Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Forum Kepenulisan › [DIRGAHAYU-RI] MISTAKES BETWEEN US
- This topic has 14 balasan, 10 suara, and was last updated 8 years, 3 months yang lalu by AzharKhoiri.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
-
15 Agustus 2016 pada 6:31 pm #97840AzharKhoiriPeserta
AUTHOR : AzharKhoiri
GENRE : Drama, Romance, Friendship
#LombaCerpen
“Kita adalah sebuah kesalahan! Aku, kau, dan semua yang telah terjadi ini merupakan kesalahan besar, Pras!”
Meletakkan semua berkas-berkas yang esok hari harus segera dilaporkannya kepada Segara, manajer divisinya, Prasetya menghela napas kasar. “Sekarang apalagi yang berputar-putar di kepala kecilmu itu, Dhis? Kita sudah membahas hal ini hampir di setiap malam, tidakkah kau merasa bosan?” Pras mengusap rambutnya yang menjuntai menutupi wajah ke belakang dengan ekspresi lelah, “Jujur saja aku mulai lelah dengan pembicaraan ini, aku lelah mengulang-ulang jawabanku dan menjelaskan kepadamu bahwa ini semua bukanlah kesalahan!”
Gendhis mengetuk-ngetukkan jarinya di paha, kebiasaannya sedari kecil jika sedang dilanda kegusaran. “Tidak, tidak! Aku tidak akan bosan membahasnya! Kenapa?” ia menujuk Pras tepat di wajahnya, “Karena kau selalu saja berkilah dan tidak mau mengakui semua kesalahan ini! Kau selalu berkata jika kita bukanlah kesalahan dan melimpahkan semua kesalahan-kesalahan itu kepada orang lain! Kepada Kejora!”
“Lalu siapa lagi yang patut dipersalahkan selain dia? Semua ini tidak akan terjadi jika bukan karena dia, kau tahu itu!” Pras balas berteriak. Kepalanya berdenyut kencang dan terasa sangat menyakitkan. Pikirannya yang sebelumnya sudah cukup ruwet memikirkan berkas-berkas kantor kini bertambah ruwet karena pembicaraan ini.
“Tapi dia adalah korban! Korban dari keegoisan kita berdua!” Gendhis manarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan gumpalan mengganggu yang bercokol di dadanya. Sejujurnya dia sudah merasa sangat lelah dengan semua ini.
Prasetya tertawa sumbang. “Kejora adalah korban dan kita berdua adalah penjahatnya, begitu katamu? Di mana otakmu berada sebenarnya, hah? Kau itu tolol atau dungu?”
“Aku memang mengatakan hal yang sebenarnya! Kejora adalah korban! Dia kehilangan dirimu,” Gendhis kembali menunjuk Prasetya, kali ini di dada, “cinta yang begitu dipuja olehnya, juga kehilangan diriku,” kini ia menunjuk dirinya sendiri, “sahabat yang selama ini selalu ia percaya dengan sepenuh hati!”
“Dan salah siapa itu semua bisa terjadi?” Prasetya bangkit dari duduknya, “Sudah pasti itu adalah salahnya, bukan salah kita!”
“Kenapa kau tak juga mau mengakuinya, Pras? Apa yang dilakukan Kejora, hal yang menurutmu pangkal dari segala keruwetan ini dipicu oleh sikapmu yang egois itu! Dan aku,” air mata mulai membayang di kedua mata Gendhis, “aku mengambil kesempatan dari itu! Demi diriku sendiri, keegoisanku!”
Prasetya mendengus tak percaya. “Ohh.. jadi sekarang ini semua salahku, hah? Aku tidak tahu jika ternyata kau sepicik itu!”
“Ya! Itu semua memang salahmu, kau mengetahui hal itu sama jelasnya denganku tapi keegoisanmu dan harga dirimu yang setinggi gunung itulah yang membuatmu enggan mengakuinya!”
Membereskan berkas-berkasnya yang berserakan di meja dengan cepat, Prasetya kemudian berjalan menuju ke kamarnya. Ia sudah tak tahan lagi. Lebih baik ia menyingkir daripada berbuat sesuatu yang akan disesalinya kemudian.
