Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat Forum Forum Kepenulisan [DIRGAHAYU-RI] PILIHAN HIDUP

Di-tag: 

Melihat 7 pertalian (thread) balasan
  • Penulis
    Tulisan-tulisan
    • #99696
      cloudzee
      Peserta

      Pilihan Hidup
      AUTHOR : cloudzee

      GENRE : Drama

      #LombaCerpen

      Umurku masih 18 tahun waktu itu. Sehari usai pengumuman kelulusan SMA, Ibu dan Ayah mengajakku untuk berbicara. Aku yang sudah antusias, mengira bahwa kami akan membicarakan kelanjutan pendidikanku, malah menelan kekecewaan. Seragam putih abu-abuku saja masih basah akibat coretan, omongan Ayah tadi serasa seperti hantaman keras bagiku.
      Ibu menggegam tanganku yang terkepal lemah di atas meja. Raut wajahnya yang penuh kasih, kini mulai dibasahi air mata, tanpa sadar aku juga merasakan hal yang sama. Aku menyeka tetesan air mataku yang jatuh.
      “Apa tidak ada solusi lain, Yah?” tanyaku.

      Ayah menghela nafas berat, keriputnya yang biasa tak tampak, kini terlihat menonjol di atas kulit kecokelatannya. Ayah jelas terlihat berat mengatakan ini semua. “Maafkan kami, Astri, tapi ini hanya satu-satunya jalan. Keluarga Aditama adalah pemilik perusahaan besar, mereka dapat membantu perusahaan Ayah dari bangkrut. Satu-satunya harapan kami adalah kamu, Astri.”

      Ibu meremas tanganku lembut, untuk memberi sedikit semangat. Banyak hal berjalan di dalah pikiranku. Pertanyaan demi pertanyaan memberontak untuk kuucapkan, tapi bahkan aku tak sanggup mengucapkan satu katapun tanpa terdengar lirih.
      “Keluarga Aditama punya putra sulung yang berumur 27 tahun, kaya, dan wajahnya tampan. Kamu pasti akan jatuh pada dia juga nanti,” ucap Ayah.

      Perkataan Ayah serasa menyakitkan. Ucapan Ayah barusan seperti mengatakan bahwa aku adalah salah satu tipe perempuan matre yang hanya membutuhkan kekayaan dari seorang laki-laki, bukan cintanya.
      Mengesampingkan egoku untuk mengamuk sementara waktu, aku akhirnya dapat menyuarakan pertanyaanku. “Bagaimana dengan cita-citaku. Apa Ayah lupa? Aku ingin jadi dokter.”
      Ayah tampak gusar, aku tau dalam dirinya, ia juga merasa tak tega, tapi apa boleh buat, yang tertua selalu jadi korban. “Dalam waktu dekat, mungkin itu tidak dapat terjadi. Kamu harus menikah dulu dengan Deva.”

      Semalaman, aku tidak bisa tidur. Saat memejamkan mata barang 5 menit, bayangan-bayangan segala cita-citaku berseliweran di depan mata, seperti menghinaku yang tidak dapat meraih mereka semua. Hanya dalam beberapa menit, seluruh duniaku runtuh, membuatku menjadi cangkang kosong tanpa harapan dan semangat hidup. Gelar dokter spesialis mataku terancam tak terwujud, belum lagi aku harus hidup dengan orang asing, orang yang sama sekali belum kukenal seumur hidup.

       

      Semua orang pasti ingin memiliki pasangan hidup yang sama sampai maut menjemput. Hidup dengan penuh cinta yang bisa saling berbagi dengan pasangan. Tapi, apa jadinya jika aku harus mengenyahkan impian indahku itu. Yang terjadi kini malah sebaliknya.
      Besok adalah hari pertemuan pertamaku dengan Deva. Ayah dan Ibu sudah mengatur segalanya. Aku akan diantar ke sebuah kafe dan berbicara 4 mata dengan Deva. Berhubung pernikahan kami hanya dua minggu lagi, kami tidak punya banyak waktu untuk banyak basa-basi dan mengulur waktu.
      Walaupun, aku diharuskan berpenampilan baik besok, aku yakin akan ada kantung besar di kedua mataku esok hari.

