Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Forum Kepenulisan › (LOMBA CERPEN KULINER) Tak Semanis Donat Naila
- This topic has 6 balasan, 4 suara, and was last updated 8 years yang lalu by acisammy.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
-
25 November 2016 pada 8:13 pm #300754acisammyPeserta
<p style=”text-align: center;”>Cerpen Kuliner</p>
<p style=”text-align: center;”>Tak Semanis Donat Naila</p>
<p style=”text-align: center;”>Genre : Keluarga</p>
<p style=”text-align: center;”>Penulis : acisammy</p>
<p style=”text-align: center;”></p>
<p style=”text-align: center;”>***</p>
<p style=”text-align: center;”>Selamat membaca</p>
***Hembusan angin siang ini tak mampu meredakan udara panas yang kurasakan. Entah berapa kali aku sudah mengusap bulir-bulir keringat di pelipisku. Jika saja bukan karena tekadku memperbaiki nasib mungkin semangatku sudah terkikis terbawa sang surya yang semakin bergerak ke arah barat.
Langkah-langkah kaki kecil anak-anak berseragam sekolah sudah banyak yang meninggalkan tempatku menjajakan donat. Para pedagang jajanan pun sudah banyak yang menutup lapak dagangannya. Kini tertinggal aku yang masih duduk diatas bangku plastik memikirkan tabunganku yang semakin terkuras terpakai modal berjualan. Jika sudah begini, bisa apa aku sebagai kaum pinggiran selain meratapi nasib donat buatanku yang semakin berkurang peminatnya. Aku hanya mampu menunduk bertopang dagu meratapi nasib.
Sepasang sepatu bertali berwarna hitam terparkir lama didepan dagangan donatku. Hal tak biasa itu membuat aku mengangkat kepala. Kutemukan wajah anak laki-laki berseragam merah putih yang sudah kuhafal karena hanyalah anak ini yang masih setia membeli donatku. Hanya saja kali ini bukan keceriaan yang kudapat di muka polosnya tapi seraut muka cemas bercampur kebingungan yang kutangkap di wajah anak itu. Sebelum aku sempat bertanya ada apa dengan dirinya, anak laki-laki itu sudah mengeluarkan suaranya duluan.
“Hmm…Kak Nai” seru anak laki-laki itu yang tampak masih meragu mengungkapkan kata-katanya
Aku mengerutkan dahiku menyadari sepertinya anak laki-laki didepanku ini membutuhkan bantuanku.
“Ada apa, dek? Kamu mau beli donat?”
“Iya Kak Nai, tapi… tapi itu…hmm,,, uang jajan aku hilang. Tadi pagi mamah udah kasih tapi sekarang uangnya gak ada di kantong celanaku. Boleh gak kalau aku ambil donatnya tapi bayarnya besok aja ya, kak?”
Anak itu menunduk takut-takut menunggu jawabanku. Aku sedikit mengagumi sikap anak ini yang berani meminta langsung daripada diam-diam mencuri dengan memanfaatkan faktor musibah yang dialaminya.
Entah mengapa bibirku malah melebar tersenyum sebagai jawaban dari pertanyaannya. Aku lalu mengambil sebuah kantong kertas khusus makanan kemudian kuisi dengan dua donat berbeda rasa yang kutahu itu adalah jenis donat yang selalu dibeli oleh anak laki-laki yang masih menundukkan kepalanya di depanku.
“Seperti yang biasa kan? donat chocochips sama strawberry?” tanyaku
Anak itu mengangkat kepalanya kemudian mengangguk antusias karena kutahu dia pasti sangat senang akan mendapat donat favoritnya.
“Kakak berikan dua donat ini gratis untuk kamu. Jadi jangan sedih lagi ya.” ucapku sambil menyerahkan kantong kertas berisi dua donat
“Wah, kakak baik sekali. Makasih ya, Kak Nai. Asik aku dapat donat gratis!” seru anak itu
Anak laki-laki itu langsung berlari kegirangan setelah menerima kantong kertas berisi dua donat dariku.
Sejenak melihat tingkah polos anak itu membuatku sedikit terhibur walaupun di sisi lain pikiranku masih memikirkan bagaimana hidupku selanjutnya karena hari ini adalah hari terakhir aku bertahan hidup dari berdagang donat. Belum terpikirkan akan kemana jalan kisah hidupku karena keahlianku hanyalah membuat kue-kue sederhana seperti donat.
Apalah sebuah keahlian jika uang yang kupunya sudah terkuras untuk modal membuat donat ditambah hasil jualan yang terus merugi. Sepertinya aku harus kembali ke kampung memenuhi panggilan kakakku untuk menjawab pinangan dari dua lelaki yang ingin menjadikanku sebagai pendamping hidup.
Mungkin ini akhir perjuanganku menyerah pada kerasnya hidup ini yang rasanya tak semanis donat buatanku sendiri.
Ring…ring…ring
Aku merogoh saku celana kananku karena dering handphone yang terus berbunyi. Sebuah nama terpampang di layar handphoneku. Nama dari seseorang yang sudah lama kukenal baik. Langsung saja ku tekan tombol warna hijau. Baru mau kuucap salam, sebuah teriakan mendahuluiku di seberang telepon sana.
“Nailaaaaaaaaaaaaaa……!!! Cepat kesini!!!”
Spontan aku menjauhkan handphone lawas milikku dari telinga kananku. Teriakan suara kawanku di seberang telepon benar-benar membuat sakit telingaku.
“Hanif, tak perlulah kau berteriak keras seperti itu. Memangnya lagi dimana kau sekarang?” tanyaku sambil sedikit menjauhkan handphone dari telinga kananku
“Maaf, Nai. Aku kebetulan sedang di Central Mall sekalian cari nasabah baru kartu kredit. Disini sedang ada pembukaan pendaftaraan lomba membuat kue. Kalau kau mau ikutan mendaftar, cepatlah datang kemari!”
Tiba-tiba hatiku sedikit menghangat mendengar ada lomba membuat kue. Mungkin ini bisa menjadi kesempatanku memperbaiki nasib yang semakin terpuruk.
“Tapi hari ini aku sudah ada rencana pulang ke rumah Kak Maya. Sakit telingaku tiap hari mendengar teleponnya darinya yang selalu menyuruhku segera pulang”
Baru hatiku terasa melega sejenak tapi mengingat telepon Kak Maya yang tak kunjung surut membuat hatiku terasa sesak kembali
“Kalau begitu bagaimana kalau kudaftarkan dulu ya. Tapi lusa kau harus datang kesini buat ikut lomba. Kutunggu jam sepuluh di depan tangga jalan utama. Gimana mau gak?” tawar Hanifa
“Iya…iya aku mau. Makasih Hanif buat—“
Komunikasi telepon pun diputus seketika oleh Hanifa padahal aku belum selesei bicara. Sungguh tak sopannya kawan baikku ini menelepon tanpa salam dan memutuskanpun tanpa ucapan pamit. Benar-benar ciri khas dari seorang Hanifa yang menjadi teman main sekampungku.
Aku pun memilih membereskan daganganku dan seperti hari kemarin kuputuskan sisa donat kali ini pun akan kuberikan kepada Pak Rahardi yang bertugas sebagai penjaga sekolah dan juga merangkap sebagai pengurus sebuah panti asuhan anak-anak terlantar. Setidaknya donat ini masih bisa bermanfaat untuk dinikmati oleh anak-anak panti karena aku tak suka menjual donat yang sudah tidak fresh lagi. Bagiku walaupun dalam kondisi merugi tapi kualitas donat tetap menjadi prioritas nomor satu.
***
Semenjak kembali ke rumah Kak Maya, aku memilih lebih banyak menghabiskan waktu hanya dengan duduk merenung di dipan rumah sambil memikirkan nasib dagangan donatku yang semakin tak menguntungkan.
“Nai…Nai!”
