Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat Forum Forum Kepenulisan LOMBA CERBUNG MISTERI [BIASED PART 3]

Melihat 5 pertalian (thread) balasan
  • Penulis
    Tulisan-tulisan
    • #155748
      AzharKhoiri
      Peserta

      Author: AzharKhoiri

      Genre: Mystery

       

      Langkah kaki Aimee lebar dan cepat. Berkali-kali ia menolehkan kepalanya ke segala arah, memastikan jika tidak ada seorangpun yang mengikutinya. Akhir-akhir ini Aimee merasa tidak aman. Ia merasa jika ada seseorang yang terus mengawasinya di mana pun ia berada.

      Malam sudah menjelang, lampu-lampu jalan telah menyala menggantikan tugas matahari untuk menerangi Manhattan. Hari ini salju memang tidak turun, tetapi hawa dingin tetap terasa begitu menusuk. Jalanan tampak sepi. Di atas trotoar hanya terdapat beberapa orang yang berjalan kaki, sedangkan mobil-mobil hanya sesekali melintas.

      Aimee menghentikan langkahnya. Sejenak ia merasa ragu untuk melewati lorong sempit di antara dua gedung pencakar langit yang mengapitnya. Lorong itu gelap, lampunya mati sejak dua hari yang lalu dan belum diperbaiki hingga saat ini. Sumber cahaya yang ada hanya berasal dari lampu gedung di sisi kanan dan kiri lorong itu, menciptakan suasana yang remang-remang.

      Menghela napas panjang, Aimee kembali melangkah setelah menekan ketakutannya dalam-dalam terlebih dahulu. Mau tidak mau Aimee memang harus melewati lorong gelap itu karena hanya itu jalan satu-satunya untuk menuju ke apartemennya.

      Dua hari ini Aimee selalu menghindari pulang larut malam mengingat lampu di lorong ini sedang mati, tapi sialnya hari ini ia harus pulang malam-malam karena memiliki jadwal pemotretan berlatarkan gemerlap Manhattan di malam hari.

      Lorong ini begitu sepi, membuat jantung Aimee berdebar penuh antisipasi. Tidak ada orang lain selain dirinya sendiri yang melewatinya. Kucing-kucing liar mengeong bersahut-sahutan, mereka sedang berebut makanan bekas yang ada di tempat sampah di sisi kiri Aimee. Selain suara kucing-kucing itu, hanya terdengar derap langkah kakinya yang menggema di sepanjang lorong sepi itu.

      “Ahh!” Aimee memekik kaget ketika ada sesuatu yang jatuh tepat di depannya secara tiba-tiba. Ia menatap sekelilingnya bingung.

      Dari mana munculnya benda ini? Bukankah hanya ada dirinya seorang di lorong yang gelap ini?

      Menghela napas perlahan untuk menenangkan debar jantungnya yang menggila, Aimee lalu memperhatikan benda itu baik-baik. Ternyata benda tersebut merupakan sebuah boneka bocah perempuan bermata biru dan berambut emas madu. Boneka yang lucu sebenarnya jika saja tubuhnya tidak dipenuhi oleh darah dan pada keningnya tidak terdapat tulisan Aimee Miller yang dibuat dengan sayatan benda tajam.

      Aimee menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya membelalak penuh kengerian. “Ini mustahil!” bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

      Wajah Aimee tampak pias sedang tubuhnya menggigil hebat. Bulir-bulir keringat menetes deras dari keningnya. Mati-matian Aimee menahan air mata yang sudah siap meluncur dari kedua matanya yang berwarna cokelat terang.

      Kalut, Aimee memutuskan untuk menghapus nama yang tertulis di kening boneka itu menggunakan pisau lipat yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi untuk berjaga-jaga. Ia menggores-gores tulisan itu keras-keras dengan tangan bergetar, membuat ujung pisau lipatnya menusuk jauh ke dalam kepala boneka itu.

      Setelah memastikan namanya tidak lagi terlihat, Aimee segera beringsut menjauh. Ia tidak ingin melihat boneka itu lebih lama lagi.

      “Apanya yang mustahil, hmm?” suara itu hanya berupa bisikan lembut, namun mampu membuat Aimee terlonjak kaget.

      Cepat-cepat Aimee berbalik badan.

      Aimee terperangah, darahnya seolah membeku seketika. Aimee memang tidak dapat melihat wajahnya, tapi ia dapat mengenalinya.

      Lagi-lagi sosok itu muncul, lengkap dengan seringainya yang mengerikan.

      “Tidak mau menjawab? Atau tidak bisa?” sosok itu berjalan selangkah ke depan, membuat kaki Aimee otomatis berjalan dua langkah ke belakang, “Oh, atau jangan-jangan kucing-kucing tadi telah mengambil lidahmu Miss. Miller?”

