Author baru aja dapat curhat dari seorang teman yang stres dalam kehidupan rumah tangganya nih jd mau sharing aja sekaligus bertanya.
Adakalanya keluarga terlalu mencampuri kehidupan pernikahan kamu, seperti beberapa pasangan yang tinggal serumah dengan mertua kadang-kadang ada ketidaknyamanan karena pihak keluarga seolah harus tahu urusan dalam keluarga kamu bahkan sampai urusan keuangan rumah tangga kamu. Kadang-kadang juga pasangan jadi serba salah karena diatur ini itu oleh pihak keluaga contohnya mau beli rumah harus diatur, mau beli mobil harus diatur, mau pilih pembantu saja diatur. Belum lagi quality time yang tadinya ingin dihabiskan bersama pasangan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari jd terpaksa dibatalkan karena urusan keluarga besar yg kadang merebut waktu sampai seharian dan tidak bisa ditinggalkan.
Ini mungkin kesalahan pasangan juga sih yg tidak bisa menentukan skala prioritas antara kehidupan rumah tangganya dengan kepentingan keluarganya dan belepotan ngatur waktu dan sama sekali ga kasih penjelasan atau pengertian ke pasanganya ketika dia terpaksa ninggalin pasangan dan membatalkan semua rencana demi kepentingan keluarganya yang kadang mendadak dan berubah-ubah tanpa kompromi dulu atau membicarakan dulu dengan si pasangan, seolah-olah menganggap pasangannya itu masih single tanpa tanggung jawab pasangannya. Yang membuat teman author notabene seolah tidak dianggap sebagai anggota keluarga.
Teman author itu sebenarnya baik karena selama ini ikhlas ikhlas saja dan menanggap keluarga pasangannya sebagai keluarganya sendiri hingga merasa sah-sah saja jika kadang harus berbagi pasangannya dengan keluarga toh teman author juga punya keluarga dan saling menghormati sajalah.
Tapi kadang ada masa-masa dimana dia merasa ditinggalkan dan pasangannya sama sekali tidak menganggap dia, tidak peka, dan lebih memedulikan perasaan keluarganya dibanding perasaan pasangannya sendiri. Ada masa-masa dimana temen author ingin bilang, ini juga pasanganku lho, bukan hanya keluargamu saja statusnya, sebelum minta melakukan ini itu yg kemungkinan akan menganggu rencana kami, bisakah kamu berbicara dengan saya dulu dan berkompromi?
Saat ini teman author sudah memutuskan bercerai bahkan sudah membeli tiket perjalanan untuk pulang kampung ke kampung halamannya karena muak dengan dilema itu. Dan author udah kehabisan nasehat karena dia udah bulat tekad untuk mengajukan cerai ke pasangannya yang dirasa tak peka dan sama sekali tidak ada itikad baik untuk menghormati perasaannnya sebagai anggota keluarga yang juga memiliki hak untuk pasangannya
Menurut kalian sendiri bagaimana sih peran keluarga dalam hal pernikahan pasangan? Dan batas-batas seperti apa yang mengatur dalam hal ini keluarga besar boleh atau tidak boleh mengintervensi kehidupan pasangan yang sudah menikah?
Berat ya? Seberat curhat yg baru author terima malam ini bikin pusing pala teddy bear wkwkwkwwkwkwk
Wah ga beda jauh nih kasusnya sama temenku. Kalau temenku masalahnya itu keluarga suaminya justru yang intervensi semua tentang suaminya padahal si suami ini sudah hidup enak, ikut si istri di rumah mertuanya.
Emang berat kalau sudah masalah rumah tangga. Gak ikut nikah, kalau dicurhatin orang nikah ikut ruwet sama kayak yang nikah. BTW kak Au, temen kakak itu nikah muda kah? Kalau temen saya sih iya. Dua-duanya masih muda, jadi sama-sama keras kepala. Istrinya butuh perhatian penuh (suami gak perhatian dikit mereka ribut), nah samaan nih sama suaminya, seperti suami temen Kak Au, dia gak tegas dalam menentukan batas mana yang boleh dan tidak boleh dicampuri oleh keluarga. Bayangin aja, si suami ikut istri, makan sama mertuanya, yang carikan kerja mertuanya, gak ada duir ngutang sama mertua, giliran gajian keluarganya yang diutamakan. Kan jadinya temenku mikir suaminya itu cuma nikahin dia untuk hidup lebih baik.
