Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat Forum Forum Kepenulisan (Lomba Cerpen Kuliner) Endless Love

Melihat 10 pertalian (thread) balasan
  • Penulis
    Tulisan-tulisan
    • #298161
      sellpit
      Peserta

      Endless Love

      Author : Sellpit

      Genre : Romance

      “Mbak Asti, bed 18 dengan nama Ibu Bambang, sudah aku drip lasix 2 ampul. Tadi sudah konsul dr. Dexan.” Anissa membuang spuit ke dalam kotak dispossible. Setiap spuit yang sudah dipakai, diwajibkan lansung dibuang agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

      Anissa mendesah pelan. Hari ini waktu operan mundur tiga puluh lima menit, tidak seperti biasanya. Hujan lebat yang mengguyur daerah Jakarta, membuat terhambat segala hal. Bukan karena tidak bersyukur tetapi karena inilah jalanan menjadi macet dan dia akan terjebak di rumah sakit sampai hujan reda. Padahal, hari ini dia sudah merencanakan akan pulang tepat waktu. tetapi cuaca tidak mengizinkannya sama sekali. Bisa saja Anissa menggunakan mantel kesayangannya berwarna merah muda, namun mantel itu tidak akan menyelamatkan barang-barangnya yang akan dia beli di pasar. Jikapun dia memilih pulang menggunakan taksi, mungkin dia akan terjebak dalam kemacetan berjam-jam lamanya.

      “Kenapa Mbak? Biasanya semangat banget kalau waktunya pulang, mau ketemu kesayanganku.” Asti menirukan gaya bicara Anissa yang mirip anak-anak.

      “Hujan.” Jawab Anissa singkat.

      “Lalu masalahnya apa?” Tanya Asti kembali sambil mengerutkan keningnya.

      “Mana bisa pulang, nanti alis cetarku luntur mbak.” Jawab Anissa sekenanya.

      Saat itu juga suara tawa langsung terdengar. Semua orang tahu, kalau alis Anissa tidak pernah tersentuh alat make up sama sekali. Warna hitam yang sempurna itu sudah ada sejak ia lahir. Bahkan banyak yang iri hati melihatnya. Ditambah wajah Jawa yang ayu dengan bibir merah muda yang tipis. Penampilannya juga begitu sederhana, ditambah perlakunya yang mencerminkan seorang wanita berhati tulus.

      “Sudah, jangan bercanda. Mau dilanjutkan operannya tidak?”

      Asti menggerutu pelan, “ada pasien perhatian tidak?”

      Anissa menggelengkan kepalanya dan kembali melanjutkan membaca buku laporan dinas pagi. “Perhatian tidak ada, tapi pasien pulang ada dua lagi diurus tinggal tunggu obatnya. Hanya pasien di bed 10 flebitis jadi sudah dilepas infusnya. Nanti tolong dipasang lagi. Dan Bed 4, Ibu Asih tadi sudah dipasang infus sebelah kiri. Dextrose lima persen banding Ringer Laktat itu satu banding dua.”

      “Berarti Dextrose satu plabot dan Ringer laktatnya dua plabot.”

      Anissa menggangguk mantap. Matanya melirik ke bed 4. Seorang perempuan berambut coklat sedang mengusap perutnya yang membesar dan meringis kesakitan. “Sedang terapi Dextrose. 14 tetes per menit, yang Amino 7 tetes per menit.”

      “Sisanya bagaimana? Ada terapi tambahan?”

      “Tidak ada mbak. Masih sesuai terapi awal.”

      “Dari IGD ada pesanan kamar?”

      Anissa mengeluarkan kertas putih dari saku baju. Setiap ada instruksi baru dari dokter melalui telepon atau pemesanan kamar, dia selalu mencatatnya dengan lengkap agar tidak lupa. “Ada dua, namanya Winda dengan Febris DHF dan Arika dengan Gastritis.”

