Vitamins Blog

Short Story: The Weirdest Meet that Ended as a Sweet Farewell

Bookmark
Please login to bookmark Close

Short Story: The Weirdest Meet that Ended as a Sweet Farewell

Inspired by: Taylor Swift – Wildest Dream

Dituangkan dari ruang imajinasi yang tenggelam oleh lantunan lagu menyenangkan milik Taylor Swift – Wildest Dream.

Ara terdiam sembari memandangi kartu yang berfungsi sebagai kunci untuk membuka pintu kamar hotel yang berada tepat di sebelah kamar yang kini tengah ditempatinya. Semua terjadi begitu cepat, meninggalkan kebingungan yang membuat Ara harus mengambil waktu beberapa saat sebelum memilih untuk menghadapi kenyataan di depan mata.

“Astaga, mimpi apa semalam sampai semua ini terjadi?!” pekik Ara dalam hati.

“Ara, can you help me? Tolong temani Agam satu malam saja, please. Aku harus pulang, ibuku baru saja dilarikan ke IGD. Please, maafkan aku. Amplop berisi uang ini untukmu, besok secepatnya aku kembali untuk melihat keadaan Agam. Tolong yaa.” cercah Adit, teman masa sekolah Ara yang beberapa waktu lalu ditemuinya di lobi hotel.

“Gila yaa si Adit, lagi buntu apa sampai kepikiran solusi seperti ini? Ini sangat merepotkan!” rutuk Ara dalam kesendirian.

Sore ini Ara tiba di hotel terbaik di kota kelahirannya setelah selang beberapa tahun lamanya Ara hanya bisa terjebak dalam kesibukan yang tak ada habisnya di kota rantau yang merupakan kota tempat pusat bisnis dan industri berkembang pesat. Begitu pun Adit, pria klimis yang tiba-tiba muncul di hadapannya sedikit menjadi kejutan untuknya. Bagaimana tidak, sesama perantau di kota yang sama, mereka nyaris tak pernah bertemu sama sekali dan kini malah bertemu di kampung halaman. Nostalgia tipis antara mereka tadinya menyenangkan sampai insiden mendadak seperti saat ini terpaksa membebani Ara sampai ke ubun-ubun.

Menemani Agam?

Sore tadi Adit bilang kepadanya bahwa dia adalah manajer dari Agam Mahardika, pria yang sedang naik daun sebab kemunculannya di layar kaca sebagai host acara talkshow dan cukup mengalihkan dunia para kaum hawa di luar sana lantaran he looks so smart. Kemunculan Adit di hotel itu karena sedang mendampingi Agam liburan tipis-tipis. Karena Agam sedang ingin merasakan suasana liburan yang sederhana dan tenang, Adit berinisiatif mengajak Agam ke kota kecil mereka ini yang tak begitu hingar bingar oleh popularitas seseorang seperti Agam. Tentu saja sekalian pulang kampung gratis akunya pada Ara. Tapi mungkin insting Adit sedang kuat karena ternyata kedatangannya ke kota ini memang panggilan tak terduga. Ara harus akui ia jadi merasa empati dengan alasan Adit, bahwa ibunya tiba-tiba saja dilarikan ke IGD. Sebab itulah Ara tak bisa berkutik ketika Adit memohon bantuannya.

Berbeda dengan Adit yang punya rumah dan keluarga untuk kembali, Ara datang sebagai tamu di kota kelahirannya sendiri. Tak ada rumah untuk bernaung, semua tinggal kenangan sehingga ia memilih menginap di hotel. Kedatangan Ara adalah untuk berkeliling, menyesap masa lalu dari satu tempat ke tempat lain, hingga ia puas dan siap kembali ke tanah rantau yang terus menempa hidupnya.

Ara sudah berada di depan pintu kamar Agam dan tangannya sedikit gemetar hingga ia tak bisa fokus menggesekkan kartu dengan benar agar pintu kamar tersebut bisa terbuka.

“Klik!”

Ara tergeragap ketika pintu kamar itu telah benar-benar terbuka. Sebelum memantapkan hati untuk masuk ke dalam, Ara memindai pakaiannya dari ujung kaki hingga kepalanya, memastikan ia tidak nampak seperti wanita-wanita panggilan yang menggoda. Membayangkan dirinya dianggap seperti itu membuatnya bergidik ngeri, dia harus bisa menjelaskan kepada Agam bahwa Adit memintanya untuk menemani Agam. Dengan rok selutut dan sweater longgar dan sepatu flat rasanya sudah cukup meyakinkan bahwa ia perempuan baik-baik.

