Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Forum Kepenulisan › [LOMBA CERPEN KULINER] PICK ME UP?
- This topic has 8 balasan, 5 suara, and was last updated 7 years, 12 months yang lalu by AzharKhoiri.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
-
13 November 2016 pada 9:10 pm #293195AzharKhoiriPeserta
Author: AzharKhoiri
Genre: Romance
“Apakah kau masih lelah?”
Lobi fakultas teknik hari ini ramai seperti hari-hari biasanya. Mahasiswa-mahasiswi tampak bergerombol di depan ruang masing-masing kelas yang akan mereka ikuti. Di sudut-sudut lobi terdapat beberapa stand milik Unit Kegiatan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan yang sedang mengadakan open recruitment. Suara mereka terdengar riuh bersahut-sahutan, nyaris seperti bisingnya pasar.
“Masih sedikit mengantuk, tapi sudah lebih baik. Kau tahu Bumi, pukul tiga dini hari tadi terdapat panggilan emergency di Jalan Taman Siswa.” Bulan mengusap kedua matanya malas sambil terus berjalan menuju ruang kelasnya yang kebetulan hanya berjarak dua ruangan dengan ruang kelas Bumi. Hari memang sudah siang, tapi ia baru bisa beristirahat pukul delapan pagi setelah semalam begadang piket ambulance hingga pukul tujuh pagi tadi. Matanya masih terasa berat, membuatnya ingin sekali bergelung bersama guling di kamar kosnya jika tidak mengingat siang ini dosennya akan mengadakan kuis.
Bumi mengacak poni tebal Bulan lembut, membuatnya berantakan. “Ada kejadian apa di sana?” tanyanya tanpa memperdulikan Bulan yang merengut kesal karena rambutnya menjadi acak-acakan. Ia hanya mengulum senyum kecil melihat Bulan yang mencebikkan bibir lalu sibuk merapikan poninya dengan jari-jari tangan sembari menggerutu.
Selalu saja begitu. Bulan yang sangat menjaga penampilannya agar selalu terlihat rapi kapan pun dan di mana pun ia berada akan sangat kesal jika ada orang yang mengacak-acak rambutnya, sedangkan Bumi yang jahil akan dengan senang hati mengacak-acak rambut Bulan di setiap ada kesempatan.
Bulan dan Bumi merupakan teman sepermainan sejak mereka berumur empat tahun. Dari taman kanak-kanak hingga kini menginjak bangku kuliah, Bulan dan Bumi selalu bersama seperti sepasang anak kembar. Rumah keduanya yang bersebelahan membuat keduanya semakin tidak terpisahkan. Bumi seolah telah menjelma menjadi pelindung Bulan yang pada masa kecilnya sering sakit-sakitan. Bahkan Bumi dengan senang hati akan menemani Bulan bermain boneka di dalam kamar ketika Bulan sedang tidak enak badan di saat teman-teman lelaki seusianya sedang bermain bola di lapangan kompleks perumahan mereka.
Sebenarnya dua tahun lalu Bumi telah diterima di salah satu universitas negeri di Semarang, namun karena Bulan memutuskan untuk berkuliah di Yogyakarta, maka Bumi pun memilih untuk ikut mendaftar ke universitas yang sama dengan Bulan dan melepas kesempatannya untuk masuk ke universitas negeri tersebut. Saat itu Bulan adalah orang yang paling keras mementang keputusan Bumi yang memilih untuk mengikuti dirinya berkuliah di Yogyakarta, tetapi Bumi mengabaikan segala protes Bulan dan tetap pada keputusannya untuk ikut berkuliah di universitas yang sama dengan Bulan.
“Kau adalah gadis paling ceroboh yang kukenal, aku tidak akan tenang jika kau merantau sendirian di sana. Kau tentu tidak ingin jika aku tidak berkonsentrasi saat kuliah nanti bukan? Kau tahu, jika itu terjadi tentu saja nilaiku pasti menjadi hancur dan aku tidak bisa lulus tepat waktu. Jadi sekarang tutup mulutmu dan biarkan aku memutuskan apa yang terbaik untukku sendiri!”
Jawaban Bumi saat Bulan memintanya membatalkan niat untuk berkuliah di Yogyakarta itu selalu terngiang di benak Bulan hingga kini, meninggalkan rasa hangat yang nyaman di hatinya.
Saat ini Bulan dan Bumi menempuh pendidikan di universitas yang sama, Bumi menempuh pendidikan S1 jurusan teknik mesin sedangkan Bulan menempuh pendidikan S1 jurusan teknik arsitektur.
“Kecelakaan lalu lintas tunggal.” Bulan menjawab singkat dan sedikit ketus. Ia lalu balas menarik rambut hitam sepundak Bumi yang hari ini diikat separuh membentuk bun keras-keras, membuat Bumi meringis kesakitan. Tidak ada raut bersalah atau kasihan sedikit pun di wajah Bulan ketika melakukannya. Sudut bibir kirinya justru terangkat ke atas, membentuk seringai penuh rasa puas.
“Hey!” Bumi mencoba melepaskan cengkeraman tangan Bulan dari rambutnya, “Ini sakit sekali kau tahu!” protesnya kesakitan.
Dari dulu Bulan tidak pernah berubah, tetap saja barbar. Meski begitu, tetap saja Bumi sering kali menggangu Bulan dengan alasan yang sama, yaitu melihat Bulan yang sedang murka tampak begitu lucu dan menggemaskan baginya.
Bulan mendecih. “Memang itu tujuanku, dasar bodoh! Lagi pula aku sudah memberitahumu untuk tidak lagi menyentuh rambutku, kau saja yang bebal!”
“Kau itu kasar sekali! Aku ragu jika kelak akan ada pria yang mau menjadi pendamping hidupmu.” gerutu Bumi setelah Bulan melepaskan jambakannya. Kulit kepalanya terasa perih. Bumi yakin sekali jika di tangan Bulan pasti terdapat helaian rambutnya yang rontok. Jangan salah, meskipun penampilan luar Bulan tampak feminin dengan rambut hitam panjang bergelombang sepanjang panggul dan poni tebal yang menutupi dahinya, namun kekuatannya saat mengamuk tidak jauh berbeda dengan preman pasar.
“Katakan hal itu sekali lagi dan aku akan memastikan tulang keringmu patah saat itu juga!” ancam Bulan sembari bersedekap angkuh. Ia kemudian menelengkan kepalanya sedikit dan menatap Bumi tepat di manik mata dengan senyum miring yang tercetak di bibirnya. “Lagi pula jika tidak ada lagi pria yang mau menjadi pendamping hidupku, masih ada dirimu. Benar kan, Bumi?”
***
Obat-obat berserakan di lantai posko bersama tiga buah kotak obat yang dua di antaranya terbuka. Di sudut posko, baling-baling kipas berputar perlahan, sedikit menyejukkan panasnya suasana siang ini. Beberapa hari belakangan Yogyakarta rasanya begitu panas. Matahari bersinar terik, membuat siapa pun enggan untuk berlama-lama berada di bawah paparan sinarnya. Suara televisi yang menyala mengisi keheningan posko karena orang-orang yang ada di dalamnya terlalu sibuk menyiapkan kit obat-obatan untuk sekedar bercakap-cakap.
“Nida!” Bulan melongok ke luar pintu posko, mencari sosok Nida yang sedang mencari nasal kanul di lemari yang terletak di depan posko. “Persediaan asam mefenamat dan antasida habis.”