      Asti langsung memasukkannya ke dalam buku laporan. Sekitar tujuh orang langsung bangun dari duduknya. Seperti hari-hari sebelumnya setelah mencatat laporan, mereka langsung mengelilingi pasien dari bed 1 hingga 21. Menanyakan kondisi dan mendengarkan berbagai keluhan. Ruangan tempat Anissa bekerja adalah ruang perawatan kelas tiga, khusus perempuan dengan penyakit dalam. Bukan pekerja yang mudah bagi Anissa, apalagi jika sedang penuh dengan pasien yang baru datang.

      Anissa harus rela menahan perutnya yang meminta nasi dengan cemilan biskuit. Namun pekerjaan inilah yang menyenangkan. Terkadang ada seorang pasien yang berniat menjodohkan Anissa dengan anak laki-laki. Ada pula yang selalu mengeluh kepada Anissa tentang berbagai rintangan kehidupan yang telah dijalani oleh orang itu.

      ***

      Anissa mengganti bajunya dengan tergesa-gesa. Dia memakai kaos berlengan panjang yang dipadukan dengan celana jeans berwarna hitam. Melipat seragamnya dan memasukkannya ke dalam papper bag. Sudah menjadi kebiasaannya sejak tiga tahun yang lalu. Melepaskan cepolan rambut dan membiarkan rambutnya tergerai indah tanpa harus disisir ulang.

      Anissa mematut dirinya di depan cermin besar. Wajah yang lelah dengan lingkaran hitam di sekitar matanya muali terlihat.

      “Nanti pecah jika kamu berlama-lama di depan cermin.” Asti menegurnya, “Pangeran Anda telah tiba sejak lima menit yang lalu dan menunggu di depan nurse station, Tuan Putri.”

      Anissa memutar tubuhnya, “terima kasih dayang setiaku.”

      Anissa langsung mengambil tas dan berlari sebelum Asti menyerangnya. Tak sampai beberapa meter, Anissa sudah melihat tubuh tegap yang duduk dengan santai, memegang papan daftar nama pasien. Senyuman itu mengembang dengan sendirinya.

      Si itik buruk rupa yang mendapatkan seekor angsa

      Pikiran itu selalu hadir di kepala Anissa. Pertanyaan bagaimana dia bisa menjatuhkan hati kepada seseorang yang dahulunya ia anggap sebagai lelaki yang menyebalkan. Tukang perintah.

      ***

      “Mau pulang atau makan siang?” Dexan melihat jam tangannya. Pukul lima belas lewat empat puluh lima menit. Tidak bisa dikatakan waktunya makan siang, tetapi jika harus mengaku, cacing-cacing di perut Dexan sudah berteriak minta diisi makanan.

      “Makan dahulu.” Anissa tersenyum melirik restaurant di sebelah rumah sakit yang tampak tidak terlalu ramai. “Kita ajak daddy dahulu bagaimana?”

      “Tidak perlu. Tadi aku sudah ke atas, dan daddy sudah bersiap-siap menunggu jam besuk.” Ucapnya lirih. “Habis makan, aku antar kamu balik.”

      “Tidak.” Anissa membuka pintu restaurant itu. Seorang pegawai dengan baju batik biru muda menyambut mereka dengan senyum merekah. “Aku mau jenguk mami, tadi siang gak sempat, kamu sih pakai acara visit di jam makan siang.”

      Tadi, memang Dexan datang di waktu makan siang. Karena dia harus menangani pasien di poli penyakit dalam terlebih dahulu, baru keliling mengunjungi pasien-pasien di ruang perawatan.

      “Biasa pagi juga.”

      “Aku datang pagi, kamu cemberut. Aku datang siang kamu cemberut juga. Laki-laki memang selalu salah.” Keluhnya pelan yang mau tidak mau membuat Anissa semakin kesal.

      “Kamu datang pagi, pas pukul tujuh tepat dan aku sedang operan dengan dinas dinas pagi. Harusnya aku bisa pulang dengan tenang, tetapi kamu malah menahanku. Memperlambat aku pulang namanya.”