      Berbeda dengan yang sebelumnya, sosok itu kini berbicara panjang lebar. Kata-katanya memang diucapkan lambat-lambat dan dengan nada yang rendah, tapi entah kenapa hal itu malah membuat Aimee merasa semakin takut.

      “Kenapa,” Aimee menelan ludahnya kasar, mecoba membersihkan tenggorokannya yang tercekat, “kenapa kau terus menggangguku?”

      Telinga Aimee serasa berdenging mendengar degup jantungnya sendiri yang begitu keras. Napasnya memburu. Ingin rasanya Aimee berlari menjauhi sosok itu sekuat tenaga, tapi kakinya seolah memiliki pikiran sendiri dan memilih untuk berdiam diri.

      “Emm.. mungkin karena aku ingin?” sosok itu menjawab dengan suara yang terdengar begitu datar tanpa emosi.

      Aimee mengencangkan genggamannya pada pisau lipat yang ia pegang, bentuk dari pertahanan terakhir yang ia miliki.

      Melirik remeh ke arah pisau yang berada di tangan Aimee, sosok itu lalu mendecih. “Bersiap melawan, huh?”

      “Ya! Oleh karena itu sebaiknya kau pergi!” Aimee mengacungkan pisau dalam genggaman tangannya yang gemetaran ke arah sosok itu, berusaha untuk menggertaknya, “Kau lihat pisau ini? Aku bisa saja membunuhmu menggunakan ini!”

      “Hahaha..” suara tawa sosok itu bergema memenuhi lorong, “Astaga! Kau ini benar-benar lucu rupanya!”

      Aimee menipiskan bibirnya tidak terima. “Aku bersungguh-sungguh, kau tahu!” ujarnya marah.

      “Begitu juga denganku.” sosok itu mengeluarkan pisau lipat dari sakunya, “Kau lihat pisau ini? Pisau yang sama persis dengan milikmu.” ia menyejajarkan pisau miliknya dengan pisau Aimee, mempertontonkan kemiripan dari keduanya.

      “Aku bisa saja membunuhmu menggunakan ini!” ujar sosok itu persis sama dengan apa yang dikatakan Aimee sebelumnya menggunakan nada mengolok-olok.

      “Siapa sebenarnya dirimu? Mengapa kau mengusik kehidupanku? Kurasa aku tidak memiliki salah apapun kepadamu!” Aimee berteriak putus asa. Setengah mati ia berharap jika ada orang yang mendengar teriakannya tadi lalu datang untuk menolongnya.

      Sosok itu meletakkan jari telunjuknya di depan mulut. “Stt.. Jangan berteriak-teriak seperti itu! Kau tidak ingin suaramu habis secara percuma, kan?” ia menimang-nimang pisaunya menggunakan sebelah tangan, “Manfaatkanlah suaramu sebaik mungkin untuk berteriak di saat ajalmu tiba nanti!”

      “Kau.. berani-beraninya kau berbicara seperti itu! Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?” Aimee menggenggam pisau lipatnya kuat-kuat, membuat buku-buku jarinya memutih.

      “Yang aku inginkan darimu, hmm?” sosok itu mengetuk-ngetuk dagunya menggunakan punggung pisau miliknya, “Bagaimana kalau kematianmu?” ia berhenti sejenak untuk menatap Aimee tepat di manik mata, “Ya, benar! Itu saja jawabanku! Aku menginginkan kematianmu.”

      Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Aimee baru saja mengedipkan matanya ketika sosok itu secara tiba-tiba sudah berada tepat di hadapannya dengan ujung pisaunya yang mengenai hidung Aimee, membuat setitik luka kecil yang meneteskan darah.

      Secara impulsif, Aimee memukul tangan sosok itu keras-keras, mencoba menjauhkan pisau itu dari wajahnya. Tangannya yang bebas ia gunakan untuk menyerang sosok itu menggunakan pisau yang ia bawa, mencoba menusuknya dengan membabi buta.

      “Tidak cukup baik, Miss. Miller.” sosok itu menepis pisau di tangan Aimee dengan mudah, membuatnya terlempar beberapa meter di belakang tubuh Aimee.

      Aimee beringsut ke belakang, mencoba membuat jarak sejauh mungkin dari sosok itu. Bersenjatakan pisau saja ia tidak mampu melawan, apalagi menggunakan tangan kosong. Itu sama saja bunuh diri namanya!

      Napas Aimee memburu. Adrenalin mengalir deras dalam tubuhnya. Lari! Ia harus segera pergi menjauh!

      “Eits,” sosok itu menarik tangan Aimee kasar, membuatnya tersungkur ke depan, “mau ke mana, hmm? Masih banyak hutang-hutang yang harus kau bayar kepadaku!”

