Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Forum Kepenulisan › ( Lomba Cerpen Kuliner ) Sepenggal Kisah di Warung Sate Mak Supi
- This topic has 21 balasan, 12 suara, and was last updated 8 years yang lalu by Lestaa.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
-
24 November 2016 pada 11:37 pm #300289hizteriezPeserta
Sepenggal Kisah di Warung Sate Mak Supi
Danaraja Desember 2002,
Warung Sate Kambing Muda Mak Supi
Tulisan penanda lokasi warung kecil itu masih terpampang jelas di spanduk yang semakin kumal. Sepanjang ingatanku, warung ini berdiri sudah sejak aku kecil. Menu makanannya masih sama, sate dan gule kambing muda serta nasi rames dengan pelengkap yang tida pernah terlewat, yaitu kering tempe. Warung ini menyimpan banyak sekali kenangan untukku. Mak Supi -nama pemiliknya- wanita setengah baya dengan tubuh gemuk pendek dan rambut khas yang selalu disanggul. Aura kebaikan hatinya telah terkenal dikampung ini. Sering kali, beberapa warga yang tidak mampu dizinkan untuk makan gratis atau membayar seikhlasnya di warungnya. Kadangkala, ada yang membayar dengan hasil kebun yang baru saja dipanen seperti kelapa dan singkong. Mak Supi bersahabat dengan ibuku. Beliau sudah seperti ibu keduaku.
“Kapan pulang dari Jakarta, Ras?” tanya Lastri, sahabatku sejak kecil yang juga anak Mak Supi.
“Baru tadi subuh, Tri. Mumpung libur sekolah tiga hari nih. Lumayan ‘kan buat mudik,” jawabku singkat.
” Tumben banget pulang nggak di waktu Lebaran? Kangen aku yaa? Atau masakan ibuku? Atau…” Lastri tersenyum jahil. “…ada seseorang yang bikin kamu kangen di sini? ”
“Hah!! Kamu ngomong opo tho??? Ibuku minggu lalu telepon, Las, minta aku pulang. Kangen katanya. Kebetulan juga Bude dan Pakdeku liburan ini mudik ke Bandung, jadi daripada aku ikut ke Bandung mending aku mudik ke sini aja,” jawabku menjelaskan.
“Oke..oke…karepmulah. Tapi, nanti malam kamu ke warungku, ‘kan? Ibu nanyain kamu. Udah disiapin kering tempe sama gule tuh buat kamu”.
“Hahaha. Siaaaap, bos. Gak usah kamu suruh, aku pasti bakal datang, kok,” jawabku.
***
Waktu beranjak malam. Aku mematut diri di cermin sejenak sebelum beringsut keluar dari kamar. Aku mengecek pakaian yang kukenakan. Celana jeans biru tua melekat erat di kakiku dan kaos hitam sederhana. Rambut ikal sebahuku kubiarkan tergerai. Sedikit bedak dan lipgloss agar wajahku tidak terlihat pucat. “Perfect,” kataku dalam hati.
“Mamaaaa, aku main ke warung Lastri, ya. Mak Supi nyariin aku,” pamitku pada ibuku.
“Iya, Ras. Hati-hati. Jangan pulang malem-malem.”
“Ya Ampun, Ma,tuh warungnya aja kelihatan dari rumah kita. Pulang malem dikit nggak apa-apa, ya.”
“Iya deh,” jawab ibuku tanpa menoleh dari acara televisi kesukaannya.
Warung Mak Supi terletak kira-kira 100 meter di seberang rumahku. Dari kejauhan, kulihat begitu banyak kendaraan yang terparkir di depan warung.
“Wah, siap-siap jadi pelayan dadakan lagi, nih,” ucapku dalam hati.
Di musim berlibur, aku memang suka membantu Mak Supi saat waktuku sedang senggang atau kalau kebetulan warungnya terlihat ramai. Maklum saja karena yang membantunya hanya suami dan putrinya, Lastri.
“Maaak, aku dataaang!!!” kataku setengah berteriak sambil memeluk tubuh gemuk Mak Supi dari belakang.
“Astaga, Ras, bikin kaget aja,” pekik Mak Supi seraya mencubitku.
“Sini, Ras. Mak udah siapin makanan spesial buat kamu. Gule kambing muda, nasi hangat kering tempe dan telor asin. Kamu belum makan malam ‘kan Ras?” tanya Mak Supi.
“Hehehe. Tahu aja, Mak. Kalau ke sini ya pasti belum makan. Tapi, nanti dulu deh, Mak, aku bantu Bapak dan Lastri dulu. Lagi rame pengunjung, tuh”, jawabku.
“Terserah kamu aja, Ras. Bantu dulu boleh, makan juga boleh., ” jawab Mak Supi sambil tersenyum.
Warung Mak Supi tidak terlalu luas, hanya ada dua meja dengan empat bangku panjang. Di atas meja terdapat piring yang berisi aneka gorengan dan telur asin serta toples yang penuh dengan rempeyek. Di bagian depan warung, ada tempat pembakaran sate, di bagian tengahnya hanya tersekat oleh lemari kaca berisi aneka hidangan yang menggugah selera, dan di bagian belakang ada kompor dan lemari es kecil tempat menyimpan daging.
