Vitamins Blog

Short Story: Lost and Found

Bookmark
Please login to bookmark Close

Short Story: Lost and Found

Terinspirasi oleh istilah ghosting yang sempat viral dan banyak  digunakan oleh netizen serta fenomena standar ganda hubungan antar dua hati berbatas layar gawai yang terpisah dengan realita.

Dan diketik sembari mendengarkan Lana Del Rey – White Mustang.

 

****

Viona memandang hamparan langit malam dari atas balkon yang cenderung sepi dari hiruk pikuk para pengunjung restoran tempat ia dan Michael menghadiri sebuah perjamuan makan malam di hotel bintang lima yang berada satu atap dengan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kotanya. Ia tidak nyaman untuk terus berusaha membaurkan diri dengan rekan-rekan kerja Michael yang tak cukup dikenalnya, sehingga ketika ada kesempatan Viona segera mohon diri untuk menyendiri sejenak dengan alasan ingin menikmati angin malam yang menarik hatinya. Nyatanya kehadirannya saat ini sebenarnya semata-mata karena ia tak ingin mengecewakan harapan Michael yang ingin memperkenalkan Viona sebagai tunangannya, hanya itu, selebihnya tidak ada hal menarik yang mampu membuat Viona berminat.

Ah, Viona memang selalu berusaha keras untuk patuh dengan semua keinginan Michael yang telah resmi bertunangan dengannya sejak dua bulan lalu. Baginya itu sebagai latihan agar kelak ia menjadi istri yang baik ketika mereka sudah resmi menikah meski tidak dalam waktu dekat ini. Kedua orang tua mereka sepakat untuk memberi waktu antara Viona dan Michael agar dapat saling mengenal satu sama lain sebelum mereka benar-benar terjun dalam dunia pernikahan.

Rambut panjang hitam lurusnya yang tergerai sedikit beriak oleh hembusan angin malam yang terkesan usil namun tak mengganggu Viona sedikitpun. Ia lebih baik bercengkerama dengan pekatnya malam daripada harus tersenyum tegang sepanjang waktu untuk menjaga sikap lantaran tak ingin membuat malu Michael dihadapan rekan-rekan bisnisnya. Laki-laki maupun perempuan di dalam sana semuanya adalah para pebisnis yang bergaya modis dan berumur lebih tua beberapa angka dari Viona, setidaknya sepantaran dengan Michael yang lebih tua tujuh tahun dari Viona. Viona yang cenderung menyukai tampil sederhana meski tak meninggalkan kesan anggun pada dirinya merasa tak sepadan dengan mereka semua yang selain modis juga tampak lebih dewasa dari dirinya meskipun Viona sendiri bukanlah perempuan kemarin sore, ia sudah cukup layak dikatakan wanita dewasa seperti wanita-wanita lainnya karena usianya kini sudah menginjak 25 tahun.

Balkon yang ditempati oleh Viona saat ini memiliki dinding kaca dengan pintu serupa yang menjadi batas antara area balkon dan area dalam ruangan. Tirai vitrage berwarna krem redup nyaris tak tembus pandang juga terbentang melapisi dinding kaca tersebut sehingga orang-orang dari dalam ruangan bisa saja tak menyadari keberadaan orang lain di sisi balkon karena pandangannya terhalang oleh tirai tersebut. Itu adalah tempat sempurna yang sudah dilirik Viona sejak awal ia hadir di jamuan makan malam ini untuk pelan-pelan mengasingkan diri dan saat ini ia tengah menumpu seluruh tubuhnya pada teralis pembatas balkon seolah menyandarkan seluruh beban hidup yang menggelayuti hatinya sembari menangkup secangkir cappuccino hangat yang sudah hampir tandas dengan menggunakan kedua telapak tangannya.

“Oh, ternyata ada orang.”

