Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Forum Kepenulisan › (DIRGAHAYU-RI) BELENGGU HATI
- This topic has 2 balasan, 2 suara, and was last updated 8 years, 4 months yang lalu by ceptybrown.
-
PenulisTulisan-tulisan
-
-
18 Agustus 2016 pada 5:15 pm #98797ceptybrownPeserta
AUTHOR:CEPTYBROWN
GENRE;ROMANCE
#LOMBA CERPEN
“Ares, kamu harus menuruti keinginan papa. Semua ini demi kebaikanmu juga!” Suara tegas itu kembali terdengar. Kuhembuskan nafasku dengan lelah. Menatap langit malam, yang saat ini di hiasi bintang-bintang yang menyelimuti langit sehalus beledu. Tapi aku tak bisa menikmatinya. Berdiri di beranda rumah milikku. Beranda rendah dan teduh memanjang di bagian depan rumah. Dimana lengkungan di bagiaan luarnya, di hiasi oleh aneka bunga-bunga lily yang cantik. Aku tersenyum saat menyadari kalau itu bunga kesukaan Lidya. Kekasih hatiku tercinta. Tiap pulang kerja, dan menjelang malam aku pasti bersantai di beranda ini. Rumah dengan gaya Mediterania memang menjadi kebanggaanku. Rumah ini adalah hasil kerja kerasku selama ini. 5 tahun yang lalu, papa mengusirku karena aku tak mau menuruti keinginannya untuk menikah dengan gadis pilihan papa. Aku tahu ini bukan jaman Siti Nurbaya lagi. Dimana seorang anak harus menuruti semua keinginan orang tuanya. Dengan hanya berbekal kecerdasan otakku, akhirnya aku mampu menunjukkan kepada papa kalau aku bisa. Aku sekarang sudah menjadi pengusaha di bidang properti yang sukses. Meski papaku sendiri sudah bersumpah tak akan pernah memberiku sepeserpun harta warisannya, aku tahu aku bisa. Setelah sekian lama kami hanya saling memusuhi, 2 hari yang lalu papa meneleponku. Dan di sinilah aku berada, dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Papa kembali mengutarakan niatnya. Beliau mengatakan kalau tak cukup waktu lagi, karena hidupnya sudah tak lama. Aku mencoba untuk tak percaya sebenarnya kali ini, papa sering menipuku dengan muslihatnya agar aku mau pulang.
“Cintaaaa…” Suara manja itu membuatku langsung mematikan ponsel yang masih menempel di telingaku. Dan segera kumasukkan ke dalam saku celana. Lidya tampak seksi dengan gaun tidur tipis yang memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya. Rambutnya yang basah terurai dan menguarkan harum strawbery. Aku suka kalau Lidya setelah mandi begini.
“Pasti telepon dari papamu lagi ya? Yang mengharuskanmu pulang dan bla bla bla” dia mengerucutkan bibirnya yang merah menggoda itu, lalu merangkulkan kedua lengannya di leherku. Sungguh aku tak bisa menahan lagi kalau harus seperti ini. Aku memang bukan orang baik, selama aku menjalani hubungan dengan Lidya, kami memang sudah melakukan hubungan intim. Toh kami memang sudah sama-sama dewasa dan tahu mana yang baik dan buruk. Asal kami sama-sama menikmati, akupun tak menolak. Lagipula, Lidya ini sudah 1 tahun aku jadikan kekasih, dan aku mantap akan menjadikannya istri. Tapi sekarang terhalang oleh permintaan papa lagi.
“Sayang kapan kamu akan membawaku ke rumah papamu? Kamu kan sudah bilang mau melamarku bulan ini?” Dia kembali merengek manja. Dan aku tak bisa menjawab apapun kalau dia begini. Bukan karena aku tak mencintainya, tapi aku masih belum bisa melunakkan hati papa. Sampai saat ini papa tetap ingin menjodohkanku dengan gadis pilihannya.
“Sayang kan tahu, bulan kemarin aku ajak tanpa restu papa kamu tak mau?” Dan dia kini menjauhkan tubuhnya dan kini bergerak gusar. Mengibaskan rambutnya yang basah, lalu bersedekap di depanku. Aku sendiri sudah tak bisa menahan gairahku kalau sudah ada di depannya. Dengan tubuh seksynya, Lidya memang wanita tercantik yang pernah kutemui. Bahkan teman-temanku mengakui, kalau aku pintar bisa membuat Lidya takluk. Gadis cantik,seksi dan manja ini.
“Kalau aku menjadi istrimu, tentu saja menyandang nama besar keluargamu, Ares Brawijaya putra tunggal pemilik Brawijaya Group.” Dia kini menatapku dengan tajam. Dan kuhela nafasku, kalau sudah begini aku tak bisa menjawab.
Kulangkahkan kakiku mendekatinya, dan kini memeluk tubuhnya yang terasa hangat itu. Selalu nyaman setiap kali mencium aroma tubuhnya yang manis itu.