Tugasku di sini cukup ringan, hanya menanyakan pesanan tamu, menghidangkan makanan, menusuk daging kambing ke tusukan sate, dan kadang coba-coba ikut membakar sate. Sate kambing muda di sini cukup unik. Potongan daging kambing hanya akan ditusuk menjadi sate jika ada pesanan. Satu tusuk terdiri atas tiga potong daging dan satu potong lemak. Penggunaan lemak adalah untuk menambah aroma saat pembakaran juga untuk membuat daging sate menjadi lebih gurih. Setelah dibakar kemudian ditaruh ke dalam piring saji tak lupa diberi kecap manis, potongan tomat merah, bawang merah cabai rawit dan sedikit bumbu rahasia buatan Mak Supi. Rasanya sungguh empuk dan enak.
Selain sate, warung Mak Supi juga menyediakan menu gule kambing. Semangkuk gule di sini berisi potongan tulang kambing muda dengan potongan daging yang masih melekat ke tulangnya dimasak bersama kuah santan. Rasanya agak manis dan gurih. Sebagai pelengkap, ditambahkan perasan jeruk nipis, irisan tomat merah dan irisan rawit hijau. Gule khas Mak Supi cukup empuk dan tidak berbau kambing karena menggunakan banyak sekali rempah dan waktu memasaknya yang cukup lama.
Untuk menikmati dua hidangan khas warung Mak Supi, tidak lengkap rasanya jika tidak ditemani sepiring nasi panas yang mengepul dengan taburan bawang goreng di atasnya, Rasa semua sajian di sini sungguh tidak berubah selalu sama dari sejak aku kecil.
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Warung sudah beranjak sepi. Aku sedang asyik menghabiskan sepiring nasi beserta semangkuk gule panas sambil mengobrol dan bercanda dengan Lastri dan Mak Supi di dapur belakang. Tiba-tiba, terdengar suara yang sungguh tidak asing, suara yang sangatku kenal , suara yang diam-diam kurindukan.
“Maaaak, aku pesen sate sepuluh tusuk, ya. Jangan terlalu matang. Ekstra rawit, Mak,” teriak pria itu sambil melangkah menuju dapur.
Aku tidak sempat lagi menghindar. Pandangan kami bertemu. Aku membeku di bawah tatapan intensnya. Detik berikutnya, dia tersenyum simpul padaku, membuatku semakin salah tingkah.
Pria itu bernama Susanto, pria berbadan tinggi dengan kulit hitam dan lesung pipit indah saat tersenyum dengan pandangan mata yang tajam. Dia adalah cinta pertamaku sejak enam tahun terakhir. Pria yang kucintai dalam diam dan dia satu-satunya orang yang memanggilku Kiran atau Ki dari nama panjangku Kirana Larasati. Pria itu selama ini mungkin…ah…tidak…pasti dia tahu kalau aku menyukainya. Tapi, dia selalu cuek. Aku juga jarang sekali berpapasan atau bahkan bertemu dengannya. Dia jarang terlihat. Aku malu. Cinta pertamaku yang bertepuk sebelah tangan.
“Eh, ada Kiran. Kapan kamu pulang, Ki? Kebetulan banget waktu aku ke sini ada kamu,” ujarnya di hadapanku.
Aku mematung. “Eh, iya, Anto. Apa kabar?” jawabku dengan sedikit terbata.
Anto tidak menjawab dan malahan berbicara kepada Lastri. “Tri, pesananku diantar ke rumahmu, ya. Tapi, Kiran aja yang antar,” katanya.
Lastri menjawab sambil menahan tawa. “Oke, Boss.”
“Kiran, aku tunggu di rumah belakang,” ujarnya dengan senyum mautnya sambil kemudian berlalu menuju rumah belakang.
“Mati aku,” umpatku dalam hati.
Lastri terus cekikikan memandangku. “Hahaha.Kamu nggak ada berubahnya, ya, Ras. Setiap melihat Anto, kamu selalu begini, kayak patung. Padahal, di belakangnya kamu heboh.”
“Tri, jangan-jangan kamu ya yang ngerencanain ini? Kamu yang manggil dia buat datang, kan?” tanyaku curiga.
Lastri tak menjawab. Dia malah berlari ke depan menuju tempat bakar sate, sok sibuk membakar sate pesanan Anto.
Beberapa saat kemudian, Lastri menghampiri ku sambil membawa nampan. “Nih, antar ke Anto, Ras,” ujar Lastri sambil terus tersenyum.
“Aku nggak mau, Tri. Aku malu. Kamu aja yg antar pesanannya. Aku mau pulang.”
“Idiih. Dasar muka dua. Aku tahu banget kamu, Ras. Kalau kamu terus-terusan kayak gini, mana bisa kamu ngobrol sama dia. Padahal, kamu selalu heboh nanyain dia kalau saling kirim surat sama aku. Kamu bilang sendiri dari sejak kelas 6 SD sampai sekarang kamu tetep nggak bisa lupain dia. Temui aja kenapa, sih. Ajak ngobrol sana. Jangan main kabur-kaburan melulu,”cerocos Lastri.
