Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Forum Kepenulisan › [Lomba Cerbung Misteri] MIANO DA MOUSO MATANO : Bagian 2
Di-tag: Lombacerbungmisteri
- This topic has 8 balasan, 6 suara, and was last updated 8 years yang lalu by Dalpahandayani.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
-
6 Oktober 2016 pada 1:34 am #128581carijodohPeserta
Lomba Cerbung Misteri
Judul : MIANO DA MOUSO MATANO
Genre: Adventure, Mystery, Thriller
Penulis: @Carijodoh
Catatan: Cerita ini hanya fiksi belaka, nama tempat dan lokasi hanya sebagai pendukung imajinasi Penulis saja.
.
Bagian 2. Gugusan Pulau yang Tersembunyi
.
Malam ini kami mengingap dirumah penduduk yang sudah Imha pesankan sebelumnya, setelah makan malam kami kembali berdiskusi mengenai rencana dini hari nanti. Pukul satu kami akan bertolak dari kabaena menggunakan perahu kayu yang sudah dipersiapkan. Sebelumnya aku sempat mengobrol dengan beberapa nelayan yang akan mengantarkan kami ke pulau yang namanya tidak boleh disebutkan keras-keras itu, bahkan para nelayan itu lebih memilih menyebut nama pulau itu dengan singkatan DNO. Katanya biar aman. Aku mengangguk saja mengiyakannya.
Sejak berpisah dari Imha aku mencoba untuk berfikir logis dan positif kembali. Aku memang pengecut, tapi tak pernah sekalipun dalam hidupku menjadi sepengecut hari ini hanya karena sebuah cerita rakyat yang belum tentu kebenarannya. Setiap pemikiran negatif datang, maka saat itu pula aku akan mencoba memanggil kembali ingatanku tentang obrolan bersama Prof.Turnbull diperahu selama perjalanan menuju Kabaena hari ini. Sebuah obrolan yang (setidaknya) sedikit menenangkanku.
“Menurut Prof.Adi, anda sudah melakukan penelitian di pulau itu sebanyak dua kali”. Mulaiku dengan basa-basi, duh, aku memang sangat tidak pintar basa-basi, enaknya sih langsung tembak aja ke point pentingnya. “Boleh saya tahu pendapat anda mengenai Pulau itu secara lebih… pribadi? Karena sebelumnya saya hanya membaca hasil penelitian anda didalam jurnal-jurnal itu”.
“Pulau ini memang sangat tak terjangkau, sulit sekali menemukan artikel di internet yang mengulas mengenai pulau ini dan segala misteri yang ada didalamnya, saya bahkan meminta Adi melacak dan mencarikan info mengenai pulau ini di internet dalam bahasa Indonesia atau dimanapun, tapi hasilnya tidak memuaskan. Ternyata masyarakat dan pemerintah disini benar-benar berusaha menyembunyikan keberadaan pulau dengan tidak mengeksposnya kemana-mana, bahkan saya menemukan letak pulau ini melalui bantuan satelit”. Aku mencoba mencerna penjelasan Prof.Turnbull ditengah gelombang-gelombang air yang menerpa perahu dan menciptakan rasa mual juga pusing itu. “Apakah kamu tahu darimana saya menemukan pulau ini dan si hijau?”.
The green, istilah itulah yang Prof. Turnbull gunakan untuk menyebutkan manusia penghuni pulau itu, sementara menurut Imha, masyarakat sekitar menyebut mereka dengan Bahasa Moronene yaitu Miano da mouso matano. Sebuah nama lainnya yang sangat terlarang untuk disebutkan keras-keras.
Aku menggeleng karena tidak tahu jawabannya, Prof.Adi saja jarang sekali mengungkapkan asal-usul inspirasi penelitiannya, lalu bagaimana aku bisa tahu dari mana Prof.Turnbull ini menemukan semua itu.
Prof.Turnbull menyingkirkan buku jurnal yang ada dipangkuannya dan mengambil tas carrier yang terletak disampingnya, membuka tas itu dan mengeluarkan sebuah wadah khusus berbahan plastik kedap udara. Prof.Turnbull membuka, mengeluarkan isinya dan kemudian terlihat kumpulan copy-an manuskrip usang yang tersimpan rapih. Melihat copy-an manuskrip itu sekilas saja aku bisa menakar setua apa umurnya.
