Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Forum Kepenulisan › Lomba Cerpen Kuliner ~ Oryza Sativa part 1
Di-tag: Lomba cerpen kuliner
- This topic has 4 balasan, 5 suara, and was last updated 7 years, 11 months yang lalu by faidar.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
-
25 November 2016 pada 8:51 pm #300781Ainindah_Peserta
Judul : Oryza Sativa
Author : dd
Jumlah hal : 19 lembar microsoft word, 6000+ kata.Ini~cerpen terpanjang dalam sejarah 17th dd hidup dan bernapas. Hahaha. ?
Dan karena ini terlalu panjaaaanggggg, dan gak bisa di post dari tadi—yg ternyata gara2 kepanjangan. baru nyadar #plak
jadi aku bagi 2, hahaha
???
Harum mentega berpadu dengan rempah-rempah yang sudah dihaluskan mengusik indra penciuman siapa pun yang berada di dalam dapur mungil ini. Uap panas mengepul dari dandang besar di sudut dapur, menguarkan aroma gurih nasi yang khas memanjakan hidung.
Di depan sana, seorang gadis bersurai hitam yang di gelung seadanya sedang sibuk berkutat dengan spatula dan penggorengan. Keningnya berkerut dalam, sedang wajahnya tampak begitu fokus pada kegiatannya menumis bumbu.
Titik-titik keringat mulai membasahi dahi hingga turun ke dagunya. Ia mengusap buliran itu cepat sebelum berbalik untuk mengambil senampan kecil bawang yang sudah ia iris tipis-tipis.
“Satu…dua…tiga…” bibir kemerahan itu bergumam, menghitung tiap takaran bumbu sebelum memasukkannya pada panci-panci berukuran sedang yang sudah tersusun pararel di atas perapian modern.
Gadis itu bisa mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu. Menumis bumbu, memasak beberapa macam kaldu, dan juga menanak nasi.
‘Tut…Tut… Tut…’
Bunyi-bunyian nyaring itu memecah konsentrasi sang gadis. Dia mematikan kompor tumisan bumbunya yang sudah matang, berwarna oranye terang dan menguarkan aroma gurih. Dengan segera ia beranjak menuju tungku di sudut dapur, mematikan api dan membuka penutupnya agar uapnya bisa keluar sempurna.
Gadis itu tersenyum lebar, menatap hasil karyanya dengan pandangan takjub. Akhirnya, setelah empat tahun belajar, ia bisa menanak nasi dengan sempurna. Tidak terlalu lembek dan juga tidak terlalu keras, nasi itu tampak kenyal menggoda dengan harum khasnya yang masih tercium pekat.
Dulu, yang bertugas menanak nasi adalah dia, lelaki dari masa kecilnya yang sangat lihai dalam mengolah nasi dan bahan makanan lain. Lelaki itu mempunyai sifat pekerja keras dan ulet, juga memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan tidak mudah menyerah.
Ah, tapi, itu sudah empat tahun yang lalu, ketika semuanya masih baik-baik saja.
“Kayla!” gadis itu tersentak saat sebuah suara meneriakkan namanya dengan nada nyaring. Ia menoleh, melihat Rasty baru saja masuk dengan penampilan acak-acakan.
Mata Kayla melotot tajam, memperingati sahabatnya agar tidak berbicara terlalu keras.
“Maafkan aku.” Rasty meringis bersalah sebelum berbalik dan menaruh tas selempang lusuhnya pada gantungan kecil yang menempel di belakang pintu.
Kayla menggeleng, kemudian melangkah cepat ke arah panci-panci kaldu yang ditinggalkannya tadi. “Tolong ambil nasinya Ras, taruh di tempat biasa,” pintanya.
“Siap bos!”
Kayla mempunyai sebuah tempat makan sederhana di pinggir kota, menjual berbagai olahan nasi karyanya sendiri, juga mengadaptasi berbagai kuliner yang sudah ada. Selain itu, ia juga menjual aneka kuah kaldu untuk teman makan nasi.
Kayla hanya merekrut tiga orang pekerja, diantaranya Rasty, sahabatnya dari SD. Tugas Rasty adalah membantunya memasak di dapur, sedang dua pekerja lain mengambil alih kasir dan melayani pelanggan.