“Eh? Tapi kenapa Agam harus ditemani yaa?” tanya Ara pada dirinya sendiri.

Tak ingin berpikir berat, Ara segera masuk kamar dengan pasrah dan hal pertama yang dilihatnya adalah seorang pria yang tengah berbaring tertelungkup di salah satu kasur dari dua tempat tidur yang tersusun bersebelahan dan berjarak di kamar itu. Tentu saja pria itu adalah Agam, pria yang menjadi alasan Ara akan kerepotan.

“Astaga, dia bahkan tidak melepas sepatunya?!” pekik Ara dalam hati begitu gemas dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya.

Ara menghampiri tempat tidur Agam dan menyadari bahwa pria itu tengah tidur dengan gelisah. Ingin rasanya ia melepas sepatu Agam tapi ia terlalu angkuh untuk melakukannya. Dilihatnya wajah Agam yang sedikit tenggelam di atas bantal. Aroma alkohol yang kuat menguar dan membuat Ara semakin tidak simpatik.

Agam mungkin sosok yang sedang dipuja-puja tapi itu tidak akan membutakan mata dan hati Ara. Ara malah tersenyum bangga pada dirinya sendiri karena selalu berpikir tak ada sosok yang perlu terlalu dikagumi, semua manusia sama saja, memiliki kekurangan dan menggunakan topeng. Contohnya pria di depan matanya ini yang selalu tampak cerdas dan berpendidikan, nyatanya dia tengah mabuk berat dan Ara tak mampu lagi menggambarkan wajah Agam yang biasanya tampil dengan rapi kini terlihat kusut dan bahkan sedang membuat pulau-pulau cantik di bantal empuk miliknya. Aroma rokok dan alkohol begitu pekat, nyaris membuat Ara pusing dan mual sehingga memilih untuk menjauh.

“Dit, matikan mataharinya, terlalu terang, aku mau tidur siang,” ucap Agam tiba-tiba yang membuat Ara tergelitik.

“Aduh, susah matikannya, mataharinya jauh,” jawab Ara sengaja memberatkan suaranya nyaris menyerupai suara Adit sambil terkekeh.

“Seperti cinta, jauh dan sulit digapai.” ceracau Agam yang membuat Ara tergelitik.

Ara menahan tawanya, berjingkat menjauh dan mendekati sakelar lampu ruangan, meredupkannya dengan segera agar pria itu tidur dengan tenang hingga besok pagi. Setidaknya dengan begitu, Ara tidak akan kerepotan lebih dari yang sekarang dihadapinya.

“Cinta katanya? Apa dia sedang patah hati? Ternyata pria yang dipuja-puja, menyedihkan juga,” batin Ara sambil tak berhenti terkekeh.

Kali ini Ara kembali kebingungan, apa sebaiknya dia kembali ke kamarnya atau berbaring di tempat tidur kosong yang ada di kamar itu? Atau, haruskah Ara terjaga sepanjang malam saja? Mengingat dirinya juga membutuhkan tidur, Ara akhirnya memilih menempati tempat tidur kosong yang dipunggungi oleh Agam. Ara sudah meningkatkan kewaspadaannya namun rasa kantuk mengalahkannya hingga ia pun terlelap juga.

Aman, semua terkendali.

***

“Adit! Adit!”

Ara terhenyak, matanya segera membuka lebar ketika mendengar teriakan Agam yang lebih seperti ceracauan. Ara segera bangkit dari kasurnya, memindai seisi kamar yang masih hening dan hanya ada dia dan Agam si manusia setengah bernyawa. Ternyata hari sudah pagi, Ara bersyukur ia bisa tidur semalam.

“Adit, kopi!” teriak Agam masih dalam posisinya yang terlelap.

Ara mengerucutkan bibirnya, baru saja bangun ia sudah kembali dibuat repot oleh Agam.

“Adit! Kopi! Kepalaku pusing!” teriak Agam lagi yang membuat Ara panik.