      Pelayan yang menyambut mereka tadi, datang menghampiri. Membawakan buku menu. “Saya pesan nasi goreng pedas satu, gado-gado satu. Untuk minumannya jus alpukat satu dan kopi satu.”

      “Diganti saja mbak, jus alpukatnya dua.” Anissa menyerahkan buku menu itu kembali.

      Melihat Dexan ingin menyuarakan penolakan, Anissa langsung melebarkan kedua bola matanya. Mengeluarkan aura mengancam.

      “Jadi saya ulangi, nasi goreng pedas satu, gado-ado satu, dan jus alpukat dua. Ditunggu sebentar ya mbak, mas.”

      “Iya. Tolong dipercepat ya mbak. Lapar banget soalnya.”

      Pelayan itu langsung mengambil buku menu dan pergi meninggalkan sepasang manusia.

      “Kopi banyak kandungan kafein. Aku takut kamu kecanduan. Lebih bagus kamu perbanyak minum air putih. Selain bisa bikin kamu awet muda, air putih juga bisa bantu kerja ginjal kamu tidak terlalu berat.”

      “Aku tahu, tapi minuman yang enak cuma buatan kamu dan mami. Nomor satu di seluruh dunia. Apalagi saat kamu buatkan aku, green tea milk, yang bubuk matcha kamu blender bersama satu scoop ice cream dan susu kental manis. Dan kamu hidangkan dengan Chocolate lava cake. Aduh ngebayangin aja bikin ngiler.” Anissa memutar bola matanya. Anissa tahu itu hanyalah alasan saja. Jika dia tidak mengenal Dexan, mungkin dia sudah termakan oleh rayuan yang selalu diucapkan Dexan.

      “Anissa sedang buat apa?”

      Suara perempuan yang begitu lembut terdengar disampingnya. Kali ini Anissa menyiapkan seratus gram gula di sebuah mangkok. Jari-jari lentiknya begitu terampil menyusun bahan makanan. Anissa ingin membuat Chocolate Lava Cake.

      “Chocolate Lava Cake.” Jawabnya dengan senyum yang mengembang. “Mami tunggu saja, pasti Anissa bikinin yang enak.”

      Mami, panggilan yang baru-baru saja dia gunakan sebagai panggilan sayang. Mengingat sebulan yang lalu, keluarga Dexan datang ke rumahnya. Melamarnya untuk sebuah keseriusan. Anissa sungguh beruntung, ada seorang laki-laki yang benar-benar memintanya, tidak untuk main-main.

      “Mami bantu ya?” tawar calon ibu mertuanya. “Mami juga mau belajar buat kue, biar daddy makin betah tinggal di rumah dan mami punya kerjaan baru. Sebentar lagi kalian menikah, di rumah ini hanya ada mami, daddy, sama Bibi Sum.”

      “Tapi Anissa pasti main ke rumah Mami, setiap libur.”

      Anissa menuang terigu ke dalam mangkok putih, mecampurnya dengan seratus gram gula, seperempat cup bubuk coklat, seperempat sendok garam, setengah sendok baking powder dan seperempat baking soda. Anissa mengaduknya dengan perlahan hingga bahan-bahan itu tercampur rata.

      Matanya melirik minyak sayur. Setelah semuanya tercampur rata, Anissa menuang minyak sayur itu secara perlahan. Menyebabkan menggumpalnya tepung dan bubuk coklat, namun Anissa tetap mengaduknya secara perlahan hingga minyak sayur itu dirasa cukup. Tidak akan bercampur rata. Bahkan sendok pengaduknya telah berat dengan gumpalan tepung.

      Tangan kanannya kembali mengambil segelas susu putih cair. Kembali mencampurnya dengan perlahan. Mengaduknya dengan hati-hati. Setelah gumpalan-gumpalan itu hancur dan menjadi lembut, Anissa kembali mencampurkan ekstrak vanila.