Panggilan namaku sangat jelas terdengar di telingaku tapi entahlah raga ini rasanya tak mau bangkit berdiri menghampiri sang pemilik seruan yang tak lain dia yang pernah berada pada rahim yang sama denganku.
“Nai…Nailaaaaaa!”
Kini panggilan namaku semakin terdengar keras sebagai tanda langkah kaki Kak Maya sudah mendekat kearahku.
Pasti akan ada perdebatan lagi antara aku dengannya. Inilah hal yang paling malas sekali jika sedang menumpang menginap di rumah kakakku. Segera kusiapkan kedua telingaku untuk mendengar kata-kata tajam dari Kak Maya yang menjadi satu-satunya waliku sepeninggal ayah dan ibuku.
“Sedari tadi kau kupanggil-panggil tapi tak ada sahutan. Sedang apa kau masih disini? Hari sudah petang, tak elok lah anak gadis masih duduk diluar. Jauh jodoh nanti kau!”
“Tak mungkinlah kak. Biar kulitku tak seputih kulitnya si Hanifa tapi aku sudah ditungguin tuh sama si Dani dan si Seno.” sahutku
“Lalu siapa pilihanmu? Jangan berkilah terus lah, Nai. Bentar lagi umur kau sudah injak kepala dua. Coba tengoklah si Siti yang sudah menerima pinangannya Harun jadi orang tuanya tak perlu berpusing kepala memikirkan nasib anak perempuannya.”
Lagi-lagi topik ini selalu menjadi santapan utama pembicaraan tak berujung dengan kakakku. Puluhan kali aku menolak tapi tak jera juga kakakku terus membujukku supaya memilih jalan menikah daripada berdagang donat.
Perdebatan tak berujung ini akan memakan waktu yang tak sedikit karena kami berdua bagaikan minyak dan air yang sulit sekali menyatu. Kak Maya ini memegang prinsip adat kampung kami yaitu semakin cepat menikah semakin berjasa pula wanita itu mengangkat derajat keluarga.
Prinsip itu sungguh tak dapat diterima oleh egoku yang masih ingin berjuang memperbaiki nasib. Aku selalu punya keyakinan bisa menaikkan derajat keluarga dengan caraku sendiri melalui rencana lanjut sekolah. Tak mau seperti perempuan-perempuan di kampungku yang mengambil jalan menikah muda lalu hidup bergantung pada harta keluarga suami. Tapi sayangnya Kak Maya yang pikirannya begitu terikat adat tak mau mendukungku hingga jadilah aku mencoba mencari biaya dari hidup berdagang kue donat di dekat sekolah.
“Tak akan ada laki-laki yang akan kupilih, kak. Aku ingin mandiri dulu lah bahkan kalau bisa sampai lanjut sekolah.”
“Wah hebat kali mimpi kau ini. Apa kau pikir uang hasil jualan donat yang makin tak laku itu bisa membuatmu lanjut sekolah?” tanya Kak Maya yang mulai menaikkan suaranya
“Donatku bukan tak laku tapi kini sainganku makin banyak, kak. Mereka terlalu berani jual murah sampai merusak harga pasar. Itulah sebabnya pelangganku memilih membeli donat yang dijual dengan harga yang lebih murah. Bingung aku, bagaimana mereka bisa tekan harga donat serendah itu padahal harga bahan kue terus melonjak naik.”
“Nah, daripada pusing kepala kau tuh, lebih baik kalau kau terima pinangan Dani atau Seno jadi kau tak akan bersusah payah lagi memikirkan biaya lanjut sekolah ditambah nasib donat kau yang sudah kehilangan pelanggan itu”
“Mengapa kakak terus menyalahkan donatku?! Akan kubuktikan jika aku bisa lanjut sekolah dari hasil usahaku sendiri.” ucapku tak terima donatku selalu disalahkan
“Hah, dengan cara apa kau akan buktikan? Hasil jualan donat saja semakin suram, apa lagi yang bisa kau banggakan?”
Pertanyaan Kak Maya sungguh menghujam hatiku. Saat ini yang kubutuhkan sebuah dukungan untuk membangkitkan semangatku bukan berupa cercaan bernada pesimis seperti ini.
“Aku hendak ikut lomba membuat kue, kak. Kalau menang aku bisa pakai uangnya buat lanjut sekolah kuliner.“
“Itu artinya kau akan kembali lagi ke ibukota. Tidak, kakak tak akan ijinkan lagi kau ke sana. Untuk apa kau ikut lomba itu, donat jualan kau saja sudah jarang peminatnya. Kalau sudah begitu apa mungkin kau bisa menang.”
Pusing sekali kepalaku mendengar kata-kata tajam dari satu-satunya saudara kandungku ini. Bisa saja aku kabur keluar rumah tanpa ijin tapi itu tak mungkin tega kulakukan mengingat selama ini Kak Maya yang sudah banyak jasa membiayai sekolahku sepeninggal bapak dan ibu.
“Kumohon, kak. Berikan aku kesempatan padaku untuk buktikan diri.” pintaku
“Kakak akan berikan ijin tapi dengan syarat jika nanti kalah maka kau harus bersedia dinikahkan dengan Dani atau Seno, bagaimana?”
“Ya Tuhan mengapa syaratnya tak jauh-jauh dari urusan nikah. Teganya dirimu kak. Kemungkinan kalah sangat besar buatku karena disana pasti banyak peminat yang ikut lomba. Apa tak ada syarat yang lain, kak?”
“Hanya itu syaratku kalau kau mau dapat ijin. Jadi bagaimana, apa kau mau jadi ikut lomba?”
“Tentu jadilah kak. Mana ada lagi aku punya pilihan” ucapku pasrah
***
Setelah melewati perdebatan panjang akhirnya Kak Maya memberikan ijin padaku. Dua hari kemudian aku pun mencoba peruntungan perputaran nasib mengikuti perlombaan membuat kue di Central Mall.
Kini aku berdiri ditengah keramaian sebuah gedung yang sarat dengan berbagai hiburan mata. Aku terus mencari sosok kawan baikku yang telah berjasa memberikan informasi sampai akhirnya melihat dia yang sedang duduk di salah satu bangku didekat tangga.
“Hanif…” teriakku
Hanifa menoleh melihatku, kemudian mulai berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat kearahku. Dia adalah satu-satunya teman kampungku yang juga hidup mandiri mengadu nasib di kota. Namun keberuntungan lebih berpihak padanya dengan modal fisik tinggi diatas 165cm ditunjang kulit putih bagai pualam serta rambutnya yang hitam legam panjang telah dianggap layak menjadi seorang sales kartu kredit bank. Soal kemampuan mendapatkan nasabah pun jangan diragukan karena ketika mulut manisnya mulai mengeluarkan kata-kata maka tak ada satu pria pun yang sanggup berpaling ketika dihadapkan dengan wajah cantiknya.Wah sungguh kontras rasanya bila disandingkan dengan diriku yang harus berpanas-panasan dengan minyak goreng demi berlembar-lembar uang halal.
“Lama sekali kau tuh baru datang. Kupikir kau tak jadi ikut lomba. Mana hape kau juga tak ada sahutan sama sekali. Untung saja aku masih setia menanti kau di tempat janjian kita ini” seru Hanifa yang bibirnya tampak mengerucut.
“Tak mungkinlah tak jadi kan aku sudah janji akan datang. Maaf ya hapeku sudah mati gara-gara terjatuh di lantai kamar. Maklumlah aku ini hanya sanggup membeli hape murah jadi baru sekali jatuh yah langsung pecahlah layarnya. Hey, jangan terus ditekuk muka kau tuh, ayo antarkan aku ke tempat lomba!“ ajakku
Aku dan Hanifa mulai berjalan bersama menuju arah tengah Mall. Entah mengapa aku merasakan Hanifa lebih bersemangat dariku. Sepertinya bahagia sekali mau menemani aku ikut lomba.