“Oke…oke…aku temui dia,” jawabku memberanikan diri walaupun jantungku terus berdetak kencang.
“Ini pesanan kamu. Sate, nasi dan teh hangat. Aku permisi dulu mau bantuin Mak Supi di warung,” ujarku tanpa memandang matanya ketika aku mengantarkan pesanannya.
”Nanti dulu, Ki, temenin aku makan. Aku kangen kamu,” katanya sambil menatapku.
Ya, Tuhan. Jantungku seperti mau meledak mendengar dia berbicara seperti itu. Kami duduk berhadapan di ruang tamu rumah Lastri. Dia makan dengan begitu lahapnya. Sesekali, aku mencuri pandang ke arahnya. Dia terlihat tampan dengan jeans dan kemeja kotak kotak digulung sampai siku. Rambutnya terlihat basah. Astaga, dia benar-benar tampan malam ini.
“Mau sate, Ki? Liatin aku sampe segitunya.” Tiba-tiba, dia berbicara di sela-sela kegiatan makannya.
“Hah? Apa? Oh, nggak. Itu…anu…aku ke depan aja deh, ya. Kamu juga lagi makan,” kataku menghindar.
“Kamu tuh, Ki. Bisa nggak, sih, jangan hindarin aku? Sini, duduk di sampingku. Aku mau ngomong sama kamu,” kata Anto seraya menaruh piring sate yang hampir habis.
“Sini dong!” ujarnya lagi dengan tatapan mengintimidasi.
Terpaksa aku pindah duduk di sampingnya. Semoga saja dia tidak mendengar detak jantungku yang berdebar kencang ini.
“Ya. Apa yang mau kamu omongin? ” tanyaku setelah duduk di sampingnya.
Dia diam tak juga bicara, tapi dia menatapku dalam.
Aku tidak bisa balik menatapnya. Jadi, aku hanya bisa menunduk. Tiba-tiba, dia menggenggam tanganku. Aku reflek mau melepas genggamannya tapi dia menggenggam tanganku lebih erat.
“Ki, tolong dengerin aku. Aku tahu kamu suka aku. Kamu sayang aku. Setiap tahun, kamu yang selalu ingat tanggal ulang tahunku. Kamu juga yang selalu kirimin aku kartu ucapan ulang tahun. Dan jangan kira aku nggak tahu kalau kamu selalu nanyain keadaanku di setiap surat yang kamu kirim ke teman-temanmu di sini. Aku tahu semuanya, Ki. Tapi, kenapa kalau ketemu aku, kamu selalu menghindar?” tanyanya dengan lembut.
Aduh. Aku malu, malu sekali. Selama ini, aku memang menyukainya dan bahkan mencintainya. Tapi, itu kulakukan hanya dalam diam, hanya lewat kartu-kartu yang aku kirimkan atau sekedar salam yang aku titipkan lewat temanku. Aku selalu malu ketika melihatnya. Aku mencoba untuk kabur begitu aku melihatnya.Sekarang, aku tidak bisa menghindar lagi.
“Hah? Itu…anu…aduh, gimana ya. Aku malu,” jawabku terbata.
Dia tertawa manis sekali. “Kamu ngapain malu, Ki? Mengungkapkan perasaan nggak dosa, kok.” Dia menghela nafas. “Tapi, kamu tahu nggak aku kayak gimana? Keseharianku waktu kamu nggak ada di sini. Kalau kamu tahu, kamu pasti ngeri dan nyesel udah suka sama aku. Aku bingung dan merasa bersalah banget kamu bisa sampai suka sama aku,”sambungnya.
Aku terdiam. Aku tahu sebenarnya dia pria macam apa, pria nakal yang suka mabuk-mabukan. Pacarnya? Jangan ditanya. Mungkin sudah banyak. Tapi, aku tahu juga gimana dia hidup mandiri. Dia bekerja untuk membiayai sekolahnya dan untuk menafkahi Ibunya. Dia punya sifat positif dan negatif yang seimbang.
“Kamu tahu, Ki? Kamu itu perempuan baik-baik dan polos. Kamu dididik dengan keras oleh Budemu di Jakarta. Apa jadinya kalau keluarga besarmu tahu kamu suka sama sampah macam aku?” ujarnya.
“Aku…aku memang suka sama kamu dari dulu, dari sejak kita SD. Ingat waktu kamu jadi ketua kelas dan aku jadi sekretaris? Kita sering habisin waktu bersama. Dari sejak itu aku suka sama kamu. Bahkan waktu masuk SMP aku harus pindah ke Jakarta, aku tetep nggak bisa lupain kamu, sampe sekarang,” jawabku. Akhirnya, aku bisa mengungkapkan semua perasaanku. Aku cukup lega.
“Tapi aku nggak mengharapkan apa-apa dari kamu. Aku suka kamu dalam diam. Aku menikmati perasaanku sendiri. Biarkan sampai hilang sendiri dan itu entah kapan,” jawabku lagi.
