Vitamins Blog

Short Story: The Dark Angel

Bookmark
Please login to bookmark Close

Short Story: The Dark Angel

Inspired by: Lana Del Rey – Dark Paradise

****

Langit hitam kelam saat itu adalah kanvas yang sempurna untuk semua noktah bercahaya yang berasal dari bintang-bintang yang berpendar redup menaungi bumi malam.

Ribuan redup yang begitu tepat merefleksikan sorot mata milik Wina yang tengah berdiri di ujung tebing seorang diri tanpa siapapun menemani kecuali hembusan angin malam yang meniup lembut seluruh helai rambut panjang bergelombang miliknya yang hampir mencapai batas pinggang dan berwarna kecokelatan.

Seakan tidak terganggu sedikitpun oleh rasa dingin menusuk yang berasal dari ulah pelukan angin di tubuhnya, Wina membiarkan dirinya yang memiliki tubuh kurus dan hanya dibalut oleh gaun tipis berwarna krem yang tak menutupi secara utuh atas kedua lengannya terpapar sempurna oleh sentuhan alam. Wina juga membiarkan kedua betis dari batas lutut hingga ujung kakinya bersinggungan langsung dengan angin malam yang terkesan berniat mengetuk-ngetuk hingga terasa ngilu pada tungkainya yang bersembunyi di balik lapisan kulit tipis, putih pucat, dan mulus yang dimilikinya.

Tidak ada polesan di wajahnya kecuali sedikit warna merah lembut merona di bibirnya yang mungil dan nampak bergetar halus menahan tangis yang tak kunjung menggugurkan genangan air mata di wajah cantiknya. Sesuatu terlihat mencolok di kedua lubang telinganya, seperti sumbatan berwarna hitam yang memiliki lampu kecil berwarna merah yang kini tengah sibuk berkelip berulang kali. Rupanya ia tengah mengenakan headset tanpa kabel untuk membantunya mendengar musik yang sedang diputarnya berulang kali dari smartphone yang tergeletak begitu saja di dataran yang kini tengah dipijaknya, tak jauh dari tempatnya berdiri.

Sepasang kaki jenjangnya berdiri sempurna mengenakan alas kaki berupa pointe berwarna senada dengan gaunnya, sepatu khusus yang biasanya digunakan para penari balet. Dalam posisi berdirinya yang dikenal sebagai first position dalam dunia balet, untuk kesekian kalinya Wina bergeming sembari mengatur ritme hembusan nafasnya. Ia mulai mengambil waktu sepersekian detik untuk memejamkan matanya sejenak lalu perlahan-lahan membuka matanya hingga kali ini redup di kedua bola mata hazel miliknya nampak lenyap dan berganti kilat yang tak dapat diartikan secara kasat mata. Lantunan lagu yang masih berputar di kedua telinganya terdengar menggema dengan samar-samar.

All my friends tell me, I should move on~

I am lying in the ocean, singing your song~

Aah~ aah~ aah aah~

Keheningan malam dan kesendirian yang tengah dinikmatinya seakan dihempas begitu saja oleh tubuhnya yang mulai bergerak dengan anggun memainkan langkah-langkah terlatih dari teknik balet yang dipadu secara harmonis mengikuti tempo dan penghayatan lirik lagu yang terus menggema indah memanjakan indera pendengarnya.

Di belakang tubuhnya yang tengah menari sendirian berdiri bangunan kokoh yang merupakan sebuah villa kecil satu-satunya di dataran tinggi tersebut dan terbuat dari gelondongan batang pohon yang tersusun indah oleh ahlinya. Villa yang tampak kosong dan hanya menyisakan bias terang benderang dari lampu ruangan yang begitu kontras dengan kelamnya malam dari sepasang jendela tanpa tirai yang berada di salah satu sisi dinding villa menjelma bagaikan latar panggung yang sesuai untuk tarian Wina.

Loving you forever, can’t be wrong,

Even your not here, I won’t move on,

Aaah~ aah~ aah~ aaaah~

That’s how we played it!

And there’s no remedy for memory,

Your face is like a melody~

It won’t leave my head~

Plie, saute. Plie, saute. Wina melakukannya berulang kali sembari kerut halus tercipta di keningnya lantaran ia tengah memikirkan sesuatu di ruang kepalanya.

Plie, releve.