Kayla memasukkan batang serai yang sudah ia paparkan ke dalam kuah kaldu yang sudah mendidih, lalu matanya melirik pada kertas kecil berisi pesanan pelanggan yang sudah menggantung di tali khusus yang menghubungkan area dapur dan kasir.
“Dua porsi nasi goreng seafood dan jus mangga.” Kayla membaca pesanan itu dengan suara pelan. Ia melirik pada wadah bumbu nasi gorengnya,
“Ah, Rasty, nasinya sudah kan? bisa tolong bawa kemari?” gadis itu mengeraskan suaranya, sedang kedua tangannya mulai menyiapkan berbagai peralatan memasak.
“Oke!” lima detik kemudian, Rasty sudah berada di samping Kayla dengan sewadah nasi putih yang masih mengepul hangat.“Tolong buatkan jus mangga ya.”
Rasty menggaruk kepala belakangnya. “Eh, tapi nasinya belum aku ambil semua,” ujarnya sambil meringis.
Kayla memutar bola mata malas, lalu menyalakan kompor dengan api sedang. “Jika saja kamu bukan sahabatku, sudah aku pecat dari kemarin Ras.” Kayla berujar sinis, tidak menoleh sama sekali pada Rasty yang kini malah terkekeh.
“Salahkan saja nasinya yang terlalu banyak. Ah, jika saja Jaka Tarub tidak membuka tutup pancinya Nawangwulan, pasti sekarang kita cuma butuh satu butir beras untuk dapat sepanci nasi.” Rasty menggerutu sambil beranjak menuju tungku untuk kembali mengambil nasi.
Kayla yang mendengar perkataan sambil lalu Rasty tampak menegang di tempatnya berdiri. Ucapan Rasty tadi, sama persis dengan ucapan dia, lelaki tempat Kayla memberikan seluruh cinta dan kenangan masa kecilnya. Dan~ pria itu juga yang meninggalkan Kayla empat tahun yang lalu tanpa kabar, tanpa kata perpisahan atau hanya sekedar lambaian tangan.
Gadis itu merasakan matanya memanas, mulai terselubung genangan air yang akan tumpah jika ia mengedipkan mata barang sekali saja. Mengingat lelaki itu…kenapa terasa sesakit ini? Kenapa Kayla tidak bisa melupakan tentangnya barang sejenak saja?
Ucapan lelaki itu empat tahun silam langsung terngiang di benak Kayla, membentuk rangkaian kejadian yang berputar bagai sebuah film diotaknya.
Kayla menatap lurus pada hamparan sawah di depannya. Senyumnya merekah kala melihat padi-padi yang mulai menguning dan merunduk, pertanda musim panennya telah tiba.
Di depan sana, para petani mulai menebas batang padi menggunakan sabit, lalu menumpuk hasilnya pada satu tempat sebelum kemudian dipisahkan antara padi dan batangnya dengan alat khusus.
Kayla tersenyum tipis saat melihat pemuda bercamping kebesaran itu mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangan. Di sebelahnya, seorang wanita paruh baya sibuk mengomentari hasil kerja si pemuda yang masih tampak berantakan.
Lelaki itu adalah Arkan, sahabat terbaiknya sejak kecil sekaligus kekasihnya. Sedang wanita tangguh itu adalah wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan Kayla hingga kini.
Kayla dibesarkan oleh padi. Pekerjaan ibunya hanya buruh tani dengan keadaan uang yang pas-pasan. Sang Ayah sudah meninggal sejak Kayla masih bayi, memaksa kehidupan sederhana untuk Kayla dan ibunya.
Gadis itu menggulung celana panjangnya hingga betis, kemudian melangkah perlahan menuruni pematang sawah, ikut bergabung dengan kedua orang yang sangat berharga dalam hidupnya.
“Hai pacar!” Kayla menyapa ramah. Gadis itu berjongkok di sebelah Arkan, mengamati tangan-tangan kokohnya yang menggenggam erat sabit.
Lelaki itu menoleh, wajahnya tampak merah terbakar matahari dengan noda tanah di banyak sisi. “Aku capek Kay.” Arkan berucap manja, “jika saja Jaka Tarub tidak membuka tutup pancinya Nawangwulan, pasti negara kita sudah makmur sekarang, tidak perlu bersusah payah untuk menanam banyak padi.” lelaki itu menggerutu sambil kembali mengayunkan sabitnya.
