Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Lounge › Kisah Dari Pinggir Trotoar
- This topic has 7 balasan, 7 suara, and was last updated 8 years, 7 months yang lalu by sylviwuland.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
-
9 Mei 2016 pada 7:16 am #43888famelovendaModerator
– 66 –
Event: Devils of Death
Judul: Kisah dari Pinggir Trotoar
Penulis: Rifina*
Aku tersesat.
Petang sudah lewat, dan aku hanya dapat meringkuk di pinggir trotoar kotor sambil melihat orang-orang yang berlalu-lalang, berharap ada manusia baik hati yang akan mengantarku pulang ke rumah.
Sayangnya, semuanya sibuk dengan urusannya sendiri.
Ketika aku sedang duduk diam, tiba-tiba seseorang tidak sengaja menendangku. Ia melirikku, menatapku dengan jijik dan rendah. Aku hanya bisa diam dan bertanya dalam hati, “apa salahku?”
Dari pinggir trotoar yang kotor ini aku melihat orang-orang berlalu-lalang dan jalan raya yang penuh dengan kendaraan. Lampu lalu lintas masih berwarna merah, tapi mereka saling memamerkan suara klakson, seolah beradu klakson siapa yang paling merdu.
Sebuah angkutan kota berhenti di depanku. Sang supir sibuk menghitung uangnya, sedang para penumpang sibuk dengan pikirannya. Ada seorang ibu yang menenteng lauk—tak sabar bertemu anaknya, ada pula pemuda berwajah kusut yang tak hentinya berdecak, seorang gadis berwajah lelah, juga seorang bapak yang letih seharian mencari nafkah.
Seorang pengamen berlari kecil, duduk di pinggir pintu angkutan kota itu. Dengan bermodalkan sebuah gitar kecil ia melantunkan sebuah lagu. Suaranya pas-pasan—ah, setidaknya ia sudah berusaha.
Tidak jauh dariku, seorang pengemis duduk bersimpuh. Ibu itu menengadahkan tangan, meminta-minta sambil menggendong bayi yang tertidur pulas—seolah bayi itu mengerti untuk tidak menangis sama sekali karena cukup urusan nafkah saja yang membuat ibunya pusing.
Kebetulankah? Aku tidak tahu.
Di sela-sela gulita dengan campur-baur lampu kendaraan, aku melihat seorang polisi yang mengendarai motor. Ia tidak melihatku, tetapi melihat seorang pengendara motor dan menyetopnya. Perihal sebuah helm, sepertinya.
“Lupa,” kata si pengendara itu, alasan klasik.
Pak polisi menggeleng tegas. Aku hampir kagum padanya jika saja ia tidak menyebutkan sejumlah nominal angka pada pengendara itu.
“Bayar 50.000 aja,” ujarnya. Aku kembali termenung.
Pengendara motor itu pun pergi setelah memberikan selembar kertas. Pak polisi kembali mencari mangsa empuk, tak menghiraukanku barang sedetik pun.
Ah, selepas pak polisi itu pergi, tiba-tiba ada pengendara motor yang lewat di trotoar ini, tepat di depanku. Beberapa orang berteriak padanya, mengumpat karena hampir tertabrak. Sepertinya fungsi trotoar kini sudah berubah karena efek kemajuan teknologi. Oh, atau kota ini butuh anak kecil penghadang motor yang pemberani?
Kupikir dunia ini sudah terlalu banyak orang baik yang bungkam. “Itu bukan urusanku,” pikir mereka. Orang-orang terlalu sibuk dengan urusannya sendiri—seolah dikejar oleh waktu, dunia, dan tuntutan ekonomi.
“Di dunia ini tidak ada yang gratis,” katanya. Dan berkat kalimat itu, tak ada satu pun dari mereka yang memedulikanku karena mengurusiku tidak akan menambah keuntungan sama sekali.
Ah, jangankan memedulikanku, melirikku saja tidak.
Bahkan seseorang tak sengaja menendangku, lagi. Aku hanya menatapnya dari bawah, tak mampu berkata apa-apa. Lagipula, jika aku berkata, aku tak yakin mereka akan mendengarkanku.
Kupikir, manusia sudah bukan lagi manusia. Kini yang peduli dibilang sok peduli, yang percaya diri dibilang cari eksistensi diri. Kini manusia sering tersenyum dan tertawa pada benda canggih di genggamannya, tapi hilang ekspresi ketika mengobrol dengan sesamanya. Ah, apalagi kalau sudah menyangkut uang, status, dan emosi—kurasa membunuh dianggap halal-halal saja.
Dunia ini kejam, Manusia. Kau tahu itu.
Tak ada yang peduli padaku sejak angin malam mulai berhembus hingga kini suara adzan di pagi yang gelap sudah berkumandang.
Namun, di dunia yang kejam ini—ternyata—masih ada manusia yang peduli. Ia menghampiriku dengan tersenyum—aku melihat peluh yang bercucuran di dahinya padahal pagi masih buta. Ia mengantarkanku ke rumah.
Tahukah kau, Manusia? Ia hanyalah seorang pemulung sampah. Bukan pejabat perlente dengan jas klimis dan sepatu mengkilatnya, bukan pula tuan tanah yang sibuk menghitung keuntungan tiap jengkal tanahnya, apalagi pejabat kaya yang diam-diam menggerogoti uang rakyatnya.
Sayangnya, Manusia, aku yang ini tak mampu berterimakasih pada bapak tua itu. Walau ingin pun, aku tidak bisa.
Karena aku hanyalah seonggok sampah.
P.S.
Manusia, tolong ingatkan temanmu agar tidak sembarangan membuang temanku yang lain. Walaupun kami hanya sampah, kami juga memiliki tempat semestinya. -
9 Mei 2016 pada 7:22 am #43890Author1Keymaster
Terimakasih atas kisah yang menginspirasi pagi hari author :YAZZA
-
9 Mei 2016 pada 7:50 am #43911famelovendaModerator
Hihi terima kasih juga @author1, untuk kata2nya author yang menginspirasi di salah satu status :LETNANPARIS “Semangat apa pun dirimu” :LETNANPARIS
-
9 Mei 2016 pada 8:20 am #43928nikenprabaretnaPeserta
Terima kasih kisahx sgt inspiratif mengingatkan q u/ tidak menyepelekan hal kecil tanpa pikir itu akan menjadi masalah yg besar. :NGAKAK2
-
9 Mei 2016 pada 8:25 am #43931AuroraEliePeserta
Love this story, panda. Terharu sama kisahnya. Intinya jgn buang sampah sembarangan… :JENDAKIRA
-
9 Mei 2016 pada 11:05 am #44033AsihPujiLestariPeserta
Terima kasih untuk kisah yg sangat menginspirasinya kak panda :LETNANPARIS
-
9 Mei 2016 pada 11:57 am #44116hydehydePeserta
❤ this storry..
Thanx 4 shared, dear.. :TABIBZHOU -
9 Mei 2016 pada 12:18 pm #44144sylviwulandPeserta
Terimakasih.. kisanya menginspirasi sekali.. :LETNANPARIS
-
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.