“Sudah nanti bisa aku pikirkan lagi, sekarang aku sudah tak tahan!” Kubisikkan kata itu tepat di telinganya. Tapi dia bergeming.
“Aku tak mau tidur denganmu lagi, sebelum kamu belikan aku berlian yang ada di pameran kemarin.” Dan aku hanya bisa mengangguk. Kurengkuh tubuhnya makin erat, “tak apa asalkan kamu tetap di sampingku , aku rela menguras seluruh uangku.”
*****
Kuhempaskan tagihan kartu kredit yang ada di depanku. Siang ini, aku memang sedang berada di dalam ruangan kantorku saat Lidya menerobos masuk begitu saja. Meta asistenku pun meminta maaf karena tak bisa mencegah kedatangan Lidya. Siapapun sat aku sedang sibuk, memang aku cegah untuk menggangguku.
“Aku tak mau tahu Res, itu kartu kredit harus di bayar dulu. Masa semuanya udah over limit?” Lidya menghempaskan 5 kartu kredit ke atas meja. Dan kali ini kuhela nafasku. Bukan rahasia lagi, kalau aku memanjakan Lidya. Apalagi setiap rengekannya selalu aku turuti, meski akhir-akhir ini tagihan kartu kreditku membengkak.
“Sayang, apa saja yang kau beli? Aku kembali mengernyit menantap pengeluaran yang melebihi anggaranku di kantor ini. Meski aku menyayangi Lidya, tapi kalau tiap hari dia trus menghambur-hamburkan uangku, sama saja kerja kerasku selama ini tak berarti apa-apa.
Lidya kini menyipitkan matanya ke arahku. “Kamu pikir uangmu itu bisa untuk memenuhi kebutuhanku Res? Aku masih harus minta uang sama papi, kamu tahu sendiri teman-temanku kemarin baru saja pulang dari liburan di Paris. Lah kamu, bisanya Cuma ngasih 5 kartu kredit yang semuanya tak bisa di gunakan.” Kugelengkan kepalaku. Mencoba mencerna tiap ucapan Lidya. 5 kartu kredit yang kini ada di atas meja ini, sudah melebihi batasku. Lidya terlalu menguras seluruh uangku.
“Lidya, kamu kan tahu keuangan perusahaan sedang…”
“Ah aku tak mau tahu Res, malam ini juga kamu harus berikan aku uang tunai sebesar 10 juta. Itu berlian sudah aku indent sejak kemarin sore. Kalau tak kulunasi segera, akan di berikan sama orang lain. Ya Res?” Lidya menghentikan ucapanku. Kekasihku yang kini mengenakan gaun warna merah menyala itu tampak makin bersinar dan sangat cantik. Tapi rengekannya tentang uang membuat leherku bagai tercekik rantai panas.
Mulutku membuka, tapi tiba-tiba ponselku berbunyi dengan sangat nyaring. Membuat Lidya kini menatapku marah, karena aku tak mengacuhkannya. Kuambil ponsel yang ada di saku jasku, lalu menatap dengan terkejut saat nomor asing meneleponku.
“Ares Brawijaya di sini!” Jawabku formal, Lidya kini melangkah mendekatiku dan tiba-tiba saja duduk di atas pangkuanku. Mencoba memberi tatapan peringatan, karena bagaimanapun juga ini di kantor. Dan aku tak mau karyawanku melihat kemesraanku dengan Lidya. Aku masih bisa membedakan mana yang pribadi dan umum.
“Den Ares, Tuan ada di rumah sakit dan kritis.”
*****
Langkahku terhenti saat sampai di samping brankar tempat papa terbaring sakit. Aku tak tega melihat selang yang membelit hidung dan beberapa bagian tubuhnya. Bau obat menguar di sekitarku, tadi Joko asisten papa memberitahuku, kalau papa terkena serangan jantung. Dan hanya dengan begitu, aku langsung memutuskan ke sini. Meninggalkan Lidya yang tak mau ikut denganku. Bahkan saat mendengar kondisi papaku yang anfal, Lidya hanya mengangkat bahunya, dan sebelum pergi dia mengambil salah satu kartu debitku. Biarlah, aku tak peduli. Sekarang ini, yang kupedulikan kesehatan papa. Aku sudah sangat berdosa dengan papa, maafkan anakmu yang durhaka ini pa.
Sempat mendengar penjelasan dari Joko dan juga dokter yang menangani papa. Tubuh papa sebenarnya sudah tak kuat untuk bekerja lagi, tapi karena tak ada lagi yang meneruskan tampuk kepemimpinannya, beliau terpaksa masih bekerja. Dan hal itu sungguh membuat hatiku terhenyak dan miris.
Papa sudah terlihat lelah dan renta, rambutnya sudah memutih. Sudah lama aku tak melihat beliau, dan aku hampir menangis saat melihat kondisi tubuhnya yang kurus itu.