Gendhis menatap kepergian Prasetya dengan marah. Terburu-buru ia bangkit lalu berjalan mengikuti Prasetya. “Inilah yang membuatku tak pernah bosan membahas hal ini! Kau tidak pernah mau menyelesaikan hal ini, kau selalu memilih untuk lari terus-menerus dari kenyataan!”
Berbalik cepat, Prasetya membanting semua berkas-berkasnya ke lantai. “Aku lari dari kenyataan, Dhis? Kau,” ia memegang pundak Gendhis dan mengguncang-guncangkannya cukup keras, “kaulah yang selama ini mencoba lari dari kenyataan! Kau tak mau menghadapi hal-hal yang terjadi dan terus menyalahkan aku dan dirimu sendiri, bukan aku!”
“Tapi memang itulah kenyataannya, Pras! Kita yang bersalah dan Kejora yang menjadi korban!” Gendhis meluruh, ia menangis terisak-isak di lantai.
“Hei, tatap aku, Dhis!” Prasetya melembutkan suaranya melihat Gendhis terisak, “Ini semua bukan salahku, tetapi juga bukan merupakan salahmu. Kalau kau tak mau menyalahkan Kejora atas semua hal yang terjadi, anggap saja ini adalah takdir yang sudah seharusnya terjadi dan bukan merupakan kesalahan siapa pun.”
“Aku tidak bisa melakukan hal itu, Pras! Aku tidak bisa!” Gendhis masih terus terisak, kedua tangannya ia gunakan untuk mengusap air mata yang terus-terusan mengalir.
Merengkuh Gendhis dalam pelukannya, Prasetya menggunakan satu tangannya untuk mengusap rambut dan punggung Gendhis dengan sayang. “Kalau begitu apa yang mau kau lakukan? Terus menyalahkanku dan dirimu sendiri? Apakah kau tidak lelah menyakiti dirimu sendiri dan juga diriku?” ia menjaga nada suaranya agar tetap rendah, tidak mau membuat Gendhis lebis histeris dari saat ini.
Gendhis menggeleng-geleng bingung. “Aku tidak tahu Pras, aku bingung. Rasa bersalah ini terus menggerogotiku dari dalam, aku sudah tidak tahan lagi.”
“Hei, lihat aku! Tatap mataku!” Prasetya menyingkirkan kedua tangan Gendhis yang digunakan untuk menutup wajah, “Kalau kau ingin bebas dari rasa bersalah itu, berhentilah mencari-cari kesalahan pada dirimu maupun pada orang lain! Dengan begitu kau pasti akan lebih bahagia, kau paham?”
“Aku tidak bisa, Pras! Tidak saat aku tahu dengan pasti bahwa aku dan dirimulah yang bersalah!” Gendhis menghirup napas dalam-dalam dan menatap Prasetya tepat di manik mata. “Aku ingin semua ini berakhir!”
Mata Prasetya membulat, tubuhnya kaku dan napasnya tersengal. “Apa? Mengakhiri?” ia merasa kemarahan mulai merambati tiap inci tubuhnya. “Apa yang kau maksud dengan mengakhiri ini semua, Dhis? Kau ingin meninggalkanku begitu?”
“Aku tak tahu, Pras. Aku belum bisa memutuskannya saat ini. Besok siang aku akan menemui Kejora. Setelah pertemuan itu aku akan memberikan jawabanku kepadamu.” Gendhis melepaskan rengkuhan Prasetya yang terasa menyesakkannya lalu mencoba berdiri, hal yang gagal dilakukannya karena Prasetya dengan sigap mencekal bahunya, menahannya untuk tetap berada di tempat.
“Wow, hebat sekali dirimu itu! Bisa melakukan semua hal sekehendak hatimu!” Prasetya tertawa keras, tawa yang membuat Gendhis ingin sekali berlari sejauh-jauhnya darinya dan bersembunyi. “Bisakah kau tidak memikirkan dirimu sendiri sekali saja dan berganti memikirkan orang lain, hah?”
Gendhis berteriak, “Justru karena aku memikirkan orang lain, memikirkan dirimu dan Kejora, aku melakukan hal ini!” Rasa-rasanya tidak pernah ia merasa selelah ini dalam hidupnya.
“Lagi-lagi kau membawa-bawa namaku, Dhis! Bagaimana bisa kau berkata jika meninggalkanku kau lakukan karena memikirkan diriku? Aku rasa kau benar-benar tolol jika kau berpikir aku akan mempercayai perkataanmu itu!”