“Benarkah? Aku baru saja membelinya dua minggu yang lalu, bagaimana bisa habis secepat ini?” Nida balas bertanya sembari berjalan mendekati Bulan. Ia lalu berjongkok untuk ikut mencari asam mefenamat dan antasida di kotak persediaan obat.
Bulan mengerucutkan bibirnya. “Kau itu tidak percaya sekali padaku.” ujarnya sambil bersedekap. Ia lalu memilih untuk menyenderkan tubuhnya di kusen pintu, terlalu malas untuk kembali berjongkok.
“Bukannya tidak percaya,” Nida menoleh ke arah Bulan sesaat lalu kembali mencari obat-obat itu, “hanya saja kau itu sangat ceroboh dan tidak teliti.”
“Itu sama saja kau tidak percaya padaku!” gerutu Bulan kesal. Mata sipitnya yang berwarna cokelat gelap ia buka lebar-lebar. Bulan sedang berusaha untuk mengintimidasi Nida dengan pelototannya, hal yang sepertinya gagal karena Nida hanya menggedikkan bahunya tidak acuh.
Perdebatan seperti ini sering kali terjadi ketika Bulan dan Nida selaku anggota divisi admin sedang mengisi ulang kit obat untuk penjagaan ataupun peminjaman. Bulan yang –seperti telah dikatakan oleh Nida– sering kali tidak teliti saat mencari obat-obatan yang tersimpan rapi di kotak persediaan obat mereka. Hal itu biasanya akan berakhir dengan Bulan yang memberengut dan Nida yang tersenyum puas saat menemukan obat yang tidak dapat ditemukan oleh Bulan.
Hari ini Bulan dan Nida harus menyiapkan peralatan yang akan dibawa untuk melakukan penjagaan bagi BEM Fakultas Pertanian yang dua hari lagi akan mengadakan malam keakraban di Gunung Kidul, tepatnya di Pantai Pok Tunggal yang terkenal akan sebatang pohon duras yang tumbuh rindang di bibir pantainya. Pantai ini memiliki hamparan pasir putih dengan deburan ombak biru yang begitu cantik. Selain itu, barisan tebing karang yang mengitari pantai seperti banteng menambah keindahan pemandangan yang ada.
Nida mengerutkan keningnya ketika tidak menemukan satu pun asam mefenamat dan antasida di kotak persediaan obat. “Kenapa tidak ada?” tanyanya bingung lebih kepada diri sendiri. Padahal ia baru saja membeli persediaan kedua obat itu dua minggu yang lalu dalam jumlah yang cukup banyak, jadi rasa-rasanya tidak mungkin jika obat-obat itu sudah habis secepat ini.
“Aku sudah memberitahumu,” Bulan menatap Nida dengan pandangan mencibir, “kau saja yang keras kepala dan tidak mau mempercayai kata-kataku.”
“Tapi aku baru saja membelinya. Tidak mungkin jika obat sebanyak itu habis dalam jangka waktu dua minggu.” balas Nida tidak mau kalah.
“Tapi nyatanya tidak ada satupun yang tersisa saat ini. Ayo, lebih baik kita segera membelinya!” ujar Bulan lalu mengambil kunci motornya yang berada di atas meja komputer. Ia lebih dulu keluar dari posko dan memilih untuk menunggu Nida sambil memakai sepatunya.
Nida mendesah pelan. “Ya, ya, ya.” malas-malasan ia bangkit dari posisinya setelah merapikan obat-obat dan kotaknya yang berserakan. Dalam hati Nida mencibir. Ia tahu pasti alasan Bulan lebih dahulu keluar dari posko yaitu supaya Bulan tidak perlu membantu membereskan kekacauan ini.
“Oh, iya,” Bulan hanya melongokkan kepalanya dari pintu masuk karena malas jika harus melepas sepatunya kembali, “kita isi ulang tabung oksigen sekaligus, okay!”
***
“Eh?” Bulan memekik bingung ketika tabung oksigen di tangannya telah berpindah tangan. Ia menoleh ke kanan dan mendapati Matahari tersenyum kecil ke arahnya sebelum lebih dulu berjalan menuju posko sambil mendorong tabung oksigen yang tadi dibawanya, meninggalkan dirinya yang masih mematung di depan gedung student center. Karena sudah terbiasa mendapati tingkah aneh Matahari, Bulan hanya menggedikkan bahunya tidak acuh lalu kembali berjalan.
Matahari adalah salah satu teman seperjuangan Bulan ketika menempuh pendidikan dan pelatihan dasar KSR dulu. Selama masa sulit itu, Matahari adalah orang yang paling pendiam di antara calon anggota lainnya. Meskipun begitu, ia adalah orang pertama yang akan mengajukan diri untuk menolong teman-temannya yang kesulitan. Matahari juga merupakan sosok yang rendah hati. Menjadi seorang mahasiswa jurusan pendidikan dokter tidak lantas membuat Matahari merasa lebih tinggi dan pintar dari calon anggota lain yang rata-rata berasal dari jurusan non medis.
Secara fisik, Matahari bisa digolongkan dalam kategori tampan. Wajahnya manis khas seorang pria jawa dengan kulit sawo matang. Rambutnya ikal berwarna cokelat gelap dan dipotong pendek karena mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Keperawatan memang dilarang memanjangkan rambutnya melebihi tengkuk. Matahari juga memiliki manik mata hitam pekat yang selalu memancarkan sinar lembut dan menentramkan, membuat siapa pun akan betah berlama-lama menatapnya.
“Aku lapar.” keluh Bulan begitu memasuki posko. Ia melemparkan kunci motornya ke sembarang arah, menimbulkan bunyi gemerincing keras ketika kunci itu berbenturan dengan lantai keramik.
Mustika meliriknya kesal, merasa terganggu karena suara lemparan kunci Bulan tadi membangunkannya dari tidur. “Kalau kau lapar, makan! Bukannya merajuk dan membanting barang-barang seperti bocah taman kanak-kanak!” ujarnya setengah menggerutu lalu berbalik badan, mencoba untuk kembali terlelap.
Tidak merasa bersalah sedikit pun karena telah mengganggu tidur Mustika, Bulan hanya mendecakkan lidah tidak peduli.
“Nida, ayo makan!” ajak Bulan saat Nida memasuki posko. Ia memang berpisah dengan Nida tadi setelah menurunkan tabung oksigen di depan gedung student center karena Nida harus mengumpulkan tugasnya terlebih dahulu.
“Ah, maaf, aku sudah ada janji makan siang dengan Hasan.” jawab Nida yang sebenarnya tidak bermaksud untuk meminta maaf sama sekali lalu membereskan barang-barangnya yang ada di posko.
“Yah.. batalkan saja!” rajuk Bulan dengan bibir mengerucut. “Kau kan hampir setiap hari makan siang bersamanya, luangkanlah sedikit waktumu untukku!”
Nida mengangkat sebelah alisnya. “Memang kau pikir siapa dirimu sampai-sampai aku harus membatalkan janjiku dengan Hasan, hmm?” cibirnya lalu meninggalkan posko setelah terlebih dahulu menjulurkan lidahnya mencemooh ke arah Bulan.
