Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Forum Kepenulisan › LOMBA CERBUNG MISTERI [BIASED PART 2]
- This topic has 4 balasan, 3 suara, and was last updated 8 years yang lalu by AzharKhoiri.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
-
10 Oktober 2016 pada 11:24 pm #155666AzharKhoiriPeserta
Author: AzharKhoiri
Genre: Mystery
Menyesap black coffee kesukaannya, Aimee termenung menatap keluar jendela café. Di sepanjang trotoar banyak sekali orang-orang yang berlalu-lalang menggunakan mantel-mantel tebal. Mereka tampak terburu-buru, mungkin sudah tidak sabar untuk mencapai tempat tujuan agar terlindung dari hawa dingin yang menusuk tulang.
Saat ini Aimee sedang berada di café langganannya yang terletak di Houston Street. Suasana café ini begitu tenang dan nyaman. Lantainya yang terbuat dari kayu berwarna cokelat membuat café ini terasa hangat. Sofa-sofa lembut berbentuk bulat disusun melingkari meja kayu yang juga berbentuk bulat. Di setiap mejanya, terdapat lampu gantung anyaman bermotif rumit berbentuk kerucut yang terbuat dari akar pohon.
Pengunjung café malam ini tidak begitu ramai, hanya ada segerombolan remaja yang sedang bergosip di ujung belakang dan pasangan kekasih yang berada dua meja dari tempat Aimee berada. Mungkin hal ini dikarenakan orang-orang enggan menerobos salju dan lebih memilih untuk bergelung di rumah sembari menonton televisi.
Aimee meletakkan cangkir kopinya di sebelah cangkir bekas americano milik Felicia tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.
Satu jam yang lalu Felicia mendapat telepon dari ibunya. Ia diminta untuk segera pulang karena ayahnya yang hobi berjudi mendatangi rumah mereka dalam keadaan mabuk dan mengamuk meminta uang.
Laki-laki yang tidak tahu diri. Ia dan ibu Felicia telah lama bercerai karena kasus perselingkuhannya dengan salah satu pelayan bar tempat ia biasa berjudi hingga memiliki anak perempuan dari selingkuhannya itu, namun hingga kini ia masih terus-menerus mengganggu kehidupan Felicia dan ibunya.
Tring..
Suara lonceng yang tergantung di atas pintu café berbunyi.
Aimee mengalihkan pandangannya dari jalanan lalu memperhatikan gadis kecil yang baru saja memasuki café tengah berjalan penuh semangat menuju deretan kue yang terpajang di outlet dekat meja kasir.
Rambut gadis kecil itu berwarna emas madu dan diikat ekor kuda menggunakan pita berwarna merah darah. Dari tempatnya duduk, Aimee hanya bisa melihat bagian belakang tubuhnya yang terbalut sweater rajut merah dan rok tutu merah muda. Entah mengapa, keberadaan gadis kecil itu begitu menyita perhatian Aimee. Membuatnya seakan-akan tidak dapat berpaling untuk menatap ke arah lain.
Satu, dua, satu, dua..
Kanan, kiri, kanan, kiri..
Aimee menghitung langkah kaki mungil gadis itu di dalam hati. Kaki kecilnya yang dibalut sepatu pantofel merah bermotif polkadot bergerak selincah kupu-kupu. Sesekali ia meloncat-loncat, membuat rambut keritingnya ikut bergoyang.
Gadis itu tampak begitu belia, mungkin usianya baru lima tahun. Hal itu membuat Aimee mengerutkan keningnya dalam-dalam. Apa yang sedang dilakukan gadis sekecil itu berkeliaran seorang diri pada pukul sepuluh malam seperti ini? Dimana kedua orangtuanya?
Terdorong oleh rasa penasarannya, Aimee mendekati gadis itu perlahan. “Hey!” sapanya setelah menepuk bahu gadis kecil itu lembut.
Gadis kecil itu menoleh. Matanya yang berwarna biru bening menatap Aimee tepat di manik mata. “Hello!” sahutnya pelan. Sepertinya ia merasa sedikit ragu untuk berbicara kepada orang asing.
“Tidak perlu takut, aku tidak akan menyakitimu.” ucap Aimee dengan senyuman, mencoba menghapus keraguan gadis kecil itu. “Aku hanya ingin tahu, apa yang sedang kau lakukan di sini malam-malam?”