Kayla mengerutkan kening, yang ia tahu, Nawangwulan adalah seorang bidadari yang diambil selendangnya oleh Jaka Tarub hingga kemudian mereka menikah. Lalu, apa hubungannya dengan padi? “Bagaimana bisa?” tanyanya penasaran.
Arkan menghentikan gerakan, alis tebalnya menukik. “Kau tidak tahu? Dulu, saat Nawangwulan menikah, dia masih punya satu kekuatan. Yaitu membuat satu butir beras menjadi satu panci penuh nasi, asalkan suaminya itu tidak membuka tutup panci saat Nawangwulan memasak.”
Kayla menyuarakan protes. “Lalu apa hubungannya dengan masa sekarang? Itu cuma dongeng, Arkan.”
Arkan tertawa lebar, matanya menyipit dengan tangan yang memegang perut kegelian. Sabitnya sudah tergeletak tak berdaya di tanah. “Kau polos sekali, aku hanya bercanda Sayang.” ujarnya masih tersenyum geli.
“Kayla! Nasi gorengmu gosong!” gadis itu tersentak dari lamunannya. Ia berkedip dua kali sebelum benar-benar tersadar. Di depannya kini, terlihat uap hitam yang mengepul dari penggorengan berisi nasi yang sudah sepenuhnya gosong. Buru-buru Kayla mematikan kompor dan menaruh teflon itu pada kran yang mengalir.
Kayla mengusap wajah. Kenapa bayangan tentang lelaki itu selalu memecahkan fokusnya?
???
“Kau yakin tidak ingin pulang denganku?” Rasty datang dari arah ruang ganti, ditangan kanannya tersampir jaket berwarna biru dongker. Rambut hitam sebahunya tampak basah sehabis mandi.Kayla menggeleng. Kedua tangannya sibuk mengeluarkan seplastik tepung beras dari dalam bufet, kemudian menaruhnya pada wadah aluminium.
Hari ini, Kayla akan membuat kue pancong khas betawi. Kue itu berbentuk setengah lingkaran, terdiri dari campuran tepung beras, santan, kelapa parut, gula dan sedikit garam yang kemudian di panggang pada cetakan khusus.
Rasty berjalan mendekat sambil merapikan rambutnya yang belum sempat ia sisir. “Kenapa? Mampir ke panti lagi?”
“Hu’um.” Kayla membalas singkat. Jemarinya mulai menambahkan parutan kelapa ke wadah.“Ya sudah. Aku duluan ya?”
Kayla mengangguk. “Hati-hati Ras, dan jangan sampai sepeda kesayanganku rusak karena tingkah cerobohmu itu,” ujarnya memperingati.
Bukan tanpa alasan Kayla mengatakan itu, karena satu minggu yang lalu, setelah Rasty meminjam sepeda kesayangannya, ada bekas penyok di kerajang depan.
Rasty mencibir, “Mentang-mentang sepeda itu peninggalan Arkan, kamu jadi perhitungan sekali denganku.” gadis itu memeletkan lidah dan bergerak menjauh saat Kayla melayangkan tatapan tajam.
“Kupecat juga kamu lama-lana Ras!” teriaknya kesal.
Kayla berdecak saat mendengar tawa keras milik Rasty dan suara pintu tertutup.
Kayla menghela napas dan mulai menuangkan santan hangat perlahan-lahan pada wadah yang sudah berisi tepung beras dan parutan kelapa dan mengaduknya merata. Berhati-hati agar adonan yang ia buat tidak menggumpal. Setelah itu, Kayla memasukkan gula putih dan sedikit garam sambil terus mengaduk.
Berbeda dengan kue pukis yang bertekstur lembut dan manis, kue pancong lebih terasa gurih dan sedikit creamy karena menggunakan tepung beras dan parutan kelapa untuk bahan pembuatannya.
Gadis itu memanaskan panggangan khusus dan mengolesi tiap bagiannya dengan margarin supaya adonan tidak lengket ketika dipanggang nanti. Pelan, Kayla menuangkan adonan itu hingga setengah penuh, lalu menambahkan irisan pisang ambon untuk isiannya.