Kali ini Wina membiarkan dirinya mematung di posisi releve yang membuatnya menutup matanya untuk waktu yang agak lama.

Noone compares to you,

I’m scared that you won’t be waiting on the other side~

“Damian,” ucapnya lirih.

Wina membiarkan tubuhnya membeku di posisi releve untuk beberapa saat dan membayangkan seakan sepasang tangan kokoh milik Damian, pria yang sangat dicintainya, tengah memeluk pinggangnya yang ramping dan membisikkan kata cinta di salah satu telinganya. Pelukan yang tak mungkin lagi menjadi nyata untuk selamanya kecuali dalam angan dan mimpinya yang akan selalu ia paksakan dalam tidurnya.

But I wish I was dead~

Wina kembali mengerjapkan matanya dan kilat yang berkabut di kedua bola matanya yang membulat penuh mengantarnya pada arasbeque terakhir miliknya lantas tanpa berpikir panjang lagi langkahnya dengan cepat menerjang bebas hukum gravitasi, menyerahkan diri seutuhnya pada laut lepas yang menunggu di dasar tepi tebing tempatnya mempersembahkan tarian terakhir pada dunia.

Everytime I close my eyes,

It’s like a dark paradise~

 

****

Mati itu seperti tidur panjang yang begitu nyenyak. Wina ingat bagaimana ia membiarkan debur ombak meneriaki namanya, memanggilnya dengan suka cita untuk turut beriak bersama di dasar lautan.

Setengah tidak yakin, ia pun ingat tak ada basah yang menyelimutinya, kecuali dekapan hangat.

Iya, dekapan hangat!

Dada bidang yang begitu kokoh tengah memeluknya. Dan kali ini Wina mulai ragu adakah ia sampai pada tujuan akhirnya?

Rasanya ia teringat debur ombak pecah di tumpukan batu karang sembari menjerit kecewa karena Wina tak memenuhi undangan mereka.

Wina tertahan. Seseorang mendekapnya dan membawanya pergi. Tak ada lagi yang dapat Wina ingat kecuali alunan lagu yang berputar di kedua telinganya telah berhenti lantaran kedua headsetnya jatuh entah ke mana. Matanya begitu berat untuk menangkap sosok yang mendekapnya. Mungkin agak gila jika Wina mempercayai ingatannya, sebab rasanya Damian-lah yang tengah mendekapnya dan membawanya pergi.

Tidak! Wina tak mungkin salah!

Ia sangat mengenal Damian hingga ke detak jantungnya.

“Damian!” pekik Wina yang hanya menggema di dalam kegelapan tak berujung dan membuat Wina merasa gelisah.

Wina benci kegelapan yang memeluknya terus menerus. Dengan tekad bulat, Wina melawan rasa tak berdaya yang menyelimutinya hingga ia merasa mampu mengangkat tubuhnya dengan sekali hentakkan.

“Damian!” pekiknya lagi yang kali ini terdengar nyata tertangkap oleh gendang telinganya sendiri.

Bukan hanya teriakannya terasa nyata, Wina pun benar-benar terduduk di sebuah kasur empuk berwarna putih polos yang berukuran besar.

Inikah sebab mati terasa bagai tidur nyenyak yang sangat panjang?

Pandangan mata Wina menatap tajam lurus ke depan pada sosok pria yang berdiri dan bergeming menatap dirinya dengan ekspresi tak terbaca, begitu datar dan dingin hingga Wina nyaris bergidik ngeri.

“Damian?” tanya Wina lirih nyaris seperti bertanya pada dirinya sendiri.

“Kau sudah bangun? Apa kau suka tidur panjangmu?” tanya pria di depannya masih dengan nada datar nan dingin tak sedikitpun meninggalkan bentuk perhatian dalam pertanyaannya.

Pria itu memiliki wajah yang serupa dengan Damian, kekasihnya. Tidak, Wina sangat yakin pria itu adalah Damian meski tak memasang wajah penuh senyum hangat yang biasa diterimanya dari seorang Damian. Pria itu dingin, sorot matanya tajam dan pembawaannya begitu angkuh. Tapi….

“Damian?” ulang Wina lagi, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Ck! Aku sudah bosan mendengarmu mengulang nama itu dari sejak kau kugeletakkan di atas kasurku. Kurasa kau sudah menyebutnya ratusan kali. Kupikir saat kau sadar, kau akan berhenti menyebut nama itu. Kau sangat membosankan.”

