Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat Forum Forum Kepenulisan LOMBA CERBUNG MISTERI [BIASED PART 1]

Melihat 4 pertalian (thread) balasan
  • Penulis
    Tulisan-tulisan
    • #155645
      AzharKhoiri
      Peserta

      Author: AzharKhoiri

      Genre: Mystery

       

      Tap.. Tap.. Tap..

      Suara langkah perlahan dan sedikit terseret itu terdengar menggema di dalam gedung tersebut.

      Aimee menggigit punggung tangan kanannya kuat-kuat, mencegah mulutnya mengeluarkan suara sekecil apapun. Keringat dingin mengucur deras dari seluruh permukaan kulitnya, napasnya tersengal-sengal, dan matanya menatap nyalang pada pintu kayu besar yang memisahkan dirinya dengan sosok itu.

      Tap.. Tap.. Tap..

      Di luar sana, sosok itu sedang mencarinya. Langkahnya lambat-lambat, seolah ingin mempermainkan ketakutannya.

      Air mata keputusasaan mengalir di kedua belah pipi Aimee, meninggalkan jejak basah yang berwarna kecoklatan karena tercampur dengan debu yang mengotori wajahnya. Ia berusaha menahan isakannya sekuat tenaga dengan menggigit punggung tangannya lebih kencang lagi, membuat lidahnya mencecap rasa karat besi dari darah yang keluar dari permukaan kulitnya yang terluka.

      Aimee bahkan sudah tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Tikus-tikus berkeliaran, sarang laba-laba memenuhi setiap sudut, dan debu tebal yang menutupi keseluruhan permukaan lantai seolah tidak mengganggunya sama sekali.

      Tap.. Tap.. Tap..

      Jantung Aimee berdegup semakin kencang penuh antisipasi saat suara langkah kaki itu semakin lama terdengar semakin keras dan semakin dekat. Telinganya bahkan terasa berdenging mendengar suara detak jantungnya sendiri yang begitu kencang.

      Tap..

      Suara langkah terakhir terdengar tepat di depan pintu sebelum digantikan dengan keheningan yang menyesakkan. Hening ini begitu mencekam, begitu menyiksa. Bahkan untuk menarik napas saja Aimee begitu takut jika suaranya akan terdengar oleh sosok itu.

      “Ahh!” Aimee tidak bisa menahan pekikan kecil yang keluar dari mulutnya ketika pintu kayu itu terbuka perlahan-lahan, menimbulkan bunyi berderit yang menyakitkan telinga.

      Ruangan tempatnya bersembunyi begitu gelap, tapi Aimee sangat yakin jika sosok itu sedang berada di ambang pintu dengan seringai lebar saat mengetahui jika ia tengah meringkuk penuh keputusasaan di sudut terjauh dari pintu.

      Saat ini Aimee membenci dirinya sendiri yang begitu lemah, begitu tak berdaya untuk melawan dan hanya bisa menangis dalam diam sembari meratapi nasib.

      Aimee terkesiap saat tiba-tiba ia merasakan cekikan pada lehernya, membuatnya secara reflek melepas gigitan pada punggung tangannya dan membuka mulut lebar-lebar untuk mencari pasokan udara. Sepertinya ia tadi terlalu larut dalam pikirannya sendiri sampai-sampai tidak menyadari kehadiran sosok itu di hadapannya.

      Sekuat tenaga Aimee mencoba melepaskan cekikan itu dengan kedua tangannya. Hal yang sia-sia karena bukannya terlepas, cekikan itu malah bertambah kuat. Dapat ia rasakan kuku-kuku tajam menggores permukaan kulit lehernya, membuat luka memanjang yang meneteskan darah segar.

      Meronta-ronta, Aimee menedang tak tentu arah. Ia berusaha menjangkau bagian tubuh mana saja dari sosok itu yang masih dapat dicapai oleh kakinya. Namun sosok itu hanya bergeming, seolah tendangan membabi buta Aimee tidak ada artinya sama sekali.

