnya ke tempat ini adalah Reddish si pemimpin klan merah yang sedang menyamar dan mengawasi sekeliling, tak sabar untuk menyerbu dan menghajarnya tanpa membuat keributan. Namun, di sisi lain atas ketakutannya pada sikap lelaki ini, hal yang membuat dada Onyx berdebar kencang adalah karena ia bisa melihat Azure lagi meski dalam wujudnya yang sedang menyamar menjadi sosok manusia. Lebih dari itu, ia tak menyangka jika Azure akan dengan rela hati diperlakukan manis oleh lelaki di sampingnya ini. Apakah kehidupan pernikahan mereka benar-benar bahagia? Bagaimana mungkin bisa itu terjadi?

Tanpa aba-aba, Reddish bergerak cepat memelintir leher Onyx sembari menghantamnya ke sisi dinding bangunan di lorong dua bangunan yang cukup sepi itu. Reddish seakan hanya menyentuh saja karena lelaki itu bersikap santai dengan menyakukan sebelah tangannya ke saku celana, walau Onyx merasakan jika lehernya seolah akan putus saat Reddish mengencangkan cengkeramannya sedikit saja.

“Kau masih hidup.” Reddish menggeram perlahan dengan kilatan merah di kedua bola mata birunya saat ini. “Apa yang kaulakukan di sini, hm? Ingin memperdaya teman istriku?” tanyanya dengan kedua mata menyipit penuh perhitungan. Ia tak peduli pada Onyx yang meronta dengan segenap tenaga dan terus menggerak-gerakkan tubuhnya untuk melepaskan diri. Mulut lelaki klan hitam itu terasa terkunci saat ini dan dadanya seolah akan meledak.

Ada senyum mengejek di sudut bibir Reddish ketika berucap kemudian, “Ternyata kau telah kehilangan seluruh kekuatan makhluk pewarnamu. Bagus,” pujinya dengan seringaian keji saat melihat jika lelaki klan hitam itu begitu kepayahan saat hendak melepaskan diri dari tangannya tanpa bisa mengeluarkan aura warnanya setitik saja. Reddish lantas melempar tubuh Onyx ke tanah, menimbulkan suara berdebum keras. Onyx merintih sembari mengusap-usap lehernya yang memerah.

“Aku tak ada urusan denganmu.” Lelaki hitam itu terbatuk-batuk dan berusaha tak menghiraukan Reddish yang sedang marah. Onyx berusaha berdiri.

“Tapi kau berurusan denganku jika itu ada hubungannya dengan Azure,” sahutnya angkuh dengan berseru, menunjukkan  kemurkaannya.

Onyx tertatih berpegangan pada sisi tembok di sebelahnya saat berhasil bangkit, mencoba melangkah dengan kakinya yang terhuyung. “Apakah selain angkuh, pemimpin negeri langit kini juga gemar menyakiti sesama makhluk hanya karena sedang cemburu?” tanyanya dengan tersengal, berusaha mengonfrontasi Reddish dengan menekan harga dirinya.

Reddish hampir-hampir tak bisa menahan untuk tak mengeluarkan aura merahnya jika saja ia tak mendengar suara derap lari dari arahnya tak jauh dari lokasinya dengan Onyx saat ini. “Kau tak akan bisa menggerakkan lidahmu  untuk berbicara setelah ini jika kau berani sekali lagi menampakkan wujud sialanmu itu di depan istriku. Camkan itu!” ancamnya lantas membalikkan badan dan melangkah cepat.

“Kau bisa tenang.” Onyx berseru sembari meraba lehernya yang  terasa nyeri. “Aku sudah melepas Azure dengan seluruh kerelaanku.”

Tampak Reddish mengatupkan gerahamnya dengan ekspresi dingin.

“Aku tak memiliki rencana apa pun pada siapa pun. Aku datang kemari karena urusanku sendiri,” Onyx berkata dengan ekspresinya yang getir. “Kau bisa menjaga Azure dengan tenang. Aku senang karena dia bahagia bersamamu,” tutupnya sembari membalikkan badan, berjalan pelan memunggungi Reddish yang bergeming di tempatnya.

Reddish menjangkahkan kakinya perlahan dan menemukan jika Azure tengah berlari gusar sembari mencari dirinya dengan menolehkan kepalanya ke sana kemari. Begitu Azure melihatnya, Reddish dengan senang hati membuka sebelah tangannya lantas merangkul istrinya tanpa memedulikan jika saat itu Flavia memalingkan wajah dengan rona merah melihat tontonan kemesraan lelaki itu dengan Azure.

“Apa yang terjadi?” Azure berusaha mengatur napasnya yang terengah.

“Lelaki itu telah terlebih dahulu pergi dan ….” Reddish memandang tajam ke arah Flavia kemudian. “Dia berpesan kepadamu jika ia harus pulang,” imbuhnya lagi dengan suara lantang, sengaja mengeraskan suaranya agar bisa didengar pula oleh Onyx yang saat ini masih berada tak jauh di sisi dinding di sebelah barat bangunan.

“Oh, oke.” Flavia mengangguk-angguk tipis.

“Dan kami juga harus pergi.” Reddish melangkah sembari terus mendekap Azure dalam rangkulannya, mendekat ke arah Flavia, memberi kesempatan kepada Azure untuk mengucapkan selamat tinggal.

“Aku harus pulang, Flavia. Jangan khawatir ….” Azure menengadah sejenak, meminta persetujuan kepada Reddish. Saat lelaki itu hanya menipiskan bibir dan mengangguk singkat, Azure kemudian melanjutkan ucapannya. “Aku akan datang lagi suatu hari nanti,” pamitnya yang disambut anggukan senang oleh Flavia.

Reddish mengusap pundak Azure lembut untuk menghelanya berjalan, meninggalkan Flavia yang berdiri terpaku di belakang mereka, memandangi hingga keduanya menghilang di sudut lorong.

***

“Reddish!” Azure terkesiap saat tiba-tiba saja lelaki itu terbang dan membawanya ke tempat ini. Ke sebuah kamar penginapan bintang 5 yang entah bagaimana caranya lelaki itu bisa membuka pintunya dengan mudah dan merangsek masuk.

Pengawal yang diam-diam mengikuti keduanya turun ke dunia manusia ini sepertinya telah menjalankan tugas dengan baik. Mereka mengubah diri mereka menjadi manusia dan memesankan ruang kamar di lantai puncak ini sesuai keinginan tuan mereka.

Reddish membaringkan Azure di ranjang dan menindihnya perlahan, membuat jantung Azure bedebaran tak keruan dengan napasnya yang tersengal. Reddish memandanginya dengan tatapan tak terbaca sebelum kemudian memimpin ciuman di antara mereka dengan panas.

“Tubuhmu harus dibersihkan dari tatapan manusia bedebah yang mencuri-curi pandang kepadamu.” Reddish menggeram. “Sialan karena wujud manusiamu ini sangat cantik, Azure sementara kau tak menyadari juga jika dirimu secantik ini dan mudah dikagumi oleh para makhluk laki-laki.”

Azure merasakan tubuhnya gemetar. Entah apa yang dilakukan lelaki ini saat tak bersamanya tadi. Yang pasti, Azure merasakan jika aura kemarahan Reddish menguar sangat pekat saat ini. Azure memberanikan diri menyentuh kedua pipi Reddish yang panas dengan telapak tangannya yang dingin dan tersenyum. “Kita sudah sedekat ini dan aku sudah menjadi milikmu jiwa dan raga. Apakah itu masih kurang untuk membuktikan jika aku adalah punyamu?”

“Aku tak suka ada makhluk lain yang memandangmu seperti aku memandangmu.” Reddish mengerutkan alisnya dan menyentuh tangan Azure yang dingin di pipinya dan memejam. “Maafkan aku,” ucapnya parau dengan embusan napas panjang.

Azure tersenyum. “Aku mencintaimu, Reddish.”

Reddish membuka matanya yang sayu dan balas berucap, “Aku mencintaimu lebih dari yang kaukira, perempuan, ” ucapnya merendahkan kepala ke wajah Azure dan mengecup bibirnya. “Aku ingin.” Reddish berbisik.

Azure melebarkan mata. “Tap-tapi ….,” ujarnya gagap. Sejujurnya Azure benar-benar ingin menikmati waktu mereka di dunia manusia ini dengan mengunjungi berbagai tempat yang bisa menyegarkan pikirannya. Sudah bisa ditebak akan seperti apa akhirnya jika Reddish menguncinya di dalam kamar seperti ini.