      “Aku bahkan tidak mengenalmu!” Aimee menyeret tubuhnya ke belakang, menjauhi sosok itu, “Bagaimana bisa aku berhutang kepadamu?” air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, siap untuk meluncur jatuh.

      Sosok itu mengambil korek api dari sakunya lalu menghidupkannya tepat di depan wajahnya sendiri. “Apakah kau benar-benar yakin jika kau tidak mengenaliku, hmm?” tanyanya dengan nada malas-malasan.

      Aimee terkesiap. Ia benar-benar kehabisan kata-kata. “Felicia..” hanya kata itu yang mampu dibisikkan bibir Aimee.

      “Ya, Ams? Ada apa?” sahut sosok itu yang merupakan Felicia dengan seringai yang selalu membayangi benak Aimee.

      “Apa? Kenapa?” Aimee bertanya lirih. Hatinya terasa begitu sakit saat mengetahui orang yang berniat mencelakainya adalah Felicia, teman baiknya sendiri.

      “Kenapa? Kenapa kau tanya?” Felicia mematikan koreknya lalu kembali memasukkannya ke dalam saku, “Gara-gara dirimu karirku menjadi berantakan! Semenjak kau bergabung dengan agency yang sama denganku semua proyek pemotretan besar selalu jatuh padamu, padahal sebelumnya semua itu selalu menjadi milikku!” ia menatap Aimee dengan tajam, sorot yang tidak pernah didapati Aimee pada mata Felicia sebelumnya, “Dan seharusnya tetap begitu!”

      Aimee beringsut semakin jauh saat Felicia terus mendekat sembari mengacungkan-acungkan pisau miliknya. “Akh!” ia memekik kaget saat Felicia merunduk di atasnya secara tiba-tiba. Sebelah tangannya ia gunakan untuk memegangi wajah Aimee sedang yang satunya ia gunakan untuk memain-mainkan pisaunya.

      “Wajah ini yang membuat hidupku hancur, jadi ini saatnya bagiku untuk balas menghancurkannya!” Felicia menggoreskan ujung pisaunya di sisi kiri wajah Aimee, membuat luka menganga yang mengucurkan darah segar.

      “Fey! Aku tidak tahu jika kehadiranku membuat hidupmu tersiksa! Aku mohon maafkan aku, Fey! Aku tahu ini bukan dirimu yang sebenarnya! Kau adalah orang yang begitu peduli terhadap teman-temanmu, begitu manis, dan begitu baik hati! Sadarlah, Fey!” Aimee mengucapkannya di sela derai air mata. Kedua tangannya ia gunakan untuk mendorong Felicia menjauh dari tubuhnya. Aimee merasa begitu takut saat ini.

      “Berhenti memanggilku dengan nama itu! Kau tidak pantas untuk memanggilku seperti itu!” Felicia meraung keras. Cengkeraman tangannya di wajah Aimee mengencang. “Gara-gara dirimu penghasilanku berkurang! Hal itu membuatku tidak bisa memberikan uang yang diminta oleh ayah brengsekku itu sehingga ia terus-menerus mendatangi rumahku untuk menghajar aku dan ibuku!”

      Aimee berhenti berusaha melepaskan diri saat tangannya tidak sengaja menyentuh pisau lipatnya yang tadi telah dibuang oleh Felicia. Ia mengambilnya diam-diam, memanfaatkan kondisi Felicia yang sedang lengah.

      “Aku benar-benar tidak tahu, Fey! Maafkan aku!” pinta Aimee tulus. Ia benar-benar ingin hubungannya dengan Felicia kembali baik seperti sedia kala.

      “Sudah kubilang kau tidak pantas untuk memanggilku dengan nama itu!” Felicia mengangkat tangannya yang menggenggam pisau tinggi-tinggi, bersiap untuk mengakhiri hidup Aimee. “Sekarang sudah saatnya bagimu untuk menghilang dari dunia modelling, juga dari dunia ini!”

      Sedetik sebelum ujung pisau Felicia menyentuh tubuh Aimee, pisau Aimee telah lebih dulu menembus perutnya. Tepat di ulu hati.

      Mata hijau Felicia membulat lebar sebelum akhirnya tertutup dan tidak akan pernah terbuka kembali. Darah segar mengucur deras dari perutnya, membasahi tubuh Aimee yang berada di bawahnya.

      Aimee menangis tersedu-sedu. “Maafkan aku, Fey! Maafkan aku!” ia menggunakan kedua tangannya untuk menutup mata. Rasa penyesalan memenuhi hatinya, membuatnya terasa sesak.

