Vitamins Blog

Dompetku Hilang ‘Cerita Komedi ku’ Part 3: Waduh Gimanih Sep?

Bookmark
Please login to bookmark Close

“Ya penampilan  suamiku mungkin terlihat cukup membuat kalian takut bagi yang baru mengenalnya. Dia memiliki tubuh tinggi, botak dan berkumis tebal ditambah jika berbicara suaranya menggelegar.”
Si ibu warung tak tahan untuk tidak tertawa geli saat menceritakan penampilan fisik suaminya itu kepada mereka berdua.

Asep dan Ujang pun langsung berpandangan wajah seolah keduanya sama-sama mempunyai pikiran satu frekuensi  saat mendengarkan penjelasan  ibu pemilik warung itu. Dan tanpa butuh waktu lama, keduanya saling membelalakkan mata menebak isi pikirannya bersamaan. Berbadan tinggi, kepala botak, kumis tebal? Astaga jangan-jangan dia….

“Asep apa mungkin dia orangnya?” Seolah tersadar lebih dulu, ditepuknya pundak  Asep keras-keras hingga membuat sang pemilik pundak, tersadar dan menjawabnya dengan kesal.

“Hei, Ujang tanganmu terbuat  dari balok kayu ya? Keras sekali senggolanmu.”
Ujang terkekeh kemudian dia sedikit mendekat ke arah Asep dan mulai berbisik-bisik didekat telinganya.
“Ah cemen gitu aja sakit. Kau dengar itu tadi, bagaimana kalau yang muncul nanti  adalah orang botak yang ada di bis Itu? Dan kalau benar apa yang musti kita lakukan? Kau tidak mungkin langsung menuduhnya bulat-bulat jika sudah berhadapan dengan sosok botak berkumis itu bukan?”
“Entahlah, sebaiknya kita tunggu saja nanti sampai orang botak itu muncul di sini.” Jawab Asep dengan nada berbisik-bisik yang sama seperti yang dilakukan Ujang.

Sang ibu warung  makan yang memperhatikan aksi mereka berdua dari kejauhan, mengangkat alisnya melihat kelakuan anehnya.
Mereka kenapa berbisik-bisik seperti itu? Bukannya senang mendapat tawaran  kerja, malah bersikap seperti itu? Mencurigakan, apa jangan-jangan mereka akan berencana merampok warung makan ini? Astaga!


Sang ibu warung kemudian berjalan cepat ke arah meja kasir dan segara membuka laci mejanya dan segara mengeluarkan ponselnya. Gerakannya cekatan hingga Asep maupun Ujang sama-sama memperhatikan aksinya.

Ujang menyenggol bahu Asep meminta tanggapannya dengan nada masih berbisik-bisik. “Apa yang dilakukan oleh ibu warung itu, kelihatannya sangat aneh? Ah dia bawa ponsel Sep, dan ya ampun dia mengarahkan ke kita, apa dia akan merekam kita dan menyebarkan video kita  di sosial media kemudian viral?”

Melihat sang ibu warung sudah mengarahkan ponselnya kepada mereka, Ujang menanggapinya salah kaprah.

“Gila kau, mana ada seperti itu.”  Asep menjawab dengan kesal.  Ujang tertawa.
“Liat itu dia sudah mendekat dengan ponsel sudah mengarah ke wajah kita, apa lagi kalau tidak merekamnya.”

“Kalian sebenarnya mau tidak bekerja di tempat ini? Kalau tidak mau, segera tinggalkan warung makan ini anak muda.”

“Eh… tapi, tapi kami belum membayar makan yang tadi Bu? Oh apa kami mendapatkan makan siang gratis Bu?”  Ujang bertanya tanpa tahu malu. Asep yang ada di sampingnya tak tahan  untuk tak menyenggol pundak ujang hingga oleng. “Hei kau ini kenapa sih Sep, bukannya itu lebih  bagus, kalau kita dapat makan siang gratis itu artinya keberuntungan.”

“Kalian kalau masih berbisik-bisik seperti itu dan merencanakan niat jahat, aku akan melaporkan kalian pada polisi.”

Eh …apa, polisi? Asep dan Ujang membatin bersamaan dengan mata melebar kebingungan.
Asep menggaruk  tengkuknya. “Eh…. ” melihat Asep kebingungan menjawab tuduhan si ibu warung. Ujang dengan percaya diri langsung  memberikan penjelasannya tanpa disaring terlebih dulu.

“Ya ampun Bu, kami bukan penjahat. Kami hanya sedang berdiskusi, ibu tahu kami berdua hanya membicarakan  sosok yang sudah mencopet dompet Asep Bu, dan penampilan pencopetnya sama persis dengan penampilan suami ibu.”

Setelah Ujang menyelesaikan ucapannya, tanpa diduga ada suara berat dan menggelar yang mengagetkan semuanya. “Ada apa ini rame-rame dan siapa yang kau maksud pencopet itu?”

“Waduh Sep lihat itu! Teryata benar itu orangnya bagaimana ini?”  Ujang kaget bukan kepalang saat melihat sosok tinggi, perut gendut, berkepala botak dan berkumis tebal itu sudah berdiri di ambang pintu dengan tatapan jengkel.