Duh gak tahu deh! Saya sudah kasi tahu dari awal orang menikah itu komitennya besar bahkan sampai mati. Jadi saya selalu berusaha kasih pemahaman kalau mereka itu butuh memahami satu sama lain lebih dalam. Lagi pula kalau kita dengar cerita itu kan cuma dengar, kita gak ada di situasi langsung, jadi gak bisa main pukul rata kalau itu salah si A atau si B. Kita bisa kasih tentukan mana yang iya dan tidak kalau ada bukti secara langsung. Sensitifitas tiap orang juga beda, jadi kan kadang si A mikir itu biasa aja, tapi buat si B itu nyakitin hati.
Nah, hal-hal seperti itu yang saya rasa perlu dikomunikasikan kalau untuk kasus temennya Kak Au. Cobalah kasih pemahaman, sayang rumah tangga harus gagal gara-gara miskomunikasi. Mereka itu pasangan hidup mati bukan anak pacaran atau orang tunangan bisa gampang putus atau batal. Walaupun saya belum menikah tapi berkecimpung dengan orang-orang yang sudah menikah dan jadi tempat curhat setidaknya jadi masukan-masukan yang berarti untuk saya. Kalau masih ada kekuatan untuk membujuk, silahkan dicoba kak. Sedih loh kalau sampe cerai~
Kalau untuk batas-batas, sebenarnya kan kalau anak sudah memutuskan untuk berumah tangga orang tua itu melepas separuh tanggung jawabnya. Artinya tidak lagi mencampuri kegiatan anaknya namun tetap mengawasi dan membimbing anak kalau dia ada di jalan yang salah (seharusnya begini). Papa saya, setelah kakak nikah ya udah itu tanggung jawab suaminya. Tapi, misal ada masalah atau butuh masukan orang tua tetap siap sedia membantu anak.
Hal-hal yang boleh dicampuri itu jelas kalau anak memang menyatakan benar-benar butuh bantuan (bukan dalam artian manja ya, marahan dikit lapor sama papa mama, duh!). Orang tua harus bantu semampunya. Nah kalau anak tidak menyatakan permasalahan dan tidak ada masalah tapi memang orang tuanya yang hobi ikut campur, itu gak bener (walaupun faktanya itu terjadi).
Saya pribadi gak mau intervensi dari orang tua mengenai karir, pembagian tugas, quality time, dan keuangan. Saya gak mau saya diatur-atur masalah kerjaan ini itu. Saya gak mau diatur seolah-olah istri itu tugasnya ngebabu di rumah, suami yang full cari duit, jadi gak perlu bantu istri ngurus anak atau ngurus rumah. Saya gak mau diatur harus ke rumah saudara ini tiap minggu, harus ke keluarga itu tiap minggu, saya hidup dalam keluarga besar, seenggaknya saya tahu kapan menentukan waktu untuk menikmati waktu bersama keluarga kecil maupun keluarga besar. Masalah keuangan saya gak mau diatur-atur harus belanja apa, harus digimanakan, dan harus dipegang siapa keuangan keluarga. Saya orangnya cukup keras kepala, jadu kalau saya mau A harus A, bisa B tapi gak pernah saya kerjakan sepenuhnya. Hidup saya dengan suami saya itu urusan kami nantinya. Jadi, saya selalu katakan menikah itu harus siap fisik, mental, dan finansial. Selama bisa, cari finansial untuk diri sendiri, jangan bergantung pada pasangan apalagi sepenuhnya. Kalau enggak, bicara fakta saja.. kalau kita gak ada finansial pasti gak dianggap apa-apa #fact
#edisicurhat