“Bukankah dengan diriku meninggalkanmu nanti kau akan bahagia, Pras? Begitu pun dengan Kejora. Kalian bisa kembali bersama. Aku tahu kau masih mencintainya. Diriku pun bisa bahagia karena pada akhirnya aku tak akan lagi dihantui oleh rasa bersalah ini.”
“Jadi sekarang kau sudah menjadi nona yang tahu segalanya begitu? Asal kau tahu ya, aku memang mencintai Kejora, tapi itu dulu! Dulu sekali hingga aku lupa bagaimana rasanya ketika aku mencintainya!”
Gendhis terbelalak, mulutnya mmbuka dan menutup tak bisa berkata-kata. “Apa? Kenapa?” pada akhirnya hanya dua kata itu saja yang mampu keluar dari bibirnya.
“Kenapa? Kenapa kau tanya? Tentu saja itu karena dirimu! Sudah lebih dari setengah tahun bersamamu membuatku mencintaimu tanpa kusadari, juga tanpa dirimu mencoba untuk membuatku mencintaimu.”
“Tapi ini tidak benar, Pras! Kau seharusnya masih mencintai Kejora!”
“Kau pikir siapa dirimu sehingga berhak menentukan pada siapa aku harus jatuh cinta? Ini hatiku! Perasaanku! Kau tak punya hak apapun atas kedua hal itu!” Prasetya berteriak marah. Tanpa sadar kedua tangannya telah menekan bahu Gendhis terlalu keras dan mengguncang-guncangkannya kasar, membuat Gendhis meringis kesakitan.
“Tapi aku ingin kau dan Kejora bahagia, Pras! Aku tahu kalau kalian akan bahagia nantinya jika kalian bersama!”
“Berhenti sok tahu dan dengarkan aku!” Prasetya mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa inci saja dari wajah Gendhis. “Berhentilah bertindak bodoh dan menyalahkan kita berdua atas semua hal yang terjadi! Tidur dan dinginkan kepalamu! Aku tak mau lagi mendengar pembicaraan ini lagi! Ah, dan satu hal lagi, aku tidak akan pernah melepaskanmu! Ingat itu baik-baik!”
“Jika kau benar-benar ingin terbebas dari pembicaraan ini, biarkanlah aku menemui Kejora besok siang!”
Prasetya mencibir, “Dan memberimu kesempatan untuk terlepas dariku begitu? Tidak, terima kasih!”
“Dengan atau tanpa persetujuanmu aku akan tetap menemui Kejora besok!” dengan itu Gendhis melepaskan cekalan tangan Prasetya di bahunya dan berjalan ke kamar miliknya.
Prasetya menatap kepergian Gendhis dengan sorot pedih. “Tidakkah aku berarti sedikit saja bagimu, Dhis?” tanyanya pelan saat Gendhis sudah berada di depan pintu kamarnya.
“Kau sangat berarti, Pras. Saking berartinya bahkan dulu aku rela mengkhianati sahabatku demi dirimu.”
*****
Gendhis mengamati Kejora yang baru saja memasuki pintu café dengan jantung berdebar. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Kejora setelah insiden itu dan hal itu membuatnya merasa takut.
“Hai, Dhis!” sapa Kejora pelan dengan senyum canggung begitu sampai di meja tempat Gendhis berada, “Udah lama? Maaf aku terlambat.”
Mengibas-ngibaskan tangannya, Gendhis membalas senyum Kejora dengan sama canggungnya. “Tidak, tidak, aku saja yang tadi datang lebih awal. Mau pesan apa?” ia balas bertanya.
“Tidak, terima kasih.” Kejora menarik napas perlahan. “Jadi ada apa sampai kau mengundangku ke sini, Dhis?”
Gendhis tersentak, tidak menyangka jika Kejora akan langsung berbicara ke inti dari pertemuan mereka. Setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama, akhirnya ia berkata, “Aku, aku ingin minta maaf, Ra.”
Kali ini giliran Kejora yang tersentak. Sungguh ia tidak menyangka jika akan mendapat permintaan maaf dari Gendhis setelah cukup lama mereka tidak bertemu. “Kenapa?” hanya kata itu yang bisa ia ucapkan.
