Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Forum Kepenulisan › [LOMBA CERBUNG MISTERI] PETRICHOR – PART III
Di-tag: LOMBA CERBUNG MISTERI
- This topic has 10 balasan, 7 suara, and was last updated 8 years yang lalu by Dalpahandayani.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
-
10 Oktober 2016 pada 9:22 pm #155131kanasaPeserta
PETRICHOR
PART III: JALINAN TAKDIR
Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran Pangeran Petrichor. Siapakah orang berinisial ‘N’ ini? Kemungkinan besar dia adalah pemimpin kelompok pemberontak itu. Itulah kesimpulan yang bisa diambil Sang Pangeran saat ini.
Pangeran Petrichor menggenggam kain merah itu di dalam kepalan kuat tangan kanannya. Dia berbalik menghadap Travis.
‘‘Travis,’’ panggil Pangeran Petrichor.
‘‘Ya, Pangeran,’’ jawab Travis.
‘‘Kau telah memindai seluruh lokasi di hutan Datrebil ini beberapa saat yang lalu,’’ Pangeran Petrichor berkata, ‘‘apakah ada padang rumput luas di dekat gua ini?’’
Travis mengangguk dengan mantap, ‘‘Ya, Pangeran, lokasi yang Anda tanyakan memang ada di dekat sini. Jika kita keluar dari mulut gua dan pergi menuju arah utara, kita akan menemukan sebuah padang rumput yang sangat luas. Padang rumput itu dikenal juga dengan nama Padang Elprado.’’
Rasa puas tercermin di muka Pangeran Petrichor.
‘‘Kita menuju kesana sekarang juga,’’ titah Pangeran Petrichor, ‘‘para pemberontak itu nampaknya menginginkan medan yang lebih luas sebagai arena peperangan.’’
Travis mengangguk, setuju dengan pemikiran Pangeran Petrichor.
Mereka pun keluar dari dalam Gua Kematian. Menuju Padang Elprado.
***
Ketika mereka tiba di Padang Elprado, matahari mulai condong ke arah barat. Padang Elprado benar-benar sangat luas. Disana, Pangeran Petrichor melihat segerombolan orang berkuda, nampak menunggu kedatangan pasukan Sang Pangeran. Mata Sang Pangeran langsung mengukur seberapa besar kekuatan lawan. Tatapannya berhenti pada sosok perempuan yang berada di barisan depan, di tengah-tengah gerombolan berkuda itu. Perempuan itu dengan angkuhnya duduk diatas seekor kuda berwarna hitam. Dilihat dari pembawaannya, perempuan itu nampaknya pemimpin kelompok itu. Ada aura pemimpin yang dipancarkan dengan kuat oleh perempuan itu.
Seketika Pangeran Petrichor terkesiap. Perempuan itulah yang selalu muncul dalam mimpinya!
Perempuan itu terlihat begitu cantik. Kulitnya putih bersih seperti salju. Bibirnya merah. Matanya tajam. Rambut hitamnya tergerai indah sampai ke pinggang. Dia memegang busur panah di tangan kirinya. Anak-anak panah disimpannya di pinggang sebelah kanannya, sedangkan di pinggang sebelah kirinya tersampir pedang. Baju zirah yang dipakainya justru semakin menambah kecantikannya. Pangeran Petrichor terpana kagum. Perempuan itu layaknya seorang Dewi Perang yang turun ke bumi.
Tetapi dia bukan seorang dewi. Dia hanya seorang pemberontak kecil. Pangeran Petrichor terkekeh dalam hati. Jika bukan dalam suasana perang seperti ini, mungkin Pangeran Petrichor akan mempertimbangkan untuk mengambil perempuan itu sebagai istrinya.
‘‘Lebih baik kalian menyerah,’’ ucap Pangeran Petrichor lantang, ‘‘sudahi permainan kalian ini. Jika kalian tetap keras kepala, kalian tidak akan mendapatkan apa-apa. Kalian akan kehilangan nyawa kalian dengan sia-sia.’’
‘‘Dalam mimpimu, Pangeran bodoh,’’ cemooh perempuan itu.
‘‘Beraninya kau!’’ ucap Pangeran Petrichor marah, ‘‘Siapa sebenarnya kau?’’
