Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Forum Kepenulisan › (Lomba Cerpen Kuliner) My Favourite Foods
- This topic has 2 balasan, 3 suara, and was last updated 7 years, 12 months yang lalu by Author4.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
-
25 November 2016 pada 8:16 pm #300759EnelkhaPeserta
Note: Dengan memberanikan diri aku membuat dan memposting cerpen ini. ingin ikut meramaikan lomba hehehe. Jujur ini cerpen pertama aku, jadi mohon maaf yah kalau certianya rada aneh dan tidak jelas. kalau merasa terlalu aneh jgn dipaksa. berhenti aja. takutnya malah muntah lagi, hehehe
<p style=”text-align: center;”>
My Favourite Foods</p>“Apa makanan kesukaan kamu?”
Pertanyaan yang sederhana. Tapi, jika ditanyakan oleh orang yang spesial akan berubah menjadi sesuatu yang berarti, khususnya buatku. Karena makan merupakan satu dari sekian hobi yang paling aku sukai. HeheheheMenurutku ketika seseorang, dalam hal ini lawan jenis yang sedang mencoba melakukan pendekatan, menanyakan makanan kesukaan dari orang yang disukainya berarti dia benar-benar sayang dan peduli sama orang itu. Itu juga berarti dia ingin lebih dekat dan ingin tahu lebih dalam mengenai orang yang disukainya. Well, selain menanyakan tentang pekerjaan, keluarga dan hal-hal lainnya tentu saja. Karena aku pribadi hanya akan menanyakan makanan kesukaan pada orang-orang yang benar-benar dekat dan aku sayangi. Bagaimana dengan kalian?
Hal itu sedang terjadi padaku sekarang.
Akatsuki Ryuji sedang menanyakan hal yang sama padaku. Seorang pria yang diam-diam kucintai.
Kok kayak nama orang Jepang? Karena memang dia orang Jepang.
Ryuji-san, begitu aku memanggilnya. Padahal seharusnya aku memanggilnya dengan Akatsuki-san. Aku yang bisa dibilang hanyalah orang asing yang menjadi salah satu pegawai part-time yang bekerja untuknya, dan memanggilnya dengan nama depan bisa dibilang sangat tidak sopan. Apalagi tanpa seijin sang pemilik nama.
Kenapa bisa begitu?
Karena di Jepang ada aturan – yang menurutku rumit – untuk memanggil nama seseorang, apalagi memanggil dengan hanya menggunakan nama depan seperti yang aku lakukan. Tapi aku yang notabenenya adalah orang Indonesia yang dibesarkan dengan memanggil nama orang –baik sudah kenal lama maupun yang baru berkenalan- dengan nama depannya merasa aneh. Dan menurutku justru tidak sopan memanggil nama orang dengan nama belakang atau nama keluarganya.
Namaku sendiri Ayu Ningsih Karim. Dipanggil Ayu. Aku akan merasa sangat aneh dan tersinggung kalau misalnya ada orang yang memanggilku Karim. Terdengar seperti seseorang tengah mengejek ayahku. Bayangkan kalau misalnya kamu dipanggil dengan nama belakang. Aneh tidak? Kalau aku sih aneh.
Aku bekerja di sebuah Cafe bernama Hexagon, Cafe Hexagon. Ryuji-san sang pemilik, yang kudengar dari pegawai lainnya merintis usaha cafenya itu diusianya yang masih sangat muda, 21 tahun dengan hanya bermodalkan nekat. Sekarang diusianya yang ke-26 Cafe Hexagon sudah berubah menjadi salah satu cafe yang terkenal, terlebih dikalangan anak muda. Mungkin karena lokasinya yang strategis. Ditambah ada universitas beberapa ratus meter dari cafe, dimana aku terdaftar menjadi salah satu mahasiswinya.
Cafe sudah ditutup sekitar satu jam yang lalu. Pegawai lainnya sudah pulang setelah menyelesaikan tugasnya masing-masing. Tinggallah aku sendiri, tengah menunggu hujan mereda supaya dapat pulang ke tempat tinggalku yang berada dekat dari sini – lima menit berjalan kaki dari cafe – ketika mendengar suara datang dari belakangku. “Ayu-san?”. Disusul suara pintu yang ditutup. Aku terkesiap, kaget bukan main. Pasalnya suasana cafe sedang hening, hanya terdengar suara air hujan yang turun dengan derasnya yang tengah aku pandangi dalam diam. Ditambah lagi kupikir tinggal aku sendiri yang berada di dalam cafe. Jadi ketika mendengar suara, yang terpikir olehku adalah suara mahluk tak kasat mata yang sedang tidak ada kerjaan lalu memutuskan menjailiku yang kebetulan – sial buatku – berada didekatnya.
Aku menekan dada kiriku, tempat di mana jantungku yang berdetak lebih cepat berada menggunakan tangan kanan seakan takut jantungku akan meloncat keluar sebagai reaksi akan takutku. Dan ketika berbalik, aku mendapati diriku menghirup udara sebanyak-banyaknya. Karena sepertinya tanpa sadar aku menahan napas ketika mendengar suara, berharap si mahluk tak kasat mata tidak dapat melihatku jika melakukannya.