“Ayo cepet dong, Nai.” ajak Hanifa yang sudah setengah berlari bahkan tangan kanannya kini menarik lengan kiriku supaya mengikuti langkah cepat dirinya
Kami berdua sudah mulai masuk ke area tengah Central Mall walaupun begitu tak juga menurunkan tempo langkah Hanifa bahkan tempo berjalannya pun malah semakin cepat sehingga membuatku hampir saja menginjak kaki orang secara tak sengaja.
“Ya ampun Hanif, kenapa buru-buru sih kan ujian lombanya masih setengah jam lagi.” ucapku sambil memegang tas selempangku yang ikut bergoyang karena derap langkahku yang semakin cepat.
“Tapi Chef Yuda Bustara yang ganteng itu bakal tampil jadi pembuka acara lomba, Nai. Jangan sampe nih kita ketinggalan lihat langsung badannya yang keren banget itu ”
“Astaga!! jadi kau menyuruh aku lari-lari karena cowok yang namanya Yuda…hmm…Yuda siapa tadi namanya? tanyaku yang sontak berhenti di tempat sambil menarik tangan Hanifa
“Yuda Bustara. Ayo cepat kita jalan lagi, Nai”
Aku pun hanya mampu terperangah dengan lengan kiriku yang kembali ditarik oleh Hanifa. Pantas saja Hanifa semangat sekali ke tempat lomba. Ternyata bukan hanya karena menyemangatiku saja tapi juga mau lihat seorang chef yang namanya terdengar asing di telingaku. Luar biasa sekali ya niat kawan baikku ini.
***
Perlombaan babak pertama dengan menggunakan sistem gugur dimulai selepas penampilan seorang chef pria yang memang kuakui mempunyai modal wajah yang berhasil membuat halaman depan panggung menjadi padat dengan perempuan-perempuan berbagai usia.
Selain enak diliat, chef Yuda juga mampu berinteraksi secara aktif dengan para penontonnya sambil mengolah bahan-bahan kue dan memainkan berbagai alat masak. Pantas saja Hanifa bersemangat ingin menonton chef Yuda, karena harus kuakui kalau chef ini memang tampak begitu lezat disantap pandangan mata para kaum hawa.
Setelah penampilan chef Yuda lalu tes pertama perlombaan pun dimulai. Tes pertama perlombaan menggunakan sistem menjawab soal-soal di kertas. Setiap peserta terbagi ke dalam kelompok-kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari tiga puluh orang. Aku masuk dalam kelompok kedua.
Ketika kelompok pertama telah selesei lalu giliran kelompokku masuk ke dalam ring tempat ujian. Lalu aku pun duduk dibangku yang sudah disediakan panitia. Hanya diberikan waktu lima belas menit saja untuk menjawab soal bertipe pilihan ganda yang berjumlah tiga puluh nomor. Menjawabnya harus cepat karena setiap nomor hanya dapat berpikir kurang dari semenit. Setiap pertanyaan berkutat tentang berbagai macam jenis bahan kue dan alatnya yang sangat tak asing buatku.
Pengumuman hasil tes lomba pertama langsung diumumkan karena jawaban langsung dikoreksi oleh para panitia lomba yang jumlahnya lumayan banyak.
Dua puluh peserta dengan skor nilai tertinggi langsung lolos ke tahap tes kedua sedangkan yang lainnya dinyatakan gugur. Beruntung aku menjadi bagian dari salah satu peserta yang lulus tahap pertama karena aku mendapat urutan nomor tiga dari dua puluh skor nilai tertinggi.
“Selamat ya, Nai… sudah kuduga kau pasti bisa lolos. Nih, minumlah dulu supaya kau bisa merasa segar melewati tes kedua. Namanya Caramel Coffee Jelly” ucap Hanifa sambil menyodorkan sebuah minuman berwarna coklat dengan kumpulan agar-agar dibagian dasarnya. Minuman yang mungkin tadi dibelinya ketika aku sedang menjawab soal-soal di tes lomba pertama.
Aku menerimanya minuman bergelas plastik itu dari Hanifa dan langsung menghisap sedotannya. Rasanya memang segar apalagi ada campuran kopi dan karamel ditambah lagi jelly-jelly yang ikut terhisap masuk ke dalam mulutku. Dapat kutebak pasti harganya berkali-kali lipat dari minuman pop ice yang dijual di kedai-kedai pinggir jalan.
“Makasih ya, untung ada kau yang menemaniku jadinya aku kan tak perlu sendirian menunggu waktu tes lomba kedua.” ucapku
Tes kedua dimulai setelah aku menunggu kurang lebih sejam. Semua bahan dan alat sudah disiapkan di atas lima meja panjang dimana setiap meja panjang ditempati oleh empat peserta. Aku sendiri mendapat posisi baris meja panjang kelima di paling belakang. Setelah melihat bahan-bahan yang tersedia maka kami para peserta disuruh memikirkan ide sendiri tentang kue apa yang akan dibuat dalam waktu tiga puluh menit.
Di mejaku sudah ada bahan-bahan seperti tepung ketan, sagu, santan, daun pandan, pasta pewarna, gula, garam, gula jawa, cokelat dan keju serta wadah yang terbuat dari daun pisang. Tak sulit bagiku memikirkan kue apa yang akan dibuat karena semua bahan-bahannya sudah kukenal dan biasa kupakai ketika membuat kue pesanan dari tetangga yang mempunyai hajat.
Ketika tim juri mengatakan waktu membuat kue telah dimulai maka aku pun langsung mencampurkan sagu dengan tepung ketan, setelah itu kutambahkan sejumput garam dari cawan kecil berisi garam. Tangan kiriku menuangkan santan cair dalam wadah sedangkan tangan kananku terus menguleni adonan sampai kalis.
Adonan kubagi menjadi tiga bagian, setiap bagian keberi pasta pewarna makanan berwarna merah, hijau dan kuning. Waktu yang tersisa tinggal lima belas menit lagi, maka untuk mengejar waktu aku langsung menyalakan kompor gas untuk merebus air di dalam panci. Lalu sambil menunggu air mendidih, aku mulai mengambil adonan lalu kuberikan isian di dalam adonan. Setiap warna berbeda isiannya dimana warna hijau kuberi isian coklat, warna merah berisi keju dan warna kuning kuberi isian gula jawa. Adonan semuanya kubentuk menjadi bulatan-bulatan berbentuk bola kecil lalu aku masukkan ke dalam air yang sudah mendidih. Sambil menunggu kueku matang segera saja aku membuat kuahnya dengan mendidihkan santan bersama gula, garam dan daun pandan.
Salah satu juri lomba mengingatkan waktu tersisa tinggal lima menit lagi. Selembar daun pisang yang sudah dibentuk menjadi wadah kecil-kecil, kuletakkan di piring putih. Lalu setiap wadah kuisi dengan tiga bola berbeda warna lalu kutuangkan kuahnya menemani ketiga bola tersebut. Setelah semuanya sudah tersaji rapi tak lupa aku mengelap sisi piring yang terkena tumpahan kuah dan tepat di sisa sepuluh detik terakhir, kue buatanku telah siap tersaji di atas piring.
Kue yang kubuat bernama Putri Mandi yaitu kue khas kampungku. Saat masih sekolah, aku suka membuat kue putri mandi jika mendapat pesanan dari tetangga yang mengadakan hajatan keluarga sebagai tambahan biaya membeli perlengkapan sekolah.
Para juri langsung berkeliling meja para peserta lalu mereka mencicipi setiap kue yang dibuat oleh peserta kemudian setelah mencicipi lalu juri-juri itu langsung mencatat di kertas yang di tempelkan di papan jalan. Walaupun tak menemui kesulitan pada saat pembuatan kue tapi jantungku tetap saja berdebar ketika akhirnya sang juri mendekati mejaku lalu mencicipi kue putri mandi hasil buatanku. Tak dapat kutebak apa yang juri itu rasakan karena mukanya tampak datar menampilkan kesan misterius.