      “Nis, tempatnya sudah mami oleskan mentega dan sedikit tepung.”

      Anissa mengucapkan terima kasih. Jika tidak, maka Anissa harus mencari mangkok muffin dan mengerjakannya sendiri. Anissa langsung mengambil mangkok itu, menungkan adonan coklat secara perlahan hingga terisi empat per lima.

      Anissa mengambil sebatang coklat yang panjang, memotongnya menjadi persegi empat dan membaginya ke dalam adonan yang sudah tersusun rapih. Anissa memasukkan adonan ke dalan oven. Mengatur suhunya hingga 180 .

      “Kita tunggu berapa lama?” sedari tadi mami hanya melihat gerak gerik Anissa yang begitu indah dalam mencampurkan bahan-bahan. Bahkan Anissa terbilang tukang masak yang cukup rapih. Jangan membayangkan seorang perempuan yang belepotan dengan terigu saat membuat kue. Wajah Anissa sama sekali tidak tersentuh oleh tepung. Tidak ada bahan yang berjatuhan di lantai dan membuat kotor.

      “Tunggu sampai dua puluh menit, Mih.”

      Setelah dua puluh menit, Anissa menggunakan sarung tangannya, mengambil secara perhalan kue-kue itu. Terlihat mengembang dengan cantik karena masih dalam keadaan panas. Sambil tersenyum bersyukur, Anissa meletakkan kue tersebut di atas meja. Menunggunya hingga dingin.

      Sedangkan untuk mempercepat waktu, Anissa mengambil buah berry, memotongnya menjadi dua bagian dan disusun secantik mungkin di sebuah piring.

      “Mami suka deh, ada yang pakai dapur mami. Apalagi buat kue seperti ini. Sering-sering aja kamu libur, main ke sini Nis.” Ujar mami yang mencoba melepaskan kue itu dari mangkoknya. Membantu Anissa menyusun kue-kue itu. Setelah dingin kue itu tidak lagi mengembang, namun jatuh ke dalam, tetapi tetap membuatnya begitu cantik.

      Tinggal sentuhan terakhir. Anissa mengambil gula halus dan menaburkannya di atas. “Tadaaa.. Chocolate lava cake ala Chef Anissa dan Mami Fany.”

      Anissa tersenyum bangga, menunjukkan kue buatannya ke hadapan Dexan. Sejujurnya ini adalah tantangan dari calon suaminya yang sangat menyukai makanan berbau coklat dan kopi. Jika ia dessertnya tidak enak, maka ia harus suka rela diajak berkeliling cantik di mall, memilih dress untuk dipakai saat pesta pernikahan teman SMA Dexan.

      Dexan mengambil satu piring di tangan Anissa, menyunggingkan senyum sinisnya. “Belum tentu yang terlihat menggoda bisa memuaskan lidah. Seperti pepatah, yang cantik wajahnya belum tentu cantik juga hatinya. Semuanya akan cantik, bila rasanya yang mampu memuaskan lidah. Mengingat dirimu yang begitu ceroboh saat memasak.”

      “Mami gak bantuin, dan ini benar-benar buatan Anissa tanpa campur tangan mami. Kamu tahu sendiri mana bisa mami bikin beginian.”

      Dexan membelah kue tersebut dengan pisau makan,hanya dengan sentuhan itu, coklat yang di dalamnya meleleh keluar, membasahi piring putih itu. Sebetulnya tanpa dirasa dengan lidah, kue itu sudah benar-benar menggoda. Harumnya yang menyebar, memenuhi indra penciuman. Memikat siapa saja yang berada di dekatnya.

      Mengambil sesendok kue itu, seakan coklat-coklat berhamburan keluar, mengajaknya untuk mencicipi secara perlahan. Rasa yang ada pertama kali adalah kelembutan coklat. Coklat itu seakan-akan meleleh di dalam mulut. Memberikan sensasi yang tiada tara.