“Dasar menyebalkan!” gerutu Bulan. Bibirnya mencebik dan keningnya mengerut kesal. Andai saja saat ini Bumi tidak memiliki jadwal praktikum pasti ia tidak akan kebingungan untuk mencari teman makan dan langsung mengajak Bumi yang sudah pasti akan menyanggupinya.
Matahari yang sedari tadi hanya berdiam diri di kursi depan meja komputer akhirnya berjalan mendekati Bulan dan menepuk kepala bagian belakang Bulan lembut. “Ayo pergi!”
“Apa?” tanya Bulan bingung.
“Kau mau makan, bukan? Ayo kita pergi!” jelas Matahari lalu terlebih dahulu keluar posko.
Mata Bulan berbinar senang. “Kau mau menemaniku makan? Kau tidak berbohong, kan?”
“Tentu saja aku serius. Ayo cepat!”
Tanpa harus disuruh dua kali, Bulan langsung menyusul Matahari dengan bersemangat dan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Area kampus selain gedung student center sudah tampak sepi. Di parkiran hanya tersisa beberapa motor milik mahasiswa-mahasisiwi yang masih memiliki kegiatan organisasi mengingat saat ini adalah malam minggu, malam di mana banyak orang lebih memilih untuk menghabiskan waktu di rumah atau berjalan-jalan bersama dengan pasangan dan keluarga daripada berlama-lama berada di kampus.
Langit malam ini tampak hitam tak berbintang, hanya terlihat bulan keperakan yang sesekali mengintip di balik pekatnya awan mendung. Angin berhembus kencang, membuat bulu roma berdiri tegak dan tubuh menggigil. Beberapa lampu yang ada di parkiran mati, membuat pencahayaan semakin temaram namun justru terasa syahdu.
“Kau belum pulang?”
Rapat koordinasi untuk penerimaan anggota baru KSR baru saja selesai. Rapat yang cukup menguras tenaga dan pikiran karena seperti biasa, terdapat beberapa perbedaan pendapat di sana-sini. Menyatukan belasan kepala dalam satu kesatuan memang sulit, namun setelah beberapa perdebatan panas akhirnya kesepakatan dapat juga dicapai.
“Eh, ya,” Bulan mengalihkan pandangannya sejenak dari layar smartphone-nya dan menatap Matahari dengan senyum kecil, “lagi pula aku tidak mungkin berada di sini kan kalau diriku sudah pulang?”
Matahari terkekeh saat mendengar jawaban Bulan. “Kenapa?” tanyanya lagi.
“Kenapa apanya?” Bulan balas bertanya karena tidak memahami pertanyaan Matahari. Kepalanya meneleng ke samping dan dahinya mengerut bingung.
“Kau akan cepat keriput jika terus-terusan mengerutkan keningmu.” mengabaikan pertanyaan Bulan, Matahari mengulurkan tangannya untuk mengusap kerutan di dahi Bulan menggunakan jari-jarinya.
Bulan terkesiap lalu secara reflek mundur dua langkah ke belakang. Selama mengenal Matahari, baru kali ini Bulan disentuh secara intim oleh Matahari. Membuatnya begitu terkejut dan jantungnya berdebar penuh antisipasi.
“Ah,” Matahari menarik tangannya canggung. Ia menggaruk tengkuknya sembari menatap Bulan dengan tatapan bersalah. “maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu tidak nyaman.”
Menganggukkan kepalanya ragu-ragu, Bulan mencoba tersenyum kecil. Senyum yang tidak dapat mencapai matanya. “Ya, tidak apa-apa. Aku saja yang sedikit berlebihan tadi.” jawabnya sedikit terbata di beberapa kata.
“Jadi,” Matahari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, “kenapa kau belum pulang?” tanyanya lagi untuk mengalihkan pembicaraan.
“Oh, itu,” Bulan kembali melirik layar smartphone-nya lalu menghembuskan napas lelah untuk yang kesekian kalinya ketika tidak mendapati satupun notifikasi chat balasan dari Bumi. “pagi tadi Bumi berjanji untuk menjemputku, jadi aku menunggunya.”
“Kau sudah menghubunginya? Mungkin saja dia lupa.”
Bulan menggeleng-geleng cepat. Rambutnya yang hari ini ia jalin menyamping ikut bergoyang mengikuti gerakan kepalanya. “Bumi tidak mungkin lupa. Selama ini dia selalu menepati janjinya dan tidak pernah sekali pun mengingkarinya. Aku justru khawatir jika terjadi sesuatu padanya karena dia tidak membalas satu pun chat yang aku kirim.”
“Coba kau telepon dia.”
“Sudah, tapi dia tidak mengangkatnya.”
“Kalau begitu, bagaimana jika aku saja yang mengantarmu pulang? Ini sudah terlalu larut, tidak baik jika anak gadis masih berada di luar rumah sendirian. Lagi pula anak-anak KSR yang lain sudah pulang, hanya tersisa kita berdua.” tawar Matahari sembari menyisir rambut ikalnya menggunakan tangan.
“Aku tidak bisa. Aku takut jika nanti Bumi datang menjemputku dan menjadi panik jika tidak menemukanku di sini.” tolak Bulan sembari menggigiti bibir bagian bawahnya, bentuk dari rasa khawatir, takut, juga tidak enak yang sedang dirasakannya. Bulan merasa khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk pada Bumi, takut karena malam semakin larut tetapi ia belum berada di kos, serta tidak enak karena telah menolak penawaran tulus dari Matahari.
Matahari menggedikkan bahunya ringan. “Kalau begitu biarkan aku menemanimu hingga Bumi datang untuk menjemputmu.” ia menatap Bulan dengan manik matanya yang segelap langit malam ini. “Oh, dan tidak ada penolakan kali ini karena aku memaksa.”
***
“Terima kasih karena telah mengantarku, Matahari. Maaf tidak bisa menawarkanmu untuk mampir terlebih dahulu karena ini sudah sangat larut, bisa-bisa aku dipanggang oleh ibu kos.” ucap Bulan tulus. Ia menghadiahkan senyum terbaiknya untuk Matahari sebagai bentuk dari rasa terima kasihnya.
Tadi, setelah menunggu lebih dari satu jam dan waktu hampir mencapai tengah malam, akhirnya Bulan menerima tawaran Matahari untuk mengantarnya pulang karena Bumi tidak juga muncul. Rasa kecewa menyeruak di hati Bulan, bercampur dengan kekhawatiran karena baru kali ini Bumi mengingkari janjinya.
Matahari membalas senyum Bulan dengan senyuman yang sama tulusnya. “Ya, tidak apa-apa. Lagi pula aku juga harus segera pulang, aku takut ibuku khawatir jika aku belum sampai di rumah padahal sudah menjelang dini hari.”
“Maafkan aku. Gara-gara menemaniku kau jadi harus pulang tengah malam begini.” Bulan meremas-remas kedua tangannya di depan dada. Ia merasa begitu bersalah karena keegoisannya membuat Matahari menjadi ikut susah.
“Tidak perlu meminta maaf, toh aku yang memaksa untuk menemanimu, bukan?” Matahari menepuk kepala Bulan lembut, “Kalau begitu cepat masuk lalu beristirahatlah. Aku akan pergi setelah kau masuk terlebih dahulu.”
Bulan menganggukkan kepalanya. “Eum.. Hati-hati di jalan ya, sampaikan salamku untuk ibumu.”
***
Bulan mengernyitkan kening ketika memasuki kamar kosnya dan tidak mendapati Bintang di dalamnya.