Aroma gurih mulai tercium seiring dengan adonannya yang setengah matang. Buru-buru Kayla menaburkan parutan keju di atasnya. Ah, membayangkan saat kue itu matang membuat perut Kayla bergejolak. Lidahnya sudah tidak sabar untuk mencicipi kue pancong yang gurih dan lembut, sedikit renyah di kulit luarnya. Apalagi saat potongan pisang itu tergigit bersamaan dengan melelehnya keju di mulut.
Manis, renyah, gurih, sedikit asin namun creamy di dalamnya.
Kayla menggeleng. Nanti, setelah semua tugasnya selesai, ia akan memakan semua ini dengan anak-anak, sepuasnya. Kayla mengangkat kue pancong yang sudah matang, menaruhnya pada piring besar untuk kemudian ia isi lagi dengan kue-kue yang lain.
Kayla melirik jendela yang terbuka di kiri dapurnya. Hari sudah beranjak sore, matahari bersinar semakin redup seiring dengan tubuhnya yang kian menghilang di pinggang bukit. Perpaduan warna oranye terang dan merah bagai sebuah lukisan di kanvas langit, memberikan pemandangan indah memanjakan mata.
Gadis itu menaruh cetakan kue terakhir pada piring dan menatap hasil kerjanya dengan sorot bahagia.

Kayla mulai membereskan peralatan dapur yang ia gunakan seharian ini, mencucinya hingga bersih untuk kemudian ia gantung pada tempatnya masing-masing. Gadis itu mengusap keringat di dahinya dengan lengan sebelum mengeringkan jemarinya pada lap yang menempel di dinding samping wastafel.
Ia menghembuskan napas lega, tugasnya di dapur sudah selesai hari ini, hanya tinggal mengantarkan kue pancong bertabur keju untuk anak-anak panti selepas magrib.
???
Gadis itu mengeratkan jaket saat udara dingin berembus menerpa. Di tangannya, terdapat sekotak kue pancong yang masih hangat dan menguarkan aroma gurih nan menggoda.
Malam sudah beranjak, sinar perak rembulan menerangi setiap langkah Kayla menyusuri trotoar jalan menuju rumahnya. Suasana malam ini entah kenapa begitu terasa hening dan mencekam, orang-orang yang biasanya berlalu lalang atau hanya sekedar duduk-duduk di kursi taman tidak terlihat sama sekali. Apa karena cuaca yang mendadak mendung?
Kayla mempercepat langkah. Hanya tinggal berbelok di gang sempit itu dan Kayla akan sampai di panti. Saat hendak berbelok, langkah Kayla terhalang sesuatu, sesosok tinggi dengan pakaiannya yang serba hitam. Kayla tidak bisa melihat sosok itu karena tubuhnya yang terlalu tinggi.
Jantung Kayla berdetak keras penuh antisipasi. Bagaimana jika sosok di hadapannya kini adalah orang jahat?
Kayla hendak memutar arah sebelum sebuah suara serak dan berat menginterupsi tindakannya.
“Apa yang berada di kotak yang kau bawa, Nona? Kenapa harumnya enak sekali?”
Kayla menegang. Suara itu…kenapa mirip sekali dengan dia? Suaranya sangat khas dengan nada serak dan ramah. Tapi, apa mungkin? Perlahan, Kayla mendongak, memastikan sendiri sosok menjulang itu.
Dan…saat melihat manik selembut karamel itu…
Tubuh Kayla mendadak beku dengan jantung yang memompa terlalu keras. Netranya terpaku pada satu titik,
Wajah pria itu masih sama persis seperti empat tahun yang lalu. Rahang kokoh, hidung mancung dan alis tebalnya yang khas masih sama, hanya saja ada jambang halus di sekitar dagu yang membuat lelaki itu tampak lebih dewasa dan matang.
“Hey! Kenapa melihat saya seperti itu?” Kayla berkedip dua kali sebelum tersadar. Tangannya terasa dingin dan gemetar, masih tidak percaya bisa bertemu kembali dengan dia setelah penantian yang seolah tak berujung.
Kayla mencengkeram erat pegangannya pada kotak, ia menggigit bibir bawahnya menahan gugup. “Saya…harus segera pergi,” ujarnya cepat dengan suara bergetar.
“Tunggu!” Kayla tidak jadi melangkah saat lengan kokoh itu menyentuh bahunya. Ia menatap takut pada Arkan, netranya sudah memerah menahan tangis.