      “Gotcha!! Aku menang! Hari minggu depan kamu ikut aku senam dengan ibu-ibu komplek. Dan kamu harus jadi instruktur senam lansia.”

      Dan hari itu adalah hari terakhirnya memasak bersama Mami Fany.

      “Jangan melamun.” Dexan mengelus tangan Anissa penuh kasih sayang. Mengembalikan Anisa ke dunia nyata. “Kasihan gado-gado kamu dicuekin.”

      Tanpa terasa matanya mulai buram. Genangan air mata sudah bersedia untuk turun.

      “kenapa?” kali ini tangan besar itu pindah ke pipi tembam Anissa. Mengusapnya perlahan.

      “Aku kangen sama mami.”

      ***

      “Jangan menangis, aku sudah janji dengan diriku untuk tidak menyakitimu sampai kapan pun.” Tangan keriput itu menghapus cairan bening yang keluar tanpa malu, membasahi pipi.

      Tubuh tua itu telah berbaring selama tiga hari. Dengan berbagai alat yang menempel, membantu kelangsungan hidupnya. Sungkup oksigen terpasang dengan benar. Kedua jarinya terikat dengan kasa putih di samping penghalang tempat tidur. Bukan untuk menyiksa, hanya saja untuk menjaganya supaya tetap aman. Tidak terjadi cidera akibat jatuh. Tangan kanannya juga terpang selang infus three way dan syringe pump set, untuk mengatur pemberian obat dalam jangka yang lama. Sangat miris apalagi melihat orang yang tersayang dalam kondisi coma.

      “Aku janji setelah kamu sembuh, semua alat-alat ini tidak akan menyentuh kulitmu meski hanya sejengkal. Asal kau tetap bersamaku. Berada disisiku hingga maut mengambil nyawa kita berdua.” Kalimat yang diucapkan begitu lirih.  Membuat Anissa berkali-kali menahan laju air matanya.

      “Kamu ingat waktu kita meranyakan ulang tahun perkawinan yang ke 30 tahun? Kamu membisikkan bahwa kamu yang akan mengurusku, mengganti diapersku apabila aku sudah tidak bisa berjalan. Menyuapiniku makan hingga perutku terisi kenyang. Dan yang paling penting menemaniku di saat senja tiba. Melihat matahari yang tenggelam, digantikan dengan bulan yang hadir dengan malu-malu. Menatap bintang sambil berdoa agar kita selalu disatukan di dunia maupun di akhirat.”

      “Dan yang paling penting adalah menyaksikan anak dan menantu kesayanganmu bersatu di pelaminan. Tersenyum bahagia. Bahkan kita akan kerepotan membuatkan makanan permintaan janin yang ada di dalam perut Anissa. Atau kita bisa saja kerepotan membantu si kembar yang akan lahir. Berlarian ke setiap sudut ruangan, mengejar langkah-langkah kecil itu yang mencoba menjelajahi dunia barunya.” Lagi lagi kalimat itu terdengar sangat lirih, membayangkan masa depan yang indah.

      “Aku bahkan akan membantumu mengecat rambut yang telah memutih. Kita akan berbagi kebahagiaan diiringi lagu kesukaanmu. Lagu yang membuatmu tersenyum saat aku menyanyikannya di pagi hari. Jika itu bisa membuatmu kembali tersenyum dan mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang, maka aku akan senantiasa menyanyikannya setiap kamu mau tidur di malam hari, dan saat di pagi hari.”

      I want to share

      All my love with you

      No one else will do.

      And your eyes, your eyes

      They tell me how much you care

      Ooh yes, you will always be

      My endless love

      “Ya, dan suara daddy mampu membuat calon istriku tersentuh. Terima kasih Dad.” Dexan meberikan suara diakhir nyanyian itu. Membuat wajah kesal seakan calon istrinya akan direbut oleh ayahnya sendiri.