Yang kupertanyakan adalah bagaimana bisa dia mengopi manuskrip-manuskrip itu? Apakah dia memiliki manuskrip aslinya?
Prof.Turnbull menertawakanku yang masih saja tercengang melihat manuskrip itu. “Adi mengatakan pada saya kalau kamu adalah salah satu murid yang dipercayainya. Katanya, selain menguasai bidangmu, kamu juga mampu menggunakan beberapa bahasa, salah satunya bahasa Spanyol, betul?”
“Benarkah Prof.Adi mengatakan itu?” tanyaku terpana, aku tidak tahu kalau Prof.Adi ternyata memujiku didepan koleganya. Ada rasa hangat dan bahagia yang mengalir dihatiku. Tidak sia-sia selama ini usahaku menebalkan muka dan tekad menghadapi Profesor yang satu itu.
“Ya, tentu saja. Kamu fikir kamu akan berada disini jika bukan karena dia mempercayaimu?” mendengarkan itu segala ketakutan dan beban yang menggelayuti hatiku terasa pudar. Aku lebih percaya diri dan yakin akan mampu menghadapi apapun yang terjadi dua minggu kedepan. “Jadi kamu bisa Bahasa Spanyol?” .
“Ya, walaupun tidak sempurna tapi setidaknya saya bisa memahami, Prof.”
“Saya sudah mengopi manuskrip ini untukmu. Agar kamu bisa membaca dan tahu mengenai asal-usul penelitian dan apa saja yang mungkin akan kita hadapi di pulau itu” Aku menerima kertas berisi tulisan dalam Bahasa Spanyol itu dan menatapnya lama-lama. “Jangan khawatir, lihat saya, saya baik-baik saja dan masih hidup sampai sekarang” Katanya sambil tersenyum meyakinkan, lalu kembali fokus pada buku jurnalnya. Mengabaikanku yang masih terkagum-kagum melihat copy-an manuskrip itu.
***
Pukul satu dini hari kami sudah siap berangkat, Prof.Turnbull mengecek bawaan kami satu persatu sebelum berangkat, meninggalkan barang yang tidak diperlukan dan membawa yang penting-penting saja. Hampir saja sebotol besar body lotion dan cream wajahku terkena razia, menurut Prof.Turnbull semua itu tidak penting dan hanya akan menambah beban di carrier kita. Tapi aku bersikukuh ingin membawanya, berkilah dengan alasan semua ini untuk menghindari terbakarnya kulit mereka dari matahari, bagaimanapun menjaga kulit itu penting untuk orang berkulit putih seperti mereka. Akhirnya dengan alasan super mulia itu, Tim Turnbull merasa terharu dan meminta Prof.Turnbull untuk membiarkanku membawanya.
Selesai mengecek barang bawaan itu, kami mulai berjalan kearah perahu kecil yang sudah tersedia. Ada dua perahu yang tersedia, perahu pertama rencananya adalah untuk Prof.Turnbull, Aku, Sean dan dua orang nelayan yang membantu kami. Sedangkan perahu kedua akan diisi oleh Shawn, Melissa, Jacob, Edward dan dua nelayan lainnya.
Saat bolak-balik membantu membawa tas-tas yang bersisi alat penelitian, aku tidak sengaja menabrak Sean yang sedang berusaha mengangkat carriernya membuat dia kembali menjatuhkan carrier itu dan sedikit terhuyung.
“Maafkan aku, aku tidak melihatmu berdiri disini” ujarku sambil menarik lenganya agar tidak terjatuh. Suara benturan benda jatuh terdengar jelas disekitar kami, membuatku reflek mengarahkan senter ke tanah tetapi senter itu langsung ditepis oleh Sean dan terpental jauh dari tanganku. Tindakannya itu tentu saja membuatku terkejut dan kesal. Apalagi sekarang aku melihatnya sedang meraba-raba tanah mencari benda yang terjatuh itu. Kenapa ada manusia seperti ini sih, kalau saja dia tidak menepis bantuan senterku, pasti dia tidak perlu meraba-raba tanah seperti itu.