Kayla…tidak sanggup melihat reaksi Arkan yang tidak mengenalnya. Lelaki ini sudah pasti sangat berbeda dengan Arkannya dulu. Walaupun hazel itu masih terasa hangat, tapi Kayla tahu benar jika hati dan pikiran Arkan sudah bukan lagi milik Kayla.
Kenapa? Kenapa pria itu tidak mengingat sama sekali tentang Kayla? Tentang sepuluh tahun kebersamaan mereka?
Lelaki itu menggaruk tengkuknya merasa aneh. “Em…apa aku boleh mencoba sesuatu yang berada di kotak yang kau bawa?” pintanya dengan wajah memelas. “sepertinya…aku merasa familier dengan harum ini.” Lanjutnya
.
Mau tak mau, Kayla tersenyum, senyum lega bercampur miris. Kue pancong ini adalah kue kesukaan Arkan. Dulu, Kayla sering membawakan kue ini ke panti, memakannya bersama Arkan dan anak-anak lain, kemudian tertawa bahagia dan bermain dengan riang.Saat tidak dalam masa tanam padi, ibu Kayla menjual kue pancong, berkeliling desa untuk menjajakan kue itu. Lalu, saat kuenya tidak terjual habis, sang ibu akan meminta Kayla memberi kelebihannya ke panti.
Gadis itu menghirup napas dalam untuk meredam segala emosi yang membuncah. Walaupun Arkan tidak sama lagi seperti dulu, Kayla tidak pernah membenci lelaki itu. Baginya, Arkan tetaplah Arkan, seorang pria tangguh yang pernah memberikan seluruh hatinya untuk Kayla.
“Tentu saja.” Kayla menjawab ramah, lalu membuka tutup kue itu, setengah gemetar ia menyerahkannya pada Arkan agar lelaki itu bisa mengambilnya sendiri.
Arkan mengambil satu kue dengan tatapan penuh binar, “Ini namanya kue apa?” tanyanya sebelum memasukkan kue hangat itu ke dalam mulutnya
.
“Itu kue pancong, kue tradisional khas betawi yang saya beri tambahan pisang dan keju.”Mata lelaki itu terpejam, meresapi tiap gigitan kue pancong yang terasa gurih dan lembut memenuhi mulutnya. Lelaki itu sedikit tertegun saat merasakan perasaan aneh di sudut hatinya, seperti ada sebuah kenangan yang menyeruak masuk, membelit kuat di sana hingga terasa membuncah.
Perasaan macam apa ini?
Arkan membuka maniknya perlahan, menatap Kayla dengan sorot kerinduan teramat dalam, ada dorongan kuat untuk memeluk gadis di depannya dan menggumamkan kata rindu berkali-kali.
Ia menggeleng, menghilangkan perasaan aneh itu sebelum berucap dengan nada penuh kagum. “Enak sekali! Rasanya benar-benar pas. Apa aku bisa mendapat yang lebih banyak?” netra karamel itu berbinar layaknya anak kecil yang masih polos.
Kayla tidak bisa menahan bibirnya untuk mengeluarkan tawa. Ah, lelaki itu masih terlihat sangat polos seperti dulu. Kayla menutup mulut dengan jemarinya untuk menghentikan tawa.
“Maafkan aku, tapi kue ini akan aku berikan pada anak-anak.” ucap Kayla setelah berhasil mengendalikan diri. Seulas senyum tipis terbit di bibir Kayla saat melihat kerutan samar di kening pria itu.
Lelaki itu tampak berpikir, “Bagaimana jika aku ke rumahmu saja? Aku ingin melihat proses pembuatan sekaligus memesan kue ini dalam jumlah banyak.”
“Aku tidak membuatnya di rumah,” Kayla berucap menyesal, “tapi kau bisa datang ke kedaiku besok sore.” gadis itu menunjuk sebuah kedai sederhana di ujung jalan, tampak terang karena lampu-lampu kecil yang ia pasang di pintu masuknya.
“Ah, jadi kau pemilik kedai Oryza Sativa?” Arkan berucap tak percaya, bola matanya membesar dengan bibir sedikit terbuka.
“Ya.” Kayla mengangguk singkat, lagi-lagi tersenyum geli melihat ekspresi Arkan.
“Wah, kau hebat! Temanku bilang, makanan di sana enak-enak sekali dan selalu ramai. Sayangnya aku belum sempat untuk berkunjung,” ujarnya antusias, namun terselip nada menyesal di kalimat terakhir.