Bintang merupakan adik Bulan yang berumur 17 tahun, dua tahun di bawah Bulan. Sudah satu setengah bulan ini Bintang tinggal bersama dengan Bulan karena ia sedang menempuh pendidikan S1 jurusan Manajemen di universitas yang sama dengan Bulan dan Bumi.
Jika dilihat secara fisik dan kepribadian, Bulan dan Bintang memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Perawakan Bintang tinggi semampai dengan tubuh yang liat, berbeda dengan Bulan yang bertubuh pendek dan tampak rapuh. Bulan merupakan sosok yang feminin, namun bisa menjadi sangat barbar jika dikonfrontasi. Sifatnya juga manja karena meskipun dia merupakan anak sulung, tetapi fisiknya yang memang lemah sejak kecil membuat ayah dan ibunya begitu memanjakannya. Sedangkan Bintang yang penampilannya seringkali tampak urakan dan terlihat tomboy dengan rambut pendek berpotongan bob justru lebih lembut jika bersikap dibanding Bulan. Ia juga sangat mandiri dan dewasa, hasil dari tempaan bertahun-tahun di mana perhatian ayah dan ibunya lebih sering tercurah untuk Bulan.
Meskipun tidak mendapat perhatian kedua orangtuanya sebanyak Bulan, Bintang tidak pernah menaruh rasa iri kepada Bulan. Ia paham betul jika Bulan memang membutuhkan perhatian khusus karena Bulan sering kali keluar masuk rumah sakit semenjak kecil. Toh Bintang tahu meski perhatian ayah dan ibunya tidak terbagi rata, namun cinta keduanya untuk dirinya dan Bulan sama besarnya. Namun tidak bisa dipungkiri jika terkadang ia juga merasa kecewa ketika ayah dan ibunya memberi perhatian lebih kepada Bulan di saat ia juga sangat membutuhkannya. Seperti beberapa bulan lalu ketika dia tidak lolos ujian SBMPTN, kedua orangtuanya malah meninggalkan dirinya di Bandung sendirian untuk menjenguk Bulan yang terkena demam tinggi di Yogyakarta karena Bulan terus-menerus memanggil keduanya saat terlelap.
Bulan sendiri terkadang merasa menjadi kakak yang gagal bagi Bintang. Ia merasa jika dirinya tidak cukup baik untuk dapat dipanggil kakak. Perhatian kedua orangtuanya yang lebih sering tercurah untuknya sebenarnya menjadi beban tersendiri bagi Bulan. Seringkali Bulan mendapati ekspresi sedih di wajah Bintang di saat ayah dan ibunya lebih menomorsatukan dirinya dibanding Bintang, namun adiknya itu hanya diam tanpa memprotes sedikit pun.
“Kemana perginya anak itu?” Bulan berjalan mondar-mandir sambil terus berusaha menghubungi Bintang. Ia sungguh khawatir. Tidak biasanya Bintang belum berada di kos selarut ini, padahal hari-hari yang sebelumnya Bintang pasti sudah berbaring dengan setumpuk buku di atas kasur ketika jarum panjang dan pendek jam sudah berada tepat di angka delapan.
Bulan mendecakkan lidahnya kesal. “Ada apa dengan orang-orang malam ini? Tidak Bumi, tidak Bintang, mengapa tidak ada satu pun dari mereka yang mau mengangkat panggilanku?” gerutunya kesal.
Setelah berjalan modar-mandir mengelilingi kamar kosnya lebih dari setengah jam, Bulan akhirnya menyerah dan memilih untuk merebahkan tubuhnya di kasur. “Sudahlah, mungkin saja Bintang sedang menginap di kos temannya dan lupa mengabariku.” ujarnya sembari menghembuskan napas panjang-panjang, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Bulan lalu memejamkan matanya, mencoba untuk terlelap. Ia sudah terlalu lelah dan jam juga sudah menunjukkan pukul satu dini hari, padahal besok pukul tujuh pagi dia sudah harus berada di Markas Kota untuk penjagaan ADD.
“Semoga mereka berdua baik-baik saja.”
***
Bulan berjalan terburu-buru menyusuri lorong-lorong rumah sakit swasta yang berada di dekat Malioboro dengan ditemani oleh Matahari yang berjalan rapat di belakangnya.
Pagi ini, saat Bulan baru saja sampai di Markas Kota untuk melakukan penjagaan ADD bersama Matahari dan beberapa anak KSR dari unit lain, Bumi akhirnya menghubunginya. Dengan suara yang sedikit terbata, Bumi memberitahunya jika Bintang sedang dirawat di rumah sakit karena kemarin malam, sekitar pukul tujuh Bintang mengalami kecelakaan beruntun di Jalan Wates. Motor yang berada tepat di depan Bintang tiba-tiba saja terjatuh, membuat Bintang dan dua pengendara motor lain di belakangnya yang tidak sempat menghindar ikut terjatuh.
Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan tersebut, tapi sampai saat ini salah satu korban masih mendapat perawatan intensif di ICU karena mengalami cedera spinal yang cukup parah. Bulan sendiri tidak henti-hentinya mengucap rasa syukur karena berdasarkan informasi yang didapatnya dari Bumi, Bintang hanya mengalami retak tulang di bagian lutut serta luka gores di beberapa bagian tubuh tanpa cedera yang serius.
Tadi, saat melihat Bulan yang begitu panik setelah mendapat kabar mengenai kecelakaan Bintang sampai-sampai berulang kali gagal memasukkan kunci motornya dengan benar, Matahari lalu berbaik hati mengantar Bulan ke rumah sakit tempat Bintang dirawat. Matahari juga yang menguatkan dan menenangkan Bulan selama perjalanan dari Markas Kota ke rumah sakit tempat Bintang dirawat.
“Bin–” kata-kata Bulan terhenti di tenggorokan segera setelah dia membuka pintu kamar rawat Bintang. Jantungnya berdebar dengan cepat dan napasnya serasa tercekat.
Di sana, di tengah ruangan yang didominasi warna putih dan hijau, tebaring Bintang yang tampaknya masih tertidur pulas dengan perban yang membalut beberapa bagian tubuhnya serta jarum infus yang menancap di lengan kirinya. Namun bukan itu yang membuat Bulan begitu terkejut sehingga ia tidak bisa berkata-kata, melainkan tindakan Bumi yang sedang menunggui Bintang.
Tepat ketika Bulan membuka pintu tadi, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri jika Bumi tengah mencium kening Bintang dengan lembut dan penuh perasaan sedang tangan kanannya tampak begitu berhati-hati saat mengusap kepala Bintang yang terbalut perban. Tatapan mata Bumi terpaku pada wajah Bintang, sorot matanya sarat akan kasih sayang, cinta, dan rasa damba yang menggebu-gebu. Tatapan yang belum pernah Bulan lihat selama belasan tahun mengenal Bumi.
Matahari yang juga melihat kejadian tadi menepuk kepala Bulan lembut. “Ayo masuk!” ajaknya dengan senyum menenangkan.
Bulan meremas-remas kedua tangannya. Ia begitu khawatir mengenai keadaan Bintang, tapi masuk ke dalam sama saja dengan menyiksa diri sendiri. Menyadari perasaan Bumi yang sesungguhnya terhadap Bintang membuat hatiya terasa begitu sakit. “Aku, aku tidak yakin bisa berada di antara mereka berdua.” Bulan berucap lirih dan sedikit terbata. Air mata sudah menggenang di kedua pelupuk matanya.