      Beberapa saat kemudian Aimee bangkit setelah lebih dulu mendorong mayat Felicia dari atas tubuhnya. Sesekali isak tangis masih lolos dari mulutnya. Seluruh tubuhnya menggigil ketakutan.

      Aimee menatap sekitarnya dengan nyalang. Tanpa sengaja matanya tertumbuk pada boneka bocah perempuan yang tadi terjatuh di depannya.

      Boneka itu tampak berbeda dari yang tadi.

      Kening Aimee mengerut bingung. Ia memperhatikan boneka itu baik-baik. Tiga puluh detik berlalu, mata Aimee melebar penuh kengerian saat mengenali rambut emas madu yang menutupi kepala hancur itu.

      Benda itu bukanlah sebuah boneka!

      “Ams! Astaga! Apa yang terjadi padamu!”

      Teriakan itu menyadarkan Aimee dari kebekuannya. Matanya semakin melebar saat melihat Felicia berlari panik mendekatinya dengan tubuh tanpa luka sedikit pun.

      “Perutmu berdarah, Ams!” Felicia segera menelepon ambulance untuk mendapatkan pertolongan pertama bagi Aimee.

      Aimee mengalihkan pandangannya dari Felicia yang sedang berbicara dengan seseorang di telepon lalu menatap perutnya yang tiba-tiba terasa nyeri. Kebingungannya semakin bertambah saat mendapati pisau lipat yang tadi ia gunakan untuk menusuk Felicia justru bersarang di perutnya.

      Selesai menelepon, Felicia duduk bersimpuh di samping Aimee. Ia lalu mengelus rambut Aimee penuh kasih. “Bertahanlah sebentar lagi, Ams! Pertolongan akan segera datang! Aku sadar kemarin aku sudah keterlaluan karena memaksamu untuk bercerita padahal kau sudah berkata tidak. Maafkan aku, Ams! Aku berjanji untuk tidak lagi memaksamu bercerita padaku, jadi bertahanlah! Kumohon.” air mata mengalir semakin deras di kedua belah pipi Felicia pada tiap kata yang ia ucapkan.

      Aimee menatap kosong ke arah Felicia.

      Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

      Pertanyaannya Aimee itu tidak akan pernah terjawab. Bukan karena tidak ada yang mau menjawabnya, tetapi karena ia sudah tidak akan lagi bisa mendengar jawaban itu selama-lamanya.

      ***

      Manhattan. Ditemukan dua orang mayat perempuan berinisial AM (26) dan ZA (5) di 8 Spruce Street pukul sebelas malam (28/01) waktu setempat oleh seorang perempuan bernama Felicia Young yang merupakan teman baik dari AM.

      Kedua mayat perempuan itu ditemukan dengan kondisi mengenaskan. Pada kepala ZA terdapat luka tusukan benda tajam yang dilakukan berkali-kali sedangkan AM menderita luka tusuk di bagian ulu hati dan sayatan panjang di sisi wajah bagian kiri. AM sendiri masih dalam keadaan hidup saat ditemukan, namun sebelum bantuan medis datang ia telah lebih dulu menghembuskan napas terakhirnya.

      Rekaman CCTV menunjukkan jika perempuan berinisial AM itu terlebih dahulu menghabisi nyawa ZA yang tidak sengaja terjatuh di depannya ketika sedang berlari-lari sebelum akhirnya AM menyakiti dirinya sendiri yang berujung pada aksi bunuh diri dengan menusukkan pisau ke bagian perutnya.

      Dalam barang bukti yang merupakan tas tangan milik AM terdapat obat-obatan antipsikotik. Setelah ditelisik lebih lanjut, dari catatan kesehatannya diketahui AM menderita skizofrenia akut dan sedang dalam masa pengobatan.

      ***

    • #196722
      Author5
      Keymaster

      @azharkhoiri thanks for participate in this cerbung event. What a twist!

    • #230377
      farahzamani5
      Peserta

      Semua tebakan saya salah disini
      Aduhhh akhir yg bnr2 ga bsa ditebak
      Kerennnn ini fa
      Trnyata Aimee ‘sakit’ , berhalusinasi, suka nyakitin diri sndri dll
      Okehh ditunggu cerbung/cerpen lainnya ya
      Semangatttt

    • #301616
      AzharKhoiri
      Peserta

      @farahzamani5 hehehe makasih udah mampir baca.. aku baru sadar kamu komen waktu iseng buka-buka forum :PATAHHATI

    • #301986

      Beda sama yg aku pikirkan
      jalan ceritanya ga terduga
      kece bnget

    • #301990
      AzharKhoiri
      Peserta

      @Dalpa makasiiihhh :KISSYOU

      masih banyak kurangnya ini :aaaKaboor

Melihat 5 pertalian (thread) balasan
  • Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.