Saat ini Diana sudah sampai di tempat kerja, sesampainya di gerbang kantor, Diana menepuk pundak ayahnya. “Pak, Diana turun di sini saja.”
“Ya sudah, kerja yang benar ya neng jangan pacaran mulu.” ucapnya pelan tapi terdengar mengultimatum.
Diana memerah wajahnya.
“Bapak berlebihan sekali, iya pak iya Diana juga tahu. Aku masuk dulu ya.” ucapnya sambil mencium tangan ayahnya.
“Jangan lupa nanti sore bapak akan jemput di sini.” Rangga berucap lagi sambil mengamati wajah Diana yang mulai badmood.
“Iya, pak, iya.” jawabnya sambil lalu sembari berjalan memasuki pintu gerbang.
Rangga yang melihat anaknya sudah pergi menjauh dan menghilang di pintu lobi, seketika menghembuskan nafasnya kasar. Anakku sudah besar ternyata, apa aku terlalu mengekang Diana?
Rangga membatin, yang sayangnya Rangga pun tidak bisa menemukan jawabannya. Setelah menatap lama gedung tempat Diana bekerja, Rangga pun memakai helmnya lagi dan pergi meninggalkan tempat tersebut.
*****
Sesampainya di dalam kantor, saat Diana tengah berjalan di koridor yang sepi, tangannya tiba-tiba ditarik seseorang. Tangan itu menyeretnya masuk ke ruangan yang kosong dan mendorong tubuh Diana hingga punggungnya membentur tembok.
“Brian!” Mata Diana melotot memperingatkan.
Ditatap galak seperti itu, Brian malah tersenyum manis sambil memaku mata Diana.
“Kaget?” tanyanya menggoda.
Diana tak menjawab, hanya memalingkan wajahnya karna kesal.
“Hei, masih pagi wajahmu sudah ditekuk seperti itu jelek sekali.”
Mendengar ucapan Brian yang provokatif, Diana memutar bola matanya konyol dan kembali menatap wajah Brian yang masih tersenyum itu. “Itu karna kamu, karna pesanmu tadi pagi aku jadi badmood.”
“Apa ayahmu baca pesan itu?” Brian bertanya penasaran.
“Tidak, bapak sepertinya hanya tidak suka saat kau mengantarkanku pulang kerja kemaren, dan bapak juga___”
“Aku tahu.” ucapnya masih menunduk memaku mata Diana.
Diana yang perkataannya dipotong oleh Brian, seketika mendongak keatas menatap matanya dengan ekspresi tak mengerti. Diposisi sekarang walaupun tubuh Diana tinggi semampai, tetap saja akan terlihat mungil jika disandingkan dengan tinggi badan Brian yang tinggi menjulang.
“Kalau kau sudah tahu, kenapa kau nekat?” ucapnya pelan.
“Aku suka tantangan.” ucapnya tanpa beban.
Seketika bibir Diana mengerucut, mengejek ucapannya. Brian yang mengagumi bibir Diana, tentu saja merasa gemas saat Diana bertingkah seperti itu. Secara impulsif, Brian menunduk dan mengecup bibir Diana.
“Brian, kau! Apa kamu tidak malu, ini di kantor kalau ada yang melihat bagaimana?”
Brian hanya terkekeh, mengangkat bahunya dan berucap tanpa beban. “Aku hanya menciummu sedetik saja, tidak lebih, bagaimana meraka bisa melihatnya.”
“Ishh menyebalkan.” ucapnya sambil melipat tangannya ke dada dan membuang muka.
Merasa gemas sama ucapan Diana, Brian dengan gerakan cepat langsung menarik tubuh Diana mendekat, merasa tak ada penolakan, sebelah tangan Brian pun menangkup sisi wajah Diana dan tangan satunya memegang pinggangnya yang ramping dan menariknya ke depan.
“Kenapa kau marah dan membuang muka, apa matamu tidak pegal?”
Diana membisu.
“Hei. Aku di sini tatap mataku, kenapa kau selalu madep ke samping. Apa matamu juling?”
Mendengar ledekan Brian yang menjengkelkan, Diana langsung mendorong tubuh Brian agar menjauh, tapi sayangnya pelukan Brian terlalu erat di tubuhnya, jadi usahanya menjadi sia-sia.
“Aku tidak juling! Enak saja.” Diana mendongak dengan gagah berani.
“Dengarkan aku Diana. Aku suka tantangan karna sesuatu yang diraih dengan usaha keras pasti hasilnya sangat memuaskan, sepadan dengan apa yang telah diperjuangkan. Begitupun perasaan aku padamu. Dan tantangan terberatku ada di ayahmu, maka dari itu aku akan merobohkan tantangan itu.”