Segalanya berjalan cepat sampai tiba waktunya pengumuman peserta yang lolos masuk ke tahap final test. Dua nama sudah disebutkan dan kedua peserta itu sudah maju kedepan tinggal satu tempat yang kuharapkan itu adalah punyaku. Tanganku sudah dingin karena harap-harap cemas menunggu juri menyebutkan satu nama lagi sampai akhirnya juri seorang wanita menyebutkan nama orang ketiga yang lolos masuk ke tahap final test.
“Naila Putri Kartini…!”
Kedua kakiku rasanya begitu lemas karena tak percaya nama lengkapku dengan jelas dipanggil oleh juri. Sempat mengalami kekosongan pikiran sampai akhirnya Hanifa berseru kencang menyuruhku maju kedepan.
“Nai, kau lulus tes…ayo cepat maju!”
***
Mengikuti jalannya perlombaan membuat aku dan Hanifa tampak lelah ditambah kini perutku dan perut Hanifa seakan berlomba berbunyi. Hanifa kemudian mengajak aku mengisi perut dulu di salah satu tempat makan yang ada di dalam mall. Aku yang hampir tak pernah makan di restoran hanya mengikuti ajakan kawan baikku ini.
Setelah naik dua lantai, kami berdua memasuki area khusus tempat makan. Berbagai macam restoran dengan tulisan-tulisan yang terasa asing tertangkap di mataku sampai akhirnya petualangan mataku berhenti karena Hanifa mengajakku masuk ke dalam restoran yang bernama Kuch Kuch mirip nama judul sebuah film Bollywood yang pernah kutonton bersama tetanggaku.
Kami berdua masuk melalui sebuah pintu kayu berdaun rendah yang dibalik pintu itu ternyata sudah ada sambutan dari seorang pelayan restoran laki-laki yang mengenakan sorban berwarna hijau di kepalanya.
Kedua mataku yang terbiasa dengan segala sesuatu yang terlihat sederhana harus mengalah takjub melihat suasana restoran yang nuansa ruangannya begitu kental dengan negara India. Ramai dan penuh warna itu kesan pertama yang kutangkap di restoran ini.
Kami berdua berjalan melewati beberapa dinding-dinding restoran yang terbuat dari lapisan kaca dengan ukiran relief yang indah. Ketika aku sedang menikmati pemandangan isi restoran yang penuh dengan ornament yang unik , seorang pelayan datang menghampiri lalu mengajak kami mengikutinya untuk berjalan menuju ke bagian meja yang terdiri dari empat bangku dengan jendela kaca besar dibagian sisinya sehingga membuat aku dan Hanifa dapat melihat pemandangan di luar mall.
Dari semua kemewahan berbalut keindahan yang kulihat maka aku pun meramalkan bagaimana besarnya jumlah nominal pada setiap hidangan yang tersedia di dalam buku menu yang kini sudah kupegang. Dengan perlahan kubuka buku menunya dan ramalanku terbukti tepat setelah melihat besarnya harga setiap masakan membuatku harus meringis meratapi kondisi dompetku yang tak sepadan.
“Hanif, apa kau sudah kehilangan akal mengajakku makan di restoran mahal seperti ini. Aku mana ada uang buat bayarnya, lebih baik aku makan di warung makan pinggiran sajalah.” ucapku yang baru akan berdiri tapi malah ditahan oleh Hanifa.
“Hey Naila, tenanglah. Aku yang akan membayar semuanya. Tak perlulah kau pasang muka panik seperti itu”
“Apa?! tapi dengan apa kau akan membayarnya…” bisikku karena takut didengar para pelayan yang sepertinya tak pernah lelah berjalan kesana-kemari di sekitar bangku kami.
“Aku baru saja dapat bonus pencapaian target. Kau taulah kalau aku ini kan sales berbakat.” ucap Hanifa dengan kedipan sebelah matanya.
“Wah ternyata suara cerewet kau tuh membawa berkah juga ya. Kalau begitu beruntung kali ini aku bisa makan gratis di tempat mahal seperti ini. Sering-sering saja ya, kau mentraktirku.” candaku
“Yah kau doakan sajalah supaya aku banyak dapat nasabah baru. Sudahlah, ayo cepat dipesan mana yang akan kau pilih!” seru Hanifa yang dari wajahnya saja sudah kelihatan sekali sudah tak sabar ingin segera menyantap makanan.
***
Tak lama setelah kami memesan, datanglah dua minuman yang dibawa oleh seorang pelayan restoran laki-laki yang mengenakan pakaian khas India karena model kemejanya yang panjang sampai dilutut tapi kali ini modelnya lebih sederhana tanpa bordiran tak seheboh yang dikenakan aktor-aktor india yang sering pakai di dalam film.
Didepanku telah tersaji minuman berwarna kuning bernama ‘Lassi’. Di permukaan atasnya ada beberapa potongan buah mangga yang dipotong kecil-kecil berbentuk kotak.
Sebelumnya aku berencana akan kuminum setelah makanan pesananku tersaji di meja tapi harumnya buah mangga dengan embun-embun dingin yang tampak di dinding gelas terasa begitu menggoda untuk segera kuminum membasuh kerongkonganku yang terasa begitu kering.
Aku langsung meneguk minuman Lassi itu tanpa menggunakan sedotan. Awalnya kupikir ini akan terasa seperti jus mangga yang pada umumnya terasa padat tapi minuman Lassi ini justru sebaliknya karena perbandingan tingkat kekentalan dan keencerannya begitu pas membuat minuman ini begitu ringan terasa manis namun ada sedikit rasa asam yang ikut tertangkap di lidahku. Jika tebakanku benar ini pasti karena campuran susu fermentasi yang ikut ditambahkan kedalam minuman khas India ini.
Tak menyesal Lassi ini kupilih apalagi cocok juga sebagai minuman pembukaku karena rasanya begitu menyegarkan yang segarnya seperti mengembalikan energiku yang banyak terpakai.
Kemudian ada rasa unik yang kutangkap di akhir setelah perpaduan manis dan asam. Sebuah rasa yang jarang kudapat dalam minuman bersuhu dingin. Aku sangat yakin jika minuman ini menggunakan campuran bahan sejenis rempahan yang aromanya sempat tercium di hidungku.
Semula aku berpikir jika sebuah minuman dengan perpaduan susu fermentasi dengan campuran rempahan akan terasa aneh, tapi begitu aliran cairan minuman Lassi itu melewati indra pencecapku kemudian masuk ke dalam kerongkonganku malah membuatku ingin meneguk dan meneguknya kembali. Tak lama kurasakan ada rasa hangat yang di dadaku yang sangat kontras dengan rasa dingin yang dirasakan sebelumnya. Kemungkinan ini pasti karena reaksi dari jenis rempah yang ditambahkan di minuman bernama Lassi ini.
Tak berbeda jauh denganku karena Hanifa juga tampak sangat menikmati minuman yang namanya malah kebarat-baratan yaitu ‘Blue Ocean Soda’. Minumannya malah sudah tersisa kurang dari setengah padahal makanan yang kami pesan saja belum datang. Aku pun jadi tertawa melihat tingkahnya karena Hanifa terus mengacungkan jempol kanannya akibat minumannya yang pasti tidak kalah segarnya dengan punyaku.
“Nai, ini enak sekali. Cobalah, kujamin kau akan ikut ketagihan!”
Hanifa memajukan gelas minumannya ke arahku yang tentu saja tak kusia-siakan tawarannya karena rasa penasaranku melihat bagaimana nikmatnya Hanifa meminum minumannya.
Warna tampilannya sangat menggodaku untuk segera mencicipinya. Minumannya terdiri dari dua lapis warna serta ditambah butiran-butiran biji selasih didalamnya.