Dia tersenyum. memunculkan lesung pipinya dengan jelas. Dia terlihat masih enggan melepas genggaman tangannya. “Maaf, maaf udah bikin kamu suka sama aku. Aku mungkin nggak akan bisa bales perasaan kamu, Ki. Aku beneran nggak bisa. Kamu berhak dapetin laki-laki baik di Jakarta. Karena kamu perempuan baik, kamu nanti pasti bakal bahagia, Ki. Tapi, bukan sama aku,” ujarnya pilu.
“Udahlah, jangan dibahas lagi. Aku nggak tahu hidupku ke depannya nanti akan seperti apa. Aku cuma bisa pasrah jalanin aja.” Aku beranjak hendak menata piring kotor bekas makan Anto, tapi dia menarikku untuk duduk kembali.
“Sini aja, Ki. Ngobrol sama aku, ngobrol apa aja. Aku dengerin,” ujarnya.
Kami mengobrol lama sekali hingga tak terasa hampir dua jam terlewati. Kami bercerita tentang apa saja, tertawa dan bercanda bersama. Dia tetap tidak melepaskan genggaman tangannya. Sesekali, dia bahkan membelai rambutku. Jujur saja, aku senang meskipun jantungku berdebar terus menerus.
“Kayaknya kita keasyikan ngobrol deh, Ki. Udah malem banget, nih. Kamu pulang, ya? Nanti aku antar.”
“Oke. Habis beresin piring kamu ini, aku pulang, kok,” jawabku.
“Ki, sebelum kamu pulang, boleh aku minta sesuatu?” tanyanya hati-hati.
“Apa?”
“Aku mau….”
“Ras. Oiiiii…lama banget, sih, kamu di belakang sama Anto,” teriak Puji kakak Lastri dari warung memotong perkataan Anto padaku.
”Bentar, Kak,” teriakku. Aku memusatkan perhatianku kembali pada Anto. “Tadi mau ngomong apa?”
“Nggak jadi, deh. Kapan-kapan aja,” jawabnya.
Aku hanya menatapnya bingung.
***
Jarak warung Mak Supi ke rumahku lumayan dekat. Tapi, walaupun begitu, Anto tetap bersikeras mengantarku.
“Aku besok nggak bisa dateng, Ki. Kamu lusa pulang, ‘kan? Hati-hati, ya. Inget kata-kataku tadi. Kamu harus bahagia,” kata Anto ketika sampai di depan rumahku.
“Iya, aku inget.”
“Aku masuk dulu, ya. Kamu pulangnya hati-hati.”
” Iya, Ki. Selamat malem. Tidur yang nyenyak. Mimpi indah, ya,” katanya lagi sambil tersenyum dan mengacak-acak rambutku.
Aku membuka pintu rumah yang tak terkunci. Di ruang tamu, sudah ada ibuku yang sepertinya menungguku pulang.
“Kamu pulang diantar siapa, Ras?”
“Eh, itu, Ma, Susanto. Mama tahu ‘kan temen SD-ku? Dia kebetulan tadi makan di warungnya Mak Supi,” jawabku.
“Kamu tuh, Ras. Tinggal di Jakarta hampir enam tahun kok ya masih ngarepin anak kampung kayak dia. Mending kalau dia baik. Mama tahu lho, Ras, dia kayak gimana di sini. Dia sama temen-temennya, Yono dan Erwan, suka bikin ribut di perempatan, suka berantem. Mama dengar suka mabuk-mabukan juga. Emang nggak ada cowok cakep apa di Jakarta? Kamu tuh…”
Belum sempat ibuku melanjutkan ceramahnya, aku menyela. “Udahlah, Ma. Aku juga tahu. Dia juga udah bilang. Mama jangan ikutan marahin aku. Aku lagi galau sekarang,” kataku setengah bercanda sambil meninggalkan ibuku di ruang tamu dan beranjak menuju kamarku.
Di kamar mungilku yang hanya bisa kusinggahi setahun sekali ini, aku merenung. Benarkah sudah waktunya aku untuk melupakannya? Mengingat sekarang aku masih duduk di kelas 2 SMA, haruskah aku melupakannya dan menikmati masa SMA-ku dengan mencari teman sebanyak-banyaknya? Entahlah. Aku tidak bisa berpikir jernih. Mungkin jika tidur, akan membuatku lebih baik.
***
“Woy, banguuun.Udah siang. Anak gadis kok jam segini belum bangun,” teriak Lastri di telingaku.
Kurasakan tubuhku sangat berat. Saat aku berusaha membuka mataku dan melihat apa yang terjadi, aku menemukan Lastri duduk di atas badanku.
“Apaan sih? Masih pagi. Aku mau tidur lagi,” kataku sambil mendorongnya menjauh.
“Ish, aku tahu semuanya, Ras. Anto cerita ke aku semalem. Kamu jangan galau gini dong. Ke warung aku aja, yuk, bantuin aku masak. Dapet sarapan gratis deh,” kata Lastri lagi.
“Nanti kamu balik dua jam lagi,” kataku sambil menutup seluruh tubuhku dengan selimut.
***
Waktu menunjukkan jam sebelas siang ketika aku akhirnya bangun. Lastri sudah tidak ada di kamarku. Kemudian, aku mengambil celana selututku dan kaos lengan pendek hitam dari dalam ranselku.