Baru saja akan melangkah untuk mengambil senter, sepatuku menyentuh sesuatu dibawah sana. Aku mengambil benda itu hati-hati dan saat pertama kalinya menyentuh benda itu secara keseluruhan degup jantungku mengencang, tidak mungkin ‘kan Sean membawa benda seperti ini? aku berbalik mencari cahaya dari obor agar bisa melihat lebih jelas benda yang ada ditanganku.
Sebuah Pistol ada ditanganku. Tapi untuk apa dia membawa ini?
“Jangan ikut campur!” geram Sean saat ia mengambil benda itu dariku dan langsung disembunyikan dibalik jaketnya. Gerakan itu dilakukan dengan benar-benar cepat.
Tatapan dingin dari matanya menghipnotisku selama beberapa saat, tatapan yang sangat kejam dan membuat tubuhku gemetar ketakutan. Selama beberapa saat aku terdiam, ribuan pemikiran dan kemungkinan buruk merasuki otakku.
Bagaimana mungkin benda itu lolos dari penjagaan ketat di bandara, apakah dia memiliki izin untuk memiliki benda itu, dan untuk apa?
“Adriana, ayo naik. Kita sudah harus berangkat”. Kata Prof.Turnbull dari kejauhan. Kulihat Sean sudah duduk dibagian depan perahu sambil menatapiku tajam. “Ayo, Adriana”. Langkahku terasa begitu berat menuju perahu. Dalam keremangan kutatap satu persatu wajah lelah dan mengantuk tim Turnbull, kecuali manusia dengan masker hitam yang menutupi wajahnya, karena percuma saja , tidak akan terlihat ekspresi apapun diwajahnya selain mata biru yang dingin itu.
Dan mata itu membuatku nyaliku ciut. Ada sesuatu didalam sana yang menggelitik dan membangkitkan jiwa pengecutku.
“Adriana, ayo!”
“Prof, Sa… Saya butuh beberapa menit untuk mengirimkan pesan kepada teman saya”.
“Tiga menit”. Ujar Prof.Turnbull singkat.
Kondisi panik dan tangan gemetar memang membuat segala sesuatunya menjadi kacau, ponsel yang sedang kuambil dari saku jaket malah terjatuh entah kemana, aku meraba-raba tanah dengan putus asa sampai kemudian aku berhasil menemukannya lagi.
Menggunakan jari-jari yang gemetar aku mencoba mengetik dengan cepat.
To: Paris
Bagian mana dari balasan ciumanku yang tidak berperasaan? Jika nanti aku punya kesempatan lagi, aku akan mengoreksi anggapanmu.
Tetapi jika ternyata aku tidak memiliki kesempatan itu, maka aku hanya ingin kamu tahu kalau aku mencintaimu, kenapa kamu selalu meragukanku?
***
Aku sudah berhenti menghitung berapa lama kami menyusuri lautan, kegelapan sudah lama menghilang dan berganti menjadi terang. Sinar matahari menerpa kulit, menghilangkan kedinginan dan memberikan kehangatan. Dibawah kami, air biru dan ikan-ikan berenang-renang, kami berada ditengah-tengah samudra biru yang benar-benar biru.
Dini hari tadi, sebuah perasaan tertekan melandaku, ketakutan yang berasal dari pemikiran-pemikiran negatif akibat benda jatuh itu menimbulkan begitu banyak kemungkinan yang berputar-putar didalam otakku.
Kutatap Sean yang duduk didepan dengan tenang, tanpa suara sedikitpun. Pakaian, masker, topi dan hoodie hitamnya tentu saja masih melekat dengan setia dibadannya. Kuperhatikan dari belakang beberapa kali ia bergerak melepas masker itu untuk minum tapi setelahnya tidak memasukkan apapun lagi kedalam lambungnya selain air, sementara aku, Prof.Turnbull dan bahkan nelayan yang bersama kami sudah kenyang dengan bekal Bar protein.
Kami telah berhasil keluar dari Selat Muna dan terus menuju arah barat ketika tiba-tiba alam menghianati kami. Membuat kami mau tidak mau menepi di Pulau terdekat yaitu Pulau Nwula. Menurut perkiraan Pak Rojin, nelayan yang bersama kami, malam ini akan ada badai ditengah laut dan sangat berbahaya jika kami memaksa melanjutkan perjalanan. Prof.Turnbull langsung setuju saat aku menyampaikan maksud Pak Rojin untuk menepi.