Luar biasa jauh lebih menyegarkan itulah kurasakan di sedotan pertama, pantas saja Hanifa seakan tak mau berhenti menghisap minumannya. Rasa dingin menyegarkan dari sodanya benar-benar membuatku seperti terlempar kehamparan tengah salju dengan sensasi krenyes di lidah.
Setiap butiran biji selasih yang ikut tertelan membuatku tak bisa berhenti ingin terus menghisap terus sedotannya apalagi lama kelamaan ada perpaduan rasa buah melon yang membuatku ingin terus meminumnya, hingga akhirnya kusadari tak ada lagi aliran air segar itu walaupun beberapa kali kuhisap kuat dan ketika mataku tertuju ke arah gelas.
Alamak. Gelasnya sudah kosong.
Ya Tuhan tanpa kusadari, telah kuhabiskan minuman milik Hanifa. Begitu kunaikkan pandanganku dari gelas pada wajah Hanifa. Kedua mata kawan baikku itu sudah membesar lalu berdecak beberapa kali sedangkan aku hanya bisa cengengesan dengan tatapan bersalah.
Hanifa malah tertawa terkekeh. Inilah yang kusuka dari berkawan baik dengannya karena dia adalah orang tak pernah perhitungan. Baginya apapun yang dimiliki dalam hidup ini tak ada yang bisa dibawa mati jadi buat apa hidup berhitung dengan orang lain malah akan menambah beban pikiran.
Tak lama kekehan tawa Hanifa terhenti karena pelayan restoran kembali datang ke meja kami dengan membawa dua buah hidangan makanan yang telah kami pesan sebelumnya.
Fokus utama kami berdua kini beralih pada dua masakan yang masih mengeluarkan asap hangatnya. Makanan pertama yang kami pesan bernama ‘Tandoori Masala’ yang ditempatkan pada sebuah wadah lebar berbentuk bulat yang disajikan sepaket bersama nasi putih. Aroma wangi dari penggunaan bumbu yang menghasilkan kuah kental betul-betul mengugah seleraku.
Sengaja aku ingin mencoba dulu tanpa menggunakan nasi. Setelah sendokan pertama masuk ke mulutku langsung kurasakan gurihnya rasa dari kuah kental yang melimuti potongan dada ayam ini. Setiap potongan dada ayamnya luar biasa empuk karena begitu lumer dimulut. Ini pasti karena daging ayamnya sudah melewati proses pematangan yang memakan waktu lama.
Tak perlu usaha keras dalam menguyah daging ayam ini karena tekstur daging yang ada di makanan khas india ini sangat lunak membuatku merasakan sensasi makan yang mudah. Apalagi setiap rempahan begitu meresap pada serat-serat potongan dada ayam ini.
Aku begitu menikmati kelembutan potongan dada ayam ini sampai akhirnya ada suatu sensasi pedas yang akhirnya kutangkap di ujung lidahku.
Luar biasa, dua kata yang kusematkan pada masakan khas India ini, karena begitu tepatnya perpaduan seluruh bumbu rempahan yang dipakai untuk memasak daging ayam yang sudah tanpa tulang ini hingga daging terasa sudah lunak.
Kini pandanganku beralih pada makanan kedua yang sudah kami pesan yaitu ‘Kare Kambing’ yang disajikan bersama beberapa gulungan kuning yang dinamakan roti jala. Permukaan rotinya tampak berubang menyerupai sebuah jala yang awalnya berbentuk lembaran lalu dilipat dan digulung.
Aku mulai mengikuti cara Hanifa memakan jenis makanan kedua ini. Satu buah gulungan roti jala kuambil dan kutaruh diatas piring lalu kusiram sesendok kuah kare kambing diatas gulungan roti jala itu.
Satu suapan dengan potongan roti jala yang telah menyerap kuah kari langsung menggoyang lidahku. Awalnya kupikir roti ini seperti tekstur roti pada umumnya yang kasar tapi roti jala ini begitu lembut seakan-akan memang dibuat khusus untuk menemani masakan kare kambing.
Pada suapan kedua kali ini kusertakan beberapa potongan kambing dengan roti jalanya. Bumbu hasil racikan rempahan begitu terasa di mulutku yang sedang menikmati kelembutan daging kambing yang sudah menyerap kuah kare padahal jika tak pandai memasaknya maka akan membuat daging kambing akan terasa alot atau tak empuk. Satu roti jala tak akan cukup menemani lezatnya kuah kambing hingga aku terus menambah roti jalanya lalu kembali memadukan dengan kari kambingnya sampai akhirnya perutku tak sanggup menampung makanan lezat ini.
Kami berdua kini begitu kekenyangan hanya bisa bersandar pada kursi dan tertawa ringan menertawakan cara makan kami yang begitu bar-bar mengabaikan tanggapan orang sekitar, sedangkan kaca di samping kami menampilkan keadaan diluar yang hampir menggelap karena tampaknya sang surya sudah tak sudi lagi berkunjung.
Sepertinya aku terlalu menikmati semua hidangan yang tersaji hingga tak sadar jika sang surya sudah pergi jauh menuju belahan bumi yang lain.
***
Setelah mengikuti dua tahap tes lomba di Central Mall, aku sementara tinggal di rumah kontrakan milik Hanifa karena aku sudah tak ada uang lagi untuk memperpanjang sewa tempat tinggalku sebelumnya. Rumah kontrakan yang disewa Hanifa memiliki dua kamar dengan ruangan dapur minimalis namun cukup buatku untuk berlatih membuat kue demi menghadapi final test yang belum kutahu jenis testnya seperti apa.
Dari pagi hari aku sudah ke pasar subuh membeli bahan dan peralatan kue yang kuperlukan untuk berlatih demi menghindari kegagalan pada saat final test. Hanya perlengkapan sederhana berharga murah malah ada beberapa yang merupakan barang bekas yang kubeli bersama buku resep bekas di pasar.
Sisa uangku memang sudah menipis tapi aku selalu mengutamakan kualitas bahan. Itu juga dengan bantuan pinjaman uang dari Hanifa walaupun sebelumnya dia tak mau uangnya diganti tapi aku merasa tak enak hati harus menerima uangnya dengan cuma-cuma apalagi setelah Hanifa sudah berbaik hati mengijinkanku tinggal di kontrakan dan memakai dapurnya.
Sekitar satu setengah jam aku mencoba membuat chiffon cake rasa cokelat yang menurutku memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi sehingga selalu saja membuat jantungku berdebar. Sebelumnya aku selalu mengalami kegagalan dari masalah cake bantat, cake melorot bahkan berpinggang sampai cake yang terlalu membumbung tinggi di luar loyangnya.
Dimulai dari mencampur cokelat bubuk, tepung terigu, baking powder, gula pasir, minyak goreng, susu cair, kuning telor, putih telur, garam. Setelah beragam bahan tercampur lalu aku masukkan kedalam loyang lalu kupanggang di mini oven sederhana.
Kali ini aku tak memilih loyang datar biasa karena berangkat dari beberapa kali kegagalan sebelumnya ternyata jenis loyang menentukan keberhasilan chiffon cake maka akhirnya aku menggunakan loyang bongkar pasang khusus dengan lubang di tengah dan kaki pada tepian permukaannya
Aku sengaja sama sekali tak mengolesi loyang dengan mentega atau dengan taburan tepung agar adonan mampu menempel dengan baik pada sisi-sisi loyang serta mencegah cake tidak melorot ketika sudah matang.
Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya chocolate chiffon cake buatanku telah matang. Dengan menggunakan waslap tangan khusus, aku mulai membalikkan loyang dengan cepat agar cake tidak menyusut.
Terdengar suara pintu depan terbuka tepat chocolate chiffon cake hasil kreasiku matang dan siap disantap. Tak perlu menerka siapa yang datang karena sudah pasti itu adalah Hanifa yang baru pulang kerja mengejar target nasabah kartu kredit.