Suara berat dari seorang pria di belakang punggungnya membuat Viona tergeragap dan segera menoleh dengan tempo cepat untuk menemukan sang pemilik suara. Ketika pandangan matanya bersirobok dengan pria yang bersandar di pintu kaca pembatas antara balkon dan area ruang dalam itu, Viona segera tersenyum tipis sebagai formalitas namun tak sedikitpun menyambut kedatangan pria yang tak dikenalnya itu. Viona tahu bahwa pria itu adalah salah satu dari tamu acara makan malam tadi. Meski sekilas, ia sempat memperhatikan setiap orang yang duduk satu meja dengannya ketika sibuk menikmati makan malam mewahnya.

Sebenarnya makna dari senyuman tipis Viona adalah, “Ya, di sini ada orang, jadi pergilah, jangan menggangguku.”

Viona kembali menjejakkan pandangannya pada hamparan langit luas yang membentang di atas kepalanya, tak tertarik untuk berbasa-basi lebih jauh dengan pria di belakang pungggungnya. Viona berpikir bahwa pria itu pasti telah pergi masuk ke dalam lagi bersamaan dengan wajahnya yang segera berpaling setelah melempar senyum seadanya kepada pria tersebut.

Namun ternyata Viona salah. Pria itu malah melangkah mendekatinya dan dengan percaya diri berdiri di sampingnya berjarak beberapa jengkal saja lantas meniru posisi berdiri Viona yang menyandarkan diri dengan bertumpu pada kedua tangannya di pagar teralis balkon dan itu membuat Viona tidak nyaman hingga ia nyaris meninggalkan tempat itu jika langkahnya tidak tertahan oleh sepatah dua kata kalimat yang dilontarkan pria asing itu.

“Apa kabar, Violetta?”

Viona berpikir apa ia salah dengar dengan kata-kata yang diucapkan pria itu? Ia bahkan tidak mengenal sama sekali siapa pria yang ada di sampingnya saat ini.

“Apakah itu cappuccino, minuman yang sedang kau pegang? Aku yakin tadinya diatasnya berhiaskan Rosetta’s Style. Violetta kan selalu suka itu. Benar, kan?”

 

Mata Viona terbelalak, ia mulai memperhatikan pria itu dari ujung kaki hingga wajahnya untuk memastikan siapa pria disampingnya saat ini walaupun tentu saja itu sia-sia, karena ia memang tak pernah mengenal sosok pria itu.

Yaa, kendati ia bisa menduga siapa pria di depan matanya saat ini setelah sepatah dua kata ajaib yang terlontar dari lisannya tapi apalah artinya memastikan fisik dari seseorang yang pernah kau kenal tanpa wujud sebelumnya?

Seseorang yang asing tapi tak bisa disebut asing juga.

Jika asing berarti raga yang tak ditemui, maka pria itu memang seseorang yang asing.

Tapi jika asing berarti seseorang yang tak kau ketahui baik secara fisik dan batin,  maka pria yang ada dihadapan Viona saat ini tak layak masuk kategori asing, sebab secara batin Viona sangat mengenalnya.

Hanya saja….

Viona hanya tak pernah mengenalnya secara….. Fisik!

“Ghoster?” gumam Viona seketika, lirih namun tertangkap basah oleh telinga pria dihadapannya.

Senyum tipis penuh makna dari pria asing dihadapannya semakin membuat Viona tergeragap. Perasaan Viona segera campuraduk, tak ada sepatah katapun mampu keluar lagi dari bibir mungilnya. Terlalu banyak pertanyaan yang mulai berkecamuk di ruang kepalanya dalam sekejap hingga ia tak tahu harus mulai dari mana untuk bersikap.

Apa ia harus bertanya bagaimana bisa saat sekarang pria yang nyaris antara ada dan tiada dalam hidupnya bisa berdiri tepat di sampingnya?

Apa ia harus menepuk kedua pipinya agar ia sadar bahwa saat ini ia hanya tertidur dan sosok pria di depan matanya hanyalah bagian dari mimpi buruk yang sedang ia alami?

“Aku tersanjung, kau langsung bisa menebak siapa aku hanya karena menyebut nama Violetta dan mengangkat topik cappuccino kesayanganmu itu. Kurasa aku memang istimewa.” ucap pria itu ringan tanpa beban.