Ara segera mendekati meja mini bar yang ada di kamar tersebut, mengabaikan perlengkapan untuk menyeduh kopi yang tersedia karena ia sendiri tidak tahu menggunakannya. Ara lebih memilih mengambil bungkusan serbuk kopi dan gula yang tersedia dari pihak hotel meski ia mendapati ada toples kecil berisi serbuk kopi yang ia yakini itu bawaan pribadi Agam. Ara lalu menyiapkan kopi dan beberapa gula di dalam cangkir yang tersedia sembari menunggu air panas dalam teko yang sudah ia nyalakan. Dengan gegabah, Ara menuangkan air yang sesungguhnya belum terlalu panas, mengaduk-aduk dengan kasar, dan sedikit bingung karena mendapati gumpalan serbuk kopi mengambang pada permukaan cangkir. Tanpa pikir panjang ia segera meraih sapu tangan warna biru yang tergeletak di dekatnya, lalu menyaring kopi seduhannya ke dalam cangkir kosong lainnya menggunakan sapu tangan itu. Buru-buru Ara membawakan kopi buatannya ke nakas di samping Agam. Setelah itu ia menjauh dan berdiri di dekat pintu kamar, setengah sembunyi dari pandangan Agam yang kini mulai duduk sambil memijat kepalanya sendiri.

Ara memerhatikan punggung Agam, pria itu perlahan mengambil cangkir kopi yang disajikan Ara. Meneguk kopi sepersekian detik yang berakhir dengan terbatuk dan meneriaki nama Adit lagi.

“Adit, ini kopi apa air gula?!” protesnya yang membuat Ara maju pelan-pelan menghadap Agam dan membuat Agam terkejut. Ara menghela nafas sebelum kemudian ia menjelaskan dengan cuek tentang keberadaannya saat ini.

 

“Namaku Ara, semalam Adit minta aku menggantikannya untuk menemanimu karena ia harus ke rumah sakit, coba cek saja pesan di hp yang kau miliki, barangkali ada penjelasan yang lebih baik dari Adit. Dan kopi itu aku yang buat, aku tidak tahu seleramu, aku juga tidak mengerti membuat kopi.”

Agam buru-buru mengambil hp dan memang mendapati pesan dari Adit. Mengetahui alasan Adit membuat Agam memilih menyimpan kembali hp miliknya, ia harus memberi waktu pribadi untuk Adit. Saat ini Agam mulai membenahi kewarasannya dan berusaha fokus menghadapi perempuan di depan matanya yang baru saja menjelaskan segala sesuatu dengan nada datar dan sedikitpun tak terlihat tertarik menatap Agam. Ara pun kembali menjelaskan bagaimana ia berakhir dihadapan Agam saat ini dan itu membuat Agam harus mengambil waktu lama untuk mencermati setiap kalimat Ara sekaligus membenahi jiwanya yang masih di awang-awang.

“Kalau kau sudah baik-baik saja, aku mau permisi dulu. Aku tidak ingin kehabisan waktu untuk mengelilingi kota ini,” ucap Ara memecah keheningan.

“Tu-tu-tunggu! Kau tidak akan …” Agam merasa berat untuk melanjutkan kalimatnya, namun Ara merasa peka dengan rasa khawatir yang tersirat di kalimat Agam.

“Mengumbar keadaan semalam?” tukas Ara yang membuat Agam terdiam.

“Kau tidak perlu khawatir, aku sama sekali tidak tertarik.”

Aku bahkan tidak peduli dengan popularitasmu, astaga!

Agam menatap lurus ke arah Ara yang masih mencari kesungguhan di wajah Ara. Baginya bisa saja perempuan itu berbohong dan bukankah sudah menjadi tabiat perempuan suka banyak bicara dan berbagi cerita? Bahkan meskipun mereka bertekad untuk diam, sedikit pancingan saja mudah sekali membuat mereka keceplosan.

 

“Aku ingin berterima kasih padamu karena sudah menjagaku semalaman, jika tidak keberatan, aku bisa menemanimu berkeliling kota.”

Ya ampun, apa aku tidak bisa memikirkan solusi lain untuk keadaan ini?

“Tidak perlu, aku bisa sendiri,”

“Hei, tunggu. Tolonglah, aku memaksa. Aku juga perlu teman untuk berkeliling kota,”

“Terserah kau saja.”