“Wahhh …aromanya membuatku tak tahan ingin segera kucoba kue buatan kau ini. Bolehlah kasih aku satu potong saja ya.” pinta Hanifa yang masih mengenakan setelan lengkap kerjanya.
Telunjuk tangan Hanifa mencolek jahil permukaan atas kue yang langsung ku tepis diiringi dengan decakan dariku.
“Hanif, cuci tanganlah dulu! Baru pulang langsung pegang-pegang kue.”
Walaupun Hanifa ini diberkahi dengan berwajah cantik namun sayangnya sungguh berlawanan dengan kelakuannya yang jauh dari sisi kewanitaan karena tingkahnya yang terlampau jauh dari kata bersih ditambah belum lagi kemalasannya yang selalu membuatku geleng-gelang kepala. Ini karena dikampungnya, Hanifa selalu dimanjakan oleh orang tuanya yang bangga memiliki anak yang paling cantik bahkan dikenal sebagai bunga desanya di kampung kami.
Namun jika dia bagai bunga desa maka aku bagai tawonnya si bunga desa ini karena aku selalu mengeluarkan suara berisikku menyuruhnya membereskan kamarnya yang sudah hampir mirip stadion olahraga sehabis pertandingan sepakbola. Bahkan aku ini sudah seperti ibunya saja yang suka membangunkan dia yang suka bermalas-malasan di tempat tidur.
“Kau tuh cerewet sekali seperti ibuku pantaslah kalau kau dikawinkan cepat-cepat.” ejek Hanifa padaku.
Nah kan baru saja aku merasa seperti ibunya ternyata diapun merasa demikian tapi walaupun aku cerewet namun Hanifa selalu menuruti apapun nasehatku, buktinya sekarang dia langsung menuju cucian piring dan mencuci tangannya di sana sedangkan aku mulai memotong kue yang akan kuberikan padanya.
“Cobalah hasil kue buatanku ini. Kau harus ceritakan bagaimana rasanya” ucapku
Tiga potong kue kutaruh di atas piring ceper kecil lalu kuberikan pada Hanifa yang sedang duduk lesehan di depan televisi kecil.
Hanifa mengambil satu potong kuenya dengan selembar tisu lalu mengigitnya sampai pada suapan terakhir tak bersisa lagi di tangannya. Aku mencoba bersabar menunggu respon dari Hanifa tapi yang kulihat malah dia ingin mengambil potongan kue lagi tanpa berkata apa-apa.
“Hanif, mengapa kau hanya melahapnya saja tanpa berkata-kata. Aku kan menunggu responmu.” protesku
“Oh iya…maaf ya Nai. Ini sungguh-sungguh enak! Kau memang berbakat membuat kue. Tambah satu potong lagi ya”
“Dasar kau ini bukannya memberikan pendapat malah makan terus!” seruku agak sedikit kesal
Akhirnya aku pun memilih mengambil satu potong kue lalu mencoba ku nilai sendiri hasil kue buatanku.
Pada gigitan pertama langsung terasa kelembutan tekstur kue yang berbahan dasar cokelat ini. Bagian yang paling kusuka adalah ketika kue buatanku ini langsung lumer di mulut sehingga tidak membuat seret pada saat menelan dan aku tidak harus cari-cari segelas air untuk membantu mendorong ke dalam kerongkongan.
Aku pun menikmati kue buatanku sampai tak menyadari jika Hanifa sudah berada di dapur memotong sendiri kueku padahal sebelumnya dia sudah memakan dua potong kue. Melihat Hanifa yang tak berhenti memakan kueku menumbuhkan rasa percaya diriku untuk menghadapi final test besok.
***
Hari final test pun tiba, hari dimana aku meletakkan harapan besar akan masa depanku. Aku berangkat ke Central Mall sendirian karena Hanifa sudah berangkat duluan dikarenakan jadwal masuk kerjanya yang diharuskan berangkat lebih pagi. Aku sudah berdiri di pinggir jalan besar menunggu mobil angkutan umum sambil memegang payung karena langit masih saja belum lelah menumpahkan air hujan semenjak dari tadi pagi.
Jalanan sudah penuh dengan genangan air. Aku memperhatikan kedua sandal bertali yang sedang kupakai karena kini sudah tampak kecoklatan di setiap sisinya akibat terkena aliran air yang sudah bercampur tanah.
Begitu banyak hal yang kupikirkan sambil memandangi aliran air di jalanan. Hingga sebuah suara keras dari bunyi klakson mobil sontak membuat aku mengangkat payung dan tiba-tiba saja tanpa sempat ku menghindar sebuah mobil berwarna hitam berada tepat menuju ke arahku.
Tin…tin…tin……………….!!!
Payung yang sebelumnya tergenggam erat di kananku kini terlempar entah kemana karena aku sendiri merasa tubuhku terangkat sampai akhirnya tubuhku melayang turun lalu kepalaku membentur sebuah benda keras. Sebuah rasa sakit yang tak pernah kurasakan sebelumnya tiba-tiba menjalar dari kepalaku sampai keseluruh badanku dan ketika kupegang kepalaku ada cairan lengket yang tertangkap di tangan kananku serta samar-samar kulihat tanganku sudah penuh warna merah.
“Kak Nai…Kak Nai…Kak Nai…!!!”
Sempat kedua telingaku menangkap suara seseorang memanggil-manggil namaku sebelum akhirnya kegelapan mengambil kesadaranku sepenuhnya.
***
Sungguh tak menyangka aku akan mengalami kejadian naas itu tepat di hari final test dilaksanakan.
Masih tak rela rasanya harus mengalami hal menyedihkan ini. Mengapa alam seolah mendukung untuk terus membuatku berada dalam nasib yang jauh dari kata manis.
Selepas tersadar dari pingsan, aku didatangi pengemudi mobil warna hitam yang bertanggung jawab mengantarkanku ke rumah sakit. Sang sopir mobil itu menjelaskan padaku bagaimana aku bisa menjadi korban kecelakaan.
Menurut si pengemudi yang belum sempat kutanyakan namanya itu, kecelakaan terjadi karena mobil yang dikendarainya ingin menghindari kencangnya motor yang sedang mendahului sebuah mobil dari arah berlawanan. Dia membanting stirnya seketika ke arah kiri dan begitu terkejut karena ada aku yang sedang berdiri di sisi jalan sehingga klakson mobil pun baru dibunyikan pada saat sudah mendekati diriku.
Mobilnya menyerempet ke kiri mengenai tubuhku yang sedang menunggu mobil angkutan umum. Aku yang terserempet menjadi kehilangan keseimbangan lalu terlempar hingga kepalaku terbentur sebuah batu besar yang mengakibatkan diriku kehilangan kesadaran pada saat itu. Sungguh tak menyangka aku mengalami hal seburuk itu.
“Sudahlah Nai…mungkin belum rejeki kau tuh. Jangan dipikirkan lagi lah. Nanti pasti ada kesempatan lagi.” ucap Kak Maya yang kini sedang duduk di kursi sebelah ranjang rawat inapku.
Kak Maya terus menghiburku sejak kedatangannya menjenguk aku. Dia datang tak lama setelah aku sudah sadar. Untung saja aku selalu membawa buku catatan kecil yang didalamnya terdapat nomor telepon orang-orang terdekatku seperti Kak Maya dan Hanifa, sehingga orang yang menabrakku bisa menghubungi mereka berdua.
“Kesempatan itu ada kalau kakak tak jadi menikahkanku. Sekarang habis sudah harapanku. Aku sekarang sudah benar-benar kalah, bahkan sebelum berjuang. Kak Maya sekarang senang kan karena aku tak ada alasan lagi menolak dinikahkan.” ucapku yang bila didengar siapapun sangat terdengar sinis apalagi saat ini aku sedang menahan rasa nyeri yang masih sering timbul tenggelam di sekujur tubuhku.