‘‘Ha..ha..ha…’’ perempuan itu terbahak, ‘‘Ada apa denganmu, Pangeran? Kau merasa tersinggung dengan ucapanku? Kau itu memang bodoh, percaya begitu saja dengan jebakan yang kami buat. Datang dengan begitu percaya diri ke Gua Kematian padahal kami sudah meninggalkan tempat itu. Apa namanya kalau bukan bodoh? Perutku sampai sakit saat membayangkan tampangmu ketika sampai disana dan menyadari bahwa kami tidak ada. Ah, ya. Namaku Nitida. Nitida dari Desa Datrebil. Semoga otak bodohmu dapat mengingatnya.’’
Ah, jadi nama perempuan itu Nitida. Nama yang cantik. Pangeran Petrichor mendesah dalam hati.
Akan tetapi, perkataan perempuan itu yang mengatainya bodoh, langsung menghapus kekaguman Sang Pangeran. ‘‘Kau! Pemberontak kecil tidak tahu diri,’’ desisnya.
‘‘Kami bukan sekumpulan orang tidak tahu diri. Kami hanya menuntut hak kami, Pangeran bodoh,’’ ucap Nitida tenang.
‘‘Berhenti mengataiku bodoh, sialan! ’’ raung Pangeran Petrichor.
‘‘Kau pantas dengan pantas dengan sebutan itu, Pangeran,’’ kekeh Nitida, ‘‘kami tidak akan menyerah begitu saja, Pangeran,’’ Nitida tampak berpikir sejenak. ‘‘Baiklah, Kami mengajukan sebuah penawaran. Kami akan berhenti dan menyerah hanya jika kalian menyetujui untuk membebaskan desa kami dari kerajaan kalian. Kami hanya ingin merdeka. Tidak sulit, bukan?’’
‘‘Tidak. Akan. Pernah.’’ Pangeran Petrichor menekankan setiap suku kata yang dia ucapkan. ‘‘Tanah ini sejak dulu adalah satu. Bersatu di bawah Kerajaan Anqash. Selamanya akan tetap begitu. Dan kalian para pemberontak tidak akan pernah bisa merubahnya. Tidak akan pernah bisa selama aku masih hidup.’’
‘‘Itu hanyalah sebuah kesatuan semu yang dipaksakan!’’ bantah Nitida. ‘‘Kalian tidak pernah benar-benar memperhatikan kami. Kalian hanya memperhatikan daerah-daerah yang dekat dengan ibukota, daerah yang dekat pelabuhan karena ada aktivitas perekonomian yang berjalan disana, atau daerah yang memberikan persembahan besar kepada kerajaan. Kalian mengabaikan kami. Kalian bahkan tidak berusaha memperbaiki akses menuju wilayah kami, desa kecil bernama Datrebil di kaki Pegunungan Antisuyu yang terisolasi dari dunia luar. Kami bahkan harus bersusah payah menembus hutan ini jika ada kepentingan yang sangat mendesak.’’
Nitida berhenti sejenak lalu melanjutkan, ‘‘Kau tahu, Pangeran. Para leluhur kami bahkan dengan sangat terpaksa menculik para penyembuh yang kebetulan sedang berada di hutan di dekat desa kami. Kami tidak memiliki satu pun penyembuh. Bayi, anak-anak, orang dewasa, dan orang tua, mati begitu saja jika mereka mengalami sakit yang parah. Kalian malah mengarang cerita jika para penyembuh itu mati di terkam serigala liar di Gua Kematian. Lucu sekali,’’ Nitida terkekeh.
Ekspresi Nitida seketika berubah mengeras, ‘‘Biarkan kami lepas dari Kerajaan Anqash, Pangeran. Itu adalah solusi yang terbaik, tidak akan ada darah yang tertumpah. Lagipula, itu tidak akan terlalu berpengaruh pada kalian, bukan? Kalian hanya akan kehilangan sedikit wilayah yang selama ini sudah kalian lupakan.’’
‘‘Kau jangan mengada-ada, pemberontak kecil,’’ sanggah Pangeran Petrichor, ‘‘Kami tidak pernah membeda-bedakan wilayah-wilayah yang ada dalam kekuasaan kami. Bahkan kami selalu mengirimkan bantuan khusus untuk desa-desa terpencil seperti Desa Datrebil ini.’’
‘‘Apakah ini hanya sekedar pembelaanmu saja, Pangeran?’’ tanya Nitida, matanya menatap Pangeran Petrichor dengan tajam, berusaha menemukan kebohongan disana. Tetapi dia tidak menemukan sedikit pun tanda kebohongan di mata Sang Pangeran. Seketika otaknya membentuk suatu kesimpulan logis, ‘‘Sepertinya ada pengkhianat diantara orang-orang dalam pemerintahanmu, Pangeran.’’