Kayla mengibaskan tangannya ke udara. “Temanmu terlalu berlebihan, masakanku tidak seenak itu kok, masih lebih enak masakan…” Kayla menggantung kalimatnya. Hampir saja ia keceplosan menyebut nama Arkan. Yah, karena memang dulu, yang memasak di kedai Oryza Sativa memang Arkan, begitu juga dengan semua resep dan menu di sana. Kayla hanya sekedar membantu dan ikut patungan untuk modal awal mendirikan kedai.
Kayla ingat betul perjuangan Arkan saat membangun kedai itu. Ia bahkan rela bekerja di sawah menemani ibu Kayla saat masa panen tiba, hanya mendapat uang tak seberapa yang kemudian ia tabung sedikit demi sedikit untuk menambah penghasilan tetapnya sebagai pelayan salah satu restoran terkenal.
Lelaki itu mengerutkan kening, “Masakan siapa?”
“Bukan siapa-siapa, lupakan saja.” Kayla membalas cepat. Buru-buru ia menutup kembali kotak kuenya, “aku harus segera pergi,” lanjutnya sambil bergerak melewati Arkan.
“Ah, tunggu! Aku belum tahu namamu, Nona.” Arkan mengeraskan suara, menatap punggung mungil Kayla yang kini sudah berjarak lima langkah darinya.
“Kau bisa memanggilku Kayla.” gadis itu balas berteriak tanpa menoleh ataupun menghentikan langkah.
“Sampai jumpa, Kayla. Dan kau bisa memanggilku Arkan.”
Setitik air mata jatuh di pipi Kayla. Dadanya terasa hangat saat mendengar Arkan memanggil namanya. Akhirnya, setelah penantian selama empat tahun, Kayla bisa bertemu kembali dengan teman masa kecilnya, seorang lelaki tangguh yang pandai membuat hati siapa pun terpikat dengan rasa masakannya, juga kelembutan hatinya yang masih polos.
Terlebih, untuk Kayla yang selalu belajar banyak dari Arkan.
Kayla mengusap air matanya, kemudian mengukir senyum saat melihat anak-anak sudah menunggu kehadirannya di teras panti. Seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun berlarian untuk memeluk Kayla.
“Kakak bawa apa hari ini?” tanya anak itu ceria. Ia mendongakkan wajah sambil menatap Kayla dengan binar polos.
Ah, anak kecil ini selalu mengingatkan Kayla pada Arkan saat pria itu berusia sepuluh tahun. Dulu, sehabis pulang sekolah, Kayla akan bermain ke panti untuk menemui lelaki itu. Lalu mengajaknya ke sawah untuk mencari keong emas atau hanya sekedar menangkap capung.
“Ayo ke dalam dulu,” ajaknya sambil menggandeng tangan mungil anak itu.
Saat Kayla sampai di dalam, anak-anak sudah duduk rapi di kursinya masing-masing, menatap Kayla dengan binar kekanakan yang masih alami.
Kayla mulai membuka kotak kuenya dan membaginya sama rata. Bibirnya tersenyum lebar kala melihat betapa lahapnya mereka memakan kue pancong buatan Kayla.
Ternyata~ makanan sesederhana apa pun, jika kita memakannya dengan penuh rasa syukur, maka akan terasa lebih nikmat. Tidak perlu mewah atau menghabiskan banyak uang untuk sepiring makanan. Cukup dengan rasa syukur dan kehangatan dari orang-orang yang kita cintai saja.
???
Arkan datang ke kedai milik Kayla lebih awal. Lelaki itu sengaja ingin mencicipi menu masakan khas di sini, sekaligus melihat cara gadis itu memasak.
Pandangan Arkan mengedar. Kedai ini tampak ramai dengan pengunjung, juga dengan meja-meja yang hampir terisi penuh. Suasana kedai ini terasa santai dan nyaman dengan dominasi kayu serta ukiran tradisional. Dari lantai hingga dindingnya terbuat dari kayu jati yang sudah dipoles hingga mengkilat. Di sebelah kanan, ada sebuah air mancur kecil yang mengeluarkan bunyi gemercik menenangkan dengan tumbuh-tumbuhan hijau segar di sekelilingnya.