Sepertinya Bumi terlalu larut dalam pikirannya sendiri sehingga tidak menyadari kehadiran Bulan dan Matahari, apalagi dengan posisi duduknya yang memang membelakangi pintu. Ia masih tampak begitu serius membelai rambut Bintang dan mengelus pipinya dengan sayang.
“Kau tidak perlu berlama-lama di dalam. Cukup pastikan jika adikmu baik-baik saja lalu kita bisa pergi.” Matahari menatap Bulan dengan tatapan mata menguatkan. “Bukankah kau begitu khawatir mengenai keadaan adikmu, hmm?”
“Tapi, tapi..”
Matahari menangkup wajah Bulan dengan kedua tangan lalu mendongakkannya sehingga mata mereka bisa saling bertatapan. “Masuklah! Aku akan terus berada di sampingmu.” ia mengusap setetes air mata yang telah mengalir dari mata kiri Bulan menggunakan ibu jarinya, “Setelah ini aku berjanji akan mengajakmu bersenang-senang.”
“Kau janji?”
“Ya, tentu saja!”
***
“Bukankah kau sudah berjanji untuk mengajakku bersenang-senang,” Bulan mengamati keadaan di sekitarnya dengan kening berkerut, “kenapa kau malah mengajakku ke sini?”
Saat ini Bulan sedang berada di rumah Matahari yang bernuansa alami pedesaan. Rumah Matahari merupakan rumah satu lantai yang temboknya terbuat dari batu bata merah yang disusun rapi dan sengaja tidak ditutup menggunakan semen untuk mempertahankan kesan tradisionalnya. Kursi-kursi dan meja yang terbuat dari anyaman bambu yang berwarna kuning gading tersusun rapi di bagian teras, dekat dengan pot-pot bunga mawar berbagai warna. Halaman rumahnya sendiri begitu luas dan tampak rindang karena dinaungi oleh berbagai pohon buah-buahan yang di antaranya tergantung ayunan sederhana yang terbuat dari tali tambang dan papan kayu. Di sebelah kiri ayunan itu, terdapat kolam ikan kecil berbentuk bulat yang terbuat dari bebatuan alam berwarna hitam. Airnya begitu jernih, menampilkan ikan nila merah dan hitam yang saling berkejaran mengitari kolam.
“Ayo masuk!” ajak Matahari tanpa mengindahkan pertanyaan Bulan sebelumnya. Ia menggenggam tangan Bulan, membimbingnya untuk menaiki tangga menuju teras rumah. Kemudian dengan sebelah tangannya yang bebas, Matahari membuka pintu rumahnya yang terbuat dari kayu jati berwarna hitam.
Seperti bagian luarnya, bagian dalam rumah Matahari juga terlihat alami sekali dengan berbagai perabotan yang rata-rata terbuat dari kayu jati berwarna cokelat muda yang pada bagian ujung-ujungnya diberi aksen hitam terbakar. Dari perabotan-perabotan itu aroma kayu yang menguar terasa begitu mendominasi, menciptakan rasa hangat yang nyaman. Foto keluarga Matahari tersusun rapi pada dinding sisi kiri ruangan, menampilkan potret keluarga bahagia antara Matahari dengan kedua orangtuanya. Di beberapa sudut ruangan diletakkan pot tanaman hias yang berukuran cukup besar, membuat kesan segar bagi siapa saja yang melihatnya.
Bulan mencebikkan bibirnya. “Kau tidak menjawab pertanyaannku.” rajuknnya sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal saat berjalan.
“Jadi kau tidak suka berada di sini?” Matahari balas bertanya. Ia melirik Bulan sekilas lalu kembali memfokuskan pandangannya ke depan. Matahari terus menuntun Bulan melewati ruang tamu untuk masuk lebih dalam lagi, menuju ke bagian belakang rumahnya.
“Bukan, bukan begitu!” Bulan menggeleng-gelengkan kepalanya panik, merasa tidak enak kepada Matahari. “Hanya saja aku tidak paham mengapa kau mengajakku ke rumahmu padahal tadi kau berjanji untuk mengajakku bersenang-senang.”
Matahari mengangkat sebelah alisnya. “Jadi menurutmu rumahku tidak menyenangkan dan kita tidak bisa bersenang-senang di sini, hmm?”
“Bukan itu juga maksudku, astaga!” Bulan mendecakkan lidahnya kesal. “Kenapa sekarang kau menjadi sangat menyebalkan, huh?”
“Hahaha.. Iya, aku tahu. Maafkan aku.” tertawa lepas, Matahari lalu mendudukkan Bulan di salah satu kursi dapur, “Tapi jangan meragukan janjiku! Aku bisa menjamin kita akan bisa bersenang-senang di sini.”
“Di sini? Di dapur ini?” Bulan bertanya ragu-ragu. Seumur hidupnya baru kali ini Bulan berada di dapur lebih dari lima menit. Biasanya ia hanya berada di dapur jika hendak mengambil minuman atau makanan yang disimpan oleh ibunya di dalam lemari es.
Matahari menganggukkan kepalanya dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya. “Ya, di dapur ini.” ia menatap Bulan lurus-lurus, tepat di manik mata, “Percayalah padaku!”
***
Bulan memasukkan satu sendok penuh ice cream ke dalam mulutnya. “Kau tahu Matahari, kupikir nantinya aku dan Bumi akan berakhir bersama sebagai pasangan kekasih, bukan sahabat.”
“Hmm..” Matahari hanya menggumam sebagai jawaban sembari mengeluarkan beberapa kantung barang dari lemari kabinetnya.
“Bumi dan aku telah menjadi sahabat sejak kami kecil, dan sepertinya akan terus begitu.” Bulan kembali menyendok ice cream penuh-penuh langsung dari kotaknya, “Bukankah seharusnya teman sejak kecil itu berakhir menjadi sepasang kekasih?”
Matahari menutup pintu lemari es lalu meletakkan sekotak telur dan beberapa kotak lain di meja dapur tempat Bulan memakan ice cream. “Sepertinya kau terlalu banyak membaca novel dan menonton drama roman picisan.” komentarnya singkat.
“Bisakah kau hanya mendengarkanku dan menutup mulutmu rapat-rapat?” Bulan menatap Matahari dengan sengit, “Lagi pula di antara banyak waktu yang ada, mengapa kau memilih saat ini untuk menjadi sangat cerewet dan menyebalkan, hmm?”
“Ya, ya, ya.. Aku akan menutup mulutku rapat-rapat.”
Bulan mengangguk-anggukkan kepalanya puas. “Ya, begitu lebih baik.”
Tersenyum geli, Matahari lalu mulai mengeluarkan beberapa mangkok, sendok, mixer, dan beberapa peralatan lain. Di matanya, Bulan saat ini tampak begitu lucu. Pipi Bulan tampak menggembung dipenuhi ice cream, hidungnya merah, sedang matanya sembab dan bengkak karena terlalu banyak menangis.
“Aku tidak menyangka jika pada akhirnya menjadi seperti ini.” Bulan mengusap air matanya yang kembali mengalir menggunakan lengan kausnya, “Aku bahkan tidak tahu sejak kapan Bumi memiliki perasaan seperti itu kepada adikku.”