      Laki-laki tua itu terkekeh pelan, menghapus air matanya sendiri. “Lihat Mam, anakmu cemburu dengan lelaki tua sepertiku.”

      Anissa menggigit bibirnya dan masuk ke dalam rengkuhan lengan kokoh Dexan. Menghirup aroma mint sebanyak-banyaknya.

      “Aku rasa mami harus segera sehat, dan mengunci daddy di dalam brankas. Aku tidak mau istriku berpaling ke daddy.” Seketika itu juga Dexan menerima cubitan panas di pinggang.

      “Calon!” tegas Anissa.

      Dia memutar bola matanya, “sebulan lagi kau sah menjadi Nyonya Dexandra.”

      “Lihat Mam, mereka menyebalkan.” Rajuk daddy, seakan anak kecil yang iri dengan teman sepermainannya. “Kamu tahu? Kemarin siang Anissa juga menyebalkan, membawakanku pisang berwarna kuning hanya satu buah. Calon menantu macam apa itu?”

      Anissa tersenyum mendengar gerutuan daddy-nya. Kemarin daddy-nya meminta dia membelikan pisang karena daddy-nya itu sedang ingin makan pisang. Karena Anissa tahu, penyakit yang diderita daddy adalah diabetes, maka pagi—pagi sekali Anissa berjalan ke pasar, mencari pisang buah, yang berwarna kuning tanpa bintik-bintik coklat. Pisang yang sepeti itu sangat bagus, dengan kandungan gula yang pas dan cocok untuk penderita diabetes.

      Memakan pisang yang sudah berbintik kecoklatan tidak baik. Karena kandungan gula dalam pisang tersebut meningkat. Anissa belajar tentang itu sejak zaman dia masih kuliah dan akan tetap menerapkannya sampai saat ini.

      “Aku melakukannya untuk menjaga kadar gula dalam darah daddy.” Jawab Anissa dengan tenang.

      Kali ini Anissa sedikit meremas ujung bajunya. Entah kenapa firasatnya mengatakan hal yang tidak baik untuk beberapa saat ke depan. Matanya memindai seluruh peralatan yang menempel pada tubuh calon ibu mertuanya.

      Oksigen bagus. Pernapasan masih seperti awal. Saturasi oksigen dalam batas normal, meski dibantu.

      “Mami tadi udah makan?” tanya Dexan lembut. Mengelus rambut putih Mami-nya dengan sayang.

      “Sudah dong, Daddy yang memberi makan lewat selang NGT. Dua ratus lima puluh mililiter dengan lancar tanpa ada yang tumpah sedikitpun.” Daddy menjelaskan dengan bangga.

      Dexan mencibir pelan. Mengejek lelaki tua itu yang dianggapnya terlalu berlebihan. Sedangkan Anissa  tersenyum, “mami gak suka susu putih. Mungkin nanti kalau sudah sadar dia akan menghajar daddy, karena memberi makan susu putih..”

      “Asal kamu tidak bilang, semua akan aman.” Balasnya dengan tenang, “nanti daddy akan bilang kalau selama dia tidak sadar, daddy memberinya makan bakso buatan kamu.”

      Anissa menaikkan alisnya sebelah, orang yang tidak waraspun tahu, seseorang yang mengalami kesadaran menurun hingga koma tidak akan mungkin bisa makan tanpa dibantu dengan selang. Apalagi makanan itu berbentuk bulat dan besar, tidak halus sama sekali.

      “Daddy ingat kalian pernah buat kerusuhan saat membuat bakso.”

      Kilasan balik mulai memasuki pikiran Anissa. Saat itu Anissa hanya tinggal sendiri di rumah, karena orang tuanya pergi keluar kota dan Anissa tidak bisa ikut karena bersamaan dengan jadwal dinasnya.