Semilir angin berkat embusan Air Conditioner di ruangan itu menyapu-nyapu rambut keduanya. Reddish mengangkat kedua alisnya saat Azure tak juga menyelesaikan kalimatnya itu.

“Ada apa? Bukankah kencan manusia selalu diselingi dengan bercinta? Tak ada yang melebihi ungkapan cinta ketimbang berpelukan dan saling memberi cinta seperti ini, bukan? Aku akan memberikan kencan tak terlupakan untukmu, Istriku.” Reddish tak memberi kesempatan Azure berbicara dan melanjutkan kecupan-kecupan mesranya di mulut Azure, memberikan sentuhan-sentuhan tubuhnya yang membuat Azure tak kuasa menolak, menikmati sepanjang sore hingga senja yang gerimis di kota itu dengan kehangatan cinta keduanya yang meluap-luap.

 

[END] The Red Prince | Part 30 : Upacara Penyemaian Warna

12 Januari 2023 in Red Prince

Cover

 

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Sudah cukup. Ayo kita kembali ke kastil masing-masing dan segera berkumpul ke aula besar-”

Suara petir yang cukup kencang mendadak menggelegar di atas mereka tanpa peringatan. Rombongan pemimpin klan itu seketika menengadah dan melihat ke sekeliling dengan cepat untuk mengetahui apa yang terjadi.

Reddish mengamati dengan cermat pelangi semesta yang masih berada di tempatnya berikut warna terakhir yang menyala di sana meskipun redup. Sungguh saat ini tak ada yang dikhawatirkannya selain Azure dan calon putranya yang sedang bersemayam di perut istrinya itu. Tak ada jaminan jika istri maupun calon putranya akan terus baik-baik saja. Ancaman bisa datang dari mana saja tanpa bisa diprediksi, belum lagi tanggung jawab besar untuk menjaga anak dan istrinya itu tak hanya sampai di situ saja, penjagaan dirinya kepada dua makhluk itu termasuk dalam tanggung jawabnya untuk menjaga pelangi semesta tetap menyala.

Pemimpin klan merah itu menengadah lagi saat memikirkan tentang itu semua. Petir itu tidak ada lagi, tetapi tiba-tiba saja, di seberang langit yang jauh, sambaran petir yang ternyata berwarna ungu itu menyala lagi dengan kuatnya, melempar-lemparkan suaranya ke segala penjuru, membuat makhluk-makhluk warna yang sedang termangu mengambang di udara itu memandang serempak ke arahnya. Tanpa sadar, cahaya terang itu mengantarkan mata mereka semua ke dua titik yang membuat Reddish melangkah maju dan menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas.

“Apa itu tadi?” Ecru melangkah menyejajari Reddish yang berdiri di barisan paling depan. Mata kuningnya turut menyipit dengan rasa ingin tahu yang memuncak.

Reddish terdiam sejenak dengan pandangan tajamnya yang tak berubah, ke arah petir yang seolah berjalan kian jauh dari atas tempat mereka, membelakangi Reddish dan rombongannya. Entah bagaimana alih-alih merasakan ancaman berkat nuansa aneh petir itu, Reddish justru merasakan sesuatu yang tidak asing saat menyaksikan kemunculan fenomena aneh tersebut, seakan-akan petir itu mengenalinya dan ia pun sama, mengenali gerakan cahaya itu. Terlebih, setelah ia memastikan berkali-kali, ia tidak salah lagi. Dua tempat itu seperti menunjukkan eksistensinya seolah merasa iri karena wilayah klan yang lain seluruhnya Reddish kunjungi sementara wilayah itu tidak.

“Kastil biru dan kastil ungu.” Reddish menjawab singkat.

Ecru dan yang lainnya seketika menoleh. Kening Ecru mengernyit saat melihat selintas senyum tipis di ujung bibir Reddish ketika mengatakan kalimat itu. “Apa maksudmu?” tanyanya kemudian.

“Ada yang terlewat. Kita harus ke dua kastil itu terlebih dahulu sebelum kembali pulang.”

Pemimpin klan yang lain tampak mengamati langit dan memperhitungkan waktu serta saling bertanya satu sama lain dalam gerakan isyarat. “Waktu telah beranjak sore hari, Tuan Reddish. Untuk apa kita ke dua kastil kosong itu? Tidak akan ada yang menyambut Anda di sana.” Shamrock bertanya dengan pandangannya terarah ke utara, tempat kastil biru dan kastil ungu berada. “Dan kastil ungu … pun tidak ada penghuninya sama sekali. Apakah Anda yakin hendak pergi ke sana?” tanyanya dengan nada penuh ragu.

“Aku tahu. Tapi sepertinya kita harus ke dua kastil itu juga karena walau bagaimana, dua wilayah itu adalah daerah kekuasaanku. Aku harus tetap memastikan keamanannya karena setelah ini kita semua akan turun ke langit manusia. Siapa yang tahu jika ternyata ada makhluk yang sedang bersembunyi di sana dan diam-diam menyimpan ancaman, bukan? Meskipun aku yakin jika keduanya saat ini kosong karena mantraku telah menyelubungi dua kastil itu,” jelasnya dengan ekspresi berpikir. “Ayo, kita harus bergegas sebelum semakin banyak waktu yang terbuang,” perintahnya sembari memimpin terbang, diikuti para pemimpin klan lainnya yang saling pandang lantas turut terbang mengekor di belakangnya.

Petir itu berwarna ungu. Reddish mempercepat terbangnya sembari terus berpikir dalam diam. Apakah itu ada hubungannya dengan klan putra yang sedang dikandung Azure sehingga Reddish tak merasa terancam?

***

Suara jeritan Azure yang terkejut karena suara keras itu membuat Crimson dan pelayan lainnya yang sedang berjaga di pintu kamar sontak menyerbu ke dalam ruang kamar tanpa pikir panjang. Mereka pun terkejut bukan main mendengar suara petir yang keras itu, tetapi pikiran bawah sadar mereka seolah telah disetir untuk menjaga maharani sesuai perintah pemimpin mereka sehingga meski terlonjak kaget, hal pertama yang mereka pikirkan adalah bagaimana keadaan Nona Azure?

Suara derap lari terdengar bersusul-susulan di dalam area ruang peraduan. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat Azure sedang berdiri bersandar di dinding dengan kedua telapak tangannya yang masih menutup telinga. Aura perempuan biru itu tampak pucat dengan tubuh gemetar, membuat Crimson dan para pelayan perempuan yang segera berlari mendekat itu kalang kabut.

“Nona. Nona Azure. Ini saya.” Salah seorang pelayan perempuan mendekat lantas memegangi kedua lengan Azure lembut supaya perempuan itu tak terkejut. “Anda baik-baik saja?” tanyanya kembali dengan takut dan cemas setengah mati.

Mendapat sentuhan di tengah nuansa shock yang melanda membuat tubuh Azure sedikit terkesiap ketika dua tangan hangat pelayan itu mendarat di lengannya. Azure lantas mengerjap dan kembali mengatur napasnya yang tersengal. Perempuan itu mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Anda pucat sekali, Nona. Mari saya antar ke tempat tidur.” Dengan telaten pelayan merah itu menuntun Azure yang masih dilanda keterkejutan hingga langkahnya tampak tertatih.

Crimson berdiri menjaga jarak di ambang ruang peraduan itu dan sedikit memalingkan wajahnya untuk menjaga sikap. Dia hanya ingin memastikan sendiri jika maharani mereka itu dalam keadaan baik dan tak ada sesuatu hal pun yang perlu dikhawatirkan. Namun sepertinya kali ini Crimson salah, karena begitu berhasil mendudukkan dirinya di tepi ranjang, tubuh Azure nampak kuyu dengan tubuhnya yang sesekali memunculkan aura merah dan biru tak beraturan yang membuat Azure terlihat payah.

“Reddish belum pulang?” Azure berkata dengan napasnya yang berat. Entah apa yang terjadi pada tubuhnya ini. Apakah kehamilan membuat tubuhnya lemah? Mengapa hanya dengan terkejut saja, dia bisa seperti ini?

“Belum, Nona. Anda ingin saya menghubungi tuan Reddish sekarang?” Crimson menyahut  lantas melihat ke luar jendela untuk menghitung waktu. “Rombongan pemimpin klan direncanakan akan tiba sebelum senja, Nona, tapi saya bisa meminta pengertian kepada tuan-“

“Tidak usah, Crimson.” Azure menyergah cepat sembari mengibaskan tangannya lemah untuk meyakinkan penolakannya. “Aku tidak ingin Reddish cemas,” tuturnya sembari tersenyum lemah. “Mungkin aku hanya butuh tidur,” lanjutnya lagi.