Pangeran Petrichor nampaknya sepaham dengan pemikiran Nitida, ‘‘Mungkin ucapanmu ada benarnya. Aku akan memastikan sendiri para pengkhianat pemerintah itu untuk dihukum seberat-beratnya. Oleh sebab itu, sekarang lebih baik kalian menyerah. Aku nanti yang akan turun langsung untuk memastikan kesejahteraan desa kalian,’’ tawar Sang Pangeran.
‘‘Tidak semudah itu, Pangeran,’’ ucap Nitida, ‘‘menurutmu kami akan percaya begitu saja? Kami sudah muak dengan segala janji kosong itu. Kami tidak akan menyerah. Kami hanya ingin merdeka.’’
‘‘Kau tidak memberiku pilihan lain, bukan?’’ tanya Petrichor dengan nada tajam.
‘‘Tentu saja,’’ jawab Nitida dengan lantang, ‘‘kami sudah tidak mau lagi berada di bawah Kerajaan Anqash.’’
‘‘Baiklah,’’ ucap Pangeran Petrichor dengan tenang. Mereka telah berseberang jalan. Meskipun dia sama sekali tidak menginginkan dan berusaha menghindari terjadinya peperangan dengan menawarkan sebuah perjanjian, tetapi tampaknya dia tidak punya pilihan, ‘‘ini adalah pilihanmu. Aku pastikan bahwa kau akan menyesal, pemberontak kecil,’’ tiba-tiba Pangeran Petrichor menyeringai, ‘‘dan maafkan aku jika nanti aku harus melukai wajah cantikmu itu, Nitida.’’
Pangeran Petrichor berbalik. Memberi aba-aba pada pasukannya, ‘‘SERANG!’’
***
Begitu aba-aba penyerangan terlontar di udara, peperangan antara pasukan Pangeran Petrichor dan Nitida pun tak terelakkan lagi. Mereka dengan berani saling menyongsong pasukan dari lawan masing-masing. Masing-masing dari mereka berperang dengan sepenuh hati, berusaha mempertahankan dan memperjuangkan keyakinan masing-masing.
Pangeran Petrichor duduk dengan gagahnya diatas kuda hitam kebanggaannya. Dengan menggunakan tangan kirinya dia memegang pedang dan siapapun dari menghabisi pasukan Nitida tanpa ampun.
Peperangan berlangsung dengan sangat sengit. Sebagai pemimpin, dengan cepat Pangeran Petrichor melihat keadaan pasukannya. Mereka nampaknya kewalahan menghadapi pasukan Nitida. Pasukan Nitida seolah muncul dimana-mana dengan begitu saja sehingga banyak sekali dari prajuritnya yang dihabisi dengan mudah. Sekarang mereka mulai kalah jumlah. Pangeran Petrichor yakin bahwa selain pasukan Nitida memang benar-benar tangguh, mereka juga diuntungkan karena telah mengenal medan dengan baik sangat baik.
Di kejauhan, Pangeran Petrichor melihat Nitida yang bergerak sangat gesit dari atas kudanya. Dia berhasil melumpuhkan prajurit dari pihak Pangeran Petrichor dengan menggunakan pedang dan panah. Raut mukanya begitu berkonsentrasi. Rambut panjangnya terlihat berkibar tertiup angin. Nitida terlihat begitu mengagumkan.
Seketika kekaguman Sang Pangeran mendadak lenyap begitu saja ketika dilihatnya Nitida telah menghunuskan pedangnya dan menghabisi Travis dengan kecepatan kilat. Pangeran Petrichor murka. Sangat murka. Sahabat terbaiknya dibunuh di depan matanya sendiri.
Cukup sudah. Pangeran Petrichor memutuskan untuk segera mengakhiri peperangan ini. Awalnya dia berencana untuk menangkap dan membawa Nitida hidup-hidup ke Benteng Huaraz di ibukota Kerajaan Anqash, dan mungkin mengupayakan kembali jalan damai dengan pihak Nitida. Tetapi, melihat orang terbaiknya dibunuh, Pangeran Petrichor menjadi gelap mata. Dengan diliputi amarah, Sang Pangeran membidikkan anak panahnya ke arah Nitida. Dia adalah pemanah terbaik sepanjang masa di Kerajaan Anqash. Bidikannya tidak pernah meleset sedikitpun.