Wina mengernyitkan dahinya, menyiratkan kebingungan yang tak kunjung ia mengerti dari celetohan Damian-nya.

“Damian, Damian, …” bibir mungil milik Wina bergetar halus dan terus memanggil Damian dengan lirih yang terasa perih.

Rindu.

Wina tak bisa membendung rindunya yang mendarah daging sejak kepergian Damian dari sisinya. Ingin ia bangkit dari kasur empuk yang entah berapa lama sudah memanjakan tubuhnya yang tak berdaya lalu menghamburkan dirinya dalam pelukan Damian. Sayang tubuhnya terasa tak bertenaga untuk menuntaskan keinginannya. Tak putus asa, Wina mencoba dengan perlahan mengangkat tubuhnya, mencoba untuk turun dari kasur lalu kemudian menghampiri Damian yang berdiri dan masih bergeming memerhatikan usaha Wina memindahkan tubuh mungil nan kurus miliknya.

“Damian, Damian, …” Wina berusaha dan terus merapal nama Damian, berharap menjadi kekuatan agar ia mampu bangkit dari kasurnya.

Belum sempat Wina bergeser dari kasur meski hanya beberapa inci, seorang perempuan seusianya memasuki ruangan dan menghampiri Damian-nya dengan wajah yang begitu gusar.

“Plak!”

Sebuah tamparan mendarat dengan keras di pipi kiri Damian-nya. Wina terperanjat, sorot matanya menatap tajam pada perempuan kurang ajar yang berani menyakiti kekasihnya. Meskipun ia masih tak mampu turun dari tempat tidurnya dan hanya bisa terduduk kaku, ia masih memiliki tenaga untuk membuka mulutnya dan bersiap meneriaki perempuan tersebut namun tertahan lantaran perempuan itu lebih dulu melengkingkan suaranya hingga memecahkan kecanggungan sesaat di dalam ruang kamar tersebut.

“Jovan! Kau tidak tahu malu!” pekiknya.

“Jovan? Siapa Jovan?” batin Wina yang masih memandang lekat pada Damian-nya.

Pria itu, entah bernama Damian atau Jovan, namun saat ini ia tengah sibuk mengelus pipinya yang sedikit memerah karena tamparan keras yang diterimanya. Bibirnya berdesis dipenuhi kebencian dan sudut matanya menatap tajam pada perempuan di sampingnya yang juga menatapnya dengan kemurkaan yang tak malu-malu ditutup.

Wina sendiri ketakutan, tubuhnya sakit dan masih terus membeku seakan terlalu terbiasa untuk berbaring tak berdaya. Seluruh sendinya seperti sudah terlalu lama tak digunakan hingga bagai besi berkarat. Rasa takut yang menggelenyar di dalam tubuhnya adalah sebab melihat raut wajah Damian-nya yang lebih seperti siap membunuh perempuan di sampingnya. Damian tidak pernah seperti itu.

Benar saja, pria itu tak mengambil waktu lama untuk mengelus pipinya terus menerus melainkan pria itu segera menggenggam erat pergelangan tangan perempuan itu hingga terlihat meringis kesakitan. Diangkatnya pergelangan tangan perempuan itu hingga mencapai diantara depan wajah mereka berdua yang kini saling berhadapan. Seperti manusia yang mati rasa, pria itu tidak peduli rintihan perempuan yang mulai menyimpan genangan air mata di sudut-sudur ekor matanya. Pria itu murka.

“Kau bilang apa, Maura?” ucapnya lirih.

“Apa kau sedang menghina dirimu sendiri dengan perkataan terakhirmu tadi?” tanyanya lagi dengan aura yang sangat mengintimidasi perempuan itu.

“Lepaskan! Lepaskan tanganku, Jovan!” pinta Maura dengan mengguncangkan pergelangan tangannya sebagai bentuk pemberontakan.

“Aku ini ….” lanjutnya lagi namun terpotong oleh kalimat Jovan.

“Calon ibu tiriku,” ucap Jovan cepat sembari melepaskan genggamannya yang kini nampak membekas halus di pergelangan tangan Maura.

“Permaisuri.” ucap Maura tegas membenarkan kata-kata Jovan.