“Mandi mungkin akan lebih segar” pikirku lagi.
Ketika aku membuka pintu kamar, ternyata Lastri masih ada di rumahku. Dia sedang asyik menikmati rujak dengan ibuku.
” Sini, Ras.Rujak pedes ampuh buat obat patah hati loh,” cerocos Lastri.
“Sialan!” gumamku.
“Kamu ngomong apa, Ras?” kata Ibuku.
“Eh, nggak, Ma. Nggak ngomong apa-apa. Aku mau mandi dulu,” jawabku berlalu.
Selepas dzuhur, aku pergi ke warung Mak Supi. Bau harum masakan sudah tercium dari depan pintu warung. Kering tempe adalah masakan khas Mak Supi yang menjadi favoritku. Kering tempe di sini cukup sederhana, hanya berisi potongan tempe, kacang tanah, dan cabai merah yang dimasak sedemikian rupa dengan tambahan kecap dan gula jawa hingga tempe dan kacang tanah itu bisa renyah dan enak. Rasanya benar-benar tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Tidak akan cukup dimakan dengan sepiring nasi. Apalagi kalau dipadukan dengan telur asin, makin lezat rasanya. Untuk sesaat, aku bisa melupakan patah hatiku dengan makan sebanyak dua piring.
“Kamu patah hati atau lapar, Ras?” goda Lastri yang sepertinya baru datang dari rumah belakang warung.
“Masa bodo. Aku nggak mau mikirin.” kataku dengan mulut penuh nasi.
“Anak gadis makan jangan sambil ngomong. Pelan-pelan makannya.” Sahut Mak Supi seraya menggelengkan kepalanya melihatku. “Cowok macam Susanto jangan dipikirin, Ras. Di, Jakarta kamu bisa dapet satu truk yang lebih baik dari dia,” kata Mak Supi menasehati.
“Ampun, Triii. Kamu cerita ke siapa aja sih? Kok smua orang pada tau kalo aku…ah sudahlah. Dasar ember,” kataku memberengut sambil beranjak membawa piring kotor ke tempat cucian piring.
***
Malam ini, malam terakhir aku di sini. Aku sedang duduk-duduk di teras rumah bersama ibuku. Kami mengobrol santai sambil menikmati segelas teh hangat dan pisang goreng.
<p style=”text-align: left;”>Dari teras rumah, bisa kulihat warung Mak Supi yang tampak ramai, bisa kulihat juga motor Rx King milik Anto terparkir di depan warung itu.</p>
“Kamu nggak ke warung Mak Supi, Ras? ” tanya ibuku.“Nggak ah, Ma. Males. Capek. Besok kan aku balik ke Jakarta,” jawabku.
“Tapi, tadi Mak Supi bilang mau titip oleh-oleh kering tempe sama telur asin untuk Bude. Kamu ambil gih. Nggak enak udah disiapin juga.”
“Iya deh, Ma, aku ke sana.”
Setelah berganti baju, aku pergi ke warung Mak Supi. Tapi, kali ini aku masuk ke warung Mak Supi lewat pintu belakang demi menghindari berpapasan dengan Anto. Aku merasa tidak enak hati jika bertemu dengannya. Sepertinya, dia dan kawan-kawannya sedang asyik main gitar di bangku depan warung.
“Lho, Ras, kok tumben lewat belakang?” tanya Lastri dengan nada setengah berteriak seperti disengaja untuk menarik perhatian Anto.
Dan benar saja, Anto langsung menengok dan memandang ke dalam karena teriakan Lastri. Dia tersenyum manis dengan lesung pipi ajaibnya. Tapi kemudian, dia kembali asyik dengan teman-temannya.
“Aku mau ambil kering tempe titipan dari Mak Supi, Tri.”
“Tuh ada di lemari kaca, Ras. Ambil aja.”
“Kamu makan tongseng dulu, ya? Aku lagi belajar buat nih. Yuk, bantuin aku, Ras,” kata Lastri.
***
Aku sibuk memotong sayur kol untuk tongseng, sedangkan Lastri sedang menumis potongan daging kambing. Lalu, aku mendengar suara petikan gitar dan nyanyian yang aku tahu pasti suara Anto. Dia menyanyikan lagu yang berjudul Semua Tak Sama’ dari band Padi yang memang terkenal sekarang.
Dalam benakku lama tertanam
sejuta bayangan dirimu
redup terasa cahaya hati
mengingat apa yang telah kau berikan
waktu berjalan lamban mengiring
dalam titian takdir hidupku
cukup sudah aku tertahan
dalam persimpangan masa silamku
ku coba tuk melawan getir yang terus ku kecap
meresap ke dalam relung sukmaku
ku coba tuk singkirkan aroma nafas tubuhmu
mengalir mengisi laju darahku
semua tak sama, tak pernah sama
apa yang ku sentuh, apa yang ku kecup
sehangat pelukmu, selembut belaimu
tak ada satupun yang mampu menjadi sepertimu
apalah arti hidupku ini memapahku dalam ketiadaan
segalanya luruh lemah tak bertumpu, hanya bersandar pada dirimu
ku tak bisa sungguh tak bisa
mengganti dirimu dengan dirinya
Malam ini, dia bernyanyi di depan warung. Aku bersama Lastri berada di belakang. Tidak ada satu pun dari kami yang mencoba untuk bertemu dan mengobrol walaupun aku penasaran, untuk siapa lagu itu dinyanyikan. Yang pasti, aku tidak mau terlihat berharap kalau lagu itu dinyanyikan untukku. Besok aku sudah akan kembali ke Jakarta dan aku akan menciptakan kenanganku sendiri, lewat lagu itu.