Para pelayan saling pandang dalam tatapan khawatir yang sama. “Anda ingin meminum ramuan Anda, Nona? Mungkin itu akan membuat Anda lebih baik?” tanya salah seorang dari mereka ketika Azure tetap teguh pad pendiriannya.

“Tidak. Kalian bisa meninggalkan ruangan. Aku ingin tidur,” pintanya sekali lagi dengan keras kepala, mengusir terang-terangan semua makhluk yang ada di ruangan itu dengan ucapannya yang tegas meski terdengar sengau.

“Baik, Nona. Kami akan terus bersiaga di sisi ruangan jika Anda membutuhkan bantuan. Segeralah memanggil kami jika Anda menginginkan sesuatu.” Para pelayan berikut Crimson menjura bersamaan sebelum dengan berat hati meninggalkan ruang peraduan itu, meninggalkan Azure yang mulai berbaring dan memejamkan mata.

***

Kosong.

Tidak ada kehidupan di kastil milik Azure. Bahkan setelah rombongan para pemimpin klan itu menyebar dan meneliti setiap sudut wilayah klan biru, tak ada  satu makhluk pun baik makhluk penyemai warna maupun hewan-hewan warna yang biasanya menghuni wilayah klan, seolah-olah mereka semua memutuskan untuk benar-benar meninggalkan rumah mereka dan tak kembali lagi.

Reddish melangkah perlahan di ruang depan kastil itu, memindai secara saksama dengan sebelah matanya yang buta warna.

“Kalian menemukan sesuatu?” Reddish bertanya ketika para pemimpin klan yang lain telah berkumpul kembali setelah mereka berpencar untuk melakukan pemindaian.

“Tidak, Tuan. Tidak ada apa pun.” Fuschia menyahut, mewakili yang lainnya.

Kening Reddish berkerut. Tatapan matanya kembali menyapu seluruh sudut ruangan yang ia bisa lantas mengangguk setelah memastikan jika memang tak ada makhluk hidup yang bertahan di wilayah itu.

Sepertinya Azure memang akan menjadi satu-satunya makhluk klan biru yang bertahan dan melakukan penyemaian senja nanti.

“Baik. Ayo kita ke kastil ungu. Waktu kita semakin sempit.” Reddish mengingatkan semuanya untuk bergegas.

“Siap.” Para pemimpin klan itu menjura dan mengikuti langkah Reddish lagi sebelum kemudian bersama-sama terbang menuju wilayah kastil ungu yang terletak tak jauh dari wilayah klan biru ini.

Kali ini rombongan pemimpin klan itu melesat secepat kilat sehingga warna-warna mereka yang tetinggal di belakang dan mengikuti mereka terbang itu hampir-hampir menyerupai warna pelangi semesta di atas mereka. Reddish mengeluarkan aura merahnya kuat-kuat saat hampir mencapai gerbang wilayah klan campuran itu.

Sama seperti wilayah milik Azure, wilayah klan ini pun sama kosongnya begitu mereka mendaratkan kaki di tanahnya yang berdebu tertutup awan. Reddish mengingat-ingat lagi jika terakhir kali ia mengunjungi tempat ini adalah pada saat kematian anggota klan ungu terakhir sebelum pelangi semesta pada akhirnya padam.

Lelaki itu mengernyitkan dahi ketika ia masih mengingat dengan jelas cahaya petir super besar yang sepertinya itu berasal dari wilayah ini. Ada apa? Apakah itu adalah pertanda jika sebentar lagi akan ada anggota klan ungu baru yang akan menempati wilayah ini?

Ekspresi Reddish mendadak gelap saat tiba-tiba saja ia teringat Azure  dan ia mulai cemas karena sepertinya  ia sudah melewati ambang batas waktu yang ditentukannya sendiri untuk meninggalkan Azure di kastil merahnya. Aura merah pekat menyala dari dua kepalan tangannya, tetapi Reddish menahan sekuat tenaga untuk tak melemparkan kekuatannya itu ke segala arah. Ia kesal bukan main karena merasa dipermainkan oleh petir sialan yang entah bagaimana bisa meluluhkannya hingga ia menyesal karena tindakan spontannya tersebut.

“Reddish. Kau melihat sesuatu?” Ecru berbisik di sisi Reddish yang sedang mengamati sekeliling.

“Apakah kami perlu berkeliling lagi?” Sandstone menawarkan diri ketika Reddish tak kunjung memberi perintah.

Lelaki merah itu memasang wajah dingin ketika berkata, “Tidak perlu. Kita sudah hampir terlambat. Mungkin kita hanya perlu menginjakkan kaki di sini sebagai bukti bahwa dua kastil ini masih kuperhatikan juga saat aku harus pergi berkeliling,” ucapnya sinis kemudian. “Kalian tak perlu mengawalku. Setelah ini kita langsung kembali ke kastil kita masing-masing dan langsung memulai keberangkatan,” titah Reddish yang dijawab oleh anggukan serta jawaban kompak dari masing-masing pemimpin klan.

Reddish mengangguk tipis dan mendahului pemimpin lainnya, terbang menuju kastil merah.

***

Lelaki klan merah itu membelalak begitu diberi tahu oleh Crimson tentang keadaan Azure saat suara petir itu ternyata membuat istrinya shock hingga dilanda sakit. Reddish melangkah cepat dengan panik menuju ruang peraduannya dengan tubuh gemetar dan jantung berdebar cepat. Bayangan-bayangan saat Azure terbaring lemah langsung  mengungkung pikirannya dan membuatnya tak sabar untuk segera tiba di kamarnya.

“Kenapa kau tak memberitahuku, hah!” umpatnya keras saat tahu jika Crimson turut melangkah di belakangnya karena dilanda panik. Aura merah di tubuhnya menyala cepat seiring amarahnya yang kian memuncak.

“Ampun, Tuan. Nona Azure melarang saya-“

“Hah!” Reddish membalikkan tubuhnya cepat dan meraup leher Crimson hingga lelaki itu terangkat ke udara dan terbanting ke tembok di sisi lorong itu. Suara geramannya terdengar mengerikan hingga untuk sesaat, meski menahan sakit karena lehernya seperti tepelintir, lelaki tua itu memejam ketakutan menghindari tatapan Reddish yang beringas.

“Aku tak mau tahu lagi! Sekali aku memberimu perintah untuk menjaga Azure dan memberitahuku apa pun keadaannya, kau harus tetap memberitahuku!” teriaknya marah. “Apa harus kupisahkan dulu kepala dari tubuhmu ini agar kau paham, hah!” Suara Reddish terdengar keras menggema di sana, membuat semua makhluk yang tanpa sengaja sedang berada di sekitar lorong itu berhenti kaku dengan mata membelalak penuh ngeri, termasuk semua pelayan yang berada di ruang sebelah, yang meskipun Reddish saat ini tak sedang berada di depan mereka, mereka semua tampak membungkuk di lantai dengan tubuh gemetar.

Dengan tercekat dan napasnya yang mulai terengah tak beraturan, Crimson menjawab juga umpatan Reddish itu. “Sa-saya mengerti, Tuan.”

Reddish memandangi Crimson tajam. Kedua mata merahnya masih menyala meski sebentar kemudian tampak meredup. Tanpa perasaan, setelah berhasil mengatur napasnya yang tersengal, Reddish kemudian melempar tubuh Crimson ke lantai begitu saja sementara dirinya melanjutkan langkah cepatnya menuju ruang pribadinya itu.

Crimson terbatuk-batuk keras dan seluruh tubuhnya memerah. Beberapa pelayan yang melihat kejadian itu seketika berlari menghampiri Crimson yang tampak kepayahan setelah mendapat amukan kemarahan dari pemimpin mereka.

“Mari kami bantu, Tuan.” Salah seorang dari tiga orang pelayan yang datang menghampiri itu berucap.

“Terima kasih.” Meski terlihat enggan dengan masih memaksa diri untuk mendudukkan dirinya sendiri dengan sebelah tangan, Crimson akhirnya menerima juga saat sebelah lengannya dipegang oleh pelayan-pelayan itu untuk membantunya berdiri.

Astaga. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa temperamen Tuan Reddish buruk sekali?

Crimson memandangi lorong kosong tempat Reddish tadi meninggalkan dirinya dengan ekspresi kecut. Rasa bersalah melumuri wajahnya dengan nuansa muram yang pekat.