“Merobohkan?” Diana berucap curiga.
Brian mencubit pipi Diana karna gemas.
“Hei apa yang kau pikirkan, kau pikir aku akan menyingkirkan ayahmu seperti di novel-novel psikopat gila yang sering kau baca itu?”
Wajah Diana memerah karna malu.
“Merobohkan yang ku maksud, dalam artian meluluhkan hati ayahmu. Jadi motivasi aku mengirim pesan tadi pagi padamu, karna alasannya aku akan meluluhkan hati ayahmu dengan memberikan kejutan untuknya dan juga untukmu.”
Diana tidak bisa berkata-kata untuk menanggapinya, hanya menatap mata Brian seperti terhipnotis.
“Kau mengerti sekarang?” ucap Brian lembut sembari mengelus pipinya dan semakin menundukkan kepalanya kearah Diana yang mendongak tak merespon.
Lagi-lagi Brian terpesona dengan bibir Diana yang sedikit terbuka itu, dengan gerakan lembut, Brian mendekatkan bibirnya, merasa tak ada penolakan dari Diana, Brian semakin leluasa mencium bibir kekasihnya itu.
Mereka berciuman dalam keheningan, hanya suara decak lidah dari pasangan yang sedang melakukan cumbuannya. Sampai akhirnya alarm peringatan dari bapaknya berdering keras di kepala Diana. Kerja yang bener ya neng, jangan pacaran mulu. Diana seketika membuka matanya dan langsung mendorong tubuh Brian agar menjauh.
Diana menunduk dan menetralkan nafasnya, setelah dirasa sudah tenang, Diana mengangkat pandangannya kearah Brian.
“Brian, kalau kau suka tantangan lakukan saja, tapi aku harap kamu jangan bersikap konyol dengan bapaku. Kalau kau memang sayang aku, kau harus sungguh-sungguh perjuangan perasaan kita.”
Setelahnya tanpa butuh waktu lama, Diana pergi dari ruangan itu dan meninggalkan Brian sendirian.
Jangan ragukan perasaan ini Diana, aku pasti akan bersungguh-sungguh.
*****
Mereka akhirnya sudah sampai rumah. Setelah sebelumnya Asep dan Ujang disuruh oleh Rangga untuk menjemput istrinya di pasar. Siang ini suasana di rumah makan cukup sepi, karna itulah mereka berdua bisa duduk santai disalah satu kursi yang ada di ruang makan ini.
“Gak terasa ya Sep kita kerja di sini sudah seminggu.”
“Iya, kau benar Jang.”
“Kadang hidup itu lucu ya, bermula dari dompetmu yang kecopetan di bis, terus kita mencurigai salah satu orang di bis itu, eh tidak tahunya orang yang kita curigai malah jadi majikan kita.”
Asep yang mendengar perkataan Ujang, hanya bisa tersenyum kecut tidak bisa menanggapi, karna bagi Asep semakin mengingat itu semakin malu karna sudah berburuk sangka dengan pak Rangga.
“Benar-benar aku tidak menyangka akan seperti ini.” tambah Ujang kemudian.
“Hidup memang penuh plot twist, Ujang.”
Suara Rangga yang serak dan tegas itu tiba-tiba menyahuti dari belakang membuat keduanya kaget.
Plot twist? Apa itu? saat mendengar kata asing di telinganya, mereka berdua memasang wajah bingung kearah Rangga.
Sebelum Rangga menghampiri mereka berdua dan menanggapi kebingungannya, Rangga melepas jaket dan helmnya lebih dulu dan menaruhnya atas meja setelah sebelumnya mengantar Diana di tempat kerjanya. Setelahnya, Rangga membuka kulkas di sana dan mengambil sebotol air dingin kemudian menghampiri mereka berdua dan duduk di sebelah Ujang.
“Plot twist itu kejutan yang tidak disangka oleh manusia.”
“Oh.” Ujang menganggukkan kepala berusaha memahaminya, sedangkan Asep seperti biasa hanya mendengarkan dengan saksama.
“Saya mendengar obrolan kalian, mengenai awal pertemuan kita bertiga. Saya juga tidak menyangka kalian akan berakhir kerja di sini dan jadi pegawai di tempat ini.” Rangga terkekeh mengingat itu, kemudian membuka botol air mineralnya dan menenggaknya hingga airnya habis setengah.
“Kalian tahu tatapan kalian saat di bis waktu itu? Benar-benar kurang ajar, menuduh saya terang-terangan, tapi untungnya saya orangnya sabar jadi tidak muda baper saat kalian bersikap seperti itu.” tambahnya kemudian.
“Maafkan kami pak.” Asep berucap pelan.
Disusul Ujang yang mengangguk-anggukan kepalanya.