***
Danaraja Desember 2015,
“Nanti kira-kira satu kilometer lagi ada warung sate di pinggir jalan, kita mampir dan makan di situ ya Yang?” pintaku pada pria berkacamata di bangku kemudi di sampingku.
“Warung sate yang suka kamu ceritain itu, Say? Emang masakannya enak? Ya udah nanti kita mampir. Sekalian Rain belum makan juga tadi, ‘kan?” katanya lagi sambil menjawil pipi balita gemuk di pangkuanku.
Setelah sekian tahun, aku tidak pernah pulang ke orang tuaku ini. Tahun ini, aku memutuskan untuk pulang. Aku ingin mengenalkan kampung halamanku kepada suamiku Rian dan anakku Rain.
Rian, lelaki kurus tinggi berkaca mata dengan rambut berantakan tapi tetap terlihat manis. Aku mengenalnya sejak berada di semester satu saat kuliah dulu. Kami teman sekelas. Lalu, kami menjadi dekat sejak kami menginjak semester tiga. Di kampus, dia terkenal pendiam, dingin dan cuek. Tapi, dia lelaki yang cerdas.
Kami dulu bersahabat hingga akhirnya saling jatuh cinta yang berakhir dengan menjadi sepasang kekasih. Lalu, kami memutuskan menikah pada tahun 2009.
Mobil kami telah terparkir rapi di depan warung itu. Suasananya masih sama. Bentuk warungnya pun tidak berbeda dari terakhir aku berkunjung ke sini. Hanya spanduk warung yang sudah diganti dengan yang baru.
“Assalamu’alaikum,” salamku di depan warung.
“Wa’alaikum salam.” Sejenak ada keheningan. “Eh, Laras, ya? ” kata Pak Win, suami Mak Supi, dengan ragu.
“Masuk. Sini masuk. Sudah lama sekali kamu nggak pulang, Ras, ” katanya lagi dengan sumringah.
Aku tersenyum, menggandeng lengan suamiku yang sibuk menggendong Rain. Lalu, masuk ke dalam warung.
“Mak Supi sama Lastri ke mana, Pak?” tanyaku sambil celingukan mencari sosok Mak Supi dan Lastri.
.
“Mak Supi lagi mandi sebentar. Lastri lagi jemput anaknya di sekolah, Ras,” Jawab Pak Win. “Wah, ini suami dan anak kamu, ya? Lucunya anakmu.”
“Iya, Pak. Ini Rian suamiku dan Rain anakku,” kataku sambil memperkenalkan mereka. Rian dan Pak Win saling berjabat tangan.
Tak lama kami mengobrol, Mak Supi datang dari arah belakang rumah. Reaksi Mak Supi tidak jauh berbeda dengan Pak Win. Aku pun mengenalkan juga suami dan anakku padanya.
“Ayo, Mas Rian, dimakan sate dan gulenya. Ini makanan khas sini lho,” kata Mak Supi.
“Iya, Bu. Terima kasih.”
Di hadapan kami, kini tersaji semangkuk gule kambing ,sepiring sate, kering tempe dan nasi hangat dengan aroma yang sangat menggugah selera. Rian begitu lahap memakannya. Sementara, aku sedang menyuapi anakku sambil mengobrol dengan Mak Supi.
“Mak, ini pesanan gula jawa, tempe dan kelapa mau ditaruh di mana?” tanya seseorang di dekat pintu belakang.
Entah takdir atau kebetulan, aku bisa mendengar suara itu lagi. Tapi, sekarang sudah tidak terdengar lagi debaran aneh di jantungku.
“Bawa masuk sini aja, To,” jawab Mak Supi.
Anto masuk. Pandangan kami pun bertemu, tak terhindarkan lagi. Aku tersenyum. Begitu pun dengan dia. Setelah menaruh semua pesanan Mak Supi seperti yang dikatakanya, Anto menghampiriku.
“Baru kelihatan lagi, Ras.”
Ras, sekarang dia panggil aku Ras. Kataku dalam hati.
“Iya nih. Lagi main aja. Kangen sama orang-orang di sini,” jawabku. “Oh ya, kenalin ini anakku Rain ,dan suamiku Rian.”
Dengan takut-takut, anakku menyalami tangan Anto karena baru mengenalnya. Sementara, suamiku berjalan mendekatiku.
“Yang, ini temen SD-ku, Susanto.”
Suamiku agak terkejut begitu tahu dia adalah Susanto. Kemudian, dia menyunggingkan senyum.
“Saya Rian, suami Kiran.”
