Pagi ini semua penghuni rumah Rangga terlihat sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sari, baru pulang dari pasar setelah berbelanja kebutuhan dagangannya. Dan Rangga, tengah asik membersihkan kandang burung lovebird peliharaannya sambil bernyanyi lagu lawas. Diana tengah bersiap-siap untuk berangkat kerja.
“Ibu, aku berangkat dulu ya.” Diana mendekat ke ibunya sembari mencium tangannya. Sari tersenyum. “Iya hati-hati, oh ya kamu mau diantar bapak atau mau berangkat sendiri?”
Mendapat tawaran dari ibunya, Diana melongok ke depan di mana bapaknya sedang melakukan pekerjaannya.
Ah bapak sepertinya masih asik dengan kegiatannya. Diana mengangkat bahunya. “Gak lah bu, aku berangkat sendiri saja.”
“Oh ya udah, hati-hati di jalan.” Diana tersenyum dan menganggukkan kepala.
Diana pun berjalan menghampiri bapaknya untuk bersalaman. Tapi, Rangga terlebih dulu langsung menolaknya dengan tatapan masih fokus di burung peliharaannya. “Gak usah bersalaman Neng, tangan bapak kotor bekas kotoran burung.”
“Oh” jawabnya sambil lalu sembari memutar bola matanya dan segara pergi melewati bapaknya. “Aku berangkat dulu pak.” pamitnya dengan ekspresi cuek.
Melihat anak gadisnya seperti itu, Rangga menggelengkan kepala kemudian berseru ke arah istrinya.
“Kau lihat. Diana mirip sepertimu, dari ekspresinya kalau ngambek, marah, atau bersikap cuek seperti barusan, sangat mirip sepertimu.”
Ya jelas mirip ibunya, kalau mirip pak Botak lain lagi ceritanya hihihi.
Ujang yang sedang mengepel lantai, tampak menguping obrolan mereka.
“Bapak selalu seperti itu. Kalau anak kita mirip ibu ya itu wajar, ada yang salah?” protesnya.
“Bapak dari tadi ngurusin burung terus, memangnya gak ada kegiatan lain? Membosankan sekali. Ayo bantuin ibu bawakan bahan-bahan ini ke dapur.”
Rangga yang berpenampilan galak di luar, sebenarnya sosok suami berhati ‘helo kitty’, jadi saat Sari minta bantuan seperti barusan, dengan sigap Rangga menurutinya. Sebelum menghampiri Sari, Rangga menyempatkan cuci tangan lebih dulu. Saat sudah dekat, Asep tiba-tiba sudah datang lebih dulu dan mengambil alih. “Bu, biar aku saja yang bawa.”
“Oh iya, saya lupa kalau saya punya dua orang karyawan baru di sini.” Rangga menepuk jidatnya.
Saat Asep menawarkan diri, Sari menjawab lembut. “Kau bawa semua bahan-bahan ini di dapur ya, ibu mau buat bumbu dulu.”
“I… iya bu.”
Setelah Sari pergi, Rangga menatap Asep dan pandangannya beralih pada Ujang yang sedang mengepel.
“Saya lupa kalau hari ini, hari pertama kalian kerja di sini. Kerjakan semua pekerjaan dengan baik ya Sep, Jang. Nanti kalau sudah saatnya gajihan, saya akan kasih uang bonus buat kalian.”
Uang bonus? Asep dan Ujang membatin bersamaan.
Melihat kebingungan mereka berdua, Rangga berucap jahil. “Kenapa? Kalian tidak suka? Oke kalau tidak mau saya ak___”
“Ma… mau pak, mau!” jawabnya bersamaan.
Rangga terkekeh. “Oke, kerja yang benar dan rapi, berhubung kalian kerja di rumah makan, kalian harus menjaga agar tempat ini selalu bersih.” tambahnya.
“Jangan kuatir pak, semua pasti beres.” Ujang menjawab sambil lalu.
“Asep, cepetan bawa bahan-bahan itu kemari, cepat.” Sari, berseru kencang dari arah dapur.
“Ya ampun aku lupa.” Asep cengengesan di depan Rangga.
“Cepat kau antar itu ke dapur.”
“Iya, pak.”
“Oh ya, nanti kalau kerjaan kalian sudah senggang, ada yang ingin saya bicarakan dengan kalian berdua. Hei, Ujang kau dengar?”
“Dengar pak, dengar.” gerutunya.
“Bagus, kerjakan pekerjaan kalian dengan setulus hati.” ucapannya sembari berjalan meninggalkan mereka berdua.
Bagus, kerjakan pekerjaan kalian dengan setulus hati. Ujang mengejek perkataan Rangga dengan gaya menye-menye yang terlihat menjengkelkan.
****
Hari pertama kerja, Ujang dan Asep merasa seluruh badannya pegal dan capek. Itu karna seharian ini tempat makan bu Sari tampak ramai, dan mereka berdua harus kerja extra cepat untuk melayani para pembeli.
Kerepotan Ujang dan Asep mencapai puncaknya saat jam makan siang tiba, di mana pembeli tampak memenuhi kursi- kursi ruang makan. Mulai dari karyawan pabrik, kantoran, driver ojek online, dan masih banyak lagi.
Sekarang saat malam telah tiba, dan keadaan warung tampak sepi pembeli, mereka berdua akhirnya bisa duduk santai di tengah ruangan sembari mengobrol dengan memakan cuanki.