      “Jangan rusak make upnya ya. Buat dia terkesan,” pesan Ibu saat aku turun dari mobil.
      “Iya, Bu,” jawabku.
      Ibu memberi gestur mengusir, ia menyuruhku masuk ke dalam kafe.
      Aku dengan perasaan was-was, masuk ke dalam kafe dan mencari laki-laki berkemeja biru sesuai instruksi dari Ibu.
      Cuma ada satu laki-laki yang paling mencolok dikerumunan pengunjung hari itu. Deva duduk di meja couple dengan kemeja biru dan dasi garis-garis hitam. Aku langsung bergegas ke arah Deva walaupun agak canggung.
      “Kak Deva?” tegurku.
      Deva mendongak dari ponselnya. Alisnyaa berkerut, kemudian menatapku dari atas hingga bawah. Mengamati gaun sederhanaku yang berwarna merah muda. Tadi pagi, aku dimarahi habis-habisan oleh Ibu karena bangun dengan kantung mata. Aku jadi terpaksa mengulur waktu pertemuan kami, karena wajahku perlu didandani Ibu, sehingga kantung hitam, menonjol, dan jelek di bawah mataku itu tidak terlihat lagi.
      “Silahkan duduk.”
      Aku menarik kursi dan duduk, menatap sekeliling kafe canggung. Aku berusaha keras untuk tidak menatap langsung ke arah mata Deva.
      Deva memanggil pelayan dan menanyakan pesananku.
      “Nasi goreng sama es teh manis aja,” kataku pada pelayaan kafe. Setelah pelayan mencatat pesananku, kemudian ia pergi. Aku memberanikan diri untuk memulai percakapan. “Maaf soal tadi pagi. Ada sedikit insiden.”
      Deva untuk pertama kalinya tersenyum kepadaku, memperlihatkan giginya yang rapih dan bersih. “Tidak masalah. Yang penting kita akhirnya bertemu juga, kan?”
      Aku balas dengan tersenyum.
      Deva berdeham, kemudian menegakkan tubuhnya. Rautnya jadi lebih serius. “Kamu tau kan, Astri? Kita dijodohkan oleh orang tua kita. Apa kamu rela-rela saja?” tanyanya penuh perhatian.
      “Aku menurut Ayah Ibu aja, Kak. Menurut mereka kakak yang terbaik, aku bisa apa?”
      Pelayang datang membawakan pesananku. Aku langsung meminum es teh yang kupesan.
      Deva berkata, “Baiklah kalau begitu,” Deva lagi-lagi tersenyum. Senyum yang manis sekaligus entah kenapa menakutkan.
      Aku menghabiskan nasi gorengku, sedangkan Deva yang sudah lama menghabiskan hidangannya, sedang sibuk dengan ponselnya.
      “Jadi bagaimana persiapan pernikahan kita?” tanyaku.
      “Persiapan sudah 60% selesai. Tinggal baju akad dan resepsi, undangan, sama souvenir. Aku sudah mengambil cuti mulai besok. Kurasa kita sudah bisa mulai persiapan bersama besok?”
      Aku mengangguk.
      Setelah itu, kami bertukar informasi. Aku menceritakan latar belakangku, walaupun sepertinya dia sudah tau, tapi dia tetap diam dan mendengarkan.
      “Apa kamu sudah punya pacar?” Deva bertanya sambil menandatangani bon makanan.
      “Belum pernah.”
      Deva tampak kaget. “Belum pernah?”
      Aku mengangguk. “Tidak tertarik untuk hal semacam itu.”
      Deva mulai menceritakan kehidupannya. Ia lama tinggal di Aussie untuk melanjutkan kuliah, punya banyak mantan pacar, dan sekarang bekerja di perusahaan keluarganya. Selama ini belum punya hubungan serius dengan siapapun, seringnya gonta-ganti pacar.
      “Waw,” ucapku setelah Deva menceritakan pacar-pacarnya yang jumlahnya tidak pernah kupikirkan bisa dimiliki pria 27 tahun.
      “Begitulah,” katanya. “Eh omong-omong, aku ada rapat jam 2 ini, apa gapapa aku antar kamu sekarang?”
      “Gapapa kok, Kak.”
      Deva mengantarkan aku pulang dengan mobilnya yang mahal. Sungguh memang orang kaya sampai ke tulang-tulangnya. Baju, sepatu, jam tangan, bahkan pengharum mobil saja, aku tau berharga jutaan. Aku sampai tak bisa membayangkan bagaimana besar rumah keluarganya. Pasti sebesar istana, pikirku.
      Walaupun kaya dan tampan, tapi kalau tidak ada cinta di antara kita, aku bisa apa? Tetap saja ada yang kurang di antara hubungan kita. Kita memang dekat, tapi seperti ada tembok yang menghalangi hati kita untuk menyatu.