” Saya Anto, teman SD Laras.”
Kami mengobrol singkat. Tak lama kemudian, Anto berpamitan.
Setengah jam kemudian, kami pun turut pamit. mau melanjutkan perjalanan lagi. Seperti biasa, Mak Supi membawakan kami bekal. Dia menolak saat kami menyodorkan uang untuk membayar pesanan kami. Tapi, kami tetap memaksa Mak Supi untuk menerima uang kami yang akhirnya dia mau menerimanya.
“Say, sini deh “.Suamiku memintaku mendekat ke arahnya. Padahal, dia sedang berada di bangku kemudi.
Aku pun mendekat dengan memeluk erat Rain yang tertidur lelap di pangkuanku.
Bletak!!
“Awwwww..!!! Kok aku dijitak sih, Yang? Salahku apa?”
Rian tertawa terbahak-bahak. “Jadi itu Susanto. Dia Susanto yang bikin galau waktu zaman kamu remaja itu? Masih cakep aku ke mana-mana,” katanya sambil pasang tampang cool.
Aku pun ikut tertawa mengingat masa remajaku dulu. Sungguh lucu jika diingat kembali. Kukira, aku tidak akan bisa melupakannya. Ternyata, cinta keduaku ini bahkan membuatku lebih bahagia.
“Masakan Mak Supi kamu itu enak banget,” kata suamiku lagi.
“Memang, rasanya dari dulu nggak pernah berubah,” jawabku singkat.
Kami terus mengobrol dan tertawa bersama di perjalanan. Aku sungguh bahagia.
Warung sate Mak Supi tetap berdiri kokoh hingga saat ini. Walaupun kecil dan sederhana, tapi masakannya selalu enak. Dan yang paling penting, di warung kecil ini aku memiliki banyak kenangan yang akan selalu kuingat.
-Tamat-
Akhirnyaa,, selesai juga cerpen kuliner ini,perdana banget bikin cerpen, mohon maaf kalo ada typo dan jalan cerita yang gak jelas, maklum mahmud cuma ikut ngeramein, makasih untuk @author2 dan @author4 untuk lomba ini,untuk saudari2ku yang gak bisa ku sebut satu-satu makasih untuk dukungannya,vitamins selamat membaca
:aaaKaboor
-
25 November 2016 pada 7:02 am #300357DalpahandayaniPeserta
Bkin ngiler makanannya
emang ke banyakan cinta pertama ga pernah berakhir bahagia yah -
25 November 2016 pada 7:08 am #300360hizteriezPeserta
@dalpahandayani makaasih komennyaa..emg seperti itu cinta pertama jarang yg kesampeaan :PATAHHATI
-
25 November 2016 pada 7:12 am #300362AzharKhoiriPeserta
Satee kambiiing…. mau mau mauuuuuu… kak kirim ke rumah satu porsi sate kambing mak supi doooongggg :PATAHHATI
-
25 November 2016 pada 1:28 pm #300491hizteriezPeserta
-
25 November 2016 pada 2:26 pm #300519faidarPeserta
Cinta terakhir yg berakhir di pelaminan lrbih indah dari pada cinta pertama #sokbijak. Btw ada rujak buah bikin ngiler :strawinlove
-
25 November 2016 pada 2:40 pm #300526
-
25 November 2016 pada 2:54 pm #300541Author2Keymaster
Baguusnya au suka, entah kenapa kalo baca ini kenikmatannya kaya baca cerpen terbaik majalah femina atau cerpen sastra mingguan kompas. Auranya membumi, bikin kita seolah-olah hadir di sana dan ngerasain sendiri. Tatanan bahasanya juga apik mengalir buat dinikmati. Au tiba2 aja ga kerasa baca udah ending
Penjabaran tentang makanannya pas dan bikin laper, jadi inget waktu jaman kos kuliah dulu… ibu au masak kering tempe ditaroh di toples2 au bawa merantau. Jadi kalo lagi ga punya duit au masak nasi patungan ama anak kos lain sambil lauknya kering tempe trus kalo pas ada rejeki bisa pake lauk telor asin huwaaaaaa ini bener2 bawa kenangan nostalgia, ampe nyesek pas liat gambarnya
:PATAHHATI
Cinta disini adalah cinta realita, tokoh2nya digambarkan bijaksana, susanto yg katanya pemuda nakal pun punya kebaikan hati untuk tidak merusak wanita yang memujanya, kirana juga memiliki kedewasaan perempuan yg masih mau memakai logika dan tidak buta oleh cinta, sosok suami kiran yg porsinya cuma sedikit pun juga bisa tetap tampil unik di sini, suami yang bijak dan sayang istri.
Cerpen ini paket lengkap antara love story, warming heart& pesan moral bahwa cinta pertama itu bukan mutlak harus jadi, kita harus berani kasih kesempatan hati buat kasih cinta kedua dst karena save the best for the last
:BAAAAAA
Yang terakhir itu warung mak supi kok ada beneran, kasih tau alamatnya dong huhuhu, au mau jajan sate, gule ama nasi ramesan kering tempe ama telor asin
:DOR!