Ara segera melangkahkan kakinya menghampiri pintu untuk keluar dan kembali ke kamarnya sendiri. Gerakannya sedikit tertahan dan ia lagi-lagi menghela nafas sebelum kembali berucap.

“Aku akan siap dalam sejam lagi, jika kau memang mau menemaniku, kita bertemu di lobi hotel. Tolong diingat, aku bukan penggemarmu, sekali lagi kukatakan aku tidak tertarik mengumbar kejadian semalam. Jadi kalau kau berubah pikiran atas ajakanmu tadi, silakan saja. Aku menerima ajakanmu karena kupikir-pikir lumayan meringankan ongkos kendaraan.”

Agam terkekeh, ia bisa merasakan kesungguhan dari kata-kata Ara. Dalam hati ia merasa bersyukur, sepertinya semua aman terkendali.

“Aku berterima kasih atas kopi yang kau buatkan,” ucap Agam lagi mulai kembali dengan sikap penuh santun yang biasa ia gunakan dalam pekerjaan.

Ara yang baru saja membuka pintu kamar mendadak berbalik ke arah Agam dan buru-buru membuat pengakuan.

“Aku tidak mengapa kau marah mengenai kopi tadi, aku memang tidak benar-benar tahu cara membuatnya, maafkan aku. Emm, permisi,” ucap Ara dengan panik dan berkali-kali menatap ke arah meja mini bar sebelum benar-benar kabur keluar kamar.

Setelah Ara hilang dari pandangannya, Agam menghampiri meja mini bar kamarnya dan menemukan sapu tangan biru miliknya yang kotor oleh ampas kopi.

“Astaga, Ara!” pekiknya.

Bisa-bisanya perempuan itu menggunakan sapu tangan untuk menyaring kopi?

Apa dia tidak pernah melihat filter V60? Padahal semua tersedia lengkap di atas meja!

Agam mengusap wajahnya berkali-kali, ia masih menimbang-nimbang untuk bersiap turun berkeliling kota dengan Ara.

Spontanitas yang akan menjadi beban tersendiri.

***

“Aku sudah siap,” ucap Ara ketika mendapati Agam sudah ada di lobi hotel. Pria itu duduk manis sembari menutup wajahnya dengan koran.

Ara kembali terkekeh dengan gelagat Agam terlebih lagi penampilannya. Agam menggunakan hoodie yang menutup penuh kepalanya juga menggunakan kacamata hitam. Sedangkan Ara sendiri berpakaian dengan nyaman menggunakan rok terusan selutut berwarna dusty pink serta tas selempang berukuran kecil warna cokelat yang terlihat padu dengan flat shoes yang dia gunakan. Rambutnya yang berwarna hitam legam dan panjang diikat bak ekor kuda.

“Kau ingin jadi kura-kura ninja?” ledek Ara yang membuat Agam kesal.

“Cepatlah, ikuti aku ke mobil,”

Ara memutar bola matanya dengan bosan, “Kita baru saja mulai perjalanan, kau sudah membuatku merasa perjalanan ini tidak akan menyenangkan.”

“Jadi, mau ke mana?” tanya Agam setelah mereka telah melaju di jalan raya mengingat ia buta arah dan tak tahu apapun tentang kota kecil tempatnya terdampar saat ini.

“Hmmm, aku ingin menebus rasa bersalahku mengenai kopi pagimu, jadi aku akan membawamu ke sebuah kedai kopi tertua di kota ini,”

“Ehem, mengenai kopi pagiku itu, kau benar-benar tidak tahu cara membuat kopi yaa? Apa kau tidak lihat ada kertas bulat-bulat putih yang biasa digunakan untuk menyaring ampas kopi?”

“Ha? Kertas? Oh, aku melihatnya tapi aku tidak tahu kegunaannya, kupikir itu alas gelas.”

Agam kembali menepuk jidatnya, ia memerhatikan raut wajah Ara dari sudut matanya yang melontarkan kalimatnya dengan wajah tak berdosa.

“Lalu kenapa rasanya manis sekali? Berapa banyak gula yang kau gunakan?”

“Aku hanya menggunakan empat bungkus, lagipula apa salahnya dengan rasa manis?”

“Empat bungkus?!”