“…”
“Kenapa jadi seperti ini? Apakah Bumi selama ini tidak pernah menyadari perasaanku padanya?”
“…”
“Padahal Bumi selalu ada untukku selama ini, selalu bersamaku. Apakah semua perhatian Bumi padaku itu sama sekali tidak ada artinya baginya?” air mata Bulan semakin deras, ia mulai terisak-isak.
“…”
Melihat Matahari yang hanya sesekali meliriknya sekilas sambil tetap menyusun berbagai barang di atas meja dapur membuat Bulan kesal. Ia menatap Matahari tajam menggunakan mata sipitnya. “Matahari! Kenapa kau hanya diam saja? Apa kau tidak melihat jika aku sedang bersedih? Kenapa kau tidak menghiburku?” protesnya dengan nada tinggi.
Matahari menghentikan kegiatannya lalu menatap Bulan dengan kening berkerut. “Bukankah tadi kau yang menyuruhku untuk menutup mulut rapat-rapat?”
“Tapi, tapi..” Bulan memutar otak untuk membalas perkataan Matahari. Beberapa saat kemudian karena terlalu kesal tidak bisa menjawab, Bulan akhirnya memilih untuk diam dan mencebikkan bibir.
“Tapi apa, hmm?”
“Sudahlah lupakan!” Bulan menyusut air mata dan ingusnya menggunakan tisu yang ada di atas meja lalu membuangnya ke tempat sampah yang ada di pojok dapur, “Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan?” tanyanya kemudian untuk mengalihkan pembicaraan.
Matahari melirik semua benda yang telah tertata rapi di depannya. “Oh, ini,” ia lalu melemparkan senyum manis ke arah Bulan, “kita akan bersenang-senang dengan membuat cake.”
“Cake?” tanya Bulan sembari mengerutkan kening.
“Ya, kita akan membuat tiramisu cake.”
***
Tiramisu cake merupakan kue keju khas Italia bertekstur lembut yang pada bagian atasnya diberi taburan bubuk kakao. Kue ini disajikan sebagai hidangan penutup yang begitu memanjakan lidah dengan perpaduan sempurna dari rasa kopi dan keju yang kuat. Cara pembuatannya cukup mudah dan tidak memerlukan proses pemanggangan. Bahan-bahannya pun tidak terlalu banyak, hanya biskuit lady finger, telur, gula pasir, keju mascarpone, whipping cream dingin, kopi instan, dan cokelat bubuk.
“Apa kau yakin jika kau bisa memasak? Kau tahu, aku tidak memiliki pengalaman sama sekali di dapur, jadi aku tidak bisa membantumu jika kau menghancurkan dapur ini.”
“Tentu saja. Menjadi anak satu-satunya membuatku harus menguasai berbagai hal yang seharusnya diajarkan ibuku jika saja ia memiliki seorang anak perempuan.” Matahari menggulung lengan kemejanya, “Jadi kau tidak perlu khawatir. Cukup duduk manis dan lihat baik-baik kehebatanku, okay!”
Pertama-tama, Matahari merendam biskuit lady finger ke dalam larutan kopi yang telah disiapkannya beberapa saat yang lalu di dalam mangkok berukuran sedang dan membiarkannya agar meresap. Seperti namanya, bentuk biskuit ini mirip seperti jari-jari tangan yang gemuk dan bertekstur lembut seperti sedikit melempem. Biskuit lady finger berwarna cokelat keemasan yang pada bagian atasnya terdapat taburan gula, membuat rasanya menjadi perpaduan antara gurih dan manis yang begitu nikmat. Biskuit lady finger memiliki daya serap yang tinggi, salah satu alasan mengapa biskuit ini dijadikan bahan dasar pembuatan tiramisu cake.
Setelah memastikan semua biskuit lady finger miliknya terendam larutan kopi, Matahari kemudian memisahkan empat buah kuning telur dari putih telurnya dan mengocoknya cepat di dalam mangkok yang cukup besar. Lalu secara perlahan ditambahkannya gula pasir ke dalam magkok tersebut sembari terus dikocok hingga adonan itu berwarna kuning pucat.
Bulan memperhatikan Matahari sembari terus memakan ice cream miliknya yang hanya tinggal seperempat kotak. “Omong-omong, di mana kedua orangtuamu? Kenapa sepi sekali?” tanyanya kemudian untuk memecah keheningan.
“Sekarang masih pukul sepuluh pagi, tentu saja mereka sedang berada di kantor dan baru akan pulang pukul lima sore nanti.” jawab Matahari sambil mengeluarkan keju mascarpone dari dalam lemari es. Ia memang baru mengeluarkan keju mascarpone saat dibutuhkan, bukannya bersama dengan bahan-bahan yang lain karena keju ini mudah rusak jika berada di suhu ruangan.
Keju mascarpone merupakan keju segar dari Italia yang dibuat dengan menggunakan krim dari susu sapi. Karena dibuat menggunakan krim, keju mascarpone digolongkan menjadi keju krim. Warna keju ini putih atau kuning dan teksturnya begitu halus dan lembut. Kandungan lemak yang tinggi dalam keju mascarpone membuatnya terlihat gemuk dan berminyak. Saat masih segar, bau susu dan krim yang kuat akan menguar dari keju ini. Begitu dicecap, keju mascarpone akan menyuguhkan rasa segar dan manis yang begitu memanjakan lidah.
“Ohh..” Bulan membulatkan bibirnya. Dalam hati ia merasa begitu lega dan bersyukur mengetahui jika hanya ada dirinya dan Matahari di rumah ini. Entah akan ditaruh di mana mukanya nanti jika kedua orangtua Matahari melihatnya menangis tadi, ia pasti akan merasa sangat malu.
Suasana kembali hening. Bulan kembali memakan ice cream dalam diam sedangkan Matahari kembali berkonsentrasi pada adonan kuenya.
Matahari memasukkan 250 gram keju mascarpone ke dalam adonan kuning telurnya tadi lalu mengocoknya kembali. Kali ini ia mengocoknya perlahan menggunakan sendok kayu besar karena jika dikocok menggunakan mixer keju mascarpone akan menjadi rusak. Setelah semua tercampur dengan rata, Matahari kini mulai menambahkan whipping cream dingin ke dalam adonan sembari terus mengaduknya perlahan-lahan sampai semuanya menyatu dengan sempurna.
“Adonannya sudah jadi,” Matahari meletakkan sendok kayunya beberapa saat kemudian lalu menatap Bulan dengan senyum lembut, “apakah kau mau membantuku untuk menatanya?”
Bulan menggigiti bibirnya ragu. Sebenarnya ia ingin melakukannya karena hal itu sepertinya akan menyenangkan, tapi ia takut jika ia hanya akan mengacau saja nantinya. “Aku tidak tahu, aku tidak ingin menghancurkan kue buatanmu.”
“Tenang saja, ini mudah. Kemarilah, aku akan mengajarimu!”
Perlahan Bulan bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekati Matahari.
“Lihat, lakukan seperti ini!” ujar Matahari ketika Bulan sudah berada tepat di sampingnya.
