Vitamins Blog

Stitched by the Heart Part. 3

Bookmark
Please login to bookmark Close

Langit senja mulai merunduk, menyisakan warna jingga yang meleleh di ujung horizon. Lampu-lampu kota perlahan menyala, menghalau gelap yang menjalar. Di dalam sebuah rumah kecil yang nyaman, Glorya menatap meja kerjanya yang penuh potongan kain, benang warna-warni, dan meteran yang terjuntai di tepi meja.

 

Sudah seminggu berlalu sejak insiden ganjil dengan si bintang terkenal. Lelaki berambut perak dan mata hijau zamrud itu masih terpatri samar di pikirannya. Bukan karena pesonanya ,meski harus diakui pria itu seperti keluar dari majalah mode tapi lebih karena kelakuannya yang… menyebalkan.

 

“Glor, belum kelar juga?” suara Cessy membuyarkan lamunannya. Gadis itu menyembulkan kepalanya dari balik tembok ruang tengah.

 

“Awas lho, kuhabisin semua bagianmu!” ancamnya setengah bercanda.

 

“Kau saja yang lapar tapi gak mau masak!”sahut Glorya, matanya melirik tajam sambil memungut gunting kain.

 

“Itu karena masakan ibumu terlalu lezat buat ditolak,” kilah Cessy sambil melenggang ke arah dapur.

 

Aroma tumisan dan rempah hangat menyambut mereka. Lusia, ibu Glorya yang berusia 65 tahun tapi tetap lincah, tengah menata lauk di atas meja makan. Ruang makan menyatu dengan ruang keluarga .

 

“Mama senang kalau orang suka makanan mama,” ucapnya sambil tersenyum.

 

“Tapi kasihan, Ma. Lihat tuh, Cessy udah segemuk itu,” ujar Glorya dengan nada menggoda.

 

“Kurang ajar!” Cessy langsung menyerbu dan menggelitiki Glorya. Keduanya tertawa geli, berguling di kursi panjang depan TV seperti anak-anak.

 

Malam itu terasa hangat, seperti rumah yang selalu memberi pelukan meski dunia di luar dingin dan penuh topeng.

 

Setelah kenyang ibu Glorya mengusir mereka berdua yang berniat membantu mencuci piring. Dikamar, baik Glorya dan Cessy melakukan ritual malam para gadis. Mereka mencuci muka dan bersantai sambil memakai masker wajah.

 

Cessy memutar lagu dari playlist idolanya, Ruka, dengan volume pelan. Saat suasana hening menyelimuti, ponsel Glorya tiba-tiba berdering. Lama ia menatap layar, tak juga mengangkatnya.

 

“Siapa? Kenapa gak diangkat?” tanya Cessy, ikut mencondongkan tubuh.

 

Glorya hanya mengarahkan layarnya.

 

“SEAN?! Ugh, si beruang kutub dramaqueen itu lagi?!” Cessy tampak geram. “Kamu udah harus block dia. Udah gak zaman cowok yang kayak gitu..dikit-dikit ngilang, dikit-dikit sok misterius!”

 

Glorya mendesah. “Tiap kali kuangkat, dia gak bicara apa-apa. Gak tahu maunya apa.”

 

Cessy memeluk bantal. “Kamu masih sayang, ya?”

 

Glorya tak menjawab. Tatapannya beralih ke jendela, ke bulan sabit yang menggantung tenang. “Aku cuma… belajar pelan-pelan untuk gak lagi berharap,” ujarnya pelan.

 

Lalu, untuk mengalihkan suasana, ia bertanya, “Besok kau jadi ke meet and greet idolamu?”

 

“Pasti dong! Dan kamu ikut ya!” Cessy langsung bersinar.

 

“Untuk apa?” Glorya mengernyit.

 

“Siapa tahu, kamu bakal jadi gadis biasa yang dicintai bintang terkenal.” Kelakar Cessy. Matanya penuh drama.

 

Glorya tertawa. “Kebanyakan nonton drakor.”