 

Dia memang niat membuatku diabetes!

“Itu tempatnya!” Ara menunjuk sebuah kedai yang terlihat kuno, mengarahkan Agam untuk parkir di halaman kedai tersebut.

“Ngomong-ngomong sebelum kita masuk, bisakah kau berhenti berpenampilan seperti itu? Kau terlihat seperti penculik anak,” celetuk Ara.

“Hei, sejak kapan penculik anak punya aturan standar berpakaian? Kau mau bilang aku si penculik anak dan kau anak imut-imut yang menjadi korbanku, begitu?” celetuk Agam.

“Tuan Agam Mahardika, apakah formalitasmu telah tertinggal di kamar hotel? Aku yakin bahkan jika ada satu saja penggemarmu yang ada di kedai itu, dia tidak akan menyadari keberadaanmu meski kau berpenampilan biasa saja tanpa menutupi kepalamu seperti malaikat pencabut nyawa. Dan kacamatamu itu, aku tidak yakin itu pantas untuk digunakan di dalam ruangan. Lagipula, kita cukup duduk di tempat yang tidak terlalu mencolok, semua akan aman terkendali.”

***

Sudah banyak tempat yang mereka datangi. Setiap satu tempat yang mereka kunjungi telah menambah keakraban mereka tanpa mereka sadari. Dan saat ini mereka telah sampai di sebuah kafe untuk menikmati makan malam yang berada di pinggiran pantai kota. Mereka duduk di bangku panjang dan menghadap langsung pada tepi pantai yang menyajikan ombak bergulung. Makanan dan minuman mereka tersaji di samping mereka masing-masing.

“Apa yang membuatmu datang ke kota ini?” tanya Ara tiba-tiba.

“Iseng saja,” jawab Agam sembari menyeruput secangkir cappuccino yang tersaji di sampingnya.

“Oh, kupikir kau patah hati lalu perlu healing,” ucap Ara sembari terkekeh ketika mendapati Agam tersedak oleh minumannya.

“Ya, agak aneh juga jika melihat banyak wanita yang mendamba seorang Agam tapi ternyata saat ini sedang patah hati,” ledek Ara.

“Hei, hei, jangan sok tahu. Siapa yang patah hati? Lagipula, kalau aku patah hati memangnya kenapa? Kalau kau pernah melihat wawancara Lewis Capaldi, disitu ia ditanya bagaimana ia terinspirasi membuat lagu-lagu yang menyentuh hati dan kau tahu jawabannya?”

Ara menggeleng dan matanya menatap lekat pada wajah Agam, terlihat sangat antusias menunggu penjelasan dari Agam.

“Dia bilang, di dalam realita hidupnya yang bukan dunia panggung, dia tidak pandai menjalin hubungan dengan baik dan dia mengakui sering patah hati, mungkin dia rumit sehingga kehidupan percintaannya juga selalu gagal, meskipun di atas panggung banyak yang memujanya,”

“Kau mau bilang dirimu sejenis itu kan? Menyedihkan,” ledek Ara yang berujung tawa terbahak-bahak.

“Sudahlah. Kau sendiri kenapa menjadi turis di kota ini?” tanya Agam sekaligus sebagai usahanya untuk mengalihkan topik.

“Aku? Ini kampung halamanku, hanya saja sudah tidak ada tempat untuk kembali,”

Hening terbentang, Agam menunggu Ara melanjutkan ceritanya dan menemukan kesedihan tersirat dari kata-kata Ara.

“Orang tuaku dan adikku meninggal dalam kecelakaan tunggal saat aku baru setahun merantau karena kuliah. Aku tidak punya keluarga di sini tapi ini kota kelahiranku,” Ara menjeda kalimatnya beberapa saat sembari mengusap lembut pada cincin yang melingkar di jari manisnya.

“Aku sudah bertunangan dengan seseorang. Setelah aku sebatang kara, sahabat orang tuaku yang berada satu kota dengan tempat kuliahku mengajakku tinggal di rumahnya. Di situ aku bertemu Dion, tunanganku sekarang, anak mereka. Mereka bilang kami berdua sebaiknya menikah, aku kesini untuk meyakinkan diriku melangkah ke tahap selanjutnya,”

“Kau mau menikah dengannya untuk membalas hutang budi?”