“Bilang kepada kepala prajurit untuk bersiap-siap. Waktu hampir menjelang senja dan upacara penyemaian akan segera dilakukan. Minta mereka untuk menungguku di depan kastil. Kita akan bersama-sama menunggu Tuan Reddish dan Nona Azure di sana,” perintahnya kemudian dengan serak.

“Baik, Tuan Crimson.” Para pelayan itu menjura lantas segera pergi menunaikan tugas, meninggalkan Crimson seorang diri yang masih berdiri terpaku di sana.

***

Reddish merasakan dejavu saat memasuki ruang kamarnya. Ia seperti memasuki waktu yang sama ketika ia pertama kali meninggalkan Azure berada di ruang pribadinya ini dan sekarang, ia kembali kemari dalam keadaan yang sama. Cemas bukan kepalang atas keadaan Azure.

Lelaki itu melangkah tanpa suara ketika sudah mendekati ranjang. Perempuan biru itu terlihat berbaring tenang dengan selimut tebal yang menutupi setengah tubuhnya. Warna wajahnya tampak pucat seperti beberapa hari terakhir saat ia dinyatakan sedang mengandung. Reddish mengetatkan gerahamnya dengan ekspresi kecut lalu memutuskan untuk duduk di tepi ranjang mengawasi istrinya yang sedang terpejam.

Baru saja akan menyentuhkan tangannya ke dahi istrinya untuk memeriksa, cahaya oranye nan terang tiba-tiba saja menerangi seisi ruangan itu seolah memperingatkannya jika waktu hampir bergerak menuju senja. Reddish memicingkan mata saat pikirannya yang penuh pergolakan itu harus memutuskan dengan cepat.

Arak-arak anggota klan warna pastilah saat ini mulai berkumpul menunggu dirinya di aula besar sementara keadaan Azure sepertiny memang benar-benar tak bisa ia paksakan untuk turut serta menemaninya menyemai warna dan mau tak mau ia harus mengatakan itu semua kepada semua makhluk dan dewan warna yang pastilah telah menunggu.

Reddish memejam sejenak sembari mengambil napas panjang untuk menenangkan diri walau hatinya sesungguhnya terasa berat sebelah. Ia kemudian memandangi jendela ruang kamarnya yang besar dan berpikir untuk membiarkan Azure tidur dan akan meminta Crimson nanti untuk menemani perempuan ini jika ia memaksa turun ke langit manusia.

Ya, mungkin begitu lebih baik. Reddish mengangguk-angguk menyetujui pemikirannya sendiri.  Lagipula pada waktu-waktu sebelum ini, penyemaian warna tetap berjalan sempurna meski tidak dihadiri oleh semua anggota klan, walau sesungguhnya Reddish tahu, jika klan biru yang pada sekian tahun terakhir ini tak menampakkan diri, mereka juga sedang melakukan upacara mereka sendiri, terbukti dari warna laut dan langit dunia manusia yang masih biru seperti sedia kala.

Reddish tampak berdiri kaku di ruangan itu menghadap jendela. Ia bersumpah untuk tak akan menengok lagi ke arah Azure yang sedang terlelap karena jika sampai itu terjadi, ia mungkin akan menjadi satu-satunya makhluk paling dibenci oleh semua makhluk warna karena ia pasti akan tinggal lebih lama di ruangannya ini, enggan meninggalkan istrinya. Dan yang lebih buruk lagi, ia pasti akan melibas semua makhluk yang berani menantang perintahnya itu untuk mengundur barang satu malam lagi upacara penyemaian warna tersebut. Bayangan tak mengenakkan itu datang tanpa diundang, meracuni segala ketegasannya dan mengubahnya menjadi makhluk egois seketika.

Reddish mengepalkan tangan dan menguatkan tekad dengan kalang kabut. Ia lalu bergegas hendak menuju pintu ruangan saat tiba-tiba saja sebelah tangannya ditarik oleh sebuah tangan lembut dari sisi ranjang. Lelaki itu tersentak dengan perasaan tercekat dan segera menoleh.

“Reddish.” Azure tampak kuyu dengan cengkeraman tangan di pergelangan tangannya yang terasa mengencang. “Kau hendak pergi begitu saja tanpa mengajakku?” Azure bertanya parau dengan wajahnya yang berkerut. “Kau jahat sekali,” imbuhnya lagi dan menopang sebelah tangannya untuk duduk.

Pertahanan Reddish runtuh sudah. Lelaki itu seketika terduduk dan memeluk Azure rapat, membuainya dalam dekapan tubuhnya yang panas. Azure tersenyum kecil. Ia tahu jika Reddish saat ini berada di situasi dilematik dan ia pada akhirnya terbangun di waktu yang tepat.

“Jangan bilang kau tertidur lagi. Jangan bilang kau tak apa-apa agar aku tak cemas.” Reddish berucap kemudian dengan nada suaranya yang serak.

Azure tersenyum lagi dalam dekapan lelaki itu. Ia tahu jika Reddish baru saja melampiaskan kemarahannya pada entah siapa yang berada di luar kamarnya tadi karena kekeraskepalaannya. Ia tahu jika sesungguhnya Reddish tidak membenci dirinya sehingga tak mau menoleh kepadanya saat akan meninggalkan ruangan ini tadi, melainkan karena lelaki itu tak mau menjadikan pilihannya sebagai beban bagi makhluk lain. Ia tidak ingin memilih, oleh karena itu, ia hanya akan menjalani apa yang memang seharusnya berjalan di hadapannya.

“Maafkan aku.” Azure berbisik sembari menumpukan beban tubuhnya ke pelukan Reddish dan menurunkan kakinya ke lantai. “Sepertinya kita harus bergegas, bukan? Semua makhluk telah menunggumu,” ucapnya dengan senyum manis.

Reddish mengecup sisi kepala Azure dan tak meminta izin untuk meraup perempuan itu ke dalam gendongan lengannya yang kuat. “Maafkan aku juga karena kau merasa terdesak,” ucapnya penuh sesal.

“Tidak. Aku tidak merasa terdesak atas apa pun. Aku begitu bersemangat menjalaninya.” Azure melingkarkan lengannya untuk berpegangan dan memberi dorongan semangat kepada suaminya dengan menggerak-gerakkan tangannya, membuat Reddish mau tak mau tersenyum dan mengangguk, membawa Azure secepat kilat ke aula besar.

***

“Saya selalu siap untuk Anda, Nona. Jangan khawatir.” Fuschia berdiri di belakang Azure dan berbisik, membuat Azure menoleh dan memberikan senyumnya yang terlihat sendu ke arah perempuan klan merah muda tersebut.

Reddish sedang memberikan instruksi singkatnya kepada semua makhluk untuk tetap berada dalam lingkup perlindungannya selama proses penyemaian. Lelaki itu berdiri di tengah-tengah anggota klan yang berbaris rapi sesuai klannya masing-masing.

“Terima kasih, Fuschia.” Azure berucap di sela-sela perhatiannya ke arah Reddish yang sedang berdiri gagah memunggunginya.

Lelaki itu kemudian memundurkan langkahnya dan merangkul pinggang Azure. “Ayo,” ajaknya dengan ekspresi penuh semangat. Reddish kemudian menerbangkan dirinya dengan memendarkan aura merahnya yang begitu kuat ke udara, memimpin semua makhluk. Arak-arak makhluk warna itu pada akhirnya terbang bersamaan memenuhi langit, memancarkan aura warna yang terlihat mengembang bersama-sama, dipimpin oleh Reddish yang terlebih dahulu turun ke langit manusia.

Awan-awan mendung nan gelap penuh guruh menyambut mereka, seolah tersenyum menerima kedatangan makhluk warna yang hendak berbagi warna itu. Reddish menghentikan gerakan terbangnya sembari terus merangkul Azure rapat. Gerimis turun perlahan-lahan menyambang, menyapu-nyapu tubuh. Anak-anak yang turut dalam upacara penyemaian itu terlebih dahulu antusias. Mereka menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil tertawa-tawa saat air hujan yang menyentuh tubuh mereka pada akhirnya membawa warna mereka turun ke dunia. Makhluk-makhluk perempuan saling membisiki putra mereka untuk tenang sebelum pemujaan dilakukan.

Reddish memimpin. Lelaki itu mengangkat kedua tangan, diiringi bait-bait puja-puji yang semula terbisik lirih dari mulut para makhluk, menjadi gema yang terdengar khidmat di seluruh penjuru langit. Mereka berdoa untuk kebaikan negeri langit, mereka mengharap restu semesta agar kejayaan negeri langit membawa kejayaan bagi seluruh alam. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu. Saat mereka bisa menadah air langit dan mengungkapkan cita-cita hati kecil mereka yang akan tersemai oleh hujan. Makhluk-makhluk muda baik laki-laki dan perempuan saling menunduk, beberapa dari mereka bahkan tak sanggup lagi menahan haru hingga menutup wajah dan menitikkan air mata.