      “Nissa kita bikin bakso yuk, Mami lagi ingin makan bakso.” Anissa dengan sigap langsung membuka kulkasnya. Mencari bahan-bahan yang tersisa di akhir pekan. Untungnya dia menemukan bakso yang sudah jadi dan sayur sawi hijau yang sudah dibersihkan dan dipoton-potong. Saat membuka lemari dapur, dia juga menemukan sebungkus bihun instan.

      “Ayo Mih. Udah lama gak masak bakso, dan ini bahan-bahannya juga masih ada.”

      Dengan telaten Anissa langsung melepaskan bola-bola bakso dari bungkusnya. Mendiamkannya agar tidak keras saat dibelah dengan pisau. Selama mendiamkan bakso, Anissa merebus bihun hingga matang. Tidak terlalu matang. Begitu juga dengan rebusan sawi hijau yang matang namun tetap terasa saat mengunyahnya. Meniriskan sawi hijau dan bihun hingga tidak ada air yang tersisa.

      Selain itu Anissa langsung memasukkan air ke dalam panci. Merebusnya hingga mendidih. Lalu memasukkan beberapa buah bakso. Setelah itu Anissa mengupas bawang putih dan menumbuknya, namun tidak terlalu halus. Dan memasukkannya ke dalam panci yang berisi air mendidih. Di tambah dengan tumbukan lada yang halus.

      Anissa juga tidak lupa menambahkan sedikit penyedap menggunakan bumbu bakso yang sudah jadi. Mencampurnya dan mengaduknya hingga menguarkan aroma yang mampu membuat perut berdemo. Anissa mematikan kompor. Menyiapkan mangkok ayam seperti abang tukang bakso yang suka keliling di depan rumahnya. Anissa mengambil beberapa potong sawi dan bihun. Memasukkannya ke dalam mangkok, lalu mengambil lima buah bakso dan menyiramnya dengan kuah bakso yang begitu harum. Anissa mengambil bawang goreng yang selalu siap di toples meja makan. Menaburkannya. Menambah keharuman dalam bakso buatan Anissa.

      “Tadaaa… Bakso kuah ala chef Anissa dan Mami Fany.”

      Anissa merasakan tubuhnya tergoncang. Mengembalikan pandangannya ke dalam ruang ICU yang penuh dengan warna putih dan alat-alat medis. “Pasti melamun lagi.”

      Anissa tersenyum. Menunjukkan deretan gigi yang terlihat putih bersih. Membuat Dexan mengarahkan tangan nakalnya mengacak rambut hitam Anissa.

      “Jangan menangis bu. Kasihan bapaknya. Kalau tidak kuat mending keluar dahulu, tenangin diri, nanti masuk lagi. Kalau ibu nangis, bapaknya juga ikut sedih, tidak bisa memberi semangat untuk bapak.” Suara teguran itu terdengar di sebelahnya.

      Anissa melihat ibu-ibu sekitar empat puluh tahun yang meraung-raung, menangis memeluk suaminya yang terbaring lemah. Anissa langsung memberikan kode kepada Dexan yang dibalasnya dengan anggukan. Dalam beberapa detik dirinya sudah berpindah tempat, mengajak ibu itu untuk menenangkan diri di ruang tunggu. Di dalam ruangan seperti ini, berbagai emosi akan mempengaruhi kondisi pasien secara psikologis. Entah benar atau tidak, tetapi jika seseorang yang sedang mengalami kesadaran menurun, dan mendengar semangat dari seseorang yang dikasihi, maka pasien itu terpacu untuk bangkit, melawan penyakitnya sendiri. Dan itu semua masih dalam kuasa Tuhan.

      Setelah mengajak ibu-ibu tersebut untuk duduk, Anissa ingin kembali ke dalam ruang ICU, namun yang dilihatnya adalah wajah panik Dexan dan beberapa perawat serta seorang dokter jaga tergesa-gesa menghampiri salah satu bed.

      “Aku mohon, kamu tunggu di sini. Jangan masuk.” Dexan mengecup puncak kepala Anissa dan langsung menutup pintu, membuat Anissa tidak bisa melihat apa yang terjadi.