“Entahlah, aku tidak tahu,”

“Kenapa kau tidak datang dengannya kemari?”

“Dia sibuk, lagipula aku memang membayangkan pergi sendirian, aku rasa akan lebih nyaman,”

“Maafkan aku jika melakukan intervensi. Kau bilang kau nyaman sendirian? Kau akan menikahinya tapi kau bahkan saat ini tidak yakin untuk menghabiskan waktu yang penting bersamanya? Kau yakin kau nyaman sendirian sedangkan seharian ini kau dan aku mengelilingi kota bersama?”

Mereka berdua mematung dalam waktu yang lama hingga suara angin yang menderu begitu jelas di telinga mereka masing-masing. Ara yang terdiam karena tersadar banyak tali simpul yang tak disadarinya dari rentetan pertanyaan Agam. Sedangkan Agam sendiri terdiam karena ia tak mengerti atas apa yang ia lakukan, ia terkesan pria yang berusaha menggagalkan hubungan orang lain. Untuk apa?

Tidak! Tentu saja Agam hanya bereaksi sesuai logikanya, itu saja, tidak lebih.

“Kau tahu, aku memang senang bersamamu seharian ini, tapi aku rasa kita harus meluruskan semua ini,” ucap Ara perlahan.

“Kau tahu, kenyamanan ini hanya sesaat. Ini memang menyenangkan, tapi bukan sesuatu yang bisa dijadikan patokan bahwa hal ini mampu menentukan sebuah hubungan, memutuskan sebuah hubungan, atau entahlah, aku tidak tahu. Dion dan pertunanganku adalah sesuatu yang harus kuhadapi dan kau hanya seseorang yang tiba-tiba datang dan ….”

“Ara, aku memahami maksudmu. Jangan khawatir, aku sepemikiran denganmu. Tidak ada yang tertinggal di sini, kau dengan hidupmu, aku dengan hidupku, kita cukup tahu seharian ini menyenangkan, hanya itu,”

“Jangan dipikirkan. Aku datang ke sini membiarkan diriku mabuk berat karena ingin lari dari kenyataan. Tapi kau harus percaya, aku tidak pernah seperti itu sebelumnya. Perempuan yang kusukai ternyata hanya baik padaku, formalitas kerjaan, dan mencintai rekan kerjaku yang kubenci. Dia membuatku berpikir bahwa cintaku terbalaskan nyatanya tidak, hahaha.”

“Penggemarmu banyak, kenapa tidak kau pilih salah satu saja dari mereka?”

“Hahaha! Kau pikir jatuh cinta semudah itu?”

“Aku tidak tahu, lagipula cinta itu apa?”

“Hmmm, rasa tertarik pada seseorang dan kalau tahapnya lebih tinggi lagi dan beruntung, itu adalah rasa nyaman yang membuatmu bisa menjadi dirimu sendiri dan masih banyak lagi,”

 

“Lucu sekali, kau bicara seolah kau ahlinya padahal kau mengenaskan. Aku tidak menyangka aku menghabiskan waktu seharian penuh bahkan hingga semalam ini bersamamu. Aku lupa kalau kau pria asing yang baru saja kutemui semalam. Tapi kita harus kembali ke urusan masing-masing kan?”

“Ya, begitulah. Aku tahu kau pasti merasa aneh dan bingung. Sejujurnya aku pun begitu, tapi jangan percaya pada sesuatu yang sepintas lalu, bagaimana kalau kita sepakat mensyukuri hari yang menyenangkan ini dan menyimpannya sebagai kenangan saja?”

“Kau bahkan memikirkan hal yang sama denganku. Ini memang aneh. Baiklah, sepakat.”

“Baiklah, telah diputuskan Agam dan Ara akan berpisah kembali ke urusan masing-masing, mengambil hikmah dari pertemuan dan bersyukur.”

Ara terkekeh mendengar kalimat Agam namun ia tahu hal yang mereka putuskan adalah yang paling benar bagi mereka.

 

Say you’ll remember me, standing in the nice dress, staring at the sunset babe~

Red lips and rosy cheeks, say you’ll see me again even in your wildest dream~

 

***

With Love, ROSETTA

1 Komentar

  1. He so tall and handsome as hell,
    He so bad but he does it so well,
    I can see the end as it begin,
    My one condition is….