Memilin-milin rok tutu merah mudanya, gadis itu menjawab sembari tersenyum malu-malu, “Aku ingin membelikan kue untuk Mommy yang akan berulang tahun besok.”
Aimee tersenyum. Gadis kecil dihadapannya sungguh manis, membuatnya gemas. “Kau pergi sendirian ke sini? Di mana orangtuamu?”
“Ya.” gadis itu mengangguk, “Mommy sedang bekerja, sedangkan Daddy sudah berada di surga bersama bidadari-bidadari Tuhan.”
Jantung Aimee serasa teremas ketika melihat gadis kecil itu tetap tersenyum saat menceritakan ayahnya yang telah tiada. Tidak ingin menghapus senyuman gadis itu, Aimee mengalihkan pembicaraan, “Oh, ya. Aku hampir saja lupa mengenalkan diri. Namaku Aimee, Aimee Miller.” ia mengulurkan tangan kanannya ke depan, “Siapa namamu gadis manis?”
“Namaku Zahira, Zahira Anderson.”
***
“Angkat dagumu!”
“Tolehkan kepalamu ke kiri!”
“Tidak, bukan seperti itu! Sedikit miringkan kepalamu ke kanan!”
“Ya, tahan!”
Teriakan Vladimir memenuhi lokasi pemotretan siang ini. Mata abu-abu pucatnya fokus membidik objek yang tertangkap oleh lensa kameranya.
“Baik, cukup untuk hari ini!” ucap Vladimir mengakhiri sesi pemotretan kali ini yang telah berlangsung lebih dari lima jam. Hasil dari pemotretan ini nantinya akan dipajang di majalah fashion musim semi nanti.
Mendengar perkataan Vladimir, semua crew yang bertugas segera membereskan properti yang digunakan pada pemotretan siang ini. Model-model yang sudah selesai bertugas berlalu-lalang di antara mereka sambil sesekali saling bercakap-cakap. Suara mereka terdengar bersahut-sahutan, menambah hiruk-pikuk yang sedang terjadi.
Suasana Brooklyn Bridge siang ini lumayan hangat dibanding hari-hari sebelumnya meskipun masih mampu membuat telinga serasa membeku. Salju juga nampaknya enggan untuk menampakkan diri. East River yang berada di bawah Brooklyn Bridge pun tampak begitu tenang, hanya tampak riak-riak kecil pada permukaannya. Pada sisi yang lain, gedung-gedung pencakar langit Lower Manhattan yang tinggi menjulang tampak menyempurnakan pemandangan yang ada.
“Miss. Miller!”
Aimee sedang membereskan peralatannya saat Vladimir memanggilnya. “Ya, Mr. Adams?” jawabnya setelah Vladimir berada tepat di hadapannya.
“Bisakah kita berbicara sebentar?” Vladimir menyisir rambut hitam sebahunya menggunakan jari, “Saya memiliki tawaran pekerjaan untuk anda.”
“Tawaran pekerjaan?” tanya Aimee bingung. Tidak biasanya Vladimir menawarkan pekerjaan secara personal seperti ini.
Mengangguk, Vladimir berucap, “Ya, tawaran pekerjaan.”
“Kalau saya boleh tahu, pekerjaan apa yang ingin anda tawarkan, Mr. Adams?” Aimee kembali bertanya. Dengan sebelah tangan, ia menyelipkan rambut pirang stroberinya ke belakang telinga.
“Apakah anda memiliki waktu luang saat ini? Saya ingin membicarakan hal ini sembari makan siang,” Vladimir menunjuk sedan putihnya menggunakan ibu jari, “jika anda bersedia pergi dengan saya.”
Meskipun masih ragu, Aimee pada akhirnya mengangguk mengiyakan. “Baiklah,” ia melihat jam di tangan kirinya, “tapi satu setengah jam lagi saya sudah harus berada di High Line untuk sesi pemotretan yang lain.”
“Bagus! Kalau begitu mari kita pergi Miss. Miller.”