Hujan kian deras beriringan senja yang kian matang. Reddish mengakhiri pemujaan dengan menyapukan kekuatan merahnya ke segala penjuru. “Mulai!” serunya yang membuat semua makhluk warna itu turut bersorak, terbang menghambur ke segala penjuru, melayang saling berpegangan dengan penuh sukacita, melompat ke sana kemari dengan memendarkan aura warna mereka yang saling berpilin dan menyatu dengan hujan.

Makhluk-makhluk itu menyebar ke segala arah hingga ke dunia manusia. Menyentuh-nyentuhkan aura warna ke berbagai benda alam yang yang menjadi warna mereka. Ke pucuk daun-daun, bunga-bunga, dan aneka satwa yang turut beterbangan mengikuti mereka. Kadangkala makhluk-makhluk warna bersembunyi di balik atap, menatap dengan kening mengernyit para manusia yang bersedih-sedih di belakang jendela saat hujan turun, padahal bagi mereka makhluk langit, saat-saat seperti ini adalah momen membahagiakan karena mereka bisa berbagai warna dengan alam.

Warna-warna hitam beterbangan di atas lautan, menebarkan aura kelam mereka hingga titik-titik biru pada laut berubah gelap, mengombang-ambingkan kapal yang sedang berlayar, silih berganti dengan klan putih yang lambat laun menurunkan cahayanya menggantikan mendung, mengubah awan-awan kembali putih, menurunkan gelombang laut. Semua warna saling mengisi dan kadangkala pada penyemaian warna seperti ini, klan warna saling berlomba menunjukkan warna mereka masing-masing , dan prajurit warna terpaksa turun tangan menertibkan.

Di tengah-tengah aktivitas makhluk warna yang sedang sorak semarai, Reddish berdiri terpaku menatap Azure yang sedang mengusap perutnya perlahan. Aura merah menetes-netes dari tubuh lelaki itu berkat air hujan yang menyapu-nyapu kulitnya. Tanpa disangka, di tengah keriangan semua makhluk warna yang sedang bersuka cita atas penyemaian warna itu, suara petir yang cukup keras dari dunia langit menggelegar kembali. Reddish buru-buru mendekatkan tubuhnya ke Azure dan menangkupkan kedua jemari mereka.

“Sepertinya, dia selalu cemburu jika tak kuperhatikan.” Reddish berucap serak sembari memandangi lembut perut Azure.

Azure mengangkat pandangannya dan menemukan jika Reddish saat ini tengah mengawasi usapan tangan di perutnya  dengan tatapan takjub, sayang, teduh, dan segala jenis tatapan yang mungkin saja belum pernah lelaki itu tunjukkan padanya selama mereka bersama. Azure tersenyum kecil dan tatapan birunya yang semula sendu itu mengendur sudah, berganti menjadi tatapan penuh cinta.

Lelaki merah itu lalu mengarahkan kedua mata merahnya ke arah mata biru Azure yang sedang menatapnya. “Ayo kita tunjukkan padanya betapa harmonis kedua orangtuanya,” ajaknya dengan sebelah bibir terangkat dan seketika menarik Azure ke dalam dekapannya dan memamerkan ciuman mesra mereka meski wajah perempuan itu tampak terkejut dan merah padam.

Makhluk-makhluk yang kebetulan sedang terbang di sekitar Reddish berada itu tak ayal menghentikan gerakan mereka ketika mata mereka yang awas melihat perpaduan warna ungu nan cantik yang bekerlipan dengan dua warna merah dan biru yang terus berkelindan indah di tengah-tengah hujan itu. Makhluk kecil yang terbang bergerombol dan sejak semula tampak antusias itu bahkan terbang beriringan dan menari-nari bahagia mengitari warna agung mereka yang akan segera lahir. Warna agung dari seorang putra campuran dengan kekuatan pesona yang tak terelakkan. Mauve sang pangeran ungu!

 

TAMAT

 

Hai, terima kasih telah membaca The Red Prince hingga part ini :lovely :lovely terima kasih banyak atas tempat, segala kesempatan, penyemangat dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Semoga terhibur dan nyumbang-nyumbang manfaat meski secuil buat selingan baca novel PSA yang makin keren!

Jadi? Ehem, The Red Prince cukup sampai di sini? Atau lanjut ke part2 ekstra? Hihi

The Red Prince | Part 29 : Cahaya Petir

31 Desember 2022 in Red Prince

Cover

20 votes, average: 1.00 out of 1 (20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

“Aku belum berterima kasih padamu.” Reddish memiringkan tubuhnya menghadap perut Azure dan mengecupnya singkat. Sebelah tangannya memeluk hingga punggung, membelainya perlahan.

Saat ini keduanya tengah berada di lapangan berumput yang terletak di salah satu sudut taman raksasa kastil merah. Lapangan berumput itu memiliki jenis tanaman rumput berdaun bulat yang tumbuh lebat dengan batangnya yang lunak serta hanya mampu tumbuh hingga 3 sentimeter tingginya, membuat makhluk-makhluk  yang sedang berbaring di atasnya merasakan sensasi seperti tengah berbaring di atas kasur yang empuk dan nyaman.

Nuansa bahagia tampak tak pernah padam dari wajah Reddish dan Azure setelah percintaan yang begitu mewakili perasaan mereka itu.

“Kenapa kau harus berterima kasih?” Azure mengusap kepala Reddish sembari menunduk, menatap sisi wajah Reddish yang memperlihatkan hidungnya yang bangir. Tubuh perempuan itu bersandar di sebuah batang pohon di tepi lapangan berumput tersebut dengan kaki berselonjor sementara Reddish berbaring miring berbantalkan pangkuannya.

“Karena telah banyak hal yang kaulakukan untukku.” Reddish tersenyum tipis, masih dengan kedua matanya yang memejam. “Kau adalah penyelamat negeri langit, kau telah menyelamatkanku dan kau harus menanggung segala ketidaknyamanan karena mengandung putraku. Aku berutang banyak, Azure,” imbuhnya dengan merapatkan pelukan tubuhnya dengan gemas.

Azure menyandarkan kepala, pandangannya tampak menerawang dengan bibir tersenyum kecut. “Tidakkah aku yang seharusnya berterima kasih?” tanyanya diiringi napasnya yang mengembus panjang. “Aku adalah makhluk asing di klan merahmu. Makhluk tak tahu malu yang pada awalnya terus menerus melawanmu sementara kau tahu jika ternyata klankulah yang sebenarnya tak tahu diri. Aku datang kemari membawa kemarahan sementara kau … dan semua anggotamu di sini sama baiknya seperti kau. Kalian memperlakukanku seolah mata kalian buta dan tak melihat jika warnaku biru. Tidakkah kau menyesal menyucikan diri denganku?” Tatapan Azure merendah kemudian dan ia menemukan jika Reddish terdiam mendengar ucapannya dengan matanya yang membuka. Dan seketika itu juga, Azure terbeliak sembari menutup mulutnya saat kesadaran tentang arti ucapannya itu yang mungkin saja membuat Reddish tak nyaman.

“Ah, Reddish. Ma-maksud ucapanku tadi-“

Reddish bangkit terduduk. Sebelah kakinya tertekuk dengan sikunya yang berada di atas lutut. Kedua mata merahnya terlihat memandangi Azure begitu lama. Ingin rasanya lelaki itu melepas saja lensa bantu di sebelah matanya itu karena sepertinya ia sudah tak membutuhkannya lagi. Ia sudah cukup dengan warna Azure di matanya. Ia tak tertarik lagi melihat warna lain selain warna istrinya bahkan ia tak peduli dengan warna merahnya sendiri seandainya saja warna tersebut harus berubah ketika masa tua menjemput usianya.

Azure sendiri membalas tatapan Reddish dengan kening mengernyit penuh ketidakmengertian. Apa yang sebenarnya tengah dipikirkan lelaki itu?

Kalau diingat-ingat, pembicaraan tentang kondisi kedua mata Reddish yang langka itu belum pernah ada sama sekali di antara dirinya dengan Reddish dan Azure tak pernah berani bertanya karena khawatir jika hal itu merupakan perkara sensitif yang membuat Reddish meledak marah. Lagipula, Azure pada awalnya sungguh tak tahu jika ternyata Reddish memiliki keadaan istimewa tersebut dan sekarang setelah semuanya berjalan lebih baik, Azure tak pernah keberatan atas kondisi Reddish. Apapun itu.