“Nai, tolong janganlah kau salah sangka pada kakakmu ini. Melihat kondisi kau yang harus terbaring penuh luka, telah benar-benar menyadarkan pikiran kakak. Sekarang kakak sudah tak berminat menyuruh kau menikah lagi. Apalagi setelah melihat usaha keras kau. Jadi kejarlah impian kau tuh dan tolong maafkan kakakmu yang pemaksa ini ya, Nai”
Sungguh tak menyangka pada akhirnya Kak Maya yang beradat keras memberikan kesempatan padaku bahkan memohon maaf padaku. Akhirnya telingaku tak perlu lagi mendengar perintah menikah yang sebelumnya tak pernah surut itu.
“Kak, bisa peluk Nai sebentar.” pintaku yang entah mengapa tiba-tiba ingin sekali mendapatkan kehangatan yang sudah lama tak pernah kudapatkan.
Kak Maya menghampiriku lalu duduk disisi ranjang dan mengulurkan tangannya sampai kemudian kami berpelukan dan terdengarlah suara isakan- isakan kecil sebagai tanda telah hancurnya dinding ego pemisah yang sebelumnya berdiri kokoh di antara kami berdua.
Pelukan kami kemudian terlepas dan fokusku teralihkan karena teriakan Hanifa yang ternyata tanpa kusadari sudah berada di depan televisi.
“Nai…lihat…lihat ke tv. Ada berita donat berbahaya.”
Aku pun langsung terpusat pada sebuah tayangan berita dari salah satu stasiun televisi swasta. Saat ini rupa wajahku mendadak menjadi kaku melihat tayangan berita itu. Di layar televisi tertampil sebuah kalimat berita yang sempat membuatku terkejut seketika membuat ruangan kamar rumah sakit juga mendadak hening hanya terdengar suara sang pembaca berita cantik yang menyajikan beritanya.
“Liputan Delapan kembali menemani anda dengan berita terbaru, terhangat, dan teraktual bersama saya Astri Ayu Samilani”
“Berita berikutnya saya sampaikan dari salah satu tempat jajanan di SD Harapan Negara. “
“Sebanyak 10 siswa SD Harapan Negara mengalami keracunan makanan setelah mengonsumsi jajanan donat beraneka warna yang dijual pedagang di sekitar sekolah mereka.Untuk informasi selengkapnya akan disampaikan oleh rekan saya yaitu Aditya yang sudah berada di SD Harapan Negara. Baik rekan Aditya silahkan menyampaikan informasi yang telah anda dapat”
Aditya:”Terima kasih rekan Astri. Pemirsa, sekarang saya sudah berada di SD Harapan Negara. Saya akan menyampaikan informasi dari hasil wawancara dengan salah satu penjaga sekolah yang bernama Bapak Rahardi yang menjadi saksi mata saat para siswa keracunan. Menurut Bapak Rahardi, beberapa para siswa tiba-tiba mengalami pusing yang disertai mual dan muntah setelah habis memakan donat. Saat ini para siswa yang menjadi korban keracunan sudah mendapat penanganan medis. Sebanyak lima siswa masih dalam tahap perawatan, sedangkan yang lainnya sudah diperbolehkan pulang dan mendapatkan rawat jalan. Saya juga sempat mendapatkan informasi dari salah satu tim medis yang berasal dari Puskesmas bahwa kemungkinan donat yang dikonsumsi oleh para siswa telah mengandung bahan pengawet kimia serta bahan-bahan pembuatan donat yang sudah tidak layak guna. Hal ini kemungkinan dilakukan pedagang untuk menekan harga jual karena bahan-bahan seperti tepung kadaluarsa dan telur yang sudah pecah bisa didapatkan dengan harga sangat murah di agen kebutuhan rumah tangga. Demikian informasi yang dapat saya sampaikan. Aditya melaporkan.”
Astri : “Terima kasih rekan Aditya. Semoga kasus keracunan jajanan donat segera mendapatkan penanganan lebih lanjut dari pemerintah. Berita selanjutnya adalah…………..”
Geram sekali rasanya setelah melihat tayangan berita itu. Aku memang sempat merasa tak adil karena kecurangan merekalah sehingga dagangan donatku terus merugi tapi ada hal yang lain yang lebih membuat aliran darahku terasa mendidih. Bagaimana mungkin mereka para oknum itu begitu tega memberikan makanan beracun itu kepada anak-anak. Benar-benar keterlaluan.
“Permisi…” ucap seseorang tiba-tiba
Seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu masuk kamar tempatku dirawat inap. Aku merasa tak mengenalnya jadi kupikir tamu wanita ini pasti salah kamar karena kebetulan hanya aku satu-satunya pasien penghuni di kamar rawatku yang dapat menampung pasien hingga tiga orang. Namun wanita itu tampak yakin berjalan kearahku dengan memegang sebuah bingkisan berisi buah-buahan. Otakku belum berhasil menemukan ingatan mengenai siapa wanita yang sedang berjalan ke tempatku ini sampai sebuah suara anak laki-laki memanggilku.
“Kak Nai….!”
Aku melebarkan mataku kala melihat anak laki-laki yang wajahnya sangat kukenal tiba-tiba saja masuk dari pintu kamar lalu berjalan melewati wanita pembawa bingkisan buah-buahan.
“Lho kok kamu bisa ada disini? Kenapa dengan lengan kirimu itu ?” tanyaku yang masih heran dengan keberadaan anak laki-laki itu dengan kondisi lengan kirinya yang berbalut perban.
Belum sempat anak laki-laki itu menjawab karena sang wanita pembawa bingkisan menyelanya duluan.
“Reyhan, sudah mama bilang supaya kau istirahat saja di kamar, jangan banyak jalan-jalan dulu.” seru wanita paruh baya itu dengan sangat lembut padahal kata-katanya berisi omelan tapi terdengar sangat nyaman di telinga, beda sekali dengan nada suara omelannya Kak Maya.
Aku langsung mengambil kesimpulan bahwa wanita pembawa bingkisan buah-buahan itu adalah ibu dari anak-laki-laki yang suka membeli donatku. Seorang wanita berwajah teduh dengan tutur kata yang sangat lembut. Pantas saja Rayhan yang kukenal adalah anak yang selalu sopan, mungkin ini karena didikkan halus dari ibunya.
“Maafin Rayhan ya mah. Rayhan penasaran ingin liat keadaannya Kak Nai.”
Bibirku melebar mendengar jawaban itu. Tak menyangka kondisiku mendapat perhatian dari anak laki-laki itu yang baru kutahu bernama Reyhan.
“Ini ada bingkisan kecil dari saya. Perkenalkan nama saya Mutia, mamanya Rayhan. Saya minta maaf ya.” seru wanita itu setelah menyerahkan bingkisan buah-buahan yang segera diterima baik oleh Kak Maya
“Terimakasih Ibu Mutia. Anda tak perlu repot-repot seperti ini. Lagipula tak perlu meminta maaf karena tak ada yang perlu dimaafkan karena saya sama sekali merasa tak terganggu dengan kedatangan Rayhan.” ucapku
“Ini bukan soal Rayhan tapi saya meminta maaf karena telah membuat mba Naila ini mengalami kecelakaan. Mungkin mba Naila belum tahu kalau sopir sayalah yang menabrak anda. Rayhan yang saat itu berada di mobil juga mengalami memar dan lecet di lengan kirinya akibat benturan dengan pintu mobil yang tiba-tiba saja harus direm mendadak.”
Sungguh tak menyangka ternyata luka perban di lengan Rayhan juga ada hubungannya denganku. Aku sempat tak percaya bagaimana mungkin semua ini dapat saling berhubungan.