“Saya sudah memaafkan kalian, saya juga sudah lupa kejadian itu, tapi berhubung kalian membahas itu saya jadi ikutan terbawa arus.”
Rangga berdiri kemudian menepuk pundak Ujang keras. “Kerja yang benar, ini sudah hampir jam dua belas siang, sebentar lagi banyak orang makan siang di sini.”
“Siap pak!” jawaban dari Ujang yang penuh semangat itu, membuat Rangga gemas, tangannya tanpa diduga iseng dan menjewer Ujang tuk sekian kalinya.
“Bagus, uang tips menunggu kalian.”
*****
Jam sudah menunjukan pukul tiga sore lewat lima belas menit. Di mana sekarang Diana sedang duduk di halte samping jalan raya yang tak jauh dari gedung perkantorannya.
Diana duduk sendirian di ujung. Sebelumnya Brian dengan keras kepala ingin mengantarnya pulang. Tapi Diana kekeh menolaknya, dengan alasan bapaknya sudah janji akan menjemputnya pulang. Mendengar ayah Diana yang akan menjemputnya, Brian angkat tangan dan hanya berpesan padanya untuk berhati-hati saat sedang menunggu di Halte.
Bapak lama sekali, apa aku telepon saja ya?
Diana membuka tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Sayangnya saat Diana sedang menunduk dan mencari kontak bapaknya, secara mengejutkan dan mengagetkan, tas Diana dirampas secepat kilat oleh tiga sosok laki-laki yang tampangnya sangat menyeramkan.
Melihat tas dan ponselnya raib dibawa kabur. Diana berdiri dan menjerit panik.
“Jambret! Tolong! Tolong! Ada jambret!”
Teriakan Diana, teryata memancing salah satu dari penjambret itu untuk kembali mendekat ke arahnya.
Gawat! Mau apa dia kesini.
Diana panik dan langsung berlari, tapi sayangnya tangannya sudah dicekal oleh si penjambret itu.
“Hei mau kemana cantik, apa yang kau tunggu di halte sendirian di tempat sepi seperti ini, mending ikut kita.” ucapnya kurang ajar
“Lepaskan brengsek!” Diana panik dan kembali berteriak. “Tolong! Tolong!”
Di saat yang paling membahayakan, di mana Diana mulai diseret paksa oleh si penjambret. Sosok Brian tiba-tiba muncul di belakang Diana dan secara mengejutkan langsung memukul pundak si penjambret dari belakang dengan kempalan tangannya.
Bug! Satu pukulan di perut.
Bug! Bug! Dua pukulan di pipi kiri kanan, membuat si pelaku langsung oleng dan melepaskan tangan Diana.
Secara refleks Diana langsung menghambur di belakang tubuh Brian mencari perlindungan.
“Sialan, awas saja akan ku balas kau.”
ucap si penjambret sambil berdiri sempoyongan terseok yang wajahnya sudah babak belur dihajar Brian.
Brian masih berdiri gagah di sana, tampak tidak takut dengan ancaman kaleng seperti itu.
“Sebelum itu terjadi, sampah masyarakat sepertimu harus masuk ke penjara.”
Setelah berucap, dua security yang bertugas di kantor tempat Brian bekerja tampak berlari menghampirinya.
“Pak Brian ada apa? Anda abis berantem?”
“Tidak, saya hanya menolong pacar saya yang sudah di jambret sosok itu.” Brian mengedikan dagunya kearah si penjambret.
“Tangkap dia pak, dan bawa kantor ke polisi. Untuk urusan yang lainnya aku yang akan mengatasinya.”
Karna si pelaku jambret sempoyongan dan matanya berkunang-kunang imbas kena tinju Brian, si penjambret pun hanya pasrah saat dua security itu mencengkram tangannya di lengan kanan kirinya.
Setelah situasi sudah kondusif, Diana memeluk Brian erat. Diana menangis dan mengucapkan terimakasihnya dengan nada tulus, terus menangis dan menangis membayangkan jika Brian tidak hadir tepat waktu, entah apa yang akan terjadi pada dirinya.
“Sudah, sudah jangan nangis lagi oke. Semua sudah baik-baik saja.” ucapnya lembut menenangkan sembari mengelus punggung Diana lembut.
Mereka saling berpelukan. Dagu Brian bertumpu di pucuk kepala Diana yang sedang memeluknya erat, mata Brian terpejam sambil terus mengelus punggung Diana.
Pemandangan itulah yang terpampang oleh Rangga yang baru saja sampai di gerbang kantor Diana berkerja. Ekspresinya tampak murka tersulut emosi, merasa tidak terima anaknya perempuannya dipeluk secara intim seperti itu.
“Diana!” panggilnya dengan suara yang menggelegar.