Waktu serasa melambat ketika anak panah itu melesat di udara dan menancap sempurna di dada kiri Nitida. Perempuan itu seketika kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari atas kuda hitamnya.
Peperangan itu mendadak terhenti dengan jatuhnya Nitida. Para prajurit tiba-tiba saja tidak saling menyerang. Mereka merasakan ada aura aneh yang menguar dari arena peperangan itu.
Pangeran Petrichor turun dari kudanya, memutuskan untuk menghampiri Nitida untuk memeriksa keadaan perempuan itu. Tanpa dia sadari awan gelap telah mengambang di atas mereka. Ketika Sang Pangeran tiba di tempat Nitida berada, tetes hujan pertama pun jatuh dari langit.
Tiba-tiba saja, hujan turun dengan begitu derasnya diiringi dengan tiupan angin kencang, kilat yang menyambar, dan gemuruh petir. Ketika Sang Pangeran melihat keadaan Nitida yang tergeletak, tubuhnya seketika kaku.
Nafas perempuan itu terlihat putus-putus. Luka di dada sebelah kirinya terlihat mengeluarkan banyak darah yang bercampur dengan air hujan. Tetapi yang membuat kaku tubuh Sang Pangeran adalah ketika melihat tanda di leher kiri Nitida. Bunga protea.
Pandangan Sang Pangeran menjadi nanar. Ingatan tentang mimpi-mimpinya, tanda bunga protea, membentuk sebuah pemahaman yang menghantamnya dengan begitu kuat.
Jalinan takdir itu telah putus.
(Tamat)
-
11 Oktober 2016 pada 9:21 am #156801RositaAmalaniPeserta
Wahh endingnya bikin sedih tapi seperti open ending jadi bisa suka2 pembaca mau endingnya seperti apa hihi :aaaKaboor  Kl ada lanjutannya lagi bolehlah #ditabok# Bagus ceritanya seru :NABRAKKACA
-
11 Oktober 2016 pada 11:44 pm #159387SeeYouPeserta
Duh endingnya itu loh, sera suka sad end tapinya… :PEDIHH Â selamat.. Ceritanya bagus banget…Â :tebarbunga
-
19 Oktober 2016 pada 9:34 pm #192597kanasaPeserta
@RositaAmalani gomen baru nengok ini, jadi baru bales. Ini aku malah udah bikin bagian endingnya dulu sebelum nulis keseluruhan ceritanya, jadi biarkan nasib abang Petrichor kayak gini, soalnya ini kan temanya cerbung misteri, hihi.
Anyway, makasih banyak udah baca ceritaku sampai selesai. Klo aku nulis cerita lagi nti baca juga ya ;)
-
19 Oktober 2016 pada 9:37 pm #192609kanasaPeserta
@SeraYukiko haha iya, sebenernya nggak tega bikin ending gini, tapi apa daya yang muncul di otak malah scene ending dulu.
Makasih banyak yaaa udah baca cerita aku ;)
-
20 Oktober 2016 pada 7:51 pm #195996
-
20 Oktober 2016 pada 8:17 pm #196103kanasaPeserta
@Author5 makasih, au. Iya nih @RositaAmalani juga minta dilanjut. Nti deh dicoba nyuri-nyuri waktu disela nulis paper. Jadi #curcol, wkwk.
-
28 Oktober 2016 pada 10:38 am #230363farahzamani5Peserta
Aduhhh ending ny knp bgni?
Pangeran baru ketemu ama jodoh ny ehh udah mau pisah lgi aja
Musti dilanjut ini dah ka
Btw Nitida msh putus2 kan nafasny, blom meninggal kan, nahhh jngn ampe meninggal klo gtu ya hihi ‘bnyk mau ny nih’
Sukaaaa sam cerita ini
Kerennnn dah pokokny
Ditunggu kelanjutan ny ya ka
Semangattt -
10 November 2016 pada 2:19 pm #280975kanasaPeserta
@farahzamani5 makasih udah bacaa..
nti kalo lanjutannya udah beres pasti di upload disini :D
-
12 November 2016 pada 10:56 am #288574hazelctPeserta
:PATAHHATI dilanjutkan lg
-
27 November 2016 pada 12:02 pm #302063DalpahandayaniPeserta
Knp sad ending sih
-
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.