***
Semua orang bergerak cepat dan tampak tergesa-gesa. Mobil, bus, dan taxi berwarna kuning tampak saling beradu kecepatan di jalanan. Suara klakson sesekali terdengar, menambah ingar-bingar Manhattan sore ini. Dari lubang-lubang yang berada di tengah jalan, asap putih tebal dari mesin pemanas ruangan tampak membumbung.
Di kejauhan, tampak orang-orang berkerumun. Baru saja terjadi kecelakaan lalu lintas tunggal. Sebuah mobil keluar jalur lalu menabrak tiang lampu jalan hingga roboh. Beberapa polisi tampak sibuk mengatur jalanan sementara petugas dari mobil ambulance sedang memberikan pertolongan pertama kepada korban. Darah korban itu tampak mengucur deras membasahi aspal, meninggalkan genangan merah darah. Sepertinya ia terluka cukup parah.
Aimee mendekap kantong belanjaanya erat-erat lalu melangkah lebih cepat. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul lima sore, sedangkan pada pukul enam nanti ia sudah memiliki janji dengan Felicia untuk menemaninya mencari gaun untuk menghadiri pesta ulang tahun Grace, teman semasa kuliahnya dulu.
Felicia juga memintanya untuk ditemani saat menghadiri pesta itu esok hari. Hal yang sebenarnya telah ditolak Aimee berkali-kali mengingat ia tidak mengenal sama sekali teman Felicia yang berulang tahun itu. Namun seperti biasa, Felicia dan mata bulat hijaunya mampu meluluhkan hati Aimee.
Dering telepon membuat Aimee menghentikan langkahnya sejenak. “Ya?” sapanya singkat setelah menerima panggilan tersebut.
Selama mendengarkan Felicia berbicara di ujung telepon, Aimee memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Di ujung persimpangan jalan, terdapat tiga orang bocah yang sedang berlomba membuat boneka salju. Ketiganya tampak bersemangat mengumpulkan salju menjadi bulatan-bulatan besar lalu menumpuknya menjadi satu. Sedangkan di seberang jalan tampak seorang lelaki mabuk sedang memaki-maki vending machine yang baru saja ia tabrak.
“Lima belas menit lagi aku sampai, Fey. Bersabarlah sedikit.” asap putih muncul setiap kali Aimee membuka mulutnya. Ia mengalihkan pandangannya dari lelaki mabuk itu lalu kembali mengamati bocah-bocah pembuat boneka salju yang kini sedang menancapkan ranting di sisi kanan dan kiri boneka salju mereka.
“Ya, ya, ya.. Aku akan menemanimu. Bukankah kemarin kau sudah memaksaku untuk berjanji?” Aimee berujar sinis. Ia dapat mendengar kikikan Felicia di ujung telepon dengan jelas.
Menyugar rambutnya yang sepanjang bahu menggunakan jari, Aimee mengerutkan keningnya kesal. “Tutup mulutmu atau aku tidak akan mau menemanimu, Fey!” ia lalu menutup sambungan teleponnya tanpa mau repot-repot mengucap salam perpisahan. Setelah itu ia kembali melangkah dengan cepat, ingin segera berendam di bathtup menggunakan air panas untuk menghangatkan tubuhnya yang serasa membeku.
Baru beberapa meter berjalan, Aimee menghentikan langkahnya untuk yang kedua kalinya sore ini. Kali ini ia berhenti karena ia merasa ada seseorang yang sedang mengawasinya.
Aimee mengedarkan matanya ke seluruh sudut yang dapat dijangkau oleh pengelihatannya.
Di belakangnya, Aimee hanya mendapati sesama pejalan kaki yang berjalan tergesa-gesa tanpa menghiraukan keberadaannya. Ia lalu kembali menatap ke depan. Bocah-bocah pembuat boneka salju tadi masih berada di persimpangan jalan, jauh di depannya. Bocah-bocah itu menari-nari kesenangan sembari mengitari boneka-boneka salju mereka yang sudah jadi. Di samping kanannya, terdapat lorong sempit di antara gedung-gedung pencakar langit yang tampak lengang. Sedang di bagian kirinya terdapat gerai kopi yang kosong seluruhnya pada bagian outdoor, mengingat hawa dingin yang sangat menyiksa Januari ini.