“Ryuji-san?” tanyaku setelah merasa baikan. Mencoba memastikan sekaligus mempertanyakan keberadaannya di dalam cafe. Ryuji-san sendiri hanya berdiri di depan pintu ruangannya dengan tangan kiri berada dalam saku celana. Menatapku sambil menaikkan salah satu alisnya seolah mempertanyakan kewarasanku karena betingkah aneh. Perkataan ingin menyalahkannya sudah berada di ujung lidah tapi dengan susah payah kutahan dan merubahnya jadi cengiran bodoh. Kembali bertingkah aneh dihadapnnya. Itu jauh lebih baik daripada mengucapkan kata-kata kasar yang berbuah pemecatan buatku. Tidak ingin melakukan tindakan bodoh lainnya, akupun memilih berbalik dan kembali memandangi hujan yang sialnya belum menunjukkan tanda-tanda akan reda.
Aku ingin pulaaanng. Teriakku dalam hati.
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Beberapa detik kemudian Ryuji-san telah berdiri di sampingku. Awalnya kukira dia hanya akan mengucapkan salam kemudian keluar lewat pintu yang berada tidak jauh dari posisinya, hanya perlu jalan beberapa langkah. Kemudian pulang menggunakan mobil miliknya yang terpakir di samping cafe. Sebaliknya, dia malah berhenti dan tidak beranjak dari tempatnya.
Aku meliriknya sesaat. Tiba-tiba merasa gugup dengan kedekatan kami. Apalagi aku tahu hanya tinggal kami berdua di sini. Kami berdiri begitu dekat. Begitu dekat sampai aku benar-benar merasakan keberadaannya disampingku. Merasakan kehangatan tubuhnya melingkupiku. Hanya perlu menggerakkan sedikit lengan kananku agar bisa menyentuhnya. Sebagai bentuk pencegahan supaya aku tidak melakuan hal-hal gila, kusilangkan kedua tanganku di depan dada jikalau salah satunya, terutama yang kanan memiliki pikirannya sendiri dan malah mewujudkan hasrat terliarku dengan menyentuh orang yang tengah berdiri di sampingku ini.
“Belum pulang?” tanya Ryuji-san memecah kesunyian.
“Hah?” seruku sambil menolehkan kepala dan tentunya aku harus mendongak untuk menatapnya. Karena dia jauh lebih tinggi dariku yang hanya sebatas dadanya. Aku meringis ketika tersadar lagi-lagi tengah bertingkah bodoh. Jadi, aku menghirup napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan, mencoba menenangkan diri.
Setelah merasa cukup tenang, dengan perlahan aku berbalik menghadapnya. “Tunggu hujannya reda” adalah jawabanku. Sangat singkat. Takut berbicara terlalu banyak dan malah mengucapkan sesuatu yang bodoh. Seperti aku mencintaimu mungkin? Karena aku tipe orang yang ketika berbicara dalam keadaan gugup malah mengatakan hal-hal tidak penting tanpa diproses dulu di otak.
Tanpa disangka Ryuji-san ikut berbalik menghadapku. Kemudian kami saling menatap. Ryuji-san menatapku tajam, sorot matanya menyiratkan sesuatu yang tidak aku mengerti. Membuatku tidak bisa berpaling dari tatapannya itu, merasa tersesat di kedalaman matanya. Aku terpaku ditempat, berbalik menatap matanya yang seolah menyuruhku untuk itu. Entah berapa lama kami saling menatap tanpa berkedip. Ryuji-san yang pertama kali memutuskan kontak dengan mengedipkan mata yang dilakukannya lebih lama dari seharusnya. Seolah menahan diri akan sesuatu. Akupun berpaling sambil berdehem, mencoba menghilangkan kegugupan dan menenangkan degup jantung yang berdetak begitu kencang. Takut suaranya terdengar dan perasaanku ketahuan.
“Kamu tinggal dimana? Biar saya antar pulang”
“Oh, Tidak usah Ryuji-san!” suaraku sedikit naik karena panik sekaligus gugup. “Saya tinggal didekat sini. Hanya perlu lima menit dengan berjalan kaki. Saya tidak ingin merepotkan, jadi lebih baik saya menunggu hujannya sedikit reda. Anda pulang saja duluan.” Ryuji-san mengernyit. Terlihat tidak setuju dengan jawabanku. “Hujannya sangat deras. Kelihatannya akan lama baru reda, mungkin butuh beberapa jam. Sekarang sudah lewat jam sepuluh. Sampai kapan kamu mau menunggu?”
Kalau boleh jujur, aku juga sudah mulai khawatir. Karena apa yang dikatakan oleh Ryuji-san itu benar adanya. Hujan masih turun sangat deras. Dan belum menunjukkan tanda-tanda mau berhenti. Sudah lewat jam sepuluh dan dilihat dari derasnya hujan, bisa-bisa aku baru pulang lewat tengah malam. Aku menggigit bibir, cemas. Tapi kurasa itu lebih baik daripada harus terkurung berdua dengan Ryuji-san dalam mobil. Bisa-bisa aku mati karena terkena serangan jantung. Di ruangan yang seluas ini saja jantungku sudah berdetak tidak karuan apalagi kalau di ruangan sempit seperti mobil??