“Kenapa?” Gendhis mengulang perkataan Kejora dengan senyum getir. “Kau tentu sudah tahu alasannya, Ra. Atau kau memang ingin mendengar pengakuan dosaku?”
“Bukan, tentu saja bukan itu maksudku, Dhis!” Kejora menggeleng-geleng panik. “Aku bertanya memang karena aku tidak paham akan alasanmu meminta maaf.”
“Aku telah merebut Prasetya darimu, Ra. Aku telah mengkhianatimu. Untuk itulah aku meminta maaf.” Gendhis mengatakan hal itu dengan napas tersengal, kedua tangannya mengepal di atas meja.
“Dhis, dengarkan aku!” Kejora meremas salah satu kepalan tangan Gendhis, “Kau tak merebut Prasetya dariku, mengerti?”
Gendhis menggelengkan kepalanya. “Aku merebutnya darimu, Ra! Seharusnya hari itu kaulah yang menikah dengan Prasetya bukannya aku! Dan seharusnya aku-”
“-dan seharusnya aku hadir dalam pernikahanku, bukannya malah kabur dan bersembunyi karena ketakutanku yang tidak beralasan!” potong Kejora.
“Tapi sebagai sahabatmu seharusnya aku ada di sisimu saat itu, menenangkanmu dari ketakutan-ketakutanmu, bukannya mengiyakan saja saat bunda Pras menyuruhku menggantikanmu menikahi anaknya! Maafkan aku, Ra! Maafkan aku yang begitu egois saat itu dan malah mengambil kesempatan untuk memiliki Prasetya untuk diriku sendiri!”
“Jujur saja Dhis, pada saat itu aku memang sempat kecewa dan merasa marah pada dirimu dan juga Prasetya.” Kejora menghela napas kecil lalu tersenyum, “Tapi itu hanya sebentar. Kenapa? Itu karena aku sadar bahwa dirikulah yang bersalah pada saat itu. Jadi aku mencoba mengikhlaskan semuanya. Hasilnya lihatlah sendiri! Aku bahagia, Dhis. Aku bahagia bisa terlepas dari belenggu kemaran dan kekecewaan itu.”
Gendhis tetap menggeleng keras kepala. “Tapi Pras juga yang membuatmu seperti itu, Ra! Jika saja dia tidak memaksamu menikah di saat kau belum siap pasti kau tidak akan kabur di hari pernikahan kalian, kau akan menjadi pengantin tercantik yang pernah kulihat!”
“Tapi akulah yang menerima lamarannya Dhis, Pras tidak memaksaku.” Kejora mencoba menjelaskan dengan nada lembut. Ia tahu pasti jika Gendhis pasti akan menjadi lebih keras kepala dan tidak akan mau mendengar perkataannya jika ia berbicara dengan nada tinggi. “Akulah yang bersalah, Dhis. Aku yang bertindak gegabah dan tidak bertanggung jawab inilah yang membuat semua hal ini terjadi. Bukan kau atau pun Prasetya.”
“Tetap saja aku salah, Dhis! Aku yang dengan egoisnya mencintai Pras di saat ia bersamamu, aku yang dengan egoisnya mengambil kesempatan dari penderitaanmu.” Selapis air telah membayangi kedua mata Gendhis.
“Dhis, aku telah memaafkanmu dari dulu, jadi cobalah untuk memaafkan dirimu sendiri agar kau lebih bahagia. Lagipula aku dulu juga pernah berikap egois dan menyakitimu.” Kejora meringis kecil, “Dulu sebelum aku bersama dengan Prasetya aku telah mengetahui jika kau lebih dulu menyukainya, tapi aku malah bersamanya dan menyakitimu. Aku mengabaikan perasaanmu. Maafkan aku, Dhis!”
Gendhis membelalakkan matanya terkejut. “Apa? Bagaimana kau tahu?”
“Perilakumu itu sangat mudah di tebak, Dhis.” Jawab kejora disertai dengan kekehan kecil. “Sekarang mari kita kembali lagi ke inti pertemuan ini. Aku sudah memaafkan diriku sendiri, dirimu, dan juga Prasetya, Dhis. Kuharap kau juga melakukan hal yang sama dan berbahagia dengan Prasetya. Restuku milik kalian berdua.”