Matahari mengambil beberapa potong biskuit lady finger yang telah direndam dalam larutan kopi dan menatanya ke dalam loyang berukuran kecil secara perlahan, sengaja agar Bulan memiliki waktu yang cukup untuk mengikutinya. Setelah itu ia menuangkan adonan keju mascarpone yang tadi telah dibuatnya lalu meratakannya hingga seluruh permukaannya tertutup. Matahari kemudian kembali menyusun potongan biskuit lady finger di atas permukaan lapisan pertama tadi dan menutupnya lagi menggunakan adonan keju mascarpone. Hal itu ia lakukan hingga membentuk tiga lapisan di mana lapisan yang paling atas merupakan adonan keju mascarpone yang lembut. Pada lapisan teratas, Matahari lalu memberikan taburan bubuk kakao sebagai finishing.
“Bagaimana, mudah bukan?” tanya Matahari setelah ia dan Bulan selesai menata adonan tadi menjadi tiramisu cake yang begitu menggugah selera. Ia kemudian memasukkan dua loyang tiramisu cake itu ke dalam lemari es agar teksturnya menjadi sedikit keras dan tidak terlalu lembek saat dimakan nanti.
Bulan mengangguk-anggukan kepalanya bersemangat. “Ya, mudah sekali! Rasanya juga sangat menyenangkan!” jawabnya dengan senyum lebar. Ia tidak berbohong, menyusun adonan tadi sungguh menyenangkan baginya. Ingin rasanya ia melakukannya lagi dan lagi.
“Benar bukan kataku, kita dapat bersenang-senang di sini.” ujar Matahari dengan senyum yang sama lebarnya, “Baiklah, ayo kita bereskan semua ini sembari menunggu tiramisu cake tadi mengeras!”
Mengabaikan ajakan Matahari untuk membereskan kekacauan bekas mereka membuat tiramisu cake tadi, Bulan bertanya tiba-tiba, “Kau berjanji untuk mengajakku bersenang-senang, kan?”
Matahari mengerutkan keningnya. “Ya. Aku bahkan sudah menepati janjiku itu, bukan?” jawabnya setelah beberapa saat hanya terdiam.
“Kalau kau memintaku membereskan semua kekacauan ini,” Bulan menggedikkan dagunya ke arah benda-benda yang berserakan di depannya, “berarti kau mengingkari janjimu. Kau tahu, itu bukanlah hal yang menyenangkan.” ujarnya dengan raut wajah yang ia buat sepolos mungkin.
Mendecakkan lidahnya, Matahari lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Baiklah, kau tidak perlu membereskan kekacauan ini,”
Bulan tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.
“tapi sebagai gantinya kau tidak boleh memakan tiramisu cake tadi. Bagaimana, kau setuju bukan?” lanjut Matahari dengan kilat licik di manik matanya.
Membelalakkan matanya lebar-lebar, Bulan lalu mencebikkan bibirnya. “Hey, kau itu jahat sekali!”
***
Sembari menunggu tiramisu cake tadi siap untuk disajikan, Bulan memilih untuk menghabiskan waktu di halaman rumah Matahari. Ia sedari tadi sibuk bermain air dengan mencelupkan kakinya di kolam ikan, membiarkan ikan nila merah dan hitam yang berada di kolam itu mengerumuni kakinya, membuatnya kegelian.
Setelah puas bermain air, Bulan lalu memilih untuk bermain ayunan, hal yang begitu digemarinya sejak ia kecil.
Dulu sekali, ketika senja telah menjelang, Bulan akan bermain ke rumah Bumi yang memiliki ayunan yang persis sama dengan ayunan milik Matahari ini dan meminta Bumi untuk mengayunkan dirinya yang sudah duduk manis di atas ayunan. Selalu begitu setiap sore, Bulan berada di atas ayunan dan Bumi berada di belakangnya untuk mengayunkannya dengan senang hati. Ketika itu, meskipun Bumi tidak pernah mendapatkan giliran menaiki ayunan saat bermain dengan Bulan, Bumi tidak pernah mengeluh. Bumi pasti akan ikut tertawa jika Bulan tertawa bahagia saat ayunan yang dinaikinya berayun dengan kencang.
Kenangan demi kenangan antara dirinya dan Bumi berputar dalam benak Bulan. Setiap tawa, tangis, gurauan, juga ejekan antara Bumi dengannya menyerbu dalam satu waktu, membuat air matanya secara otomatis mengalir dengan deras. Bumi yang jahil, Bumi yang manis, Bumi yang perhatian, Bumi yang menyebalkan, Bumi yang bertanggung jawab, Bumi yang lembut, dan terutama Bumi yang merupakan pahlawannya. Setelah ini semua pasti akan berubah. Bulan tidak akan lagi bisa menatap Bumi dengan cara yang sama.
“Hkk..” Bulan menutup bibirnya menggunakan kedua tangan, mencoba menahan isakannya. Hal yang sia-sia karena isakannya justru semakin keras.
Kenyataan jika dirinya dan Bumi tidak akan pernah menjadi sepasang kekasih dan akan terus menjadi sahabat selamanya begitu menyakiti Bulan. Padahal menjadi kekasih Bumi merupakan mimpi Bulan sejak ia masih kecil, sejak Bumi pertama kali hadir dalam hidupnya belasan tahun yang lalu.
“Aku baru meninggalkanmu beberapa menit dan kau sudah kembali menangis.” Matahari berjalan mendekatinya dengan satu piring kecil tiramisu cake di tangannya, “Sepertinya aku memang harus terus berada di sisimu, hmm?”
Bulan megusap wajahnya secara serampangan menggunakan lengan kausnya. “Apa yang kau bawa?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Untuk saat ini Bulan sedang tidak ingin membicaarakan tentang tangisannya tadi agar air matanya tidak kembali mengalir.
Memahami kemauan Bulan, Matahari menjawab singkat, “Tiramisu cake.”
“Apa sekarang aku sudah bisa memakannya?” tanya Bulan lagi. Matanya berbinar-binar penuh semangat segera setelah mengetahui jika Matahari sedang membawa tiramisu cake yang sedari tadi ia nanti-nantikan.
“Ya,” Matahari menggantungkan kalimatnya lalu berjalan perlahan hingga berada tepat di hadapan Bulan yang tengah duduk manis di atas ayunan. Dengan sebelah tangannya yang bebas, Matahari mengusap air mata Bulan dan menarik ujung bibir Bulan untuk menciptakan sebuah senyuman. “tapi kau harus menghentikan air matamu dan tersenyum dahulu untuk mendapatkannya!”
Bulan terkesiap. Ini kali ketiga Matahari menyentuhnya dengan begitu intim, dan lagi-lagi hal itu membuat jantungnya berdebar kencang.
“Ayo tersenyum, jangan hanya menatapku seperti itu!” ujar Matahari saat mendapati Bulan hanya terdiam dengan mata yang membelalak lebar menatapnya. Ia lalu memperlihatkan tiramisu cake di tangannya ke hadapan Bulan. “Atau kau memang tidak berniat memakan ini, hmm?”
“Mau, mau! Tentu saja aku mau!”
“Kalau begitu cepat hapus air matamu dan berikan senyum terbaikmu untukku!”
Tanpa diminta untuk yang kedua kalinya Bulan segera menyusut air matanya menggunakan kedua tangan lalu menampilkan senyum terbaiknya di hadapan Matahari.
Matahari tersenyum puas lalu mengangsurkan tiramisu cake di tangannya kepada Bulan yang langsung menerimanya dengan suka cita. “Nah, kau tampak mempesona saat kau tersenyum seperti ini, jadi terus tersenyum, okay!”