Aku mendengarnya menghela napas kamudian berbalik, melangkah menjauh. Sejujurnya merasa sedikit kecewa karena dia begitu cepat menyerah denganku. Padahal kalau dia berusaha membujukku sedikit lagi, aku yakin akan menyerah dan bersedia diantar pulang olehnya. Tinggal nanti mencari cara untuk menenangkan jantungku yang selalu tidak tenang jika berada didekatnya. Jadi aku tidak mati dengan cara memalukan, terkena serangan jantung karena terlalu gugup.
“Tolong bikinkan saya secangkir kopi”
Aku yang tadinya menunduk seketika mendongak. Mendapati Ryuji-san yang tengah menurunkan kursi dari atas salah satu meja yang telah dibersihkan. Karena memang ketika cafe sudah tutup, meja-meja dan kursi dibersihkan. Kemudian kursinya dinaikkan ke atas meja. Setelah itu baru para pegawai membersihkan lantai cafe.
Aku terpaku di tempat, bingung. Kurang yakin dengan apa yang kudengar dan yang harus kulakukan. Sedangkan Ryuji-san sudah duduk dengan nyaman dikursinya lalu menatapku. “Saya akan menemanimu menunggu. Tapi kalau sampai tengah malam hujannya belum reda, kamu harus mau saya antar pulang”. Mendengar perkataannya membuatku tersenyum lebar, merasa sangat senang. Jadi dengan terburu-buru akupun pamit ke dapur setelah sebelumnya menyuruhnya menunggu untuk membuatkan kopi untuk Ryuji-san dan teh untukku.
————————————————————————————–
Sekarang aku dan Ryuji-san tengah duduk berhadap-hadapan sambil menikmati minuman kami masing-masing. Ryuji dengan kopinya dan aku dengan tehku. Keadaan cafe yang kosong membuat pertanyaanya menggema dalam ruangan. Seakan benda-benda dalam cafe juga ikut membantunya bertanya padaku. Aku yang tengah sibuk memandang cangkir teh dalam genggamanku, seakan sedang mencari sesuatu yang aneh atau mungkin menunggu sesuatu keluar dari dalamnya saking seriusnya, mengernyit bingung. Walaupun kalau boleh jujur sesuatu di dalam sana mulai berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, atau mungkin lebih?.Pasalnya beberapa saat yang lalu kami berada dalam suasana canggung secanggung-canggungnya. Awalnya memang kami bercakap-cakap mengenai hal-hal remeh. Well, dia yang bertanya dan aku yang menjawab sebenarnya. Tapi setelahnya, kami hanya diam dengan pikiran masing-masing. Sesekali pandangan kami bertemu, yang berakhir dengan aku yang nyengir bodoh lalu tergesa-gesa meraih cangkir dan meminum teh bagianku atau melakukan tindakan bodoh lainnya sebagai alasan berpaling. Ryuji-san?. Dia…. sangat tenang. Terlihat sama sekali tidak terpengaruh. Mungkin karena dia memang pada dasarnya orang yang tenang, cenderung cuek kalau menurutku.
Selama enam bulan aku bekerja untuknya, aku perhatikan kalau dia hanya akan berinteraksi sama orang-orang yang dikenalnya atau yang dianggapnya penting. Sama halnya jika melakukan sesuatu. Hanya yang penting-penting saja dilakukanya. Sama sekali tidak membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak berguna, baginya. Dia juga tidak memperdulikan keadaan sekitar. Apapun yang terjadi, walau ada kecelakaan sekalipun terjadi didepan matanya, selama itu tidak menyangkut dirinya dia tidak akan peduli. Tapi tetap saja membuatku jatuh hati kepadanya. Karena aku tau, dibalik sikapnya yang cuek itu sebenarnya dia juga peduli. Tapi hanya untuk orang-orang yang dikenalnya. Dan dengan caranya sendiri.
Seperti yang terjadi bebarapa hari yang lalu. Ayumi, salah satu rekan kerjaku yang juga pegawai part-time sedang memiliki masalah keuangan. Aku kurang tahu masalah seperti apa karena kami memiliki jam kerja yang berbeda. Tapi kudengar –lebih tepatnya menguping- dari pegawai lainnya masalahnya berhubungan dengan biaya sekolah adiknya. Ayumi sempat bingung harus bagaimana. Tapi ternyata tanpa diminta Ryuji-san memberikannya uang. Menyuruh Ayumi memakainya untuk membayar biaya sekolah adiknya. Sudahku bilang kan kalau Ryuji-san itu sebenarnya memiliki kepedulian?
Aku menengadah, masih mengernyit bingung dengan pertanyaannya yang tiba-tiba. Kemudian menatapnya. “Apa makanan kesukaan kamu?” dengan tenang Ryuji-san mengulangi pertanyaannya. Seolah mengerti dengan kebingunganku.