Tidak terdapat satupun hal yang aneh. Orang-orang disekitarnya berlalu-lalang tanpa ada seorangpun yang meliriknya walau hanya sesaat. Namun Aimee merasa begitu yakin jika saat ini ada seseorang yang sedang mengintainya, menunggu saat yang tepat untuk menyergapnya.
Langit Manhattan memang masih tampak cerah, matahari New York biasanya baru akan tenggelam pada pukul delapan malam. Namun hal itu tidak membuat Aimee merasa lebih baik. Ia justru merasa dunianya begitu gelap, begitu menakutkan. Semilir angin yang cukup kencang menghantarkan hawa dingin yang pekat, menambah kelam suasana sore ini baginya.
Bulu kuduk Aimee meremang, tubuhnya menggigil ketakutan. Ia merapatkan mantelnya sebelum melanjutkan langkahnya dengan tergesa-gesa. Lagi-lagi ia merasakan teror yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang dan telapak tangannya basah oleh keringat dingin.
Sembari terus berjalan, Aimee kembali mengedarkan pandangannya. Dalam hati ia terus bertanya-tanya.
Siapa?
Siapa orang yang sedang mengawasinya?
***
“Kau melamun lagi, Ams!” tegur Felicia setelah sebelumnya menyenggol Aimee menggunakan siku. Ia menggoyang-goyangkan gelas kecil di tangannya sebelum menenggak habis seluruh isinya dalam sekali teguk.
Ingar-bingar musik dari dance floor yang berdentum-dentum memenuhi seluruh sudut bar, membuat Aimee nyaris tidak mengetahui jika Felicia sedang mengajaknya berbicara.
Malam ini mereka berada di tengah-tengah pesta Grace, teman kuliah Felicia yang ternyata sangat congkak. Aimee masih tidak habis pikir bagaimana bisa Felicia yang manis berteman dengan manusia seperti Grace yang selalu memandang orang lain dengan tatapan mencela.
Tersenyum tipis, Aimee menggeleng pelan. “Tidak, aku tidak melamun. Aku hanya sedang memperhatikan interior bar ini saja.” perkataannya tidak sepenuhnya bohong. Aimee memang sempat mengagumi interior design bar ini yang bernuansa cokelat sebelum ia melamun beberapa saat kemudian.
Bar ini didesain minimalis namun tetap nyaman. Kursi-kursi tinggi berwarna kuning ditata lurus di sepanjang meja marmer tempat bartender menyajikan minuman racikannya. Di sudut lain, sofa-sofa berwarna cream diatur saling memunggungi lalu di hadapannya diletakkan meja kayu cokelat lebar. Suasana bar tampak remang-remang karena hanya mengandalkan beberapa lampu gantung kecil berbentuk bulat yang memancarkan warna kuning redup. Lampu-lampu itu hanya diletakkan di beberapa titik, membuat beberapa sudut ruangan tampak lebih gelap dari yang lainnya.
Berbeda dengan sudut-sudut lain, suasana dance floor tampak meriah dengan lampu disko yang berkerlap-kerlip cepat mengikuti irama musik yang sedang dimainkan oleh DJ. Orang-orang tampak berjubel memenuhi dance floor. Mereka bergoyang dengan heboh. Sepertinya mereka begitu menikmati suasana yang ada, terbukti dari gerakan mereka yang semakin menggila di setiap detiknya.
Felicia melipat kedua lengannya di depan dada. “Mungkin benar kau memperhatikan interior bar ini, tapi itu tadi. Jauh sebelum kau menatap kosong ke arah lukisan abstrak itu.” ujarnya sembari menggedikkan dagu ke arah lukisan yang ia maksud.
Lukisan itu, menurut pandangan Felicia yang merupakan orang awam, tidak lebih dari tumpahan cat di atas kanvas yang tidak sengaja dilakukan oleh bocah taman kanak-kanak. Hal itu tentu membuatnya tidak habis pikir mengapa lukisan itu disebut sebagai masterpiece dan dihargai jutaan dollar.
“Aku tidak melamun, Fey.” Aimee menyesap minumannya perlahan, menikmati saat efek dari alkohol yang ia minum terasa membakar di kerongkongannya.
“Katakan itu seribu kali dan aku akan tetap tidak mempercayainya!” ujar Felicia sembari melambaikan tangannya kepada bartender. “Aku mau satu gelas lagi!” pintanya saat bartender berambut pirang itu sudah berada di hadapannya.
