****
Menyesakkan rongga dada, menguliti seluruh lapisan detak jantungku, menghentak paksa seluruh denyut nadiku.
Tertoreh di mataku dengan saksama di malam-malam sunyi, tentang seluruh ratusan untaian makna yang sengaja kau samarkan dalam miliar kata yang kau sematkan dalam bisik titahmu.
Tercekat seluruh udara di rongga dadaku. Tercenung aku, tak sanggup terisak membayangkan hatimu telah membusuk selama banyak waktu yang kau punya dan dengan hela nafas congkakku, hanya terus mengutukmu.
Apakah itu suara hatimu selama ini?
Yang berteriak dan pecah dalam sunyi karena tak berdaya pada jiwaku yang rapuh?
Sebanyak apa rasa cemburu yang menggelegak dan kau telan sendirian bagai bara api di kerongkongan saat aku dengan egois meratap sendu, mengadu pilu atas deritaku sendiri kepadamu?
Sebanyak apa rasa amarah yang merekah dan kau padamkan sendirian hingga mengerak, membara bagai ladang api yang kobarnya berarak-arak di ujung kewarasan setiap kali kusambut rangkulmu yang kurindu lalu kulepas tanpa rasa bersalah sekadar untuk kembali ke kenyataan fana?
Sedang kau menggigil sendirian di tengah malam, mengerat, menungguku menyapamu kembali.
Kau menjadi jenaka yang kau buat-buat secara paksa,
Kau menjadi kepayahan yang hilang akal,
Kau lucuti seluruh gemerlap di jubah kebesaranmu, hanya untuk mengenakan selembar kain kelam, usang, nan lapuk dirayapi keluh kesah bersamaku di tepian lembah tak bertuan saat petang merasuk bumi.
Lantas ketika kau berangsur pergi, kupikir kau-lah Sang Antagonis dalam epilog yang terukir tanpa sengaja di persilangan takdir kita.
Bagiku, kau melangkah pergi tanpa tahu malu, meninggalkanku menjejak paksa jiwaku mengitari sudut-sudut kota dan menghadapi luka-luka lama sendirian.
Tidak ada lagi kau yang terbiasa menawarkan ribuan suka cita pada bintang-bintang yang berpendar remang, mengusap derai air mataku yang kau kecup lembut penuh kehangatan.
Bukan kau yang memikul peran Sang Antagonis selama ini, melainkan aku yang begitu egosentris berbalut kenaifan yang membuatmu tak sanggup membenci.
Aku buta tak menyadari kau menangis darah saat merengkuh tubuhku yang layu.
Aku tuli tak menangkap raung kegelisahan yang berteriak menggila dari pucuk-pucuk bibirmu yang terkatup paksa.
Kau menderita dalam diam, katamu kau sedang menggenggam mawar berduri.
Tapi aku terlalu buta tuli pada tanda, tanpa tahu malu kunyatakan aku ingin menjadi mawar putih yang cantik untukmu.
Jemarimu penuh sayat dan darah yang menghitam, bergurat-gurat menggenggam mawar putih yang kelopaknya kau tadah dengan cinta semu agar tak berguguran.
Akulah Sang Antagonis yang sesungguhnya.
Pada akhirnya kau harus pergi, terseok dengan lunglai sebab kau telah meramal ujung kisah yang takkan pernah punya restu di manapun, memalingkan wajahmu dengan sengaja sebab tangismu berderai dan nafasmu tersengal-sengal, tapi masih mengetatkan tekadmu melepasku dengan untaian doa-doa.
Kau membebaskan aku dari penghakiman dunia,
Tapi aku hanya sibuk menghakimi kepergianmu.
Kali ini pergilah dengan senyuman, tanpa menanggung benci dan nestapa dariku.
Pesanmu telah sampai kepadaku.
Kau bebas,
Dariku, yang bahkan tak pantas mengadu pada Tuhan.
****
Aku,
Tengah memintal jaring laba-laba dalam kesunyian,
Tapi kau tahu, aku selalu baik-baik saja.
With Love, ROSETTA
2 Komentar