Aku tidak salah dengar. Dia memang benar-benar menanyakan makanan kesukaanku. Reaksi pertamaku adalah merasa aneh. Bertanya-tanya seorang Ryuji-san yang cuek dan hanya peduli pada hal-hal yang dianggap penting menanyakan makanan kesukaanku?. Reaksi keduaku merasa senang. Karena seperti yang aku bilang, Ryuji-san adalah tipe cowok yang hanya peduli pada hal-hal yang dianggapnya penting. Dengan dia menanyakan makanan kesukaanku berarti dia peduli padaku kan? Reaksi ketigaku adalah berharap. Mungkinkah….??. Jangan-jangan terhadapku Ryuji-san….??.
“Saya suka semua jenis makanan. Dan harus saya akui makanan-makanan dari Jepang enak-enak. Tapi tidak ada yang dapat mengalahkan makanan dari negeri sendiri” jawabku pada akhirnya sembari tersenyum setelah berkutat dengan pikiranku yang kusut.
“Hmm….benarkah?”
Aku menganggung mengiyakan. Masih sambil tersenyum. “Mungkin karena saya dibesarkan dengan makanan Indonesia, jadi lidahku sudah terbiasa dengan cita rasa khas dari masakan Indonesia. Kalau nantinya Ryuji-san ke Indonesia atau ke negara-negara lainnya, mungkin akan ada makanan negara itu yang disukai. Tapi saya yakin Ryuji-san akan lebih menyukai makanan dari negeri sendiri”
Perkataanku kuakhiri dengan tawa gugup. Pasalnya, selesai berbicara panjang dikali lebar, aku mendapatinya tengah menatapku intens. Tidak seperti orang kebanyakan yang akan bepaling ketika tertangkap basah tengah menatapmu, dia malah terus menatapku. Bahkan semakin intens.
Aku balik menatapnya. Berharap dengan begitu pada akhirnya dia akan berpaling. Dan hasilnya? Aku mengaku kalah. Karena pada akhirnya akulah yang pertama kali berpaling. Tidak tahan ditatap seintens itu. Terlebih oleh pria yang kusukai. Tatapannya memberikan reaksi aneh pada tubuhku. Jantungku yang sudah berdetak lebih cepat dari seharusnya semakin bertambah cepat. Dan entah apa alasannya kurasakan pipiku merona, terbukti dari rasa hangat atau mungkin panas dikedua tanganku ketika melingkupi pipiku. Aksi saling tatap-menatap antara aku dan Ryuji-san bahkan hanya bertahan selama beberapa detik.Pergerakan darinya membuatku kembali menatapnya. Dan syukurnya dia sudah tidak menatapku intens lagi. Ryuji-san mengubah posisi duduknya yang awalnya bersandar pada kursi, sekarang memajukan tubuhnya bersandar pada meja. Kedua tangannya ditaruh di atas meja, dan salah satunya digunakan untuk menopang kepalanya.
Ok. Kutarik kembali rasa syukurku. Ukuran meja yang memang diperuntukan untuk dua orang ini, dengan posisi yang sekarang menjadikan jarak kami lebih dekat. Dan itu hanya akan membuatku jauh lebih gugup dari sebelumnya. Aku curiga dia sengaja melakukan ini. Tapi buat apa? Karena dia ingin lebih dekat denganmu? Hah? Pikiran gila darimana itu?
“Kalau begitu, apa makanan Indonesia yang kamu sukai” Lagi-lagi pertanyaan yang sama, tentang makanan kesukaanku. Tapi sekarang spesifik ke makanan Indonesia.
Baiklah Ryuji-san. Kalau memang kamu sangat ingin tahu tentang makanan kesukaanku. Dengan baik hati akan kuberitahukan semuanya padamu. Batinku merasa sedikit kesal. Pasalnya Ryuji-san sangat tenang. Terlihat sama sekali tidak terpengaruh. Sedangkan di sini aku sedari tadi setengah mati melawan kegugupan. Mencoba untuk bersikap tenang. Karena Ryuji-san tidak memliki perasaan kepadamu seperti halnya kamu terhadapnya batinku mendapat pencerahan.
Yah benar. Hanya aku yang menyukainya, tidak sebaliknya. Kalau begitu kenapa dia mau repot-repot menanyakan makanan kesukaanku? Mungkin hanya ingin berbasa-basi. Haloooo, seorang Ryuji-san berbasa-basi? Terlebih dengan menanyakan makanan kesukaan? Yah benar. Aku mungkin sudah gila berbikir seperti itu. Kalau begitu kenapa? Ah! Mungkinkah….? Tidak! Itu tidak mungkin!. Tapi mungkin saja kan?
Terjadi perang yang cukup seru di kepalaku. Mecoba pencari pembenaran akan pertanyaan Ryuji-san yang super duper aneh. Hasilnya? Aku benar-benar sudah gila. Dengan berpikir kalau Ryuji-san…
“… –san? Ayu-san?”
Aku tersentak kaget mendengar seruan Ryuji-san memanggil namaku. Dengan tersenyum malu-malu karena ketahuan tengah melamun, akupun meminta maaf pada Ryuji-san yang dijawab anggukan olehnya. Ketika kutatap kembali matanya, tatapannya seolah menyiratkan sesuatu yang….