“Kita sudah sampai di Pulau Nwula,” ujar Pak Rojin, “Lebih baik tidak perlu masuk kedalam hutan, adik dan teman-teman bisa membuat tenda disana.” Pak Rojin menunjuk tempat strategis untuk membuat tenda, tidak terlalu jauh dari pantai dan tidak terlalu masuk kedalam hutan. “Ingat ya, dik, jangan masuk ke hutan terlalu dalam” peringatan keras itu membuatku tergelitik untuk bertanya.
“Kenapa tidak boleh masuk hutan, Tama’ate?” Pak Rojin ini lebih suka dipanggil Paman, Tama’ate berarti paman. Orangnya sangat ramah dan baik.
“Kamu tahu arti kata Nwula dalam bahasa Moronene?” aku menggeleng, “Nwula berarti Emas, didalam sana ada banyak emas,”
“Ada banyak emas, tapi kenapa malah tidak boleh masuk, Tama’ate?”
“Orang serakah akan dikuasai oleh tunuana”
“Tunuana?”
Tama’ate Rojin mendekat dan berbisik sangat pelan, “Hantu.”
Aku terbengong-bengong mendengarnya, tapi melihat wajah meyakinkannya malah membuatku tersenyum geli, “Kalau gitu, kita bisa berdoa saja, Tama’ate, biar tidak diganggu tunuana, jadi bisa kita ambil deh emasnya,”
“Hus… lancang!” tegur Tama’ate. “Masih mau selamat? Kalau masih mau, nurut saja!”
“Iya, Tama’ate. Aku akan menuruti aturan itu kok. Jangan khawatir. Lagipula di Jawa ada banyak emas, ada emas Susilo, emas Bambang, emas Joko, dan emas-emas lainnya, jadi aku tidak perlu membawa emas-emas dari sini.” Candaku yang hanya ditanggapi dengan senyuman dan gelengan kepala saja.
Setelah turun dari perahu kami semua langsung membawa barang-barang ke tempat yang ditunjuk oleh Pak Rojin untuk membangun beberapa Tenda. Matahari sudah mulai tergelincir saat kami semua duduk bersama sambil beristirahat. Sementara Pak Rojin dan teman-temannya baru saja kembali dari mencari kayu bakar di area luar hutan. Ingat, tidak boleh masuk terlalu dalam.
“Indah sekali,” gumam Melissa. Wanita blasteran Amerika-China yang satu ini memang cukup pendiam, tapi dalam batas wajar. Dia sangat efisien dan tidak banyak omong. Tipe mandiri kelas tinggi. Jika Edward banyak mengomel, mengeluh dan merajuk manja pada Jacob. Maka Melissa, dengan muka datarnya, terus melanjutkan apa yang dikerjakannya.
“Benar, Mey, indah sekali. Aku baru pertama kali melihat laut berwarna keemasan karena matahari terbenam.” Mey adalah panggilan Melissa. Katanya, seluruh keluarganya memanggilnya Mey.
“Yang benar? Kamu ‘kan tinggal di Indonesia, ada banyak pantai indah disini!”
“Sayangnya aku terlalu banyak menghabiskan waktu di laboratorium daripada berkencan, berlibur apalagi melihat matahari terbenam yang seindah ini.”
“Kalau begitu, kita ini sama, kasihan ya kita…” ini pertama kalinya aku melihat tawa Melissa, biasanya ekspresinya selalu serius dan datar-datar saja. Bahkan Sean yang sedang serius menulis sesuatu saja sampai melirik kaget melihat tawa Melissa.
Obrolan mengalir begitu saja diantara kami sambil menikmati kehangatan api unggun dan beberapa ikan bakar hasil tangkapan kami selama diperjalanan tadi. Mengikuti perkataan Prof.Turnbull, sambil berlayar kita memancing. Sama ‘lah seperti istilah, sambil menyelam minum air.
Ditengah gelapnya malam yang hanya dibantu penerangan bulan, api unggun yang mulai meredup dan bantuan senter, aku mulai membuka peta Sulawesi yang belum sempat kusentuh sejak mendapatkan tugas ini. Waktu yang sempit membuatku tidak memiliki banyak persiapan.