Entah kenapa, saat memasuki kedai ini, Arkan merasa kembali ke rumahnya yang seharusnya. Tempat ini begitu nyaman dan menenangkan, terasa familier. Mungkin Arkan akan sering menghabiskan waktunya di sini mulai sekarang.
Arkan memilih duduk di pojok kiri kedai, tepat di sebelah taman yang dibentuk persawahan mini, ditata sedemikian rupa hingga membentuk miniatur pohon padi yang mulai berwarna kuning keemasan dan merunduk, pertanda masa panennya telah tiba. Tanpa sadar, bibir Arkan mengukir sebuah senyuman.
Saat melihat miniatur sawah itu, hati Arkan terasa menghangat. Seperti ada perasaan asing menyenangkan hingga membuat dadanya membuncah bahagia. Seperti~sebuah kerinduan yang telah terobati setelah sekian lama…
Kenapa? Apa tempat ini mempunyai kenangan khusus tentang masa lalunya?
Arkan menggeleng, mungkin ini hanya perasaannya saja. Lelaki itu mulai membuka buku menu, melihat-lihat berbagai macam nama makanan disertai gambarnya masing-masing. Ada satu nama yang berhasil mengusik rasa penasaran Arkan.
Dahi Arkan berkerut saat membaca tulisan yang tercetak di buku menu. ‘Baby bear fried rice.’ nama yang lucu, pikirnya. Gambar makanan yang disajikan berupa sepiring nasi goreng yang dibentuk menyerupai beruang kecil yang sedang tertidur dengan selimut yang terbuat dari telur dadar. Nasi itu dipermanis dengan sosis goreng dan potongan brokoli.
Ah, imut sekali. Arkan langsung terbayang dengan wajah cantik Kayla yang terlihat menggemaskan.
Arkan segera memanggil pelayan untuk mendekat, “Saya pesan menu ini,” ujarnya sambil menunjuk nama makanan yang membuatnya tertarik.
“Apa saya bisa melihat pembuatannya di dapur?” pria itu mendongakkan wajah, menatap si pelayan yang berdiri gugup di sampingnya.
“Maaf Pak, tidak bisa. Koki kami sangat sibuk hari ini, dan beliau juga tidak bisa menerima orang asing.” Arkan bisa mendengar nada hormat dalam kata-katanya.
Lelaki tampak berpikir, ia harus bisa bertemu dengan Kayla saat ini juga. “Saya teman Mbak Kayla, dan ada sesuatu yang harus saya bicarakan dengannya.” Arkan mengubah nada bicaranya menjadi tegas, melayangkan tatapan tajam untuk mengimitidasi.
Pelayan itu tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Mari saya antar,” ujarnya kemudian.
Arkan tersenyum menyeringai, mengikuti langkah si pelayan menuju dapur.
???
Bersambung…
Dilanjut bentar lagi, hahaha.
-
25 November 2016 pada 8:54 pm #300786farahzamani5Peserta
Wahhh akhirnya berhasil di post jg ya de
Alhamdulillah
Saya ninggalin jejak dlu yak
Baca ny nnt yak hihi -
26 November 2016 pada 7:55 am #301108DalpahandayaniPeserta
Bgus
-
27 November 2016 pada 3:14 pm #302175Author4Keymaster
Au komen di part satunya yakk nanti komen lagi di part2 sengaja komentar sebelum baca part dua biar rasa penasarannya masih murni wkwkwkkw
Kisahnya bagus apalagi bawa bawa kue pancong kesukaan au yang kalo au makan pasti ditaburin gula pasir dua sendok ampe kriuk kriuk kalo dimakan wkwwkwkkw
Nah intinya kisah ini bikin penasaran. Kenapa Kayla mengenang Arkan? Kenapa sepeda disebut peninggalan? Tadi au pikir Arkan udah meninggal, tapi ternyata si Arkan muncul pula masih idup malah sempet2nya nodong kue pancong pake minta tambah pula
:ASAHPISAU2
Ini kenapa Arkan kaga inget ama Kayla, kaga inget ama kedai yg dia bangun yak??? Penasaran …. oke au cap cus ke part 2 berharap bisa nemu jawabannya di sana :NABRAKKACA
-
30 November 2016 pada 3:28 pm #305395faidarPeserta
langsung sambung ke part2 :aaaKaboor
-
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.