“Ah! Makanan kesukaan. Dari Indonesia” Seruku ketika akhirnya mengerti arti tatapannya. Kemudian mengambil cangkir milikku dan mengesap isinya sebagai tindakan refleks menutupi kebodohanku -walaupun terlambat- ditambah cengiran bodoh sesudahnya. “Maaf. Maaf. Hehehehe. Makanan kesukaan saya ya?” Ryuji-san mengangguk mengiyakan “Dari Indonesia?” lagi-lagi dijawab dengan anggukan.
“Well, ada banyak jenis makanan di Indonesia. Mulai dari makanan khas dari tiap-tiap daerah, seperti Sagu dari Papua, Es Pisang Ijo dari Makassar, Gudeg dari Yogyakarta dan- AHAHAHAHAHA” tawaku pecah seketika. Tidak tertahankan ketika melihat ekspresi bingung dari Ryuji-san. Ekpresinya benar-benar…Hahahahaha. Ups. Bayangkan ketika seseorang yang seakan tahu semua hal tiba-tiba berekspresi bingung. Ditambah orang itu jarang berekspresi. Bagaimana? Lucukan? Kalau aku sih lucu.“Ma…af. Maaf” ucapku disela-sela tawa. “Saya benar-benar minta minta. Saya tidak bermaksud”
“Tidak masalah” kata Ryuji-san sembari dengan pelan menggelengkan kepalanya.
Akupun menarik napas berkali-kali, mencoba meredakan tawa. “Saya tahu Ryuji-san tidak mengerti dengan apa yang saya katakan. Tapi bukan masalah, karena yang kusebutkaan bukan makanan kesukaan saya.” Ryuji-san mengangguk sebagai tanggapan
“Seperti yang saya bilang, di Indonesia terdapat banyak jenis makanan mulai dari makanan asli Indonesia sampai yang dari luar, makanan Jepang juga termasuk”.
“Benarkah?”
“Ya. Di Indonesia juga terdapat banyak tempat yang menjual makanan Jepang. Jadi tidak perlu lagi ke sini untuk menikmati makanan Jepang. Kapan-kapan kalau Ryuji-san ke Indonesia coba makanan Jepang di sana. Saya yakin rasanya tidak jauh beda dengan buatan sini”.
“Baiklah. Akan saya coba nanti” kata Ryuji-san. Seakan dia benar-benar akan pergi ke Indonesia. Aku hanya mengangguk sebagai tanggapan. “Tapi dari semuanya saya paling suka makanan asli Indonesia, terutama masakan Ibu saya”
“Masakan Ibu?”
“Ya. Bukankan tidak ada makanan yang paling enak selain makanan buatan Ibu sendiri?”
“Hmm” gumam Ryuji-san sembari mengangguk. Setuju dengan ucapanku dan membuatku tersenyum. Senang karena dia setuju dengan pendapatku. “Masakan Ibu pertama yang saya suka adalah tumisan tahu ditambah colekkan sambal terasi”
“Tumisan tahu dan sambal terasi?””Ya. Tumisan tahu dan sambal terasi. Walaupun cuman makanan yang benar-benar biasa. Tapi saya sangat suka. Tahu yang digoreng kemudian dicampur dengan tumisan lombok, tomat, bawang putih, bawang merah yang telah dihaluskan. Ditambah irisan besar-besar daun bawang, lombok besar hijau dan merah dan garam tentunya. Paling enak kalau tumis tahunya dimakan ketika masih panas, baru diangkat dari penggorengan. Terus sambal terasinya dibuat dengan menghaluskan lombok dan tomat. Dan karena saya suka pedas, lomboknya saya kasih banyak-banyak. Kemudian tambahkan terasi yang sudah dibakar, daun cemangi dan perasan jeruk nipis. Paling enak kalau pakai jeruk purut. Ah, dan garam tentunya. Hehehehe” jelasku panjang lebar. Bahkan dengan cara membuatnya. Entah Ryuji-san mengerti atau tidak.
“Kombinasi keduanya benar-benar dahsyat. Membayangkannya saja sudah membuat perut saya lapar minta diisi. Hehehehe” kataku sembari mengusap perut. Seakan menyuruhnya untuk bersabar. “Ah! Maaf” seruku setelah sadar bersikap tidak semestinya. Terlebih dihadapan Ryuji-san. “Membicarakan tentang makanan membuat saya senang. Jadi…. harap maklum” kataku sembari menundukkan kepala untuk meminta maaf.
“Tidak masalah. Saya mengerti. Kamu memang orangnya seperti itu. Lagipula saya suka mendengar kamu bicara” kalimat terakhir diucapkan Ryuji-san dengan pelan. Jadi aku kurang yakin dengan apa yang kudengar. Ditambah lagi sesudahnya dia memimum kopinya yang tinggal separuh. Tapi kalau tidak salah Ryuji-san bilang dia suka mendengarku berbicara? Benarkah? Tapi kenapa?
“Kamu suka makanan apalagi?” tanya Ryuji-san dengan masih memegang cangkir dan alasnya pada masing-masing tangannya. Setelah menaruh keduanya kembali di atas meja, diapun menatapku. Seakan menyuruhku menjawab pertanyaannya.
Tidak. Yang tadi itu aku salah dengar. Mungkin aku ingin dia mengatakan hal itu kepadaku, jadi terdengar seperti itu di telingaku. Padahal dia berbicara tentang hal lain.