Wajah Viona tertekuk kesal, meski ia masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi pada wujud pria dihadapannya, tapi perasaan kesal yang dirasakannya tidak asing. Sudah sangat lama perasaan itu hilang dari hidupnya, sejak seorang Violetta dan Ghoster tidak bersama lagi di dunia maya yang terlepas dari kehidupan nyata yang mereka jalani masing-masing.

Tapi, bagaimana pria ini begitu yakin bahwa dirinya adalah Violetta?

Apakah selama ini seorang Ghoster selalu tahu tentang Violetta?

Baru saja Viona ingin angkat bicara, Michael datang menghampiri yang membuat Viona diam-diam tersadar kembali pada dunia nyatanya, ia teringat bahwa ia sedang bersama tunangannya.

“Dikson, kau ada di sini?” sapa Michael kepada pria di samping Viona.

Oh, apa itu nama aslinya?

Apa namanya adalah Dikson?

Viona segera menempatkan diri berada di samping Michael dengan membawa jejak pertanyaan yang berputar di dalam kepalanya sendiri.

“Kau sudah bertemu Viona ternyata. Kenalkan, dia tunanganku.” ucap Michael sembari menatap wajah Viona yang tersenyum canggung kepada Dikson.

“Hai Viona, kenalkan aku Dikson, anggap saja aku rekan bisnis Michael.” ucap Dikson ringan tanpa beban sembari mengulurkan tangannya.

Viona menyambut jabatan tangan Dikson dengan canggung dan perasaan Viona semakin tak karuan karena ia bisa merasakan jabatan tangan Dikson yang terasa tak biasa. Viona dengan sigap menarik tangannya dan merasa bersyukur karena Michael segera mengajaknya berpamitan untuk pulang.

Mereka pun meninggalkan Dikson yang masih berdiri di atas balkon sembari melepas punggung Viona dan Michael yang menjauh pergi dengan tatapan penuh arti.

****

Mobil melaju dengan cepat di jalan yang mulai sepi lantaran hari sudah begitu larut malam. Viona hanya membuang pandangannya keluar kaca mobil dan diam seribu bahasa sedangkan Michael terlihat tenggelam fokus menyetir. Michael tidak akan merasa ada yang aneh dari kependiaman Viona meski Viona tak akan mengatakan sepatah kata apapun hingga mereka sampai di tujuan mereka.

Karena itu adalah sikap yang hampir selalu dilakukan Viona ketika mereka sedang berdua saja. Rasanya perjalanan mereka sangat panjang sedangkan Viona sudah tak sabar ingin segera berada di rumahnya, menghempaskan tubuhnya yang lelah di kasur empuk miliknya dan membiarkan pikirannya melalang buana ke dua tahun silam di mana Violetta dan Ghoster adalah sebuah kisah yang sudah lama tersorok dalam kotak kenangan.

Viona bahkan tak bisa menyebut itu sebagai kisah cinta. Kata yang paling tepat untuk melekat dalam kisah itu hanyalah satu,

Rumit.

“Ghoster? Benarkah itu dia?” batin Viona masih tak percaya atas sosok yang ditemuinya tadi.

Seseorang yang pernah singgah dalam hidup Viona, begitu dekat namun terbatas oleh layar gawai. Tak pernah berjumpa, tak saling tahu, bahkan berkomitmen dengan sangat tidak lazim. Aib? Mungkin.

Jika hal-hal yang selalu berbumbu rahasia bisa dikatakan aib, maka itulah mereka meski dapat dipastikan tak ada hal-hal tak senonoh diantara mereka.

Hanya saja…. Rumit!

Kalau kau mau, aku bisa menjadi seseorang yang istimewa untukmu. Kalau kau tidak keberatan hanya terbatas di layar saja, aku tidak keberatan selalu ada untukmu, Violetta.

Kau istimewa bagiku Violetta, tapi berjanjilah jangan pernah mencari tahu diriku di dunia nyata, kau tidak boleh melakukan itu, aku percaya padamu.

Meski hanya berbatas layar, kau tahu aku selalu ada untukmu. Violetta, aku ingin kau tetap aman, aku akan selalu menjagamu, percayalah padaku.