      Cekikan pada leher Aimee mengencang. Sosok itu seolah sedang memastikan aliran udara Aimee terhenti dengan sempurna.

      “…” Aimee mencoba berteriak, tetapi tidak ada sepatah katapun yang bisa keluar dari mulutnya. Suaranya tertahan di tenggorokan dan tidak mau keluar sekuat apapun ia mencoba.

      Sosok itu menyeringai. Memperlihatkan deretan giginya tepat di depan wajah Aimee. Kegelapan memang membuat Aimee tidak dapat melihat wajah sosok itu dengan jelas, tapi seringainya yang kejam terpatri dengan kuat di dalam otak Aimee.

      Lelah meronta, kini Aimee hanya dapat menangis pasrah saat kegelapan yang lebih pekat menyambutnya.

      ***

      Aimee terbangun saat mendengar suara alarm dari ponselnya. Napasnya masih tersengal dan tubuhnya basah oleh keringat. Teror itu terasa begitu nyata, begitu mengerikan. Bahkan pipinya pun terasa lengket oleh bekas air mata yang telah mengering.

      Mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, Aimee bisa bernapas dengan lega saat menyadari jika kini ia tengah berada di dalam kamarnya sendiri. Tidak ada seorangpun yang berada di dalam kamarnya kecuali dirinya sendiri.

      Warna kesukaan Aimee adalah warna putih, abu-abu, dan hitam, oleh karena itu kamarnya pun didominasi dengan warna-warna itu. Dinding kamarnya diwarnai abu-abu tua dengan gradasi warna putih. Di sudut terjauh dari ranjangnya yang berwarna hitam dengan seprai putih bersih terdapat meja rias yang sama hitamnya. Pada sisi kanannya terdapat nakas yang lagi-lagi berwarna hitam dan di atasnya diletakkan lampu tidur berwarna putih. Saat dinyalakan lampu itu akan memancarkan warna kuning keemasan yang indah.

      Terdapat dua pintu berwarna putih di dalam kamar Aimee. Satu terletak di sisi kiri merupakan pintu yang menuju ke kamar mandi, sedang satu lagi yang berada tepat di depan ranjangnya merupakan pintu keluar.

      Aimee menghela napas perlahan. Aman. Untuk saat ini dirinya aman.

      Dengan tangan gemetar Aimee mengambil ponselnya yang masih terus berkedip di atas nakas lalu mematikannya. “Apa ini?” tanyanya lirih pada dirinya sendiri. Keningnya berkerut dalam. Ia baru menyadari jika pada punggung tangan kanannya terdapat bekas luka gigitan dan darah kering saat ia meletakkan ponselnya kembali ke atas nakas.

      Aimee memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. “Aku pasti tidak sengaja menggigitnya tadi.” ucapnya lebih untuk menenangkan diri.

      Perlahan Aimee bangkit dari ranjang. Kakinya masih terasa lemas dan sulit digerakkan untuk berjalan ke kamar mandi. Jika saja ia boleh memilih, ingin sekali rasanya seharian bergelung di atas kasur dengan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan secangkir cokelat panas untuk menenangkan hatinya yang gelisah. Namun itu semua hanyalah sebatas angan yang tidak akan mungkin terwujud mengingat hari ini ia harus pergi ke Columbus Circle untuk melakukan pemotretan wedding dress rancangan Mariel Turner, salah satu designer  ternama di New York.

      Aimee memeluk dirinya sendiri dengan kedua lengan sambil berjalan, giginya sedikit bergemeletuk menahan hawa dingin yang terasa menusuk sampai ke tulang. Januari ini musim dingin sedang berada pada puncaknya, membuat pagi ini terasa begitu dingin sampai-sampai penghangat ruangannya pun tidak cukup untuk menghangatkan tubuhnya.