“Mmm.. masakan lainnya yang saya suka adalah udang dan cumi. Untuk udang, saya suka seperti apapun cara masaknya. Mau ditumis, digoreng biasa, digoreng campur tepung atau cara lainnya. Yang penting ada sambal yang menemani. Pasti akan habis saya makan. Hehehe. Khusus untuk cumi, saya paling suka cumi kuah hitam.”
“Cumi… kuah hitam?” Ryuji-san mengernyit. Mungkin kurang yakin dengar apa yang didengarnya. Atau mungkin merasa aneh dengan nama masakannya. Apapun itu, aku hanya mengangguk sebagai jawaban. “Cumi. Kuah. Hitam.” Tegasku dengan mengejanya kata perkata. “Kuah yang berwarna hitam berasal dari tinta cumi. Jadi ketika dibersihkan, tinta cuminya jangan dibuang. Cara memasaknya dengan menghaluskan bawang putih dan bawah merah kemudian ditumis. Setelahnya tambahkan air secukupnya lalu masukkan cumi. Jangan lupa tambahkan sere, lengkuas, dan jahe yang telah dimemarkan, beberapa buah lombok -kalau saya banyak- serta garam dan perasan air asam jawa. Tinggal tunggu hingga mendidih dan cuminya matang. Cumi kuah hitamnya siap untuk disantap. Ah, asam jawa itu adalah salah satu bumbu masakan yang berguna untuk mengilangkan bau amis.” Tambahku melihat kernyitan bingung Ryuji-san. Tahu kalau dia tidak tahu mengenai asam jawa. Walaupun sebenarnya aku juga kurang tahu. Sekedar tahu dari apa yang diberitahukan ibu. “Sebagai tambahan saya tidak suka ikan. Dalam bentuk apapun.”
“Kamu tidak suka ikan?.” Aku mengangguk membenarkan “Tapi kenapa?. Di Jepang justru makanan hasil olahan ikan yang terkanal. Sushi dan Sashimi misalnya.”“Menurutku makan ikan itu ribet” Ryuji-san kembali mengernyit. Bingung dengan alasanku yang mungkin menurutnya aneh. “Ikan punya tulang kan?” Ryuji-san mengangguk “Dan tulang ikan tidak untuk dimakan kan?” Ryuji-san lagi-lagi mengangguk “Nah. Karena itu aku bilang makan ikan ribet. Hanya untuk makan ikan saja kita harus berhati-hati agar tulangnya tidak ikut tertelan. Bikin makannya jadi lama. Ditambah lagi kalau tulangnya tidak sengaja tertelan dan tersangkut di tenggorokkan. Kan malah merepotkan.”
“Coba kamu makan Sushi. Tidak ada tulang ikannya” saran Ryuji.
“Itu dia masalahnya. Karena awalnya saya sudah berpikiran jelek soal ikan, jadi masakan ikan dalam bentuk apapaun saya tidak suka”“Sayang sekali.”
“Hah?.”
“Saya justru suka ikan.”
“Benarkah?.”
“Hmm” gumam Ryuji-san sembari mengangguk, membenarkan. Aku tak kuasa menahan senyum. Mengetahui satu hal lainnya tentang dirinya, makanan kesukaan. Bahkan tanpa ditanya terlebih dahulu.
“Hanya itu yang kamu suka?.” Tanya Ryuji-san
“Hah?.”
“Apakah hanya makanan itu saja yang kamu suka?.”
Aku menggeleng “Masih ada. Bisa dibilang ini makanan istimewa. Saya menyebutnya masakan spesial hari raya. Hahaha aneh ya?.”
“Tidak.”
“Well, saya menyebutnya spesial karena Ibu saya hanya membuatnya dua kali dalam setahun dan itu hanya dihari raya saja. Makanya saya sebut masakan spesial hari raya. Menunya terdiri dari tiga jenis makanan, Buras, Lapa-lapa, dan Coto Makassar.” Ryuji-san kembali mengernyit. Hahaha pasti nama-nama makananya terdengar aneh ditelinganya. “Tunggu sebentar” aku berinisiatif mengambil ponsel dari dalam tasku lalu membuka aplikasi browsing. Mencari gambar dari masing-masing makanan yang kusebutkan. Setelah mendapatkannya, kuberikan ponselku pada Ryuji-san. “Gambar pertama itu namanya Buras. Dibuat dengan memasak beras dan santan. Masaknya sama kayak nasi, tapi airnya diganti dengan santan. Dan juga ditambahkan daun salam supaya harum. Kalau ibuku lagi memasak ini, aromanya langsung menyebar di penjuru rumah. Harum santan bercampur dengan daun salam. Hmm.. benar-benar menggugah selera. Dan juga memberikan rasa hangat.” Ujarku sembari tersenyum mengingat saat-saat dimana aku membantu ibuku membuatnya. Di dapur rumah kami yang tidak seberapa. Dan sekilas akupun melihat Ryuji-san tersenyum. Walaupun hanya senyum tipis, tapi tetap membuatku senang dan tersenyum makin lebar. Pasalnya melihat seorang Ryuji-san tersenyum bisa dibilang adalah sesuatu yang langka. Seperti 1:1.000 atau bahkan 1:1.000.000 saking jarangnya dia tersenyum. Dan mengetahui aku yang membuatnya tersenyum membuatku makin senang. Hehehe
“Kalau sudah masak, adonan burasnya dibungkus menggunakan daun pisang. Di situ ada gambar buras yang sudah dibuka. Kalau diperhatikan ada dua lapisan daun pisang kan? Nah, lapisan luarnya itu adalah daun pisang yang sudah tua sedangkan yang didalamnya adalah daun pisang yang muda. Setelah dibungkus kemudian di-apa ya istilahnya-di urut. Ya, diurut. Adonannya diurut supaya padat. Terus dua atau tiga adonan yang sudah dibungkus disatukan dan diikat menggunakan tali rafia, seperti yang terlihat digambar. Ikatnya harus kuat supaya nanti kalau direbus airnya tidak tembus terlalu banyak kedalam bungkusan. Nanti rasanya jadi tidak enak.”