Bermenit-menit aku menelusuri peta itu untuk mengetahui posisi pulau ini tapi tetap tidak juga kutemukan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk berjalan mendekati Pak Rojin yang masih asik menikmati kopi dan obrolan bersama teman-temannya.
Pak Rojin mendirikan tenda dengan jarak yang agak jauh dari tenda tim Turnbull dan menyalakan api unggunnya sendiri, katanya agar tidak mengganggu kegiatan yang kami lakukan.
“Tama’ate, apa aku mengganggu? ada yang ingin kutanyakan.”
“Tentu saja tidak, ayo kemari,” jawab Pak Rojin, “Ada apa?” tanya nya setelah aku duduk diantara mereka.
“Aku sejak tadi mencari pulau Nwula di peta ini, tapi kok tidak ada ya?”
Semua orang disekelilingku terdiam selama beberapa saat, sampai kemudian seorang nelayan muda yang bernama Aslan berseru dengan suara marah tertahan, “Kamu tahu pulau yang kamu tuju?”
Aku mengangguk bodoh, “Iya, aku tahu”.
“Kamu tidak mencari informasi terlebih dahulu sebelum berangkat kesini?” cecarnya lagi.
“Sudah, seorang temanku sudah menjelaskan tentang pulau itu, tapi tidak dengan pulau Nwula.” jelasku. “Eh iya, pulau itu juga tidak ada di peta ini loh, Tama’ate!”
“Kamu!” Aslan menatap tak percaya padaku. Pak Rojin mengangkat tangan saat Aslan akan melanjutkan omongannya. Aslan pun langsung terdiam.
“Adriana, pulau ini atau gugusan pulau tempat kita berada ini tidak akan pernah kamu temukan di peta, karena memang tidak ada,” jelas Pak Rojin. “Gugusan pulau ini tersembunyi, hanya masyarakat sekitar yang tahu dan beberapa orang pemerintah”.
“Kenapa harus disembunyikan? Padahal pulau ini sangat indah, Tama’ate.”
“Pulau Nwula ini adalah pulau pertama, pulau pembuka. Ada banyak nyawa yang hilang disini karena keserakahan manusia. Bisa kamu bayangkan apa yang kamu temukan di pulau selanjutnya?”. Pak Rojin menatapku lekat-lekat sebelum melanjutkan, “Emas, berlian, batu bara, minyak, gugusan pulau ini sangat kaya, tapi tidak ada yang bisa memanen hasilnya, tidak ada yang bisa tinggal di pulau-pulau ini terkecuali…” Pak Rojin menarik nafas lalu berbisik dengan suara yang sangat pelan, “Miano da mouso matano”.
***
Semalaman hujan turun begitu deras tepat setelah nama keramat itu disebutkan pelan-pelan sekali oleh Pak Rojin. Membuat pertanyaan-pertanyaan diotakku tak terjawab karena kami langsung memasuki tenda masing-masing untuk berteduh. Pagi harinya Pak Rojin, Aslan dan bahkan yang lainnya lebih memilih diam setiap kali aku mencoba membuka percakapan mengenai gugusan pulau ini, terutama nama kelompok manusia yang ditakuti masyarakat itu.
Sudah dua pulau yang kami lewati, Pulau Nwula dan Pulau Waipode. Saat ini matahari sudah sangat tinggi, pulau ketiga sudah mulai terlihat dari kejauhan, dan jantungku semakin berdegup keras. kutatap pulau itu lekat-lekat, aku merasakan aura buruk saat melihatnya. Jujur saja, aku ini tidak peka dengan hal-hal gaib, tapi baru kali ini aku merasakan aura yang begitu buruk dan begitu kuat. Padahal aku hanya melihat dari kejauhan.
“Malampusu!” seru Aslan pada Pak Rojin. Pak Rojin lalu mematikan mesin perahu.
“Hah? Apa? Ada apa, Tama’ate?”
“Pulau Malampusu. Siapkan senter dan apapun yang memberikan cahaya”. Aku memberikan arahan pada tim Turnbull, perahu Edward dan kawan-kawan pun telah mematikan mesin nya, mereka tidak jauh dari perahuku, sehingga aku hanya perlu sedikit berteriak untuk memberitahukan mereka.