      Begitu sampai di dalam kamar mandi, Aimee terlebih dahulu membasuh luka di punggung tangan dan  wajahnya di wastafel. Ia ingin menghilangkan jejak lengket dari air matanya yang terasa mengganggu.

      Berbeda dengan kamarnya yang berwarna putih, abu-abu, dan hitam, kamar mandi Aimee seluruhnya berwarna putih bersih. Pada bagian kanan kamar mandi terdapat tirai yang memisahkan antara sisi basah yang berisi bathup dan shower dengan wastafel dan kloset yang berada di sisi kering.

      Setelah dirasa cukup, Aimee kemudian mengeringkan wajahnya menggunakan handuk kecil yang tergantung di samping wastafel. “Astaga!” pekiknya saat tidak sengaja melihat bayangannya yang terpantul pada cermin yang terdapat di dinding bagian atas wastafel.

      Di lehernya, Aimee mememukan luka berupa goresan memanjang berwarna merah yang merupakan darah kering dan bekas cap tangan yang terlihat sedikit membiru. Luka itu tampak nyata, namun ia masih tidak bisa mempercayai pengelihatannya sendiri. Saat ia mencoba menyentuhnya menggunakan tangan, luka itu terasa berdenyut nyeri dan perih.

      Aimee terkesiap. Luka ini benar-benar nyata! Bagaimana bisa luka ini muncul? Apa yang sebenarnya terjadi?

      ***

      “Ams!”

      Aimee mengentikan langkahnya lalu menoleh. Jauh dibelakangnya, Felicia berlari kecil mengejarnya dengan senyum terkembang. Rambut brunette sepunggungnya yang hari ini dibiarkan tergerai bebas berkibar tertiup angin.

      Felicia menautkan tangannya dengan lengan Aimee. “Bagaimana dengan pemotretanmu tadi pagi, Ams? Kudengar dari Mrs. Lopez kau membuat keributan.” tanyanya sambil setengah menyeret Aimee untuk kembali melangkah.

      Manhattan pagi ini dihujani salju yang cukup deras, membuat orang-orang harus berhati-hati saat berpergian jika tidak ingin celaka. Para pejalan kaki menggunakan sepatu boot berlapis bulu sintetis pada bagian dalamnya agar tetap hangat, sedangkan bagian sol sepatu boot tersebut terbuat dari karet, menjaga supaya penggunanya tidak mudah tergelincir ketika menginjak jalanan yang tertutupi salju.

      “Wanita tua itu,” Aimee mendengus kesal sembari membenarkan letak topi rajutnya yang miring, “aku sampai sekarang masih merasa heran mengapa dia belum juga terbunuh berkat mulut besarnya itu!”

      “Jadi? Apa benar kau membuat keributan?” tidak mempedulikan gerutuan Aimee sebelumnya, Felicia kembali bertanya. Ia harus menundukkan kepalanya sedikit saat berbicara dengan Aimee yang satu kepala lebih pendek darinya.

      Aimee menghembuskan napas keras-keras. “Bukan hal yang besar, Fey.”

      “Besar ataupun kecil aku tetap ingin mendengar apa yang terjadi sampai-sampai Mrs. Lopez berkoar-koar kalau kau telah mengacaukan pemotretan hari ini kepada seluruh orang yang ada di agency.” Felicia menatap Aimee dengan mata bulatnya yang berwarna hijau, hal yang paling dibenci oleh Aimee karena mampu membuatnya luluh dalam sekejap.

      Menutup mata Felicia dengan sebelah tangannya yang bebas, Aimee mendengus pelan. “Kali ini hal itu tidak akan berhasil, Fey.”

      Felicia menyingkirkan tangan Aimee dari wajahnya lalu tersenyum manis. “Apakah kau yakin, Ams?” ia mengedip-ngedipkan kedua matanya dengan lucu, membuatnya tampak begitu menggemaskan, “Kurasa tidak.”