Tersenyum haru, Gendhis mengangguk-anggukkan kepalanya. Akhirnya, setelah lebih dari setengah tahun memendam perasaan bersalah yang terus menggerogotinya, hatinya kini terasa lega. Ia merasa begitu tenang dan bahagia. “Ya, aku berjanji padamu untuk melakukannya dan berbahagia. Tapi kau juga harus bahagia, kau mengerti?”
“Ya, tentu saja! Sahabat selamanya?”
“Sahabat selamanya!”
*****
“Halo?” terdengar suara lelah Prasetya di ujung telepon.
“Pras, kau telah berkata jika kau tidak akan melepaskanku selamanya, kan? Kuharap kau selalu memegang kata-katamu itu! Oh ya, aku akan memasak sup ayam kesukaanmu malam ini, jadi kau jangan makan malam di luar! Bye!” Gendhis lebih dulu mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban Prasetya. Setelah itu ia kembali melangkah pulang dengan perasaan yang lebih tenang dan bahagia.
FIN
-
15 Agustus 2016 pada 9:25 pm #97869Park HeeniPeserta
duh, mb gendhis makan hati sendiri itu mah namanya…..entah bagaimana pas Pras marah sama si Gendhis aku jadi teringat JA, rindu JA :gulungguling oya, coba sebelum end kasi kita reaksinya Pras pas nerima telpon itu gimana hehhe
-
15 Agustus 2016 pada 10:49 pm #97894carijodohPeserta
makan hati ya gendhis nya huhu
-
16 Agustus 2016 pada 2:59 am #97950hujanpetirPeserta
aq tunggu chapter selanjutnyaa.
ehh.. cerpen yaa hihi :YYYHULAHULA :YYYHULAHULA
-
17 Agustus 2016 pada 5:39 am #98215Author4Keymaster
Hari ini author akan melakukan tugas dari mimin yaitu membaca semua naskah cerpen yang masuk dan memberikan komentar hehehe, author akan baca satu persatu cerpen di waktu senggang selama seharian ini hehehehe
Au tidak akan membahas teknis krn masalah teknis bukan bidang au hehe
Au akan komen dr sudut pembaca, di awal cerita. Kisah ini jika boleh dikatakan mirip potongan puzzle yang diberikan sedikit demi sedikit oleh penulis dan kita sebagai pembaca diminta menyusunnya satu persatu hingga menjadi sebuah gambaran yang lengkap.
Penulis berhasil membawa pembaca bertanya-tanya tentang apa yg sebenarnya menjadi inti permasalahan, siapa yg bersalah, mereka ini sedang membahas apa sih dan apa yang sedang mereka pertengkarkan ini?
Banyak perkiraan yg muncul di benak au sebagai pembaca dan pada akhirnya au dapat petunjuk, oh seperti ini toh permasalahannya, meski masih ada pertanyaan2 mengganjal krn penulis sengaja memberikan informasi sedikit sedikit supaya pembaca makin penasaran dan melahap baris demi baris kalimat sampai menemukan keseluruhan puzzle yg belum lengkap.
Tetapi yang tidak diduga, penulis berhasil menyelipkan twist berupa kisah yang sebenarnya di scene akhir yang membuat pembacanya tersenyum karena akhirnya mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, lalu mulai memahami bagaimana posisi gendhis, bagaimana posisi pras dan juga kejora.
Kekurangannya? Tidak banyak, mungkin hanya di ending yang terlalu singkat, sebuah penyelesaian yang sangat pendek dibandingkan konflik yg dijalin perlahan di awal cerita.
Penulis mungkin bisa lebih mengeksplorasi perasaan Gendhis setelah dia merdeka dari rasa bersalah, gambaran tentang kelegaan hatinya, bagaimana dia menelaah rasa cintanya kepada suaminya kali ini tanpa dibebani rasa bersalah, bagaimana dia bertekad sambil tersenyum untuk berjuang menjalani rumah tangganya dengan bahagia.