Bulan sudah tidak lagi memperhatikan apa yang dikatakan oleh Matahari. Fokusnya sepenuhnya tertuju pada tiramisu cake yang dipotong asimetris di pangkuannya. Aroma kopi menguar kuat dari tiramisu cake ini. Teksturnya tampak begitu basah dengan bubuk kakao pekat yang menutupi seluruh permukaannya.
Memasukkan satu sendok kecil tiramisu cake ke dalam mulutnya, Bulan nyaris saja mendesah bahagia merasakan adonan keju mascarpone dan krim yang terasa begitu lembut di lidah. Tiga lapis biskuit lady finger yang terdapat di dalamnya terasa pahit khas kopi dengan tekstur yang juga lembut. Rasa manis gurih dari krim keju berpadu dengan rasa pahit dari kopi dan bubuk kakao dengan sempurna.
Segera setelah Bulan menelan potongan tiramisu cake yang terdapat di mulutnya, rasa pahit manis yang menyenangkan tertinggal di pangkal lidahnya, membuatnya tersenyum lebar dengan mata membalalak senang.
“Sepertinya benar.”
Bulan mengernyitkan kening lalu menghentikan makannya sejenak. “Apanya yang benar?”
“Tiramisu memiliki arti yang unik, yaitu cheer me up karena begitu memakannya orang akan merasa bahagia dan bersemangat.” Matahari menghentikan perkataannya sejenak lalu mengambil alih sendok Bulan dan menyuap sepotong kecil tiramisu cake di tangan Bulan, “Sepertinya itu benar.”
“Benarkah?” Bulan mengerjap-ngerjapkan matanya takjub.
Matahari menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Kau terlihat bahagia sekarang, jadi kurasa itu benar.”
Kemudian hening. Hanya terdengar gemericik aliran air terjun kecil yang dibuat melingkar seperti batu karang di tengah kolam ikan juga suara desau angin yang sesekali berembus lembut.
Bulan kembali mengambil alih sendoknya lalu melanjutkan menikmati tiramisu cake miliknya yang tertunda sedangkan Matahari memilih untuk memperhatikan Bulan dalam diam.
“Bulan, Bintang, Bumi, dan Matahari. Penguasa langit dengan kisah yang menarik.” suara Matahari memecah kesunyian.
Untuk yang kedua kalinya Bulan menghentikan suapannya, namun kali ini ia memilih untuk diam dan menunggu Matahari untuk melanjutkan ucapannya.
“Bulan terlalu tergila-gila pada Bumi sehingga sepanjang hayatnya ia hanya menghabiskan waktu untuk mengelilingi Bumi yang nyatanya justru lebih tertarik pada kilau Bintang yang benderang mengalahkan cahaya lembut Bulan, membuat cahayanya menjadi redup karena dirundung kesedihan. Bulan terlalu fokus kepada Bumi hingga ia tidak menyadari jika dari jauh ada yang memperhatikannya, memberinya kekuatan agar ia dapat terus bersinar menerangi langit malam. Sosok yang memendam kecemburuan dalam diam dan memilih untuk terus melindunginya di kejauhan.” Matahari menatap manik mata Bulan dalam-dalam, “Ia adalah Matahari.”
Bulan masih terdiam, mencoba meresapi perkataan Matahari baik-baik.
“Jadi apa jawabanmu?”
Bulan mengerjap bingung. “Jawaban apa?” tanyanya kemudian setelah tersadar dari lamunan. Seingatnya Matahari bahkan tidak bertanya apapun padanya sejak tadi dan hanya terus bercerita.
“Tiramisu, selain memiliki arti cheer me up juga memiliki arti lain yang mewakili pertanyaanku saat ini.”
“Apa,” Bulan balas menatap Matahari penasaran, “apa pertanyaanmu?”
“Pick me up?”
***
-
14 November 2016 pada 12:55 am #293299Author4Keymaster
Salah besar baca nih cerita malam malam karena mengundang lapar :PATAHHATI
Tadinya pas judulnya pick me up, author pikir ini delivery order makanan nih wkwk
Yang pertama kali menarik perhatian author adalah nama yang dipakai, ya pemilihan nama yang cerdas : bumi, bulan, bintang, matahari
Dan setelah baca makna dari semua nama itu author jadi makin kagum
“Bulan terlalu tergila-gila pada Bumi sehingga sepanjang hayatnya ia hanya menghabiskan waktu untuk mengelilingi Bumi yang nyatanya justru lebih tertarik pada kilau Bintang yang benderang mengalahkan cahaya lembut Bulan, membuat cahayanya menjadi redup karena dirundung kesedihan. Bulan terlalu fokus kepada Bumi hingga ia tidak menyadari jika dari jauh ada yang memperhatikannya, memberinya kekuatan agar ia dapat terus bersinar menerangi langit malam. Sosok yang memendam kecemburuan dalam diam dan memilih untuk terus melindunginya di kejauhan.” Matahari menatap manik mata Bulan dalam-dalam, “Ia adalah Matahari.”
Wow keren perumpamaannya :PATAHHATI
Kisah ini menarik tentang cinta bertepuk sebelah tangan rangkap dua, untung mereka menemukan kebahagiaan masing2 meskipun bulan belum memberi jawaban di endingnya, tapi author berasumsi kalo jawabannya “YES!!”
lagipula, siapa sih yang bisa nolak laki bisa bikin tiramizu? Kayanya cewe cewe suka ama laki yg pinter masak ya, apalah arti au yg cuma bisa masak indomi :TERHARUBIRU
-
14 November 2016 pada 5:34 am #293410edelweismekarharumPeserta
keerreeennn smoga menang ya cerpennya. Btw itu klo mau bkin cakenya bisa pke biskuit lain gk?? roma marie misalnya? krn sprtinya aq blm prnh liat biskuit itu di daerahku
-
14 November 2016 pada 5:38 am #293413AzharKhoiriPeserta
@Author4 hehehe.. makasih kak au udah mau mampir baca :KISSYOU
Tapi kata siapa coba Bulan mau bilang “yes”? Orang Bulan aja belom bilang apa-apa. Atau ternyata kakak keturunan peramal yak? wkwkwk :BAAAAAA
-
14 November 2016 pada 5:43 am #293414AzharKhoiriPeserta
@edelweismekarharum aamiin… hehehe.. Aku belum pernah bikin tiramisu pake biskuit marie, jadi nggak tau bisa atau nggak. Tapi setauku sih kalo bikin tiramisu bisa pake sponge cake kalo nggak ada lady finger :MAWARR
-
14 November 2016 pada 5:52 am #293420sellpitPeserta
Kereeeeeennn duh bikin laper… Apalagi ngebayangin tiramisunya… Jadi pengen makan hahaha…
Bulan belom jawab iyaaaaa… Gak ikhlas ini end nya ngegantung :TERHARUBIRU
-
14 November 2016 pada 8:26 am #293558AzharKhoiriPeserta
@sellpit makasih udah mampir hehehe.. kalo pingin tiramisu bikin aja, gampang kok. Atau beli, di toko kue banyaaakk :YUHUIII
Buat ending dibayangin sendiri sesuai keinginan yaa :BAAAAAA
-
27 November 2016 pada 11:14 am #302041DalpahandayaniPeserta
Cinta sendirian emang slalu sakit yah
kece ceritanya -
27 November 2016 pada 11:25 am #302042AzharKhoiriPeserta
@Dalpa iyaa, sakit banget rasanya :PEDIHH
-
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.