“Bapak sudah pulang? Bapak pulang kapan?” Diana berucap tak percaya dengan wajah berseri-seri.
“Iya, Bapak baru sampai, belum lama Neng, baru tigapuluh menit yang lalu.”
“Oh.”
Mata Diana yang sebelumnya fokus menatap Bapaknya, kini beralih menatap dua sosok pemuda yang berekspresi mulut menganga dan mata melebar.
Meraka berdua siapa? Kenapa mereka seperti itu? Ih… menggelikan! Diana tiba-tiba mengusap lengannya dan bergidik, melihat tingkah orang asing di depannya itu.
“Ehem! Ehem!” demenan Rangga berhasil membuyarkan keterpesonaan mereka pada putrinya. “Jaga mata kalian.” Rangga melotot kearah Ujang dan Asep. Ditatap sosok botak, berkumis tebal seperti itu, tentunya Asep dan Ujang merasa takut sekaligus malu.
“Hehehe… maaf Pak.” Ujang menjawab dengan cengengesan.
“Dasar kau, mata keranjang.” timpal Asep
“Hei bodoh, kau juga sama saja, bukannya tadi kau juga sama sepertiku saat melihat anaknya?”
“Pak, Ibu di mana?” Diana bertanya.
“Ibumu ada di dapur, sepertinya sedang memasak menu yang sudah habis.” Rangga berucap dengan tatapan lembut kearah anaknya gadisnya.
“Oh, ok. Aku akan kesana.” sebelum Diana berbalik badan, matanya yang bulat sempat melirik sosok asing di depannya itu yang sedang saling sikut menyikut. Hmm mereka aneh sekali.
Setelah putrinya menghilang dari pandangan matanya, Rangga kembali memasang ekspresi galak dihadapkan mereka berdua. Sebelum berbicara, entah karena sakit tenggorokan atau bukan, Rangga kembali berdehem kembali dengan suara keras.
“Kalian berdua duduk dulu, kau Ujang di sebelah kanan. Dan kau, namamu siapa?” Rangga bertanya pada Asep.
“Asep, Pak.”
“Oh jadi namamu Asep? Ok, kamu duduk sebelah kiri.” setelahnya tak menunggu lama keduanya langsung menurut saat Rangga menyuruhnya duduk. “Nama kalian unik ya, penuh dengan kearifan lokal.” Perkataan Rangga itu membuat keduanya kembali cengengesan.
“Ok, saya akan melanjutkan lagi masalah tadi yang sempat tersendat karna kepulangan anakku. Oh ya, apa anakku cantik?
Pak botak ini mau kasih informasi saja, bertele-tele sekali. Ujang kembali kesal saat Rangga kembali mengulur waktunya.
“Cantik, pak, cantik.” kali ini Asep yang menjawab cepat dengan semangat.
“Hmmm memang seperti itu.” ucapnya sambil lalu.
Kemudian tangan Rangga kembali merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponselnya. Gerakannya saat ingin menunjukkan buktinya sedikit lama, hingga membuat keduanya terutama Ujang, sudah nyaris kehilangan kesabaran.
Ya ampun, nyari buktinya saja lama sekali. Dia nyimpan buktinya gak sih sebenarnya?
“Ah, ini dia.” Rangga berucap puas saat bukti videonya sudah ketemu.
“Kalian harus liat ini, saya merekamnya saat kalian membelakangiku, saya tahu arti tatapan kalian saat di bis pada waktu itu, karna saya selalu memperhatikan kalian, jadi kau menuduhku bukan?
Pertanyaan Rangga itu dengan cepat langsung mendapat anggukan dari keduanya.
“Ini, kau lihat sendiri pelaku yang sebenarnya.” ucapnya dengan menyodorkan ponselnya ke arah Ujang. Dan tanpa butuh lama keduanya langsung menonton videonya.
Pencopet itu tampan dan berpenampilan rapi, bahkan pakaiannya terlihat seperti orang pekerja kantoran, tapi tidak disangkanya dibalik itu semua teryata aksinya sangat tidak terpuji.
Si pelaku dengan jeli mengedarkan tatapannya disekeliling bis, dan pada saat semua penumpang dianggapnya lengah, barulah sosok pencopet itu menjalankan aksinya dengan membuka resleting tas milik Asep dan mencuri dompetnya.
Setelah dompet sudah masuk kedalam tangannya, si pelaku dengan cerdik berseru pada sopir bis dan memintanya turun. Dan disitulah dompet Asep raib dibawa pelaku yang berhasil lolos.
Setelah selesai menonton bukti nyata itu, keduanya saling bertatap mata untuk beberapa lama, kemudian secara bersamaan beralih memandang wajah Rangga dengan penuh penilaian.
Teryata penampilan yang melulu seperti itu, tidak selalu dicap sebagai pencopet atau orang jahat. Itulah ungkapan isi hati Asep maupun Ujang saat menatap sosok Rangga.