      Hari-hari menjelang pernikahan sungguh melelahkan, harus bolak-balik fitting baju, karena badanku yang kegemukanlah nanti kekurusanlah dan lain-lain. Belum lagi, Deva yang moodnya sering berubah-ubah, kadang pria itu tersenyum ramah, kadang lagi seperti batu es yang dipahat seperti laki-laki, dingin dan keras.
      Undangan sudah disebarkan, gedung sudah dipesan dan dihias, makanan dan minuman tinggal dihidangkan, dan kini aku sedang duduk di depan cermin untuik dihias wajahnya. Semalaman aku tidak bisa tidur lagi. Perias beberapa kali harus mengurusi bagian bawah mataku itu yang terus terlihat jelek. Ibu sampai berdecak-decak, saat melihatku keluar dari kamar tadi pagi.
      Perias sudah melakukan tugas mereka. Wajahku sudah dihias sedemikian rupa, sampai aku tak mengenali diriku sendiri. Kebaya berwarna putih gading untuk acara akad sudah terpasang di tubuhku. Rambut panjangku disanggul tinggi. Seketika itu juga aku merasa seperti sedang menghadiri acara kartinian di sekolah. Biasanya aku selalu memakai kebaya, tapi dengan riasan yang lebih sederhana, kini riasan yang lebih untuk acara yang lebih penting.
      “Ayo turun. Deva sudah siap di bawah,” ibu memanggil. Aku dibantu oleh kedua adikku berjalan menuruni tangga dengan susah payah. Aku mencoba tersenyum sebaik mungkin saat para tamu sudah menyadari kehadiranku. Deva di meja berhadapan dengan Ayah menatapku tanpa berkedip, senyumannya mampu membuatku ingin berlari kembali ke kamar karena malunya.
      Aku duduk di samping Deva selama pria itu membacakan ijab qobul. Saat kata ‘sah’ disuarakan, aku yakin ini adalah terakhir kalinya aku bisa bahagia.
      ***
      Aku merunduk saat lengan kekarnya lagi-lagi meninju wajahku. Deva yang marah karena aku menghindar dari pukulannya, langsung menarik kedua lenganku menuju kamar mandi. Aku diseret sampai tubuhku meringkuk di lantai kamar mandi yang dingin. Tangisan dan permohonanku hanya angin lalu untuknya. Entah apa yang menutupi telinganya sampai teriakan kesakitanku tak pernah digubris.
      Kepalaku disiriam air berkali-kali, sampai tak ada waktu untuk menarik nafas. Saat sudah selesai menyirami tubuhku, Deva menampar wajahku berulang-ulang. Aku memohon, tapi dia terus menyiksaku.
      “Masih ulangi kesalahanmu?!” teriaknya. Suaranya menggema di dinding kamar mandi, membuat suara dan sosoknya lebih menyeramkan. Aku menangis dan menggelengkan pelan. Berkas perih memenuhi kedua sisi wajahku, pasti keesokan harinya akan lebam atau luka.
      Deva menghentakkan kakinya keluar kamar mandi dan beberapa menit kemudian aku mendengar pintu rumah dibanting terbuka dan suara pintu yang terkunci menyusul kemudian.
      Aku berteriak frutrasi, air mataku mengalir tanpa henti, menangisi nasib pernikahanku yang buruk ini. Tiap hari pukulan atau perkataan kasarnya menjadi makananku. Tidak ada tempat untuk mengadu. Aku jauh dari siapa-siapa. Ibu dan Ayah sibuk mengurus perusahaan, sedangkan aku dibawa merantau oleh Kak Deva. Aku sendirian dan aku ketakutan.
      Pernikahan ini bahkan lebih buruk dari seluruh mimpi burukku. Memikirkan akan disiksa oleh suami sendiri, tidak pernah ada dalam bayangan paling terburukku sekalipun.
      Awal pernikahan, semuanya lancar-lancar saja. Kak Deva walaupun sangat dingin, tapi ia tidak pernah berlaku kasar kepadaku. Penderitaanku ini semua dimulai saat kami pindah ke Sydney untuk mengurus kantor cabang Kak Deva. Kemudian, lama kelamaan aku sering dikata-katai dengan perkataan yang tak sopan dan kasar.