Tanpa diduga kekehan meluncur dari bibir Reddish. Lelaki itu mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Azure yang tirus dengan kedua matanya yang menatap teduh. “Bagaimana aku bisa menyesal saat warna paling indah di kedua mataku yang buta ini hanya warnamu, Azure? Kedua mata cacatku ini memang terkutuk tetapi sungguh saat ini aku begitu mensyukurinya karena ia adalah jalanku untuk menemukanmu. Seandainya pun aku tak bisa melihat warnamu, maka aku akan tetap mensyukurinya karena aku memiliki hati dan cintamu. Aku tak pernah menyesal karena itu kau.” Reddish menggenggam tangan Azure, lalu meletakkannya di pipinya sendiri sembari memejam.

Aura biru Azure yang memendar tipis dari sebelah tangannya berkat luapan perasaannya yang haru itu berbaur dengan genggaman tangan Reddish yang memerah, memperlihatkan aura campuran yang seketika membuat Azure menelan ludah.

Bisa-bisanya ia teringat buah berwarna ungu di dunia manusia itu yang terasa manis. Flavia yang suka sekali dengan buah-buahan pernah sesekali waktu mengajaknya ke sebuah gerai jus di tengah kota. Entah bagaimana perempuan manusia itu bisa mengerti jika dirinya tak bisa memakan makanan berat dan lebih menyukai makanan berair seperti buah. Dan ajakannya ke gerai jus itu sungguh pilihan tepat untuk Azure karena gerai minuman adalah dunianya yang tak bisa ia tolak.

Mata Reddish membuka di tengah-tengah Azure yang sedang memikirkan tentang anggur. Kedua alis lelaki itu mengerut. “Apakah kau merasa tak nyaman?” tanyanya cemas dengan ekspresi menilai.

“Tidak apa-apa-“ Azure tersenyum, hendak menenangkan Reddish dengan kalimatnya, tetapi Reddish tiba-tiba saja menukas ucapannya dengan kesimpulannya sendiri.

“Sepertinya aku harus menunda satu hari lagi upacara penyemaian warna para makhluk kalau begitu,” ucapnya lirih dengan ekspresi seriusnya.

Kedua alis Azure terangkat mendengar kalimat Reddish itu. “Upacara penyemaian warna?”

Reddish yang sedang berkutat dengan pikirannya sendiri itu kembali memandangi istrinya. “Ya. Para makhluk sedang mempersiapkan upacara penyemaian warna yang akan diadakan sebentar lagi. Aku akan menunggu sampai fisikmu siap-“

“Aku baik-baik saja, Reddish. Tidakkah kaulihat sendiri? Aku sangat sehat dan warnaku juga baik-baik saja meskipun aku sedang hamil. Aku akan siap menyemai warnaku sesuai rencana kalian,” ucap Azure menggebu-gebu tanpa sadar, memegangi kedua tangan Reddish seperti sedang memohon.

Upacara penyemaian warna itu sangat menggoda karena itu adalah kesempatannya untuk kembali dekat dengan dunia manusia. Ia akan bahagia melihat dunia biru itu lagi. Terlebih ia tiba-tiba rindu sekali dengan minuman manis khas dunia manusia tersebut.

“Kau sangat bersemangat dan antusias.” Reddish berkomentar dengan tatapan menggoda. “Apakah ada yang kauinginkan?” tanyanya dengan kening mengernyit, seakan bisa membaca ekspresi istrinya yang sedang senang itu, membuat kedua pipi Azure bersemu karena malu.

Perempuan itu mengalihkan pandangannya sejenak, lantas berdeham untuk mencari kata-kata yang tepat sebagai alasan.

“Bisakah kita pergi ke dunia manusia setelah penyemaian?” Azure melempar senyum kecut karena wajah Reddish mendadak dingin mendengar permintaannya.

“Dunia manusia? Kau ingin apa?” Reddish menatap tajam pada istrinya yang saat itu tampak pucat karena nada bertanya lelaki itu yang tak bersahabat.

Reddish masih belum lupa bagaimana Azure hampir celaka karena makhluk pengubah warna yang tak sempat ia hancurkan itu. Dunia manusia menjadi tempat yang tak aman meskipun ia dan Azure telah terikat penyucian pernikahan. Ada banyak makhluk dari berbagai jenis klan yang sangat tidak menjamin keamanan mereka berdua. Terlebih kini Azure sedang mengandung.

Azure menelan ludah, lalu memberanikan diri membalas tatapan Reddish. Tak ada untungnya ia menutup-nutupi toh Reddish pasti akan tahu juga.

Perempuan itu pada akhirnya memaksa tersenyum di bawah tatapan Reddish yang menilai. Dia tahu jika Reddish akan kesal padanya saat mengetahui keinginan konyolnya itu. “Apakah kaulupa?” tanyanya sembari mengambil napas, membuat Reddish mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi bertanya.

“Lupa? Aku melupakan sesuatu?” Ekspresi Reddish berubah, mendadak lupa akan kemarahannya tentang dunia manusia tersebut.

Azure menarik napas panjang. “Ya. Kau menjanjikan padaku jika kencan kita yang pertama itu akan berlanjut ke kencan kedua, ketiga, dan seterusnya? Bagaimana jika kita kencan sebagai manusia? Aku … aku ingin meminum jus buah anggur yang terkenal sangat manis di kota tempatku tinggal,” bujuknya dengan ekspresi berbinar membujuk.

Reddish kembali mengernyitkan kening. “Jus buah anggur? Apakah yang kaumaksud itu adalah wine? Tapi wine di dunia manusia terkenal sebagai minuman yang memabukkan meski kita sebagai makhluk peminum masih bisa menoleransinya. Apakah ….” Tatapan Reddish tertuju ke arah perut Azure yang masih ramping. “Apakah itu tidak apa-apa untuk kandunganmu?”

Wine?” Azure mengangkat sebelah alisnya. “Kau pernah meminum wine?”

Reddish tampak salah tingkah dan berdeham. “Ya. Aku … aku pernah meminumnya sebagai minuman penghilang stres. Kau tahu? Aku tidak boleh mabuk karena dari sekian banyak makhluk, aku adalah makhluk yang paling sedikit tidur karena harus menyelesaikan banyak urusan. Oleh karena itu, kastil tak menyediakanku minuman yang seperti itu. Biasanya … jika sudah putus asa karena pikiranku sangat pening, aku akan turun ke dunia manusia dan meminumnya bersama Ecru untuk mencari ketenangan,” jelasnya dengan ekspresi kecut, seperti anak kecil yang takut saat sedang berkata jujur setelah ketahuan berbuat kesalahan dan takut dimarahi ibunya.

Azure bersedekap.

“Aku tidak sampai mabuk. Aku bahkan mungkin satu-satunya yang tak bisa mabuk hanya karena meminum wine.” Reddish kembali membela diri dengan putus asa tanpa diminta.

“Apakah rasanya sama seperti jus anggur yang di gerai-gerai jus itu?” tanya Azure tanpa dinyana.

Azure tahu jika wine hanya bisa didapatkan di tempat-tempat mewah dengan para pengunjungnya yang terkenal borjuis dan berdasi. Sementara perempuan itu tak pernah tertarik dengan tempat semacam itu meski ia bisa mengubah dirinya dalam sekejap menjadi manusia-manusia seperti apa pun yang ia inginkan. Jadi, di dunia manusia yang sering disebut-sebut sebagai tempat pembuangan baginya itu, ia hanya mengenal beberapa jenis minuman ringan termasuk aneka jus buah-buahan segar yang diperkenalkan Flavia padanya.

Reddish salah mengartikan ekspresi Azure yang memberengut itu. Suara tawa keluar dari mulutnya kemudian. Suara tawa yang sangat langka hingga hewan-hewan merah yang sedang bersembunyi di taman raksasa itu menghentikan gerakan mereka sembari menggelar tanya dengan takjub.

Lelaki itu merengkuh Azure dalam rangkulan lengannya, bersama-sama bersandar di bawah pohon merah tua itu. “Tentu saja rasanya berbeda,” jawabnya sembari tersenyum manis. “Jadi, kau ingin minum minuman ungu itu?” tanyanya memastikan. Tahu benar jika mungkin keinginan Azure itu adalah salah satu keadaan mengidam yang sedang dialami makhluk perempuan di awal-awal kehamilannya. Reddish bisa saja memerintah siapa saja pelayan yang ia kehendaki untuk mengambil minuman itu di dunia manusia, tetapi tawaran Azure untuk berkencan berdua tanpa gangguan itu terlalu menggoda untuk ditolak.