Semua orang di perahu mulai mendayung menuju pulau malampusu.
“Tama’ate…” aku bingung harus mulai bertanya darimana, sejak pagi beliau sudah mengabaikan pertanyaanku dengan tetap diam tidak menjawab.
“Malampusu artinya gelap. Pulau ini selalu diselimuti Awan gelap dan hujan petir. Mari berdoa agar hujan tidak turun”.
“Kenapa mesin perahunya harus dimatikan?”
“Kita akan masuk ke pulau itu melewati sungainya, sungainya berbatu, jadi lebih baik mendayung pelan-pelan daripada menabrak batu-batu besarnya, kan?”
“Apa harus melewati jalan ini, Tama’ate? Tidak ada jalur lain?”
“Ada, tapi itu lebih berbahaya.”
“Ya, Tuhan, sebenarnya aku ini mau kemana!” seruku mulai putus asa.
“Tanyakan pada lelaki didepanmu itu, apa dia tidak kapok?”
Aku terdiam, benar juga, Prof.Turnbull juga pasti sudah lebih dari sekedar tahu mengenai kondisi ini. “Prof, apakah anda melewati medan seperti ini di dua penelitian anda sebelumnya?”
“Tentu saja.” Jawabnya sambil tersenyum kelewat ceria, “Penelitian tiga tahun lalu saya melewati pulau ini dengan hujan dan petir yang menyambar-nyambar. Ini adalah dua pulau yang dihubungkan oleh satu sungai, seingat saya, namanya sungai Tonga. Berjam-jam kita akan mendayung dalam kegelapan.”
“Anda tidak kapok dengan perjalanan seperti ini?”
“Saya sudah melewati jalur-jalur ‘tidak memungkinkan’ hampir separuh hidup saya, ini hanyalah satu dari sebagian lainnya. “
“Oh begitu.” jawabku, “Prof, tiga tahun lalu, apakah anda meneliti dengan di dampingi salah satu murid Prof.Adi juga?”
Prof.Turnbull terdiam, entah ini hanya perasaanku saja atau bagaimana, raut wajah pria tua ini berubah dari ceria menjadi ekspresi tenang yang diselimuti senyum yang tak mencapai matanya. “Sebelumnya saya selalu ditemani seorang mahasiswa saya yang berasal dari Indonesia. Jadi , kamu adalah murid pertama yang dikirimkan Adi untuk membantu saya.”
“Kenapa dia tidak mendampingi Profesor saat ini?” keingintahuanku sudah mulai akut, aku tidak lagi peduli dengan anggapan orang-orang asing ini mengenai diriku yang terlalu kepo. “Maksudku, mahasiswa Profesor itu kan pasti sudah lebih ahli dan berpengalaman, dia mungkin tidak akan melewatkan penelitian sebesar ini.”
Dalam cahaya yang mulai remang, aku melihat Prof.Turnbull mengernyitkan keningnya seperti sedang mengingat-ingat sesuatu, ia membasahi bibirnya lalu menelan ludah, “Dia baik. Tapi dia tidak bisa bergabung lagi.”
***
Aku menyoroti jam tanganku, terhitung 12 jam sudah kami berada didalam kegelapan dan hanya dibantu penerangan seadanya sampai kemudian terlihat lautan luas, bulan terang benderang dan bintang gemerlapan tanda bahwa sebentar lagi kami akan keluar dari sungai mengerikan itu, sungai yang diatapi awan mendung dan dikelilingi oleh yang pohon-pohon besar yang menutupi pandangan langit kepada daratan. Selama 12 jam kami tidak banyak bicara, terutama aku. Aku lebih banyak diam dan membantu menyoroti sungai untuk menghindari batu-batu besar yang kalau membentur perahu bisa langsung membuat perahu kayu ini retak dan bolong.
Beruntungnya kami, tidak ada hujan petir yang akan semakin mempersulit perjalanan di sungai yang menghubungkan dua pulau itu.
“Vamba sudah terlihat.” Ujar Prof.Turnbull. “Pulau Vamba.” Senyuman Prof.Turnbull terlihat mengembang.
“Vamba?” aku melihat jauh kedepan dan hanya kegelapan yang terlihat.
