Glorya tahu betul bagaimana rasanya dilihat bukan sebagai dirinya, melainkan sebagai “gadis dengan langkah aneh”. Sejak kecil, langkah jinjitnya menjadi sorotan, dan kecanggungan saat berjalan membuatnya sering jatuh. Tapi di balik tubuh rapuh itu, ada hati yang kuat dan tangan yang penuh ketekunan.
Setiap pagi, Glorya duduk di sudut kecil rumahnya yang penuh kain warna-warni, benang-benang yang tergulung rapi, dan mesin jahit tua yang di belikan oleh ibunya. Di sana, ia menciptakan kehangatan dalam bentuk gaun, blus, hingga tas-tas sederhana yang ia jual online ataupun customer tetap yang datang membawa kain di sekitarnya. Ia menjahit dengan sabar, satu tusuk demi satu, seperti cara ia merajut harapannya sendiri.
Orang-orang di sekitar menyayanginya, tapi tak semua mengerti. Kadang ada tatapan kasihan, kadang komentar yang tak perlu. Tapi Glorya tersenyum selalu tersenyum. Bukan karena ia tak merasa sakit, tapi karena ia tak ingin luka itu tumbuh menjadi dendam.
” Ma, aku pergi sebentar ya. Pulang kubawakan kue kacang.” Pamit glorya mendorong rollatornya.
Langkah Glorya tidak pernah tergesa. Ia tahu betul batas tubuhnya, sambil membawa kereta dorong multi fungsinya sebagai tempat menaruh barang dan tempat duduk. Ia tetap berjalan menyusuri jalan-jalan kecil kota dengan senyum tenang di wajah ovalnya.
Pagi itu, aroma manis dari toko roti langganannya menyambut hangat seperti biasa. Di dalamnya, suara riang yang sudah sangat dikenalnya menggelegar.
“Wah kukira konser darimana tapi kenapa penontonnya itu roti semua” canda glorya membuka pintu. Mendorong masuk rollatornya dan melipatnya ke pinggir etalase.
“Gloryaaa! Kamu harus lihat ini!”
Cessy, sahabatnya sejak dulu, berdiri sambil mendekap majalah gosip ke dadanya. Wajahnya berbinar-binar, dan mulutnya langsung bersenandung lantang
“Eh, jangan anggap remeh kekuatan Ruka,” serunya, menunjuk wajah pria di sampul majalah mata hijau tajam, rambut perak berantakan, senyum misterius. “Lihat dia! Misterius, ganteng, dan katanya single!”
“Terus kamu mau daftar kalau memang single”goda glorya tertawa pelan.
Cessy mengangguk mantap. ” setuju kan dia ganteng, suaranya seperti malaikat”
“,hmm..suaranya memang oke” jawab glorya, duduk dibangku kecil dekat konter kasir.
“Tuh, kamu mulai suka lagunya!”seru Cessy seolah mengajak berklompot.” Ngaku, tertarik juga ,kan”
Glorya memutar matanya bosan “kamu memutar lagunya tiap hari,susah buat gak kenal. Lagunya lumayan enak tapi hanya begitu”sambil membuka roti.” Aku lebih suka yang nyata.”
Cessy ikut duduk. Matanya melunak, kali ini suaranya tak seceria tadi. “Kamu selalu bilang gitu, Glorya. Tapi kamu juga terlalu sering nutup pintu.”
Glorya terdiam sejenak. Ia memandangi jendela kaca, melihat bayangan dirinya yang duduk dengan kaki tak sepenuhnya menapak.
“Aku nggak nutup pintu. Aku cuma… nggak mau buka untuk orang yang cuma mau lihat dari luar,” ucapnya lirih.
“Karena kamu belum kenal!” Cessy duduk di depannya. “Tapi serius, Glor…. Dunia di luar nggak seburuk itu.”
Glorya diam sejenak. Ia menatap keluar jendela.
” Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri.” Cessy menggenggam tangannya sebentar. “Kamu itu… orang paling kuat yang aku kenal. Tapi kamu nggak harus selalu jadi kuat sendirian.”
Glorya menunduk, tersenyum kecil. “Aku nggak sendirian. Aku ada kamu.”
Cessy tertawa, kembali menjadi dirinya yang ramai. “Iya sih! Tapi bagaimana kabarnya dengan Si asuransi itu?”
“Kalau dia bisa tahan sama cara jalan aku, baru kita bicara,” jawab Glorya sambil berdiri, menarik rollatornya.
“Kamu terlalu meremehkan efek senyummu sendiri,” sahut Cessy dengan dramatis. “Itu bisa mengalahkan fandom internasional, tahu nggak?”
Glorya hanya tersenyum lagi, tak membantah, tak juga menanggapi.
***
Setelah berpisah dengan Cessy, Glorya berjalan santai menyusuri sisi kota yang lebih sepi. Mendorong maju rollatornya, langkahnya pelan tapi pasti.
Namun, ketenangan itu terusik ketika ia mendengar suara gaduh dari belakang.
“Di sana! Dia ke arah kiri!”
Glorya mengerutkan kening. Sekelompok remaja putri berlarian sambil berteriak histeris. Mereka melintas di dekatnya, mata mereka mencari-cari, penuh antusiasme panik khas fans fanatik. Glorya hanya melirik, tidak paham apa yang sedang terjadi… sampai ia melihat sosok itu.
Tak jauh dari situ, di balik tembok gedung, seorang pria berdiri menunduk, berusaha bersembunyi. Glorya memperlambat langkah, matanya terpaku pada rambut perak yang mencolok dan mata hijau mencolok yang langsung bertemu dengan tatapannya.
Ia mengenal pria itu Ruka.
Glorya berhenti sebentar, ragu. Ia hendak melanjutkan jalan, berpura-pura tak melihat.
Namun tiba-tiba, suara malas dan lirih terdengar dari pria itu.
“Kemarikan. Apapun itu, biar kutandatangani.”
Glorya melongo. “Apa?”
“Nona, aku sedang terburu-buru, jadi tolong, ya.” Senyumnya selembut mentari, tapi Glorya justru merasa itu seperti kilat buatan. Datar. Terlalu sempurna.
Dahinya berkerut. Ia belum sempat menjawab ketika dari kejauhan ia melihat dua gadis seusianya muncul dan memandang ke arah mereka. Mata mereka menajam saat melihat rambut perak itu.
“Ah, sial…” gumam Glorya, lalu tanpa pikir panjang, ia mengeluarkan topi kain dari tasnya dan memakaikannya ke kepala Ruka.
“He—hey?!” Ruka terkesiap, namun Glorya sudah menarik pergelangan tangannya, mengarahkannya ke lorong sempit di samping gedung.
“Ssst! Diamlah. Ikuti aku. Kamu nggak mau ketahuan, kan?”
Ruka yang sempat membuka mulut, menutupnya kembali. Matanya menatap Glorya, belum sepenuhnya yakin akan situasi. “Kamu tahu aku, tapi… kamu nggak minta tanda tangan?”
Glorya menatapnya balik dengan ekspresi datar namun lembut. “Aku bukan penggemarmu. Dan kamu kelihatan butuh sendiri lebih daripada pamer senyum.”
Untuk sesaat, Ruka hanya menatapnya. Meski dia tidak berharap semua gadis tergila- gila padanya, tetapi bahkan seseorang yang bukan penggemar mengagumi sosoknya. Tidak seperti gadis ini . Ada sesuatu yang aneh dari gadis ini ia tak berteriak, tak memuji, tak menggila. Suara tenang yang memaksanya menyusup ke balik dunia nyata
Dan entah kenapa ia menurut.
1 Komentar