Scene Gendhis menyentuh ponsel, lalu menelp suaminya jg bisa dieksplorasi di sini, begitupun scene setelah Gendhis menutup telpnya. Penulis bisa mengeksplorasi senyum cerianya, matanya yg berbinar, bagaimana dia menghela napas penuh kelegaan dan kemudian berakhir dengan gendhis melangkahkan kaki, di bawah sinar matahari nan cerah, dengan keyakinan bahwa dia akan menapaki masa depan yg bahagia bersama suaminya, bebas dari rasa bersalah, dan merdeka untuk mencintai.
Secara keseluruhan : Good job, cerpen yang bagus dan jika ini dijadikan cerita bersambung, author akan dengan senang hati menantikannya
:sopan
-
17 Agustus 2016 pada 9:47 am #98254AzharKhoiriPeserta
@ParkHeeni iyaa makan ati gendhisnyaa.. Pengennya sih endingnya lebih detail tapi ternyata nggak cukup 2000 kata huhuhu T.T
@carijodoh iya, kesian dia makan ati ampe kenyang huhuhu u.u
@hujanpetir hahaha ntar kalo dibikin cerbung malah nggak selesai naskahnya karena aku selalu gitu kalau bikin cerbung hehehe :3
@Author4 makasih masukannya kak.. Awalnya aku udah bikin yang endingnya cukup detail tapi lebih dari 2000 kata jadi aku pangkas hueeee T.T -
17 Agustus 2016 pada 2:58 pm #98369NUMEYAPeserta
Selesai baca langsung muncul pertanyaan ini…
Emang bisa ya mempelainya diganti pas hari H. Kan di undangan namanya beda.. #abaikan wkwkwk
Pasti sulit memendam rasa bersalah itu :YYYPATAHHATI
-
17 Agustus 2016 pada 4:06 pm #98401AzharKhoiriPeserta
@NUMEYA emang dikit sih kejadian itu, tapi ada kok hehehe.. Biasanya itu dilakukan untuk menghindari rasa malu dan kerugian ^^
-
19 Agustus 2016 pada 10:54 pm #99363SairaAkiraKeymaster
@azharkhoiri yang aku suka dari cerpen ini adalah dialog panjang pertengkaran yang bisa mempengaruhi ritme napas pembaca. Well happy ending yang menyenangkan untuk semua orang.
Thanks ya cerpen nya
-
20 Agustus 2016 pada 11:13 am #99553AzharKhoiriPeserta
makasih kak @SairaAkira udah mau baca cerpenku ^^
-
21 Agustus 2016 pada 1:42 pm #99979yoonilee85Peserta
merdeka dari rasa bersalah. berdamai dengan hati.. :YUHUIII
-
22 Agustus 2016 pada 5:04 am #100319AzharKhoiriPeserta
@yoonilee85 juga merdeka untuk mencintai suaminya kak ^^
-
23 Agustus 2016 pada 11:48 pm #101628famelovendaModerator
hihihi Azhar bisa juga ya bikin penasaran. di awal aku dah penasaran banget nih, apa yang mereka ributkan. ternyata karena itu toh, kasiohan gendhis ngerasa bersalah gitu, lebih kasihan lagi ke mas Pras nya sih :PATAHHATI
untung dia sabar, yaaa dan untungnya lagi happy ending :NGEBETT :KISSYOU
btw, gendis kayaknya goldarnya A ya :CURIGAH
-
24 Agustus 2016 pada 2:48 pm #101871farahzamani5Peserta
Haiii
Awal2 sebel sma pras&gendhis, brpikir klo mereka tu berkhianat ‘sumpahhh bngt dah, pengen nyekek mereka berdua haha’ lama2 akhirny paham apa yg sbnrnya terjadi, diakhir jdi kasian sma gendhis, hidupny kyk terjajah sma rasa bersalah & akhirnya bsa lepas dri rasa bersalah trsebut, yey ikut seneng deh hihi
Semangat trs ya nulis ny
Semangat semangat semangat
Ditunggu kelanjutan ny loh hihi -
25 Agustus 2016 pada 7:22 am #102152AzharKhoiriPeserta
@famelovenda wah aku nggak kepikiran tuh kak goldar-nya gendhis apa wkwkwk. Btw, kok kakak bisa kepikiran goldarnya gendhis a? :ragunih
@farahzamani5 wkwkwk kalau kamu nggak bilang aku nggak kepiliran lho scene awal cerita ini mirip pasangan selingkuh yang lagi berantem :PATAHHATI
-
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.