 

“Nasib bisa berubah. Hidup itu gak selalu logis, Glor.”

 

Dan dengan itu, malam kembali penuh tawa kecil, seakan luka-luka dalam hati tak pernah benar-benar ada.

 

 

 

 

***

 

 

 

 

Hentakan sepatu  bergema samar di antara lantai marmer berwarna abu pucat, memantul lembut dalam ruang megah yang terasa terlalu sunyi untuk sebuah rumah. Seorang pelayan berseragam membuka pintu besar beraksen emas, menunduk sopan sebelum memberi jalan pada seorang bocah laki-laki berusia delapan tahun. Tubuh kecil itu tak peduli dengan tata krama atau aturan rumah bangsawan. Ia berlari dengan semangat seperti cahaya matahari yang menembus kaca jendela tinggi—liar, polos, dan tanpa beban. Di tangannya tergenggam erat secarik kertas putih yang sedikit terlipat.

 

Nafasnya memburu saat melewati lorong panjang yang dipenuhi lukisan potret orang-orang yang tak pernah ia kenal dekat. Mata hijaunya yang bening dan hangat mencari satu sosok, satu tempat, satu perhatian. Hanya satu. Ia berlari lebih cepat, hingga berhenti di depan sebuah daun pintu kayu berwarna coklat tua yang tinggi dan megah.

 

Tanpa ragu, bocah itu mendorong pintu dan menerobos masuk. Suaranya yang riang membahana, memecah kesunyian seperti lonceng di pagi hari.

 

“Ibu! Aku mendapat….”

 

Ucapannya terhenti, menggantung di udara.

 

Satu tatapan mematikan menyambutnya. Mata hijau seperti miliknya, tapi tanpa cahaya kehidupan di dalamnya. Wanita itu menoleh sekilas ke arah anaknya, lalu menurunkan pandangannya ke kertas yang digenggam bocah itu. Hanya satu detik yang terasa seperti selamanya, sebelum ia bicara.

 

“Martha,” ucapnya, dingin, tanpa menoleh pada pelayan yang berdiri gugup di belakang bocah itu. “Berapa kali aku sudah katakan? Jangan ada yang menggangguku saat aku berlatih.”

 

Nada suaranya datar. Tak ada amarah. Tak ada kehangatan. Hanya datar, seperti air mati. Mematikan segala rasa.

 

“Bawa dia pergi.”

 

Bocah itu menoleh  ke arah pelayannya, Martha, yang mendekat dengan langkah ragu. Dalam diam, wanita setengah baya itu menyentuh bahu sang tuan muda kecil dengan hati-hati. Anak itu  menunduk tak melawan, tapi tubuh mungilnya sedikit bergetar. Nyaris tak terlihat… kecuali jika seseorang benar-benar memperhatikan.

 

Langkah mereka pelan, menjauh, dan sebelum pintu kembali tertutup, suara terakhir yang bocah itu dengar adalah:

 

“Jangan terlalu bangga pada hal sekecil itu.”

 

Suara itu… seperti angin musim dingin yang menampar kulit, namun tidak meninggalkan luka luar hanya goresan di dalam dada, dalam, dan membekas lama.

 

Pintu tertutup. Dunia menjadi gelap.  Bocah itu berdiri diam dalam lorong, kertas prestasinya remuk di genggaman.

 

Ruka membuka matanya, suasana senyap kamar yang temaram terasa sekelam hatinya. Cahaya biru pucat dari lampu tidur membentuk siluet pada dinding granit hitam. Ia menoleh ke arah jam dinding 01.30. Malam sudah larut, dan mimpi lama kembali menyeruak tanpa permisi.

 

Diam beberapa saat, lalu matanya tertuju pada sebuah benda di atas nakas sebuah topi bucket bermotif lime. Topi yang terkesan sangat biasa.

 

Ia mengulurkan tangan, mengusap bordiran nama yang terukir rapi . Menimbulkan kehangatan layaknya cahaya di hatinya yang gelap gulita.

 

Ruka memejamkan mata lagi sambil mendekap topi itu dalam pelukannya.