“Res” Suara milik papa yang lemah, membuat mataku mengerjap. Dan menghalau air mata yang sudah menggenangi mataku. Papa membuka matanya, dan kali ini berusaha tersenyum meski hanya seperti ringisan rasa sakit. Aku maju dan menyentuh lengan papa.
“Pa, maafkan Ares!” Kugenggam jemari keriput itu, tangan papa terasa sangat dingin. Dan papa hanya mengangguk lagi. Beliau memberiku isyarat untuk menunduk karena papa tak bisa berbicara keras.
Aku mencoba menunduk, dan mulai mencondongkan tubuhku.
“Ni..ka..hi Aisyah!”
*****
Hembusan angis sore hari kini menerbangkan dedaunan kamboja yang gugur di atas gundukan tanah yang basah. Bau petricor menguar di sekelilingku, bau tanah sehabis hujan membuat jiwa ini damai. Meski sudah hampir 3 tahun, papa berpulang. Tapi aku masih merasa bersalah dengan papa tiap kali aku mengunjungi makamnya. Rasa sesak di dalam dada dan membuatku ingin selalu menangis.
Usapan lembut di bahuku kini membuat wajahku menoleh. Dan aku tersenyum, memantap wanita yang sangat manis dan anggun di sampingku. Dia Aisyah, istriku tercinta. Istri yang sudah sekian lama kutolak dulu. Tapi saat berjanji di rumah sakit, menjelang kepergian papa. Aku sudah berjanji, akan menjaga istriku sebagai janjiku dan bukti kalau aku menyayangi papa lebih dari apapun.
Awalnya aku ragu, karena wanita yang di jodohkan papa ini ternyata menderita kelumpuhan. Dia berada di atas kursi roda saat aku menemuinya di panti asuhan. Aisyah ini ternyata, anak asuh papa. Dulu orang tuanya adalah sahabat papa, tapi kecelakaan naas menimpa kedua orang tuanya. Dan membuat Aisyah kehilangan kedua kakinya dan harus di amputasi.
“Mas, kita pulang ya. Ai sudah siapkan sop kesukaan mas” Suara lembut itu membuatku berdiri. Membungkuk untuk membersihkan noda tanah yang mengotori celanaku. Lalu segera meraih kursi roda, dan mulai mendorongnya. Meninggalkan area pemakaman ini.
“Mas” Aku membungkuk dan mencoba menatap Aisyah.
“Apa? ada yang di inginkan calon penerus Brawijaya hem?” Kuhentikan kursi rodanya dan kini mensejajarkan tubuhku dengan Aisyah. Kuusap lembut perutnya yang sudah membesar itu. Aisyah tengah mengandung anak kami. Buah hatiku tercinta.
“Mas, besok kan wisudanya Ai ya. Mas tak malu menemaniku?” Dia masih tersipu malu, meski sudah 3 tahun menjadi istriku. Aku sungguh bersyukur dengan jodoh yang di berikan Tuhan, melalui papa ini. Aisyah ternyata membuatku menjadi orang yang bebas, dalam artian aku bisa mengekspresikan diriku. Selama ini, aku hanya di pengaruhi oleh kecantikan luar seorang wanita. Seperti Lidya, yang tentu saja begitu aku mengatakan akan menikah dia dengan seenaknya membawa lari semua uang yang ada di kartu debitku. Aku sebenarnya marah, perusahaanku mengalami kemunduran karena pengaruh papa Lidya yang menuruti kemauan putri manjanya itu. Perusahaanku di begal oleh perusahaan papa Lidya yang lebih besar dariku. Dan akhirnya aku kembali ke titik nol, mencoba membangun bisnis papa lagi dari awal, karena selama aku tinggalkan bisnis papa juga mengalami kemunduran.
Yang membuatku salut, Aisyah dengan sabar mengajarkanku arti kata bersyukur, dia tak menuntut apapun saat hidup kami terpuruk. Dia tetap memberiku kasih sayang yang tulus, seperti aku yang makin hari mencintainya.
“Pengen makan es krim mas” Pipinya kembali merona merah. Dan aku tersenyum senaqng, hatiku menghangat menyadari dia begitu sempurna untukku. Meski fisiknya tak sempurna, tapi hatinya sangat cantik. Aku jadi yakin, kalau sebenarnya pilihan orang tua itu memang yang terbaik. Makasih papa.
FIN
Ini sebenarnya ga niat buat ini, tapi berhubung dua-duanya jadi ya sudah dikirim. Bukan maksud ahti buat maruk tapi cuma ikut memeriahkan yaahhh menghibur kalian semua happy reading
-
20 Agustus 2016 pada 2:44 pm #99616yoonilee85Peserta
merdeka dari belenggu cewe matre..
ada beberapa typo mbak, kaya seksi yg jadi seksy. tp it’s ok.. :MAWARR
mu baca yg cerpen mbak cepty yg satu lagi.. :LOONCAT
-
20 Agustus 2016 pada 4:23 pm #99643ceptybrownPeserta
Siap sayang makasih y sudah diperbaiki typonya…
-
-
-
PenulisTulisan-tulisan
- Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.