1.32K views
0
0 Comments

Seorang sahabat menceritakan lelucon pada temannya yang baru patah hati
Temannya itupun bisa tertawa terbahak-bahak karena lelucon itu sangat lucu.

Selang lima menit si sahabat menceritakan lelucon yang sama pada temannya lagi.
Kali ini temannya itu hanya tersenyum.

Selang sepuluh menit, si sahabat kembali menceritakan lelucon yang sama pada temannya itu,
Kali ini temannya sama sekali tidak tertawa dan bertanya, kenapa sahabatnya mengulang-ulang lelucon yang sama?

Sahabatnya kemudian menjawab : “Bila kamu tidak bisa tertawa berulang-ulang terhadap lelucon yang sama, kenapa kamu bisa menangis berulang-ulang jika mengingat masalah yang sama?”

 

Kalian pasti sebagian besar pernah mengalami hal semacam ini. Bagaimana menurut kalian? Apakah pendapat si sahabat itu benar atau salah?

Menurut kalian, kenapa otak dan perasaan manusia hanya bisa tertawa pada satu lelucon lalu setelah mengenalinya dia tidak bisa tertawa lagi, sedangkan jika menyangkut kesedihan manusia bisa menangis berkali-kali?

0

Pertanyaannya menamparku banget :YYYPATAHHATI

 

Hmmm…. Mungkin  karena manusia tuh pada dasarnya masochist… manusia emang demen menyiksa diri… nginget2 hal2 yang nyakitin itu lebih gampang ketimbang mengingat yang bahagia… Inget kesalahan orang juga lebih gampang ketimbang inget masa2 dulu pernah bahagia bersama…

Makanya dibilang NILA SETITIK MERUSAK SUSU SEBELANGGA. Sedikit aja kita bikin salah ke orang, dia bakal lebih inget itu ketimbang kebaikan kita puluhan kali sebelumnya. Kita cenderung lebih suka menatap pintu yang sudah tertutup dibanding mencoba membuka atau memasuki pintu lain yang telah dibuka.

Hidup adalah perkara mengenang.
Aku belum pernah mati, jadi aku tak tahu apakah orang mati pun masih mampu mengenang.
Beberapa kenangan tak kusimpan dalam kepalaku, karena aku tak mau memenuhinya dengan hal-hal yang bisa saja merusak kenangan-kenangan baru yang sedang kubuat.
Rekaman-rekaman semua kejadian yang sedih, menakutkan, dan menyakitkan kubuang dengan cara menekan satu tombol saja. Aku menamakannya “tombol pelepasan”.
Bagi beberapa orang, kejadian dan pengalaman pahit adalah guru. Buatku, keduanya adalah penyakit – racun yang dapat merusak hal baik apa pun yang sedang kumiliki atau kuupayakan sekarang.
Mungkin aku memang seorang pengecut, tapi aku pengecut yang berani. Tak banyak orang yang tega melepaskan diri dari masa lalunya. Buat mereka, di sanalah zona nyaman itu berada. Tidak buatku. Tak ada rasa nyaman dalam luka – yang telah mengering sekali pun.
Hidup memang tak selalu semanis red velvet cake. Kadang rasanya bisa mirip belimbing wuluh muda, atau daun pepaya mentah. Kejadian yang menghangatkan, memanaskan, dan mendinginkan hati selalu ada. Pilihannya adalah menyimpan semuanya, atau membuang sebagian dari rangkaian kejadian itu.
Aku lebih memilih untuk membuangnya, dan sampah semacam itu bukan sejenis sampah daur ulang. Ingatanku terlalu tajam, karenanya tak ada gambar yang buram setiap kali tustel dalam kepala mengambil gambar.
Tapi apa gunanya menyimpan gambar yang warnanya tajam, jika tajamnya malah terus melukai?
Apa pun yang (pernah) menyakiti adalah sampah. Dan kepalaku bukan tong sampah. Hidupku juga terlalu berharga untuk diisi dengan mengurus sampah-sampah dari masa lalu.
(Bukan. Ini bukan soal siapa. Ini soal apa, soal luka, dan bahagia yang harus terus dipertahankan, diperjuangkan)..

Issh….. Jawabanku makin ngaco :YYYBANTING

You are viewing 1 out of 20 answers, click here to view all answers.
DayNight
DayNight