 

 

 

 

***

 

Waktu seperti jam pasir yang mengalir cepat. Pagi menyapa dengan sinar terang menyelinap nakal lewat celah sudut rumah. Saat sebagian manusia masih berselimut mimpi. Ada seseorang yang sudah berpakaian rapi berkutat di dapur.

Callisto, manager Ruka penjaga waktunya,sekaligus pengelola dunianya sibuk menyusun isi lemari es. Beberapa kotak bento beku , makanan sehat hingga buah dan sayur segar.  Asisten rumah tangga hanya datang bersih – bersih setelah Ruka pergi bekerja.

“Kau ada pemotretan brand baru parfum setelah acara jumpa penggemar” ucap Callisto memulai percakapan.

Ruka  hanya mengangguk pelan, nyaris tak terlihat, lalu melangkah menuju sudut dapur yang remang oleh cahaya pagi. Di sana, di antara rak-rak minimalis dan peralatan modern berwarna hitam, berdiri mesin pembuat kopi yang telah menjadi bagian dari rutinitas paginya.

 

Tangannya yang ramping dan tenang menyentuh tombol di sisi mesin. Sebuah bunyi lembut terdengar dentingan mekanik yang disusul dengan dengungan halus. Dalam beberapa detik, aroma kopi yang kaya dan pekat mulai memenuhi udara.

 

Ding!!

Callisto memeriksa ponselnya ,sebuah notifikasi masuk. Sesaat kemudian, ekspresinya berubah drastis.

“Uh..oh” desisnya merasakan firasat buruk.

“Ada apa?” Tanya Ruka menoleh.

“Eer.. lebih baik kau lihat sendiri.” Callisto mengusap pelipisnya.

Ruka mengernyit jika ada gosip tentang dirinya ,managernya ini tidak akan sekalut itu paling hanya mengomel.

Sebuah headline bercetak tebal terpampang jelas.

 

” Aktris RUNA akan kembali ke layar lewat drama terbaru ”

 

Dunia terasa berhenti selama sepersekian detik. Ruka tidak bereaksi. Ia hanya meletakkan ponselnya perlahan, lalu berjalan ke arah jendela kaca besar yang menampilkan taman pribadi di luar. Tapi bukan itu yang ia lihat.

Ia menatap pantulan matanya di kaca.

Lalu, dengan suara rendah dan dingin, ia berkata, “Call, Marco pernah menawarkan sebuah proyek drama… tiga hari lalu, bukan?”

Callisto menegang. “Ya. Drama pendek. Adaptasi novel independen. Aku hampir menolaknya karena kau-”

“Katakan pada mereka aku akan ambil peran itu,”

Callisto menatap punggung Ruka yang tampak seperti patung granit. Penuh kesempurnaan namun, di saat yang sama penuh retak di dalamnya.

“Baiklah” tentu saja, ia tahu ini bukan soal seni. Ini soal luka. Luka yang belum dijahit.

Ruka tak menoleh, tapi ada percik api yang mulai menyala di iris hijaunya. Bukan cahaya yang menghangatkan, tapi nyala yang siap membakar masa lalu yang selalu bersamanya.

 

**

 

Mobil melaju menembus kemacetan kota. Di kursi belakang, Callisto sibuk menelepon, suaranya cepat, formal, tapi tetap sopan. Ia bicara tentang jadwal, kontrak, dan detail teknis. Ruka mendengarkan dari samping.

 

Dua puluh menit berlalu.

Gedung besar tempat jumpa fans sudah tampak di kejauhan. Poster raksasa bergambar wajah Ruka terbentang, dan di depannya kerumunan fans sudah memadati area. Banner, lightstick, dan teriakan antusias memenuhi udara.

Mobil melintasi jalur khusus VIP. Di dalam, dari balik kaca gelap Ruka mengamati keriuhan di sana. Namun sekejap matanya membeku.

Sebuah siluet. Rambut hitam lurus dan postur yang familiar,

 

“Eh…Apa itu… dia?”

 

 

 

 

Bersambung ♡