      Suatu hari aku balas memberontak, aku berteriak kepadanya karena sudah tidak tahan dengan perkataan buruknya padaku. Diluar dugaanku, dia malah memberiku pukulan di wajah dan membuatku pingsan malam itu juga. Itu awal mula, aku sering dipukuli jika melakukan kesalahan sedikit saja.
      Seluruh tubuhku sudah pernah terluka karenanya. Perih luar biasa di seluruh badan setiap aku akhirnya dapat berisitirahat di sebuah kamar sederhana. Aku sudah mencoba menghubungi keluargaku pada awal-awal penyiksaan dan saat Deva tau, penyiksaan yang lebih pedih ia berikan padaku.
      “Kenapa kamu melakukan ini semua?” tanyaku diantara tangisan pada waktu itu.
      Deva kembali menendang tubuhku yang sudah meringkuk di lantai. Saat-saat seperti ini tempramennya sangat buruk. “Aku benci kau. Gara-gara kamu aku harus terikat. Aku benci terikat, ini semua kulakukan karena orang tuaku. Sekarang mereka tidak ada di sini untuk membantumu. Aku bisa melampiaskan segala kekesalanku.”

      Sejak malam itu, aku mulai sadar bahwa orang tua Deva juga memaksakan hal yang sama seperti orang tuaku memaksaku untuk menikah dengan orang yang tidak kenal, apalagi cintai. Dan kini, aku yang harus menanggung semuanya. Penderitaan tanpa henti. Penderitaan penuh luka.
      Akhirnya ada waktu saat aku benar-benar sendirian. Deva pergi bekerja dan yang kuketahui kamera CCTV rumah sedang rusak. Aku segera mengeluarkan ponsel curian yang aku ambil saat aku dan Deva pergi berbelanja bulan lalu. Aku segera memberi kabar Ibuku lewat social media. Tapi, sampai jam 5 sore, Ibu tidak kunjung membalas.

      Saat Deva pulang, ponsel curianku kusembunyikan di dalam kabinet dapur, yang tak pernah tersentuh olehnya. Jadi aku tak perlu khawatir.