-
25 November 2016 pada 7:39 pm #300743faidarPeserta
@hizteriez yuk ngerujak. kamu yang nyediain semuanya ya aku tggal menikmati saja.
-
-
25 November 2016 pada 3:49 pm #300568
-
25 November 2016 pada 6:04 pm #300670whysulis4Peserta
Gulenya bikin ngilerrr,,dingin2 gini makan gule ducchh sedaap kayaknya,,,bikin laper,, iya cinta pertama mmg jarang kesampean,,, cerita yg bagus
-
25 November 2016 pada 6:45 pm #300706hizteriezPeserta
@whysulis4 segeeeer gulenya wkwkwkwk , emg cinta pertama itu cm utk pelajaran cinta bkn utk bersatu hihihi
:PATAHHATI
:PATAHHATI
-
26 November 2016 pada 1:57 am #300989AyeshanissaPeserta
Mbaaaa….aq kebanfun tengah malem, tadi blm makan malem…dan sekarang aq lapeeerrr…ngiler bayangin sate kambingnya mak supi :gulung2 :mengamuk
Tanggung jawab pokoknyaa :DOR! :DOR!
Daebak mba riisss :inlovebabe
-
26 November 2016 pada 3:10 am #300992hizteriezPeserta
Kk @ayeshanissa aaaak makasih udh bca :cintakamumuach
Ak jg lafaar ni kbgn malem2 :PEDIHH
-
26 November 2016 pada 12:46 pm #301289DeviRatih3Moderator
Mba riiiiiiiisssssss masya allah , jadi itu pa anto saingan pa rian, #ehh hehehe
Ih itu makanannya favorit aku semua,, kecuali gule, aku kurang suka,, ish bikin ngiler, tanggung jawab siang2 lho :( :DOR!
Bahasanya enak ko mba berasa ikut ada di cerita, jadi kaya langsung nonton gitu,, aduhh itu tempe kering ny ya Allah #stiker.doa
Sekarang lebih bahagia ya mba,, dengan cinta kedua, cinta pertama ga mesti harus yg terakhir
Aku jadi inget cinta pertama ku jg :( :ASAHPISAU2
-
26 November 2016 pada 1:07 pm #301315hizteriezPeserta
@deviratih3 kwwkwkwkk sssst, makasi udh dbca
Km lafaaar?? Makaan
Naaah carilaaah cinta keduamu? Semangaaaat yaaaa
:BAAAAAA
-
27 November 2016 pada 3:35 pm #302191Author4Keymaster
Udah tau akhir bulan tapi si histeriez dengan teganya mengangkat tema makanan dengan menu mahal yak
:ASAHPISAU2
Sate kambing, gule, tongseng godaan tanggal tua, kaga mampu beli :PATAHHATI
Nah ini tokoh susanto kok kaya au. Pemuda desa yang kaga modal dan kaga punya nyali buat ngelamar anak gadis orang karena tau kalo anak gadis itu berhak dapat pria lain yg lebih bisa membahagiakannya, tapi au kaga mabok ama maen perempuan lho, jadi pingin nyanyi lagu susanto susanto susanto kalo gede mau jadi apa wadooh au jadi tekanan batin neh :GERAAH
Au suka penyusunan kata-katanya, bagus dan kaya yang @author2 bilang, ini macam cerpen bikinan tokoh angkatan66 yang mengangkat tema membumi, bisa baca contohnya yg judul #robohnyaSurauKami, gaya bahasa mengalir, apa adanya, membumi dan yang pasti nikmat dibaca
Banyak hikmah di sini terutama buat cewek cewek yg lagi nyari jodoh, jangan hanya dibutakan cinta carilah laki yg bertanggung jawab, bisa menghidupi kamu, jauhilah yg macam susanto apalagi yg suka mabok ama maen perempuan, judi, kaga ada masa depannya
Btw menu kering tempe itu menu wajib di warteg, au makan pake nasi anget+ telor ceplok,karena telor asin itu mahal
:PATAHHATI
-
27 November 2016 pada 4:18 pm #302209hizteriezPeserta
@author4 hizteriez auuu,, bukan histeriez
:ASAHPISAU2
Hahhaha jd sy termasuk angkatan jadul yak wkwkwkw , makaasih komennya auuu ,smoga menaaang.. Amin..amin
Au mw telor asin? Sy krim via gojek yaaaaa?????
:aaaKaboor
:aaaKaboor
Last , semangaat ya auuu melamar anak orang,semangkaaaaa!!!!
-
27 November 2016 pada 4:33 pm #302224pinkeuuuPeserta
Yaaahhhh, sayangnya aku gak bisa makan sate kambing huhuhu
-
27 November 2016 pada 4:36 pm #302228
-
3 Desember 2016 pada 11:47 pm #309015LydiaMarcella_PutriPeserta
@hizteries bagus banget cerpen mu kakkk…aku jd Salut deh. …emg bener kadang cinta pertama gk selalu indah. ..padahal blom pernah sk org.
Note :nyesek gk baca cerpen ini sebelumnya….
-
4 Desember 2016 pada 12:16 am #309029LestaaPeserta
save dulu, pengin baca xD
-
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.