Jovan tersenyum sinis dan tatapannya begitu mencemooh Maura yang berusaha mengusap lembut pada pergelangan tangannya yang terasa sakit. Maura masih berdiri angkuh, menengadahkan dagunya sedikit dan membuang wajahnya dari tatapan menusuk milik Jovan.

“Dasar perempuan busuk. Tempatmu itu adalah di neraka dan hangus terbakar.”  ucap Jovan lirih dan mendesis dengan kebencian yang begitu kuat menguar.

Kali ini Maura lah yang tersenyum sinis dan menatap Jovan dengan tatapan penuh keangkuhan, “Apa kau lupa? Perempuan yang kau anggap busuk ini adalah perempuan yang membuatmu tergila-gila? Jatuh cinta? Dengar, aku tidak mau melihat perempuan itu di sini, bawa ia pergi atau aku takkan segan membuatmu terbuang oleh Ayahmu sendiri.” hardik Maura sembari menunjuk Wina yang terduduk kaku di kasurnya.

“Brengsek!” hardik Jovan namun tak dihiraukan Maura yang segera meninggalkan kamar tersebut dengan tawa kecil yang terdengar menyebalkan dan tak lupa sedikit mengibaskan rambut panjang lurusnya yang berwarna pirang terang bak boneka barbie hidup.

****

Pria itu, Jovan. Tubuhnya kurus namun terlihat kokoh oleh otot-otot yang mendominasi dan berukuran secukupnya di setiap lapisan kulitnya. Rambutnya tertata rapi dan berwarna hitam berkilauan. Ia mengenakan kemeja hitam berkerah tinggi yang terlihat kuno bagi Wina. Pandangan Wina yang memindai seluruh isi kamar mendapati sebuah jubah berwarna putih dengan sedikit hiasan berukir keemasan yang tergeletak di sandaran kursi. Wina bisa menyimpulkan bahwa kemeja hitam yang dikenakan Jovan hanyalah lapisan dalam dari jubah yang ditanggalkannya. Sepasang kakinya terlihat panjang dan ramping dibalut oleh celana panjang berwarna hitam dan nampak halus terbuat dari kain satin.

Jovan melangkah perlahan mendekati Wina yang masih duduk terpaku di atas kasur. Ketukan halus yang berasal dari sepatu Jovan memangkas jarak di antara mereka. Wina menelan ludahnya, semakin Jovan mendekat, Wina semakin ingin melompat dari kasurnya dan menghambur ke pelukan Damian-nya.

Everytime I close my eyes~

It’s like a dark paradise~

“Damian,” ulang Wina lagi dengan lirih.

Jovan berdiri terpaku di tepi ranjang, membiarkan sepasang matanya memindai dengan tatapan mengintimidasi terhadap wajah Wina yang menengadah ke arahnya. Jovan dengan kasar menggapai dagu Wina hingga bibir Wina sedikit mengerucut karena remasan yang diberikan Jovan pada dagu lancipnya.

“Kau tidak buta dan tidak tuli. Kau sudah lihat kejadian tadi dan kurasa kau sudah dengar namaku disebut beberapa kali. Jadi, berhenti memanggilku dengan nama memuakkan itu. Kau tahu, kau sudah memonopoli tempat tidurku selama seminggu lebih. Berterima kasih lah padaku karena telah menyelamatkan hidupmu dan membuatmu beristirahat dengan tenang selama kau tidak sadarkan diri. Dan itu berarti kau harus melakukan beberapa hal untukku.”

Air mata mengalir deras di pipi Wina. Ia tak menangis karena rasa sakit sedikit yang menjalar di dagunya, melainkan kerinduannya akan sentuhan tangan kekasihnya seakan terbayar tunai meski tak selembut seharusnya. Sikap Jovan mungkin sudah cukup menimbulkan keraguan di benak Wina bahwa yang bersamanya saat ini bukan Damian. Namun keras hatinya lantaran cinta yang terlalu menggila terhadap Damian mendadak membuatnya tidak peduli.

Damian. Baginya pria dihadapannya itu adalah Damian, dan tak perlu ada sanggahan lagi.

“Damian,” ucap Wina lagi meski terasa sulit melafalkannya dengan mulut yang masih berada dalam remasan Jovan.