      Deva sedang makan malam saat tiba-tiba bunyi barang pecah terdengar di dapur. Aku yang sedang menggosok baju, segera berlari keluar. Deva berdiri dengan tangan mencengkram ponsel curianku.
      “Tolong! Ampun!” teriakku saat Deva menarik lenganku menuju dapur. Dia membanting ponsel itu sampai jadi kepingan tak berguna.
      Saat aku lengah, tanpa kuduga, Benda tajam menusuk perutku. Sambil menunduk aku melihat tangan Deva berlumuran darah. Rasa sakit mendera sekujur tubuhku saat darah mulai berhambur keluar. Saat mataku hampir tertutup, aku tau itu akan tertutup untuk selamanya.

      ***

      Ibu dan Ayah Astri hanya bisa memandangi kuburan putri sulung mereka. Mereka berdua tidak pernah menyangka akan memberikan putri sulung mereka kepada laki-laki psikopat yang tega membunuh istrinya sendiri. Anak mereka telah meninggal, meninggal karena ulah mereka sendiri.

      Mereka merasa tangan mereka juga terlumur darah Astri, gara-gara mereka, Astri yang malang harus berhadapan dengan laki-laki gila bernama Deva itu. Mereka menangis, meraung, menuntut Devapun Astri tidak akan hidup lagi.
      Jika sebuah pernikahan dipaksakan oleh kedua orang tua, apa kita berhak menyalahkan mereka apabila pernikahan itu gagal?
      ***

    • #99943
      hujanpetir
      Peserta

      :PATAHHATI :PATAHHATI  :PATAHHATI

      sedih amaat yaak  :BAPERR  :BAPERR

      Astri hanya salah satu yg tidak beruntung org tua berusaha nyari yg menurut mreka terbaikk  :AZHURA

    • #99990
      Author5
      Keymaster

      Bukan happy ending tapi saya enjoy bacanya. Hati-hati untuk para wanita sebelum menikah, ada baiknya mengenal terlebih dahulu dan yang lebih penting banyak berdoa. Terima kasih @cloudzee untuk cerpennya

    • #100007
      Belleindream
      Peserta

      huaaaaa… Sad ending..

    • #100079
      yoonilee85
      Peserta

      orang tuanya menginginkan yg terbaik untuk anaknya. ingin anaknya terjamin. karena sudah hapal bibit bebet bobot keluarganya. tapi kembali lagi orang tua hanyalah manusia biasa. bisa saja kita melihat si A baik atau buruk menurut penilaian manusia, yg utama kan penilaian Tuhan. maka mintalah yg terbaik kepada Tuhan.. perbaiki diri sambil banyak berdoa.. *saya ngetik apa sih?  :ragunih

    • #100139
      z
      Peserta

      jd baperr, aku kira happy ending

    • #102304
      famelovenda
      Moderator

      Aaaah,,….. Sediiiih. Kenapa harus mati? :PATAHHATI

      Awalnya aku kira ceritanya bakal sama dengan cerita yang pernah aku baca, ternyata bedaaaaa. Ga ada cinta di antara mereka. :PATAHHATI

      Buat Deva :ASAHPISAU2

    • #103111
      farahzamani5
      Peserta

      Huhuhu
      Sedih amat baca cerita ini, awal2 saya pikir bakal happy ending, saya kira mereka brdua bakal berjuang untuk saling cinta walau menikah krna dijodohkan
      Ternyata eh ternyata aduhhhh sakittt hati ini baca cerita kyk gni, betapa wanita tak berdaya jika dihadapkan di situasi kyk gni
      Ortu pasti pengen yg terbaik bwt anakny, trnyata di cerita ini meleset, malah menyerahkan putrinya pada kematian, ya walaupun sdh takdirny Astri bgtu tp ttp ngerasa ga rela saya ny, aduhhhhhh cwo macem Deva mah hrs ny dimutilasi aja ya ehh
      Semangat trs ya ka nulisnya
      Semangat semangat semangat

Melihat 7 pertalian (thread) balasan
  • Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.