“Direbus? Dimasak dua kali?.”
“Hmm” gumamku sembari mengangguk membenarkan. “Direbusnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Kalau Ibuku kira-kira butuh waktu sekitar 11-12 jam.”
“Selama itu?” seru Ryuji-san. Mungkin kaget dengan estimasi waktunya
“Ya. Tapi waktunya ini bergantung berapa banyak buras yang dibuat. Ibuku biasanya membuat sekitar 10 kg.” Aku tertawa melihat ekspresi terkejut diwajah Ryuji-san. Walaupun dia hanya menaikkan kedua alisnya, tapi aku tahu kalau itu adalah ekspresi ketika dia terkejut. “Banyak bukan? Soalnya selain kami memiliki keluarga besar, burasnya juga diperuntukkan untuk tamu yang nantinya akan berkunjung. Dan asal Ryuji-san tahu, buras yang sebanyak itu akan habis dalam dua hari, paling lama tiga hari.”
“Wow.” Adalah tanggapan dari Ryuji-san. Mungkin merasa takjub dengan apa yang kukatakan.
“Terus di tab selanjutnya ada gambar la-pa-la-pa” sengaja kueja perlahan supaya Ryuji-san dapat mengerti. “Cara pembuatannya hampir sama dengan buras. Hanya saja nanti adonannya dibungkus dengan daun kelapa muda yang telah dilipat-lipat. Sebelumnya, bungkusannya diolesi dengan santan. Kalau boleh jujur saya tidak tahu gunanya untuk apa. Mungkin supaya adonannya tidak melengket pada bungkusannya. Jangan lupa adonannya diurut dan diikat dengan tali rafia kemudian direbus, sama seperti buras. Supaya praktis rebusnya digabung saja dengan buras. Tapi lapa-lapanya ditaruh di atas, karena lebih cepat masak. Mungkin sekitar dua atau tiga lebih cepat dari buras. Buras dan lapa-lapa bisa digunakan sebagai pengganti nasi. Tapi juga bisa dimakan langsung.” Merasa haus, akupun menyesap tehku. Sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara.
“Di tab terakhir itu gambar coto Makassar. Kalau yang ini saya tidak tahu cara membuatnya. Kalau mau tahu nanti Ryuji-san cari sendiri. Coto Makassar adalah masakan andalan Ibuku dan menurutku tidak ada yang dapat mengalahkan coto buatannya. Cotonya tuh enak yang benar-benar enak. Aromanya. Rasanya. Pokoknya kalau sudah coba sekali pasti ketagihan.”
“Benarkah? Seenak itu?”
“Hei! Saya tidak bohong. Coto Makassar buatan ibuku memang yang paling enak. Apalagi kalo dicampur dengan sambal tumis, perasan jeruk nipis, dan buras. Mmm…yummy. Jadi pengen cepat-cepat pulang ke Indonesia. Ketemu Ibu dan menyuruhnya memasak semua makanan kesukaan saya. Hehehe.”
“Saya juga ingin ketemu Ibu kamu”
“Hah? Kenapa Ryuji-san ingin ketemu Ibu saya?”
“Menurutmu?” Ryuji-san menatapku, menyiratkan sesuatu dan entah aku salah lihat atau sudah benar-benar gila, aku melihat binar-binar jail dari kedua matanya. Benarkah? Aku pasti salah. Pasalnya Ryuji-san dan jail adalah sesuatu yang menurutku mustahil untuk disatukan. Jadi pasti yang sekarang kulihat hanyalah permainan dari cahaya lampu saja. Atau apapun itu arti tatapannya, jail bukanlah jawabannya.
“Ah, Ryuji-san pasti ingin ketemu Ibuku karena ingin mencoba masakannya kan? Terutama Coto buatannya. Iya kan?” aku menyimpulkannya begitu karena setelah dipikir-pikir itulah jawaban yang paling logis. Lagipula yang sedari tadi kami bicarakan adalah mengenai makanan, dan aku dengan bangga mengatakan kalau masakan Ibuku enak. Pasti Ryuji-san penasaran. Makanya ingin ketemu Ibuku dan mencoba masakan buatannya. Tidak mungkin alasan lain kan? Seperti…..