“Cari duit gini amat ya Sep, capek.” Ujang mulai berkeluh kesah sambil menyeruput kuah cuanki yang enak itu.
“Ya, mau bagimana lagi, kerja di manapun memang capek. Kita ini perintis bukan pewaris. Kau harus bersyukur di luaran sana masih banyak orang pengangguran yang butuh pekerjaan, kita masih beruntung bisa kerja dan dapat gaji.”
“Oh iya Sep, ngomongin gaji, kira-kira kita dapat berapa ya?”
“Hmm aku gak tahu, coba kau tanya sama Pak Rangga kalau sudah di sini.”
“Ah aku malas nanya sama pak Botak.” Tolaknya mentah-mentah.
“Kenapa? Pak Rangga orang baik kok.” Asep menyanggahnya.
“Iya aku tahu, tapi kalau aku yang nanya, pak botak itu pasti banyak dramanya lebih baik kau saja.”
“Maksudmu bertele-tele?”
“Betul!”
Di saat bersamaan, Rangga ternyata sudah ada di tengah ruangan dan Berdehem kencang dengan sengaja.
“Ehem! Ehem!
“Waduh Sep, dia dengar.” Ujang menunduk dan berbisik kearah Asep.
“Apanya yang bertele-tele?” Rangga berjalan mendekat ke arah Ujang dan sengaja duduk di sampingnya kemudian menepuk pundaknya.
“Hehehe, cuma obrolan receh kok pak.” Ujang berkelit, salah tingkah.
“Oh begitu ya?”
Rangga kemudian menatap Asep yang duduk diseberang meja dan melihat mangkok berisi cuanki. “Wah kalian makan cuanki?” tanyanya tertarik.
“Hehehe iya, pak Rangga mau?” tawar Asep basa-basi.
“Tidak, saya sudah kenyang.” tolaknya singkat. Kemudian Rangga memandang Ujang dan Asep bergantian setelahnya berbicara dengan ekspresi serius.
“Tadi saya dengar kalian ngomongin gaji? Sepertinya pikiran kalian dengan saya satu frekuensi. Siang tadi saya sudah berencana membahas ini sama kalian.”
“Oh.” jawabnya bersamaan.
“Kalian tahu, UMR?” Rangga tiba-tiba menanyakan singkatan asing yang tidak dipahami mereka bedua.
UMR? Untung Mas Rugi? Ujang terheran-heran dan menebak salah kaprah.
“UMR?” Asep balik bertanya.
“Iya. Upah Minimum Regional. Saya jelaskan garis besarnya saja, biar kalian bisa memahaminya.”
“Benar pak, kami pun sepertinya gak akan paham kalau bapak bicara panjang lebar.”
Perkataan Ujang yang tanpa saringan itu membuat Rangga gemas, sangking geregetannya Rangga menarik kuping Ujang. “Aduh pak! Kok dijewer lagi, sakit ini pak.”
Setelah Ujang mengaduh, Rangga melepaskan jeweranya. Dan tak menanggapi protes Ujang.
“UMR, kebijakan standar gaji yang diterapkan pemerintah daerah, berhubung kalian kerja di kota besar seperti Jakarta. Kalian layak mendapatkan gaji yang sudah ditentukan. Tapi balik lagi, karna kalian berkerja pada saya yang notabenenya usaha warung makan kelas menengah. Saya tak bisa memberi gaji yang sudah ditetapkan itu. Dan kalian jangan menganggap saya curang, karna memang peraturannya seperti itu.”
Asep mengangguk-anggukan kepala dan menatap Rangga penuh ingin tahu. “Pak, kalau boleh tahu gaji UMR di sini berapa?”
“Hmm kalau tidak salah, kisaran lima juta lima ratus sekian.”
Lima juta lima ratus? wow banyaknya. Mata ujang melebar, dan mulai mengkhayal.
“Dan gaji yang cukup besar itu hanya berlaku pada karyawan yang berkerja di perusahaan. Sedangkan kalian?”
Rangga mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuknya. Asep mengerti maksud dari aksi Rangga tersebut.
“Kalau seperti itu, kira-kira bapak akan kasih gaji kita berapa?” nada Asep saat bertanya sedikit pesimis.
“Kau jangan putus asa, saya pasti memberikan gaji yang layak, gaji itu juga bersih, kalian makan dan tinggal di sini, jadi gajihan sebulan cukup buat kalian pulang kampung nanti. Saya juga sudah janji pada kalian bakal tak kasih bonus, jadi jangan kuatir.”
Penjelasan dari Rangga mampu membuat Asep tenang. Tapi lain cerita pada Ujang, dia malah sibuk menghayal, berandai-andai dan tidak mendengarkan penjelasan Rangga yang berbusa.
Wow kalau dapet gaji sebesar itu, aku akan beli HP baru, beli baju baru, sepatu baru, cukur rambut gaya Cristiano Ronaldo, makan di restoran dan jalan-jalan.
Wah… kalau sudah begitu pasti banyak cewek yang tergila-gila, dan aku gak jomblo lagi!
Rangga mengangkat alis melihat ekspresi Ujang yang penuh senyum mengerikan. Dia memahami imajinasi cucunguk ini, karna gemas, Rangga berbisik di telinga Ujang dan berucap sarkas yang dibumbui jokes ala bapak-bapak komplek.
“Sudah menghayalnya? Menghayallah setinggi mungkin, selagi menghayal itu belum dilarang.”
Sukaaaa