Jovan mendekus kesal, dilepaskannya tangannya dari dagu Wina yang baginya terlalu bersikap memuakkan. Jovan melangkah menjauh dan melabuhkan kakinya untuk berdiri di tepi jendela kamarnya yang besar. Ia membuang pandangannya keluar jendela yang menyajikan pemandangan perbukitan yang indah meski di tengah kegelapan. Jovan membuka lebar kedua daun jendela yang menutup rapat. Angin segar dari alam bebas segera menelusup masuk ke dalam kamar hingga menyegarkan seluruh jalur pernafasan. Sejuk menyenangkan meskipun sedikit dingin.

“Kurasa kau harus merasakan angin segar agar sedikit waras.”

Jovan menghampiri Wina dengan bergegas, memangku tubuh kurus milik Wina di kedua lengannya yang kokoh. Tanpa ragu Jovan kembali berdiri di tepi jendelanya yang terbuka. Daratan terasa jauh di bawah tepi jendela tersebut karena memang kamar itu berada di ketinggian yang sangat menjulang. Wina sedikit bergidik dan semakin terkesiap ketika mendapati dua sayap berbulu hitam muncul dari balik punggung Jovan lalu tanpa aba-aba, mereka melesat menembus bentangan langit nan luas di pekatnya malam.

Malam yang tak pernah berganti, abadi dan selalu pekat, dingin, serta menusuk hingga ke tulang belulang.

***

Wina terkesiap ketika ia kembali memijakkan kakinya pada tempat di mana ia terakhir kali menari dengan kesedihan yang paling dalam di hidupnya. Jovan berdiri di hadapannya dengan kedua kepak sayapnya yang terlihat berkilauan keperakkan bermandikan cahaya bulan meski warna sesungguhnya adalah hitam pekat. Tangan kanannya menunjuk satu-satunya villa yang berada tak jauh dari pandangan mereka.

“Apa kau mau melihat Damian?” tanya Jovan dengan sedikit tergurat senyum sinis di bibir tipisnya.

“Dia masih tertidur nyenyak di situ, Cantik. Oh, bukan. Mungkin lebih tepatnya tergeletak tewas mengenaskan di tangan kekasihnya sendiri.”

Wina terperanjat, mata hazelnya membulat penuh dan menatap nanar. Diamnya membuat Jovan semakin leluasa melontarkan kata-kata yang lebih mengintimidasi. Jovan mendekati Wina yang mematung sempurna.

“Cantik, bukankah kau sangat mencintainya? Lalu kenapa kau membunuhnya? Kau membuatku terhibur dan beruntung menyaksikan semua itu. Kau harus tahu, aku sungguh tak sabar menunggumu terjun dari tebing saat melihatmu menari. Kau begitu cantik dengan tarianmu yang indah dan kau gila sepertiku. Menarilah untukku.”

Jovan telah cukup memangkas jarak diantara mereka hingga keduanya tak lagi berbatas celah dari ruang hampa. Jovan meraih pinggang ramping Wina dan merapatkan pada tubuhnya sedangkan Wina sendiri hanya bisa bergeming, memasrahkan dirinya dalam pelukkan Jovan. Jauh dalam benaknya, Wina lagi-lagi hanya menganggap Jovan sebagai Damian-nya dan dekapan itu sesungguhnya disukai olehnya. Kali ini Jovan merapatkan bibirnya di telinga Wina, memastikan bahwa perempuan itu dapat mendengar dengan jelas setiap kalimat yang akan dibisikkannya dengan mendesis.

“Cantik, bukankah tadinya kau memang ingin mati? Kekasihmu itu akan membusuk di sana dan kau pun tadinya ingin tenggelam terlupakan. Kau tak perlu repot menyakiti dirimu, takkan ada yang mencarimu lagi. Sejak aku membawamu, kau tidak lagi berhak atas dunia ini.”

Jovan mendekap Wina semakin erat. Kedua tangannya kini berada di belakang punggung Wina dan kesepuluh jarinya mengeluarkan kuku-kuku yang sedikit memanjang secara mendadak. Tanpa sungkan sedikitpun Jovan mencakar punggung Wina hingga belakang gaun Wina tersayat dan memperlihatkan bekas cakaran berdarah yang melukai punggungnya yang putih mulus.

“Kau milikku sekarang.”

****

With Love, ROSETTA.

2 Komentar

  1. Tidak bisa ditebak ending. Bagus

  2. Wina cinta beneran sama Damian yg asli gak? Kok Damian yg asli malah dibunuh?