Menggedikkan bahunya, Aimee kembali menyesap minumannya. Kali ini dalam satu tegukan besar yang langsung membuat isi gelasnya tandas tak bersisa. “Tapi itulah kenyataannya.” ia lalu ikut melambaikan tangannya kepada bartender seperti Felicia, “Aku juga mau satu gelas lagi!”
Felicia menatap manik coklat keemasan Aimee dalam-dalam. “Ams, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Tidak ada apapun.” Aimee menjawab cepat, terlalu cepat.
“Kalau tidak ada apa-apa, kau tidak mungkin menjadi aneh seperti ini, Ams!” Felicia melipat kedua tangannya di depan dada.
“Aku tidak aneh!”
“Kau memang tidak aneh, tapi tingkah lakumu itu yang aneh!”
“Tidak!”
“Ya!”
“Tidak, Fey!”
“Ya! Tingkahmu benar-benar aneh, Ams!”
“Cukup!” Aimee menggebrak meja keras-keras. “Felicia Young,” ia menatap Felicia tepat di manik mata, “sudah cukup bagimu untuk mengurusi kehidupanku! Jika kau masih saja ingin mengusik privasiku, lebih baik kau jauh-jauh dariku mulai saat ini!”
Felicia terperangah. Ia menatap Aimee dengan mulut terbuka kehabisan kata-kata. “Apa?” pada akhirnya hanya kata itu yang mampu ia ucapkan.
“Kau sudah mendengarnya dan aku tidak mau untuk mengulangnya kembali.” Aimee mengucapkannya dengan nada datar lalu membuang muka ke arah lain. Ia lebih memilih untuk menatap pasangan kekasih yang sedang bermesraan di sofa paling ujung, hal yang sebenarnya membuatnya merasa jijik daripada menatap Felicia.
“Hahaha..” Felicia tertawa sumbang, ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. “Baiklah jika itu maumu, Miss. Miller!” setelah mengucapkan hal itu Felicia segera beranjak pergi meninggalkan Aimee sendirian di depan meja bar.
Aimee merebahkan kepalanya di atas meja lalu memijat pelipisnya menggunakan sebelah tangan. Kedua matanya ia pejamkan rapat-rapat. Kepalanya berdenyut nyeri dan pandangannya mengabur, efek dari bergelas-gelas minuman beralkohol yang sudah masuk ke dalam lambungnya. Musik up beat yang iramanya menghentak-hentak tidak membantu sakit kepalanya sama sekali, justru membuatnya semakin berdenyut-denyut menyakitkan.
Entah berapa lama ia memejamkan matanya, Aimee tidak tahu pasti. Perutnya terasa bergolak. Cairan lambungnya mendesak untuk dikeluarkan dengan segera. Aimee bangkit dari kursi yang didudukinya, berjalan sempoyongan menuju toilet yang berada di ujung bar yang lain.
Belum ada dua langkah berjalan, Aimee membeku di tempat. Di sana, di sudut paling gelap, terdapat sosok yang menghantui hari-harinya. Aimee tidak bisa menatap wajahnya dengan jelas, namun ia berani bersumpah jika sosok itu sedang meyeringai ke arahnya.
Wajah Aimee memucat. Putih seputih kertas. Tubuhnya menggigil.
“Tidak, ini tidak mungkin terjadi!” Aimee terus mengulang-ulang kalimat itu seperti mantra.
***
-
28 Oktober 2016 pada 9:59 am #230290farahzamani5Peserta
Nahh loh jdi sosok itu nyata
Bnran ada dan lgi ngawasin Aimee
Hiiiii seremmmm
Lanjut ke part selanjutny -
26 November 2016 pada 6:51 pm #301622AzharKhoiriPeserta
@farahzamani5 cuss lanjuuuttt :NABRAKKACA
-
27 November 2016 pada 9:41 am #301979DalpahandayaniPeserta
Ko jdi nyata ?
Jdi ikutan takut loh
lanjut -
27 November 2016 pada 9:46 am #301984AzharKhoiriPeserta
@Dalpa hayo kok bisa yaaa? hehehehe :BAAAAAA
-
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.