Violetta, apapun yang tampak di depanmu, percayalah aku selalu melindungimu.

Ah!

Tiba-tiba perasaan itu kembali terasa sakit!

Viona berkali-kali bilang ia tidak keberatan,

Viona berkali-kali bilang ia mampu,

Dan berkali-kali pula Viona terus menyangkal rasa sakit yang menggerogoti hatinya.

Hingga ia sendiri lelah dan secara impulsif menyatakan hal-hal yang ia tak inginkan dan tak terencana.

“Aku muak. Aku tidak ingin hubungan ini lagi!”

Dan ketika hal terakhir yang diharapkan Viona adalah kata-kata manis yang mampu memeluknya lantas yang ia dapatkan hanyalah,

As you wish, Violetta.

Tidak ada kata-kata lanjutan yang mampu menjadi alasan percakapan mereka saling tertaut satu sama lain lagi.

Tidak ada kata-kata baru yang muncul diantara mereka sebanyak apapun Viona ingin memohon jika ia tak menahan diri.

Jauh di dalam hati Viona, ia tahu dan sangat cukup mengenal Ghoster-nya, ketika pria itu bilang “tidak”, maka tak akan menjadi “iya”. Ketika pria itu bilang “iya”, maka tak akan ada kata “tidak” yang menggantikan.

Jadi, jika Ghoster ingin membujuknya untuk kesekian kalinya, maka ia tak akan memunculkan kalimat yang tak terbantahkan lagi pada layar gawai Viona.

Jadi,  jika Ghoster memilih untuk mempertahankan Viona, maka takkan ada kata semacam itu yang menutup seluruh akses percakapan diantara mereka.

Ghoster akan selalu punya seribu cara untuk menenangkan Violetta-nya dengan penuh kesabaran dan percaya diri bahwa semua baik-baik saja.

Jadi, ketika Ghoster mengakhiri, maka seorang Violetta sudah sepantasnya harus tahu bahwa memang sudah berakhir.

As you wish, Violetta.

Sudah?

Begitu saja?

Semua berakhir dengan singkat, padat, dan jelas seakan dua puluh empat purnama yang mereka lewati bersama hanya mimpi yang terjadi semalam dan sudak waktunya Viona untuk bangun dari tidur nyenyaknya.

Viona memang bodoh, sudah jelas sejak awal Ghoster-nya memberi peringatan mengenai batasan antara rasa sebatas layar dan nyata, batasan antara logika dan rasa yang selalu diingatkan setiap saat tapi Viona gagal mematuhinya.

Dinding yang dibangun Viona pada hatinya ternyata rapuh, tidak sekokoh benteng beton milik Ghoster.

Benteng yang dibangun oleh Ghoster adalah benteng beton kokoh berlapis baja yang tak mampu dihancurkan, begitu kuat melindungi.

Benteng seorang Violetta terbuat dari kaca-kaca yang rapuh, bening, tipis, berkilauan dengan indah namun tak mampu melindungi sebongkah hati yang tersimpan di dalamnya.

Sentuhan kecil saja mampu memecahkan benteng indah itu hingga bukan hanya retak, melainkan pecah berserakan dan berbalik melukai sebongkah hati yang berlindung di dalamnya.

Viona terluka.

Bukankah seharusnya Ghoster yang melindunginya?

Apa arti melindungi bila dengan cara meninggalkan, pergi tanpa berbalik lagi, hilang seperti antara ada dan tiada.

Atau memang seharusnya Viona menyiapkan diri sejak awal bahwa Ghoster bisa pergi kapan saja ia mau?

Bukankah itu alasan Ghoster menamai dirinya begitu?

Ghoster yang berarti hantu.

Lalu kenapa sekarang Ghoster muncul bahkan bukan hanya sebatas nama di layar gawai melainkan tepat di depan matanya sebagai sosok seorang manusia nyata?

“Ghoster, benarkah itu kamu?” bisik Viona lirih dalam benaknya dengan penuh rasa putus asa.

Tapi, kenapa?

***

With Love, ROSETTA.

 

2 Komentar

  1. Penasaran

  2. Wake up lah. You already have fiancee girlllll