Azure menengadah dengan malu-malu. “Ya. Apakah bisa?” tanyanya dengan mengerutkan kening penuh harap.

Reddish menunduk, mengecup pucuk hidung Azure dengan sayang. “Ya. Tentu saja. Ayo kita kembali menjadi Alan dan Carissa. Kita akan memenuhi keinginan anak ungu itu dengan kencan sebagai manusia,” jawabnya tegas yang membuat wajah Azure tersenyum senang lantas memeluk erat Reddish tanpa aba-aba, membuat lelaki klan merah itu membeku sejenak.

***

Musim kering dengan debu yang yang bercampur ke udara itu masih belum berubah. Kondisi dunia manusia masih sama. Menanti hujan turun. Onyx berjalan perlahan di antara ratusan pedestrian yang turut menghabiskan sisa minggu dengan berjalan-jalan di sekitar taman kota. Lelaki itu berpenampilan selayaknya manusia lainnya, mengenakan topi rajut berwarna cokelat, masker dan mafela yang membelit lehernya. Trench coat tampak rapat menutupi tubuhnya yang kini tampak kurus, dilengkapi celana warna gelap yang membungkus kaki jenjangnya.

Sudah setengah jam ia menghabiskan waktu untuk berjalan dari ujung ke ujung jalan yang entah di mana sebenarnya tujuannya pergi. Setelah bermeditasi dan cukup kuat untuk terbangun, ia memutuskan untuk keluar dari persembunyian milik Crow di dunia manusia ini meski sekarang ia tak punya kekuatan apa-apa lagi yang pantas membawanya kembali ke dunia langit. Masih untung dirinya selamat dari serangan Reddish waktu itu, walau pada akhirnya ia tak bisa lagi menjadi makhluk penyemai warna seperti makhluk warna lainnya.

Tak ada yang tahu jika warna hitam khas yang menjadi identitasnya kini telah pudar. Seluruh permukaan tubuh Onyx kini berwarna pucat, rambutnya yang semula hitam kini hanya tinggal sisa-sisa bercak yang aneh jika dilihat, pupil matanya yang semula hitam legam kini berwarna abu-abu dengan bercak hitam pula yang tampak mengerikan. Semua itu tak bisa diubah. Onyx harus menerima keadaan tubuhnya yang kini cacat, bukan manusia, tapi juga bukan lagi makhluk langit dengan kekuaan hitamnya seperti sedia kala.

Lelaki itu menarik napas panjang. Langkahnya terhenti kemudian tanpa sengaja di depan sebuah toko pakaian yang terlihat ramai dipenuhi pengunjung. Onyx mengernyitkan dahi. Dia ingat betul tempat ini. Tempat di mana dahulu Azure bersembunyi dan mengubah dirinya menjadi seorang pramuniaga selama beberapa waktu sampai Reddish menemukan dan membawanya kembali ke negeri langit.

Perasaan melankolis membawa langkah lelaki itu masuk ke dalam toko. Dadanya berdesir seolah ia memasuki waktu yang sama seperti berbulan-bulan lalu saat Azure masih berdiri di dalam ruangan, tersenyum tipis pada setiap pelanggan, termasuk tanpa sadar menyambutnya yang tengah menyamar menjadi manusia. Bayangan penuh kenangan manis itu kini berbaur dengan rasa sakit di dadanya saat memikirkan jika pastilah saat ini hidup perempuan biru itu teramat sulit di tangan Reddish.

Mengapa takdirnya begitu sial. Harus sampai seperti inikah rasa patah hati itu menghancurkan dirinya? Jangankah memiliki harapan untuk merengkuh Azure ke dalam pelukannya, berharap kebaikan tentang dirinya sendiri saja ia tak mampu.

Onyx memejamkan mata dan menarik napas panjang kembali saat ledakan perasaan itu menguasai hati dan pikirannya.

“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu? Anda ingin membeli apa?” Suara lembut seorang perempuan memecah lamunan Onyx.

Lelaki itu menoleh dan melihat seorang perempuan berdiri di sampingnya. Kedua matanya melebar saat mengenali jika perempuan yang menyapanya itu adalah teman manusia Azure yang ia tahu bernama Flavia.

Onyx menelan ludah. Bayangan kenangan saat Azure tengah berjalan berdua dan bercengkerama dengan makhluk perempuan yang satu ini terngiang-ngiang dalam benaknya. Ingin rasanya ia menarik perempuan itu keluar dan bertanya banyak hal tentang Azure yang bisa untuk sekadar mengobati rindunya yang tak mungkin lagi bersambut. Keinginan itu begitu kuatnya ingin ia lakukan, tetapi dengan cepat Onyx segera membuang sikap kakunya dan menanggapi Flavia dengan tersenyum ramah seperti seharusnya.

“Aku mencari sweater. Adakah di sini?” Onyx menjawab seraya mengedarkan pandangan, berpura-pura mencari melalui kedua matanya untuk menemukan barang yang ia cari.

Flavia balas tersenyum. “Ada. Mari saya antar menuju rak sweater,” jawabnya sembari memimpin jalan, menuju tempat yang ia maksud.

Perempuan itu menjelaskan banyak hal dengan antusias, berbicara ramah mengenai kualitas bahan-bahan yang digunakan toko mereka, memperkenalkan berbagai merek yang pada akhirnya membuat Onyx mendengus tak sabar.

“Aku memilih yang ini,” putusnya cepat, mengambil satu sweater berwarna hitam dan menyerahkannya kepada Flavia.

Sembari mengangguk sopan dan menerima barang dari Onyx, Flavia mengeluarkan kertas kecil dan menuliskan catatan barang serta harga yang harus Onyx bayar, membiarkan lelaki itu berdiri menunggu. Tak lama kemudian, dengan ramah, Flavia menyerahkan kertas tersebut kepada Onyx yang langsung diterima oleh lelaki itu dengan dingin dan membawakan sweater tersebut ke arah kasir.

“Hei.” Onyx tanpa sadar memanggil, membuat Flavia yang tengah berjalan memunggunginya itu berhenti dan segera membalikkan badan.

“Ya? Ada lagi yang Anda butuhkan?” tanyanya dengan senyum tipis.

Terlihat Onyx menimbang-nimbang sejenak, lantas berucap dalam satu tarikan napas, “Bisakah aku bekerja di tempat ini?” tanyanya tanpa diduga, membuat Flavia melebarkan mata karena terkejut.

***

Suasana ceria memenuhi ruang pertemuan pemimpin klan warna di kastil merah. Reddish baru saja mengumumkan jika upacara penyemaian warna akan dilaksanakan sore nanti menjelang senja. Wajah-wajah para pemimpin klan tampak dipenuhi semangat setelah pada akhirnya pemimpin mereka diberikan kepastian tentang upacara penyemaian warna yang telah begitu lama mereka nantikan.

“Persiapkan diri dan anggota kalian dengan baik. Kita akan turun ke langit manusia sampai matahari tenggelam,” titah lelaki merah itu kemudian.

“Kami sudah sangat tidak sabar menanti penyemaian warna, Tuan. Selama beberapa minggu ini, kami telah mempersiapkan kekuatan kami dengan baik.” Shamrock menjawab dengan suara patuh.

“Ya. Kami juga.” Suara kompak dari pemimpin klan yang lainnya turut menyahut.

“Berarti … eh, keadaan Nona Azure sudah lebih baik?” tanya White dari sudut ruangan.

“Anda … akan mengajaknya serta?” Fuschia bertanya antusias.

“Ya. Istriku telah membaik. Penyemaian warna sore nanti adalah permintaannya dan tentu saja … ya. Dia akan ikut. Istriku adalah makhluk biru terbaik yang kita miliki saat ini. Dia akan memenuhi semua warna biru yang menjadi tugasnya dan dia akan kuat untuk itu.” Reddish tanpa sadar berkata dengan wajahnya yang ramah saat membicarakan tentang Azure yang dengan bangga ia sebut-sebut sebagai istrinya.

“Syukurlah ….” gumaman terdengar kemudian dari mulut-mulut petinggi klan di tempat tersebut.

“Kita berkumpul di aula besar. Pastikan anggota kalian berkumpul sebelum senja. Aku akan menyusul.” Reddish berdiri dari duduknya diikuti pemimpin-pemimpin yang lain.

“Aku ingin melihat sendiri bagaimana persiapan anggota klan. Dimulai dari klan oranye,” ucapnya lantas mendahului berjalan, memimpin langkah untuk melihat secara langsung persiapan anggota klan warna dalam meracik ramuan-ramuan mereka.