      ***

      The End~

      Endingnya tebak sendiri ya haha..

      Ini terinspirasi waktu lagi di rumah sakit. Waktu itu ada kakek-kakek yang rela nunggu istrinya, gak pulang-pulang ke rumah. Setiap jenguk pasti bikin baper yang ngeliat… tapi aku berharap semoga kakek dan nenek itu sehat selalu hingga saat ini. Aamiin

    • #298169
      Author4
      Keymaster

      Pas baca langsung ngerasa alami, natural, seolah olah apa yang terpapar di cerita ini emang sesuatu yang benar-benar menjadi keseharian di dunia medis

      Yang ditekankan disini hubungan mami dan anissa ya ….calon mantu dan mertua akur nih, ditunjukkan dengan masak bareng yang lumayan bikin ngiler.. udah lapar trus bokek itu ngilernya dobel plus ngenes

      :aaaKaboor

      Dapat pengetahuan baru neh ttg pisang dengan kandungan gula yg tepat

      Ending tebak ndiri? Karena au positip thinking maka ada keajaiban, mami sembuh dan semua bahagia

       

      Btw nama dexan ngingetin au ama obat au dexamethasone wkwkwkwkk

    • #298303

      Ceritanya Bagus cuma klo memang ada bagian cerita yg di skip atau lanjut ke flashback tolong Kasih jeda yaa macem tanda **** atau di tambahin narasinya biar gak terkesan loncat jadi pembaca gak bingung dgn timingnya sama setting tempatnya.. contoh saja paragraf di atas tokoh utama sedang di resto dan paragraf di bawah tiba2 udh ganti posisi aja di dapur…

      selain itu semuanya Bagus kog… kuenya juga terlihat menggiyurkan :)

    • #298333
      Author2
      Keymaster

      Cerpennya bagusss suka deh cerita dengan latar belakang kedokteran/kesibukan di RS  begini

      Ah bagian lava cake nya bikin ngiler berat apalagi ada gambarnya hihihi suka suka  :aaaKaboor  proses pembuatan lava cake nya berasa enak

      Endless love ini kisah cinta mami ya, mudah2an segelah oenanganan, mami bisa sembuh dan sehat kembali ya

    • #298444
      sellpit
      Peserta

      @Author4 makasih kak.. Aduh di baca kakak aja bikin mood berbunga bunga… Saking positive thinking ya kak

       


      @SriRahayuYayuk
      iya kak makasih ya udah mau sempetin baca ini..  Makasih udah di Kasih tau juga..  Haha maklum kak udah lama ndak nulis

       


      @Author2
      aku aja pas bikin ini bawaannya laper kak haha..  Makasih ya udah mau baca bikin berbunga bunga dah pokoknya mah

    • #298447
      DaffaAhmadi
      Peserta

      Kalo kisah annisa sama dexan diceritain sendiri latar belakangnya mereka bisa jadian bagus ya, tentang si tukang perintah yg ganteng :inlovebabe

      Suka ama cerpennya, nyeritain proses memasaknya pas dan bikin laper kakak :RAKUSS

       

    • #298454
      didiyah06
      Peserta

      :aaaKaboor

    • #298587
      sellpit
      Peserta

      @daffaahmadi iya aku juga laperr pas nulisnya haha makasih ya udah baca

      Aslinya ganteng kok tapi dalam bayangan :inlovebabe

      @didiyah06 dirimu kenapa???  Haha

    • #298796
      AzharKhoiri
      Peserta

      Mamiiii… harus sembuh yaa!!!  :DOR! #edisicalonmantusangar

    • #298805

      Smga mami sehat
      terharu sama kesetiaannya

    • #299579
      sellpit
      Peserta

      @AzharKhoiri ngeri dong kalo sangar haha

      @Dalpa haha makasih ya udah baca

Melihat 10 pertalian (thread) balasan
  • Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.