“Salah satunya”
“Salah satunya? Apa salah lainnya?” sebenarnya aku tidak bermaksud menyuarakan pikiranku. Tapi mungkin karena terlalu bingung, pertanyaannya tercetus begitu saja dari mulutku. Tapi yang paling membuatku tidak menyangka dan kehabisan kata-kata adalah Ryuji-san tertawa!! Seorang Ryuji-san tertawa?! Melihatnya tersenyum merupakan sesuatu yang menurutku langka dan melihatnya sekarang tertawa bisa diibiratkan sebagai keajaiban dunia. Yahh walaupun bukan tertawa ngakak terbahak-bahak, tapi tetap saja membuatku tidak bisa berpaling darinya.
Aku hanya duduk, terpaku dikursi melihatnya tertawa. Sangat ingin merekamnya dengan kamera ponsel untuk koleksi pribadi, tapi aku tahu itu sangat tidak sopan. Dan takutnya aku malah akan kehilangan momen berharga ini. Jadi sebagai pilihan terakhir, akan aku perhatikan sebaik-baiknya ekspresi tawanya itu dan kusimpan di tempat yang khusus dalam memori otakku. Supaya nanti filenya tidak akan terhapus seiring bertambah file-file lainnya. Hehehe
“Baiklah. Sekarang sudah lewat tengah malam. Dan di luar masih hujan deras.” Seru Ryuji-san tiba-tiba mengembalikanku ke dunia nyata. Akupun menoleh ke luar, dan ternyata memang hujan masih turun sangat deras. Ketika aku menatapnya, wajahnya sudah kembali seperti semula. Seakan dia yang tertawa sama sekali tidak terjadi. Sedikit kecewa, tapi tidak mungkin aku menyuruhnya kembali tertawa kan? “Seperti perjanjian kamu harus mau saya antar pulang – dan tidak ada penolakkan!.” Sambung Ryuji-san ketika melihatku akan menolak. Jadi dengan pasrah aku mengikutinya bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu cafe.
Sebenarnya ada perasaan tidak rela momen ini berakhir. Aku ingin lebih lama lagi berdua dan berbicara dengannya. Karena buatku keadaan seperti ini, duduk berdua dengan Ryuji-san dan berbicara satu sama lain seperti menunggu menang undian dengan kesempatan yang sangat kecil. Tapi tidak mungkin juga aku menahannya di sini kan? Memangnya aku siapanya? Aku hanyalah karyawan part-time tidak penting yang bekerja untuknya. Jadi seharusnya aku sudah cukup bersyukur telah diberikan kesempatan satu kali oleh Tuhan.
“Kamu tahu cara memasaknya?” karena terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, sampai-sampai aku tidak sadar kalau ternyata aku sudah berada di dalam mobil milik Ryuji-san. Bertanya-tanya kapan dan bagaimana caranya aku bisa sampai di dalam sini.
“Ya. Aku bisa” jawabku sekenanya karena masih merasa bingung dengan keberadaanku sekarang.
“Kamu bisa memasakkannya untuk saya?” ucap Ryuji-san bertepatan dengan berhentinya mobil di depan gerbang tempatku tinggal. Aku langsung menoleh menatapnya, kaget. Tidak menyangka ditanya seperti itu olehnya. Pikiranku yang gila memberitahukanku kalau Ryuji-san sedang bercanda. Sedangkan pikiranku yang waras membantahnya. Halooo Ryuji-san bercanda?. Aku mengangguk. Sebenarnya bermaksud membenarkan pikiran warasku tapi melihat Ryuji-san yang tersenyum –sedikit- aku sadar kalau anggukkanku di anggap lain olehnya. Dan aku tidak menyesalinya, malah berbalik membalas senyumnya. Setelah menyutujui hari, tempat dan waktunya akupun turun dari mobil Ryuji-san. Kemudian mobilnya segera pergi menembus derasnya hujan.
Aku tengah bersiap untuk tidur ketika menyadari sesuatu. Kenapa Ryuji-san menyuruhku memasak untuknya? Kemudian satu hal gila melintas dipikiranku.
Jangan bilang……..The End.
Anehkan..?? wkwkwkwk
Untuk yang tahan membacanya sampe akhir aku ucpkn banyak terima kasih.
-
26 November 2016 pada 1:17 am #300974DalpahandayaniPeserta
Bagus
ceritanya mengalir dengan tenang -
27 November 2016 pada 2:45 pm #302152Author4Keymaster
Hello au baru komen nih, bagus yah sebuah cerpen dalam bentuk percakapan dari sudut pandang orang pertama tapi penyusunan katanya baik sehingga engga terasa membosankan
Pada saat tokoh ayu yang menjadi aku di sini berbicara dalam hati, kita seolah2 juga berada di dalam pikiran ayu dan ikut membatin.
Menu tumis tahu dan sambal terasi itu enak banget yakk au mana bisa makan sambal terasi di sini. Kalo makan di warteg menunya sambel tomat mateng. Susah nyari sambal terasi kalo bukan bikinan nyokap yakk
Dan buras kayaknya au kaga pernah makan deh, bikinin dong. :BAAAAAA
Cerpen ini open ending yakk jadi pembaca bebas menentukan akan jadi apakah hubungan ayu dan ryuji. Thank you udah bikin bacaan enak siang2 yakk
-
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.