      “Dasar, sialan!” umpat Aimee kesal karena merasa kalah.

      “Jadi?”

      “Jadi apa?”

      “Jadi apa yang terjadi pada pemotretanmu tadi pagi, Ams?” Felicia mengulang pertanyaannya dengan sabar.

      Aimee mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Aku secara mengejutkan datang ke lokasi pemotretan dengan beberapa bagian tubuh yang terluka?” jawabnya yang malah lebih terdengar sebagai pertanyaan.

      Hal itu memang benar-benar terjadi tadi pagi. Aimee datang ke lokasi pemotretan dengan perban lebar yang membalut lehernya dan plester luka di punggung tangan. Mrs. Lopez yang merupakan manager model di agency yang menaungi Aimee sontak kebakaran jenggot ketika melihat penampilannya tersebut. Ia lalu sibuk menceramahi Aimee tentang betapa berharganya tubuh seorang model yang merupakan aset utama bagi model itu sendiri sembari terus menginstruksikan makeup artist yang menangani Aimee untuk menutup luka-luka itu dengan sempurna.

      “Apa?” pekik Felicia terkejut, “Kau terluka?” ia menghentikan lagkahnya secara tiba-tiba, membuat dirinya sendiri dan Aimee hampir saja jatuh terjungkal.

      “Ya,” Aimee melirik Felicia dengan tatapan sinis, “dan kau hampir saja membuat luka-lukaku bertambah.”

      Felicia meringis, merasa bersalah. “Maafkan aku, Ams. Kau tentu tahu aku tidak akan dengan sengaja mencelakaimu, kan?”

      “Ya, ya, ya..” Aimee mengibaskan sebelah tangannya malas lalu berganti menyeret Felicia untuk berjalan. “Ayo jalan sebelum kita mati beku di luar sini!”

      Malam sudah menjelang, membuat hawa dingin bertambah pekat. Mantel tebal rasanya tak lagi mampu untuk melindungi diri dari dingin yang begitu menusuk. Solusi terbaik untuk saat-saat seperti ini hanyalah berlindung di ruangan tertutup yang memiliki penghangat ruangan sesegera mungkin guna menghangatkan diri.

      Memberengut, Felicia menggoyang-goyangkan tangan Aimee kencang. “Ayolah, Ams. Ceritakan padaku apa yang terjadi!” rengeknya.

      “Tidak!”

      “Ams, ayolah..”

      “Tidak, Fey!”

      “Ams..”

      Aimee menatap Felicia tajam, hal yang dilakukannya jika ia menganggap tingkah laku Felicia sudah sangat mengganggunya. “Aku sudah berkata tidak Fey, itu artinya aku tidak akan membuka mulutku apapun yang terjadi.”

      Mendecak kesal, Felicia menganggukkan kepalanya malas-malasan. “Baiklah jika itu maumu. Padahal sebagai temanmu aku siap untuk mendengarkan seluruh keluh kesahmu, Ams.”

      “Ya. Aku tahu, Fey,” Aimee menatap Felicia dengan sorot mata yang telah melembut, “tapi tidak untuk yang satu ini.”

      ***

    • #230281
      farahzamani5
      Peserta

      Ternyata oh ternyata itu cuma mimpi
      Tp kok bnran ada bekas luka ya di leher Aimee ny
      Emmmmm okehhh cuzz ke part berikutny

    • #301617
      AzharKhoiri
      Peserta

      @farahzamani5 hayoo tebak kenapa kok bisa gitu hehehe :BAAAAAA

    • #301975

      Horor dan darknya kerasa bnget

    • #301981
      AzharKhoiri
      Peserta

      @Dalpa wah makasih udah mau mampir bacaa :MAWARR

      iya mau bikin suasana gitu tapi ini masih banyak kurangnya :PATAHHATI

Melihat 4 pertalian (thread) balasan
  • Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.