“Vamba itu artinya pintu, tiga jam lagi kita akan mencapai Pulau Vamba. Saya yang memberi nama itu.” kata Prof.Turnbull dengan bangga. “Dulu pulau itu tidak bernama, saya menamainya dengan bahasa moronene melalui bantuan nelayan.”
“Kenapa diberi nama Vamba?”
“Tiga jam kemudian kamu akan tahu.”
Benar saja, kurang lebih tiga jam kemudian kami melewati Pulau Vamba yang ukurannya jauh lebih kecil dari pulau-pulau sebelumnya, sejenis pulau yang akan mudah tenggelam jika terkena sapuan gelombang besar sekelas Tsunami.
“Tama’ate, kenapa menepi?”
“Karena kami hanya mengantar sampai disini, itu pintunya, kalian bisa menyebrang dengan berjalan untuk sampai ke pulau itu.” Pandanganku mengikuti arah yang ditunjuk oleh Pak Rojin. Aku melihat karang yang berukuran besar dan sangat tinggi berada di seberang pulau Vamba, karang-karang itu menutupi apapun yang ada dibelakangnya dengan hampir sempurna, kecuali celah kecil dibagian bawah.
“Tama’ate tidak mengantar kami sampai kedalam?” tanyaku, “atau kita bisa memutar, masuk lewat sisi lain pulau DNO.”
Prof.Turnbull memperhatikan percakapanku dengan Pak Rojin, dan beliau yang sepertinya menangkap maksud gerakan tanganku, kemudian menjawab, “Tidak ada jalan lain, seluruh pulau ditutupi oleh karang-karang besar dan tinggi. Hanya ada celah-celah kecil dimana hanya manusia yang bisa masuk. Perahu tidak akan bisa masuk. Dan jalan paling aman adalah melalui pulau Vamba yang daratannya cukup tinggi sehingga kita tidak perlu berenang untuk masuk ke celah itu.” jelas Prof.Turnbull kepadaku dan kepada timnya.
Tiba-tiba aku teringat perkataan Imha tentang arti nama pulau ini.
‘Dasida’a ni onto artinya adalah tak terlihat’
Ternyata itu adalah arti yang sesungguh-sungguhnya, karang-karang itu benar-benar menutupi apapun yang ada didalamnya, tidak terlihat, apapun yang ada didalam sana tidak terlihat dari tempat kami berdiri saat ini.
Setelah mendengar instruksi singkat dari Prof.Turnbull kami terdiam sejenak. Hari masih gelap dan kami harus berjalan di air lalu masuk ke celah karang sambil membawa barang-barang ini?
Argh! Aku benci hidup tanpa kehati-hatian! Ini salah satunya, kurang observasi, kurang waktu, dan sembarangan mengambil keputusan.
Sambil membawa barang-barang itu, kami berjalan diatas pasir pantai pulau Vamba yang cukup tinggi, sehingga genangan air laut hanya mencapai Pahaku, sementara untuk para kaukasian alias para bule itu hanya mencapai betis!
“Kamu baik-baik saja ‘kan, bocah?” ledek Edward, aku tidak mengerti, sejak pertama kali berkenalan, Edward ini hobi sekali sinis dan meledekku.
“Urusi urusanmu sendiri, Eddy!” ejekku sambil menendang air agar menciprati pantatnya itu!
Celah tebing yang sebelumnya terlihat kecil itu ternyata cukup besar untuk dimasuki manusia, menggunakan senter kami berbaris satu per satu memasuki tebing, dan saat keluar dari celah tebing itu akhirnya kami melihat pantai dan daratan hijau nan tinggi.
Akhirnya pulau yang tak terlihat ini ada didepan mata. Pulau yang kurasa cukup besar karena terlihat gunung berdiri dengan pongah disana. Pohon-pohon hijau tumbuh lebat, burung-burung bersautan dan matahari mulai menampakkan cahayanya. Inilah hari pertamaku di Pulau Dasida’a ni onto.
Selanjutnya…
***
Nah, Bagian 2 ini di dedikasikan untuk si cantik dari Kabaena yaitu adik Imha @Byunimhasparkyu yang sudah berkali-kali CJ kasih SP karena tiap kali ditanya, Bahasa Moronene-nya ‘A’ apa, selalu dijawab “nanti tunggu balasan sepupu dulu!”
eahhhhh akhirnya kena SP juga dari para sepupunya. kwkwkw
terimakasih bantuannya yakkk byuuun. sip deh.
