Orang tuaku pernah berkata, “Ilmu bagi perempuan yang tidak akan padam tertelan waktu adalah kesehatan dan keguruan”
Lalu, aku pun mengernyit dan menjawab pernyataan tersebut.
“Mengapa demikian? Bukankah semua ilmu memang sama baiknya? ”
Ayahku menghela napas sebelum berkata, “Ketahuilah satu hal. Garis bawahi kata padam dan perempuan. Kamu seorang perempuan yang kodratnya akan kembali pada mengurus dan mendidik buah hatimu.”
Ibuku menyahut, “Kamu seorang perempuan yang kodratnya akan kembali untuk mengurus keluargamu terutama memastikan kesehatan mereka. Kesehatan sangat mahal harganya. Kesehatan adalah landasan pacu dalam mencari berkah Tuhan sampai kau kembali padaNya.”
“Itu menurut sudut pandang kami sebagai orang tuamu. Mungkin pendapat kami berbeda dengan orang tua lainnya. Karena ini kehidupan, Nak.” Ayah memamerkan seulas senyum tipis yang ditanggapi ibu, “Renungkanlah, Nak”
Perintah ibu beberapa menit silam menenggelamkanku pada titik-titik angan masa depan yang tercipta melalui imajinasiku, seorang gadis yang baru saja lulus SMA.
Semakin lama aku menyelami pikiranku, bergelut–adu argumen–dengan hati, menyisir pantai imaji, akhirnya aku membenarkan perkataan mereka.
Sudut pandangku pun berkata demikian.
Beberapa bulan semenjak perkataan itu terucap, aku diterima di salah satu universitas terbaik di negeri ini, di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan.
Tetapi, satu bulan semenjak pengumuman hijau yang terpampang jelas di screenshot handphone-ku, aku merasakam kehampaan yang perlahan menyusupi ruang kalbu. Bukan bahagia seperti yang orang lain inginkan untuk berada diposisiku–enak ya yang udah punya kampus, kebanyakan temanku mengatakan hal seperti itu.
Tetapi, tidak membuatku bersyukur karena Tuhan telah memberikanku jalan yang mudah dalam memperoleh pengumuman itu. Hatiku semakin terasa hampa dan nyeri disaat bersamaan. Ada yang terasa kurang dan belum bisa menggenapi puzzle di dalamnya. Aku hanya bisa menatap angkasa sembari berbisik, “Maafkan aku Tuhan karena aku tidak bersyukur dengan pilihan dan anugerah yang telah kau berikan padaku.”
Pada akhirnya, aku kembali merenung. Membutuhkan waktu sedikit lama dari renungan pertamaku. Beberapa minggu kemudian, jawaban atas resah gelisah hati, melayangkanku pada sebuah impian yang telah lama kupendam. Nyaris tak berjejak di samudra abu-abuku.
Aku memang seorang perempuan, kodratku akan tetap terlaksana, siap tidak siap, mampu tidak mampu, bahkan lama ataupun sebentar lagi, tetap terlaksana sebagaimana mestinya.
Jadi, jika aku tidak memilih salah satu maupun kedua hal yang orang tuaku katakan, aku tetap akan merasakan menjadi seorang perempuan berjulukan istri dan ibu. Seorang perempuan yang akan mengabdikan diri dan melayani keluarga kecilnya. Seorang perempuan yang akan menjadi malaikat bagi anak-anaknya.
Semenjak aku menyadari ‘kekurangan’ buah hasil renunganku, aku semakin yakin dengan keputusan yang akan segera kulakukan.
Aku melepaskan alias mengundurkan diri dari universitas tersebut. Memulai melangkah dengan keyakinan dari sekeping mimpi yang telah usang.
Aku mencoba mendaftarkan diri ke perguruan tinggi lainnya. Alhamdulillah aku berhasil lolos seleksi tahap satu. Sekarang aku kembali belajar untuk maju ke seleksi berikutnya.
Satu ‘kekurangan’ itu adalah seuntai kalimat yang bagiku sangat bermakna melebihi piala yang pernah kuterima dalam hidupku.
“Di kemudian hari, aku tidak akan menyesal meskipun bukan jalur itu yang menjadi masa depanku. Setidaknya aku pernah merasakan menggapai mimpiku yang sejati. Suci dari lubuk hati dan bersih dari kekacauan duniawi. Bila waktu membuatku harus meninggalkan pekerjaanku nantinya, aku telah siap. Karena aku memiliki kenangan abadi yang tidak akan pernah lenyap. Dan pastinya akan kubawa sampai nisan tertancap.”
.
.
Ini hanya sepenggal kisah dari seorang anak yang masih mendaki bukit impiannya.
.
.
Vitamins, bolehkah saya bertanya?
Apa tanggapan kalian mengenai kisah tersebut?
Orang tua saya memang tidak pernah mengatakan hal itu dan membebaskan pilihan jurusan yang akan dipilih, namun ibu saya selalu menganjurkan anak-anaknya untuk terjun di dunia kesehatan.
Awal lulus SMA saya juga masih menggebu2 untuk mengambil jurusan yang dapat mengembangkan hobi dan mimpi saya. Orang tua saya juga membiarkan saya mencoba apapun yang saya pilih. Namun sebanyak apapun saya mencoba, tuhan selalu menggagalkan rencana impian kecil saya. Hingga akhirnya ibu saya kembali menyarankan untuk mencoba mengambil jurusan kesehatan, dengan terpaksa saya mencobanya sekali dan ternyata tuhan menggiring saya untuk mendalami ilmu kesehatan itu. Setelah itu saya mencoba merenungi kejadian yang telah saya alami dan saya mulai berpikir bahwa tuhan punya jalan yang terbaik bagi hambanya. Sejak saat itu saya mulai mencoba menerima apa yang saya peroleh dan alhamdulillah saya mencintai apa yang saya dalami sekarang hingga saya lulus dari jurusan itu.?
Saya pribadi setuju dengan kebaikan dua ilmu itu. Dan karena pilihan terpaksa saya dulu itu, saya jadi bersyukur ilmu saya berguna untuk semua orang terutama untuk keluarga nanti karena kodratnya wanita akan kembali mengurus keluarga.
Mungkin apa yang saya impikan tidak bisa menjadi karir utama saya namun saya masih bisa membuat hobi saya tetap menjadi hobi. ?
Terima kasih untuk semua comment-nya :)