Suara entak sepatu menggema bersusul-susulan. Reddish berhenti sejenak dan membalikkan badan. “Ada berapa banyak anggota klan yang kalian persiapkan?”

Semua makhluk di lorong itu mengernyitkan dahi dan saling melempar pandang sebelum kompak memberi isyarat dengan mengangguk.

“Kurang lebih 500 makhluk di masing-masing klan, Tuan. Kami telah bersepakat sebelumnya jika kami akan serentak memberangkatkan jumlah anggota yang sama.” Sandstone memberi jawaban.

Reddish sepertinya cukup puas karena ia hanya mengerutkan bibir dan mengangguk tipis sebagai persetujuan. “Bagus,” komentarnya lalu kembali membalikkan badan, berjalan cepat untuk segera tiba di ujung lorong dan terbang bersama-sama menuju wilayah klan oranye di ujung negeri.

***

Sama seperti warnanya di dunia manusia yang berada di ufuk langit, wilayah klan oranye berada di lokasi ujung negeri langit. Reddish dan para pemimpin klan lainnya yang terbang bersama-sama itu menginjakkan kaki di tanah milik Sandstone.

Dua penjaga gerbang klan oranye yang selalu berdiri di sisi gerbang itu seketika menjura begitu melihat rombongan para pemimpin klan yang datang. Ini adalah kunjungan resmi, oleh karenanya, Reddish juga memenuhi peraturan kunjungan resmi dengan masuk area melalui gerbang depan.

Gerbang raksasa yang menjulang itu pun terbuka, para makhluk yang sedang sibuk berlatih dan mempersiapkan diri fokus seluruhnya ke arah gerbang yang, membuat aktivitas mereka berhenti sejenak. Setelah tahu jika ada warna merah menyala yang tampak dari kejauhan, mereka berbaris membentuk dua baris panjang berhadap-hadapan dan menjura serempak, menunjukkan penghormatan mereka.

Reddish membiarkan para makhluk itu memberi penghormatan tanpa membalas, pandangannya memindai aktivitas anggota klan oranye yang sepertinya sedang sibuk mempersiapkan kekuatan mereka untuk acara yang sangat mereka tunggu.

“Di mana yang lainnya?” Reddish menghentikan langkah ketika mereka tiba di depan gerbang area rumah warga klan. Rumah-rumah oranye yang tertata hingga setengah perbukitan yang ada di depan mereka itu tampak sepi.

“Ampun, Tuan. Warga klan sedang berada di gudang obat klan oranye untuk bersama-sama membuat ramuan penguat warna.” Sandstone menjawab pasti.

Reddish menengadah dan memindai lokasi perumahan itu dengan saksama. Rumah-rumah itu bersih, rapi, serta menunjukkan jika bentuk bangunannya masih kokoh untuk ditempati.

“Anda ingin melihat ke sana?” tawar Sandstone kemudian.

“Mocha.” Reddish memanggil tanpa menoleh. Pemimpin klan cokelat itu lantas melangkah maju mendekatinya.

“Saya, Tuan.” Mocha menjura begitu berdiri sejangkauan di sisi Reddish.

“Aku mengizinkanmu untuk memperlihatkan mereka kepadaku,” perintah lelaki klan merah itu. Kekuatan klan cokelat yang bisa menampilkan keadaan di tempat lain baik di waktu sekarang atau masa lalu itu tak diragukan lagi, terutama Mocha sebagai pemimpin klannya yang mashur disebut-sebut sebagai pengendali waktu terbaik di wilayahnya.

“Baik.” Mocha mengangguk sejenak kepada Sandstone sebagai tanda meminta izin lantas menjura di depan Reddish sebelum mengatraksikan kekuatannya, melemparkan aura warnanya ke udara dan memperlihatkan aktivitas para makhluk yang sedang sibuk menyiapkan ramuan, meminumkan ramuan kepada keluarganya dan saling mentransfer kekuatan aura untuk memenuhi batas maksimal kekuatan aura mereka.

Para pemimpin klan itu memandangi tampilan raksasa itu dengan cermat. Ada berbagai tingkatan usia yang diikutkan oleh Sandstone kali ini dalam upacara penyemaian warna.

“Ada anak usia belia yang kauikutkan, Sandstone. Mereka tak akan merepotkan?”

“Saya sudah memilih yang terbaik, Tuan. Mereka-mereka yang saya ikutkan sudah dipastikan akan bertahan selama proses penyemaian. Mereka juga adalah yang terlatih karena terbiasa mengikuti orangtua mereka dala menyemai warna klan,” jelasnya sembari menunduk.

“Cukup,” perintahnya kepada Mocha. “Selanjutnya ….” Reddish menoleh ke belakang, mencari-cari sosok kuning dalam rombongan itu. “Giliran klanmu, Ecru.”

***

Azure berdiri di belakang jendela ruang pribadi Reddish di pucuk kastil merah. Sudah berjam-jam lelaki itu pergi dan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan kembali.

“Waktunya mandi dan bersiap, Nona.” Seorang pelayan melangkah perlahan dengan nada suaranya yang ragu menyapa Azure dari belakang.

Perempuan itu membalikkan badan. “Reddish belum kembali?”

“Belum, Nona. Rombongan pemimpin semua klan dikabarkan mendampingi Tuan Reddish dalam meninjau langsung persiapan upacara penyemaian.”

“Meninjau langsung?” Azure mengernyitkan dahi.

“Ya, Nona. Mendatangi wilayah demi wilayah klan warna,” jawab pelayan itu dengan menunduk.

Azure mengembuskan napas panjang. Senyum penuh ironi mewarnai wajahnya manakala ia teringat kastil biru miliknya yang terbengkalai dan kosong tanpa ada satu makhluk pun yang bersarang di sana.

Apakah Reddish mengunjungi kastil miliknya pula? Apakah dalam upacara nanti hanya akan ada dirinya seorang dari klan biru?

Sungguh ia berharap jika tiba-tiba saja ada kemunculan makhluk biru lainnya yang turut serta mengikuti upacara penyemaian kali ini. Bagaimanapun, upacara ini adalah kehidupan mereka sebagai makhluk langit, mereka akan merasa benar-benar hidup dan kekuatan aura mereka akan bertambah setelah melakukan penyemaian.

“Anda ingin mandi sekarang … atau menunggu Tuan Reddish?” pelayan itu melirik-lirik Azure yang justru terdiam dan melamun.

“Sekarang saja.” Azure memasang senyum kaku lantas menjangkahkan kaki menuju ruang mandi.

“Baik, Nona.” Pelayan tersebut bersegera mengambil baju ganti untuk tuannya, mempersiapkan kain tebal selayaknya handuk, menaruhnya di sisi dalam ruang mandi, lalu menunggu dengan setia di sisi dalam ambang pintu, berjaga di sana kalau-kalau ada makhluk tamu yang ingin bertemu, meskipun sikap berjaganya itu hanyalah formalitas semata sebab Reddish jelas-jelas tak mengizinkan sembarang makhluk untuk mengunjunginya hingga ke ruangan paling pribadi miliknya tersebut.

Azure melangkah ke dalam ruang mandi itu sembari melamun. Hari telah menjelang sore dan semakin dekat dengan waktu upacara penyemaian.

Tidakkah Reddish ingin menengoknya barang sejenak sebelum pergi memimpin upacara? Reddish dan rombongannya baik-baik saja, bukan?

Ketidaktahuan yang dibisiki oleh firasat buruk berkat kekhawatirannya itu membuat Azure berpikir berlebihan dan mulai cemas. Dengan cepat ia segera menyelesaikan ritual mandinya yang sungguh terasa malas ia lakukan itu.

Azure menenggelamkan dirinya dalam bak yang telah diisi air penuh busa mandi dan aroma wewangian itu secepat ia bisa. Meraih kain tebal untuk mengeringkan diri, mengambil gaun yang telah disiapkan untuknya lalu terburu-buru hendak keluar dari ruang mandi. Namun, betapa terkejutnya ia ketika tiba-tiba saja, ada secercah cahaya berwarna ungu seperti kilat dari langit yang menyambar pandangannya melalui celah-celah jendela. Seolah itu belum cukup memberi kejutan, suara petir yang menggelegar tiba-tiba saja terdengar berulang-ulang, membuat Azure tanpa sadar berteriak dan menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangan penuh gemetar ketakutan.

 

Bersambung ….

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

     

    Selamat menyambut tahun baru, semoga 2023 lebih baik dalam segala hal, aamiin 

    DayNight
    DayNight