.
Cheers Woot Woot,
CJ
Catatan Kecil untukmu:
1. Bahasa Moronene : Bahasa Moronene adalah bahasa yang digunakan oleh Suku Moronene yang mendiami Sulawesi Tenggara. Suku Moronene adalah salah satu dari empat suku besar (suku Tolaki, Muna, Wolio) di Sulawesi Tenggara. Selain di Kabaena dan bombana, orang Moronene menyebar pula di beberapa tempat seperti Kabupaten Kendari karena terjadinya migrasi akibat gangguan keamanan dari Darul Islam sekitar tahun 1952-1953. (Wikipedia)
Bahasa Moronene, salah satu unsur budaya etnis Moronene yang terancam punah dalam masa 15 tahun hingga 25 tahun mendatang. (Antaranews).
2. Manuskrip : manuskrip (bahasa Latin manuscript: manu scriptus ditulis tangan), secara khusus, adalah semua dokumen tertulisyang ditulis tangan, dibedakan dari dokumen cetakan atau perbanyakannya dengan cara lain. (Wikipedia)
-
6 Oktober 2016 pada 1:53 am #128600oncomYoyoyPeserta
sebentar ini buat sambel
pembukaan :DORONG :DORONG
spanyol :TERHARUBIRU
sulawesi :tebarbunga
lanjut sambelll @carijodoh :gorilatepuk
-
6 Oktober 2016 pada 1:55 am #128602carijodohPeserta
@oncomyoyoy eihhh udh komen ajaa nenek ayaam kwkwkw
udah baca emang? kwkw :DOR!
-
6 Oktober 2016 pada 1:21 pm #130208AnonimNon-aktif
Hahahaha… Sean main lirik sama si Mey wkwkwkwkwk :KETAWAJAHADD
Mey baca nya seru bangeet 7.. berasa lagii ikut berpetualang looh asiiik bangeeeet pokoknyaa.. 7 keren cerbung nya PINTER BANGEET jadi gak asal gitu, kayaknya 7 kerja keras banget yaa.. 7 jangan lupa kalo Menang nanti sepatu kirimin buat Cinderella a.k.a MeyMeyHime wkwkwkwkwk :HUAHAHAHAHA
-
7 Oktober 2016 pada 2:50 am #133024carijodohPeserta
@meymeyhime hahhaa di chapter depan Mey duaan sama cowo lain kwkwkw *digetok sama Suami kak Mey :aaaKaboor
iya nih fokus bikin ini sampe kurang bobok kemarinnnn, makasihhhh kak meeeeeeeee udah mampirrrr :KISSYOU
eaahhhh cinderalla! kwkwkwkw
:NGAKAK
-
7 Oktober 2016 pada 4:01 am #133128purpergirlloversPeserta
Gak nyangka rojin ikutan jg disini , gak tahu kenapa tiba2 kebayang yang jadi datuk maringgi :aaaKaboor
Memangnya ada apa di pulau itu ??? Penghuni disana julukanny si green eh hulk bukan :KETAWAJAHADD
suasana adventurenya dapet :YUHUIII lanjut ke 3 :LOONCAT
-
7 Oktober 2016 pada 4:48 am #133241carijodohPeserta
@purpergirllovers kkwkwkww Him damsik kah itu? sang datuk maringgi? hihihi
Rojin adalah kakek Idolaku yang penuh kasih sayang buatan au EC, Pesona Kasim Rojin sulit diabaikan, apalagi oleh @hujanpetir kwkwkw :NGAKAK
aseekkkkkk, selamat membaca chapter selanjutnya :NABRAKKACA
-
27 Oktober 2016 pada 6:49 am #226670farahzamani5Peserta
Bdn lgi gemeter gtu sempet2ny kirim pesen ttng cium2 ama paris, aduhhh otak dikau musti diperiksa ni ka hihi
Keren euyy, berasa ikut jalan2 kesono jdi ny, udah mulai berasa serem ni di part ini
Lanjut ke part berikutnya
Semangat semangat semangat -
27 November 2016 pada 2:25 pm #302136DalpahandayaniPeserta
Keren ceritanya
-
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.