“Aduh… aduh kenapa kupingku ditarik sih pak, sakit ini pak.” Ujang meringis, ketika Rangga menarik kupingnya gemas dan saat kupingnya sudah terlihat merah menyala, barulah Rangga melepaskan jewerannya.
Ujang mengusap telinganya yang terasa panas. Dasar botak, gendut, maksudnya apasih nih orang. ucapnya bersungut-sungut dengan wajah menunduk. Ujang terlalu penakut, jadi yang dilakukannya hanya menundukkan kepala, dia tidak segila itu untuk menantang sosok menakutkan di depannya ini dan langsung mengkonfrontasinya.
Asep yang melihat semuanya langsung terkikik geli. Rasain kau Ujang.
“Sakit?” Rangga bertanya ke Ujang yang masih mengelus- ngelus telinganya.
Dasar botak! Sudah jelas sakit kenapa bertanya? Apa dia tidak merasa telah menariknya sekuat tenaga? Ujang tak langsung menjawabnya, melainkan sibuk mengumpat.
Rangga terkekeh, melihat aksi bisu Ujang dan dia memaklumi. “Saya menarik kupingmu itu buat pelajaran, biar kedepannya kau bisa berucap dengan baik dan benar.”
“Pelajaran?” Ujang bertanya tak mengerti.
“Iya. Kau tadi mengatakan temanmu kehilangan dompet? Dan isinya yang menurutmu ‘hanya’ satu juta saja?” Rangga sengaja mengulang kembali agar Ujang ingat.
“Ya, memang hanya satu juta saja pak, memangnya ada yang salah?” jawabnya bingung, bahkan sangking bingungnya Ujang sampai menggaruk rambutnya.
Rangga menatap mata Ujang dan kali ini berekspresi serius. “Sekarang saya mau tanya, pekerjaan kedua orangtuamu apa? Dan kamu tinggal di mana?”
Eh… Kenapa pak botak menanyakan hal itu?
“Saya dan Ujang tinggal kampung pak dan kedua orang tua kami hanya pedagang seblak keliling.”
Karna Ujang masih sibuk berpikir, Asep mengambil inisiatif untuk menjawabnya langsung.
“Oh jadi kalian bersaudara?” tanyanya penasaran, bahkan sekarang Rangga lebih tertarik ingin mengobrol dengan Asep ketimbang Ujang.
“Kalian punya rumah?”
“Kami punya rumah pak, rumah kami yang di desa dibangun di lahan pekarangan yang luas bukan di pinggir kali atau kolong jembatan. Kami juga bukan saudara hanya teman.” ucapnya jujur.
Rangga mengangguk-angguk kepalanya.
“Hmm begitu.”
“Pak, sebenarnya Bapak mau ngomong apa sih? Tadi nanya masalah uang satu juta, sekarang menanyakan pekerjaan orang tua kami dan tempat tinggal, benar-benar membingungkan.”
Merasa bingung, kesabaran Ujang yang setipis tisu dibelah tujuh pun tak tahan untuk mengkronfrontasinya langsung.
Rangga tersenyum masam, hingga kumis tebalnya tampak berkedut efek otot yang menegang. “Ah itu, hampir saja lupa. Saya ingin mengatakan pada kalian. Terutama kau, Ujang. kau tadi mengatakan ‘hanya’ kehilangan satu juta. Tapi apa kau sadar dengan apa yang kau katakan tadi? Tentunya tidak bukan? Jadi di sini aku ingin mengingatkan padamu. Jika kau kehilangan uang berapapun itu sebaiknya jangan mengatakan ‘hanya, saja’ karna itu terdengar sangat menyepelekan, apalagi pekerjaan orang tuamu seorang pedagang, pasti mereka berusaha keras untuk mengumpulkan uang sebanyak itu dan kau dengan entengnya mengatakan ‘hanya satu juta’ berarti kau sama saja tidak menghargai hasil jerih payah orang tuamu. Mengerti?”
Ujang dan Asep merenung mendengar nasihatnya.
“Satu lagi, jika kalian mengira saya yang mencopet dompetmu di bis, maka itu salah. Saya punya buktinya mau lihat?”
Ujang dan Asep saling bertatapan, dengan ekspresi kebingungan. Dengan cepat keduanya pun saling menganggukkan kepalanya.
Saat Rangga hendak mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya, secara bersamaan terdengar suara anak kesayangannya yang baru saja pulang bekerja.
“Assalamu’alaikum Ibu, aku pulang.”
“Neng Diana kau sudah pulang?” jawab Rangga dengan wajah sumringah.
Asep dan Ujang membelalakkan mata melihat sosok yang baru saja muncul.
Menulis teryata semenyenangkan ini jika dilakukan dengan hati. Whay? Ya, karna jika kita menulis dengan suasana hati yang tenang dan bahagia, imajinasi kita yang entah dari mana tiba-tiba masuk begitu aja, dan secara impulsif bisa menuangkannya kedalam tulisan.
Ceritaku ini mungkin terlihat konyol, ya sesuai sama temanya ‘cerita komedi’ dan cerita inipun kali pertama aku tulis dan aku posting di PSA.
Belajar menulisku yang dulu berantakan sekarang sudah ditahap ‘lumayan’ hehehe. Masih ingat betul, awal menulis cerita ini. Dan saat aku baca ceritaku sendiri di part awal benar-benar seperti ‘ya ampun malunya’
Memang, sesuatu kalau kita tekuni dan mau belajar pasti ada perubahannya.
Seger nyaaa