“Benarkah?” tanyaku masih tak percaya
“Iya itulah kenyataannya. Saya juga ingin berterimakasih karena anak saya sudah diberikan donat gratis. Saya yang hari itu ikut menjemput Rayhan ke sekolah juga sempat mencicipi donat dari mba Naila. Jujur saja saya begitu terkesan dengan donatnya karena memiliki tekstur yang sangat lembut dan manisnya juga terasa pas tak berlebihan sangat berbeda dengan donat-donat yang pernah saya beli sebelumnya, pantas saja Rayhand begitu mengidolakan donat anda. Tapi Rayhan sempat sedih karena anda sudah tak berjualan lagi. Kalau boleh saya tahu mengapa anda tak berjualan donat lagi?”
“Oh soal itu karena saya sudah kehabisan modal untuk berjualan. Terlalu banyak pesaing yang berani jual harga murah membuat saya kehilangan pelanggan. Sekarang saya tak tahu lagi kedepannya mau apa, apalagi setelah mengalami kecelakaan ini yang mengharuskan saya tak bisa mengikuti final test lomba membuat kue.”
“Saya jadi merasa sangat bersalah untuk musibah ini. Kebetulan dalam waktu sebulan lagi saya berencana membuka toko kue untuk mengisi waktu luang saya sebagai ibu rumah tangga. Bagaimana kalau mba Naila ini bekerja di toko kue saya saja sekalian melanjutkan sekolah kuliner yang biayanya akan saya tanggung untuk menebus rasa bersalah saya karena mba Naila telah gagal ikut lomba.”
Ya Tuhan, apa aku tak salah dengar. Aku mendapat tawaran kerja sambil lanjut sekolah kuliner secara gratis. Namun entah mengapa tawaran ini malah membuatku tak enak hati. Aku jadi merasa seperti memanfaatkan kondisi kecelakaan yang menimpa diriku.
“Tapi saya rasa Ibu Mutia tak perlu terlalu merasa bersalah sampai repot-repot menawarkan pekerjaan dan mau membiayai sekolah kuliner. Walaupun kecelakaan ini telah membuat saya sedih dan kecewa tapi saya sudah ikhlaskan musibah ini sebagai bagian dari perjalanan hidup saya.” ucapku
“Sejujurnya tanpa kecelakaan itu pun, saya sudah ingin mba Naila bisa kerja di toko kue saya karena selain membutuhkan orang yang ahli membuat kue, saya pun membutuhkan orang jujur serta memiliki moral yang baik dan itu semua saya temukan pada diri mba Naila. Saya pun rela membiayai sekolah kulinernya karena melihat ada potensi besar pada diri mba Naila setelah memakan donatnya. Bagaimana? Apa mba Naila mau menerima tawaran saya?” tanya Ibu Mutia
Mendengar penjelasan dari Ibu Mutia membuatku yakin jika aku layak bekerja di toko kuenya apalagi bisa sekalian lanjut sekolah secara gratis. Apa ini buah kesabaranku selama ini. Apa ini tanda-tanda hidupku mulai semanis donatku. Mendadak sepertinya rasa nyeri di tubuhku seperti menghilang. Ini berkah luar biasa buatku.
“Iya…saya mau, Bu Mutia…saya mau”
Aku menganggukkan kepalaku berkali-kali tak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku. Kedua mataku terasa berair karena luapan haru kebahagiaan. Kurasakan tangan Kak Maya menggenggam tangan kananku sedangkan Hanifa sudah merangkul bahuku dari arah kiri lalu ketika kulihat wajah mereka berdua secara bergantian ternyata mata mereka juga sudah berkaca-kaca ikut terharu karena berkah yang kuterima.
<p style=”text-align: center;”>Selesei</p>
<p style=”text-align: center;”>***</p>
<p style=”text-align: center;”>Manusia yang belum pernah mengalami penderitaan,</p>
<p style=”text-align: center;”>tidak akan pernah mengalami kebahagiaan</p>
<p style=”text-align: center;”>-Kahlil Gibran-</p>
<p style=”text-align: center;”>***</p>
Dan sy pun ikutan terharu gak nyangka bisa ngetik cerpen kuliner ini secara sy bukan penulis wattpad cuma berstatus pembaca aja…ditengah jalan sempat nyerah berasa banget susahnya bikin cerita terus coba lanjut lagi gara-gara ketularan semangatnya Naila…heheheee
Mungkin cerita ini masih banyak banget kekurangannya, kurang greget konfliknya, kurang ini, kurang itu….maafin yaa karena niatnya mau meramaikan isi webnya tim PSA,,, tadinya mau ikutan lomba bikin cover novel tapi pas dikasih corel draw malah gak tau mau diapain mendingan dikasih voucher pasti banyak deh maunya….hahahaaa #modus
Maaf jg jika ada kata-kata dalam cerita ini yg menyinggung perasaan atau tak berkenan dihati.
Terimakasih buat tim PSA yg udah menerima saya menjadi bagian dari keluarga web ini.
Terimakasih jg buat yang sudah bersabar mau membaca cerpen yg kelewat panjang ini… saya doain semoga hidup anda semanis donat Naila…Amiiin
Selamat berwisata kuliner yaaa…
-
25 November 2016 pada 9:26 pm #300823faidarPeserta
Bagus kok cerpennya, ada banyak pesan moral yg bisa di ambil.
-
25 November 2016 pada 9:44 pm #300844
-
26 November 2016 pada 6:53 am #301077DalpahandayaniPeserta
Bagus
dua jempol buat kmu -
26 November 2016 pada 7:05 am #301082acisammyPeserta
@Dalpa: makasiiihh… dua jempol jg buat kamu yg udah baca cerita aku :sopan :sopan
-
27 November 2016 pada 3:06 pm #302166Author4Keymaster
Wah ini cerpen bagus, ceritanya mengalir dan bahkan au ikut larut dalam pergolakan batin Nayla, ngerasain dagangan makanan kaga laku, nungguin sisa makanan sambil berharap di beli orang ternyata kaga ada yg beli itu hati teriris iris setengah mati. Percayalah au pernah ngalamin jualan jajanan pinggir jalan pas CFD kerjasama ama temen dan kaga laku :PATAHHATI
Kisah ini unik,pertentangan batin antara nayla dan maya yang berprinsip modern lawan yg memegang adat kuno bagus banget tuh karena banyak yang seperti itu.
Tadinya dipikir kisah ini akan klise, si nayla menang lomba lalu chef yuda terpesona dan naksir trus happy ending. Ternyata penulis berhasil anti mainstream :BAAAAAA ending yang keren kisah hepi end ga perlu ala cinderella atau euforia kemenangan lomba cukup dengan kecelakaan yan awalnya tampak kaya musibah tapi ternyata membawa berkah. Cerita yang bagus. Penuh emosi dan berakhir penuh hikmah, terima kasih
Btw au belom pernah makan jajanan putri mande, dan segala macam masakan di resto india juga belom pernah, soalnya kaga kuat dana masuk resto india macam gitu
:PATAHHATI
-
27 November 2016 pada 9:08 pm #302393acisammyPeserta
Duh mau ngetik apa yaa saking senengnya cerpen sy dibaca author… :TERHARUBIRU
Tadinya mau nulis yg umum model kisah cinderela gitu kan itu model yang begitu lebih banyak pembacanya yaa, tapi apa daya kemampuan masih terbatas gini jadinya ya ngikutin apa yg ada dipikiran deh… :menyerah
Itu kue putri mandinya banyak dijual di pasar subuh… Nah kalau soal resto India itu sy jg belum pernah ke sana jadi nanya2 dulu deh sama yg pernah ke resto India tapi sy udh pernah makan makanan khas India di tempat laen… Btw, gak nyangka author4 pernah ikut CFD… mungkin gak laku karena yang dijual kurang sesuai kak sama pangsa pasarnya disitu….. coba lagi kak… kan yg punya KFC aja ditolak sampe 1000 kali baru bisa sukses…
makasiiih yaa kak buat input positifnya.. :sopan
-
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.